Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri

tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman terhadap diri sendiri, tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan. Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah, individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah ‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi reference group dijadikan acuannya. “Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan “Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial Lesmana, 2001. Maka diri-pribadi self sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku” tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri self- interaction. Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan. Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai “Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya terlalu berat. Pada saat itu, sang ibu bertindak sebagai “Diriku”; amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan. Dalam interaksi-pribadi yang dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus mengoreksi tindakan “Aku” Lesmana, 2001. Sebagai suatu proses sosial, self diri-pribadi mempunyai dua makna, pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,” communication with self, atau self-interaction. Kedua self itu sendiri lahir dari pengalaman sosial, pengalaman berinteraksi dengan orang lain, communication with others. Kesadaran bahwa “aku pemalas”, “aku enerjik,” atau “aku pemboros,” sebagiannya karena pengalaman interaksi sosial “Aku” dengan individu lain yang kemudian direfleksikan lagi dalam self-interaction” Mead, 1967 dalam Lesmana 2001. Karena diri-pribadi terutama dibentuk oleh interaksi sosial yang dilakukan seseorang, dengan siapa ia berinteraksi menjadi sangat menentukan. Mead dalam hal ini memakai istilah “the sigificant other,” orang-orang yang mempunyai arti penting, yang dihormati atau menjadi panutan bagi individu dalam hal tertentu Charon, 1998. Istilah yang dipakai oleh Shibutani 1995 dalam Lesmana, 2001 adalah reference group. Masyarakat atau kelompok referensi berfungsi sebagai acuannya untuk bertindak.

2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya

Profesor Joel M, Charon 1998, seorang interaksionis lulusan Universitas Minnesota, yang kini menjadi ketua Departemen Sosiologi Moorhead State University Minnesota, memaparkan inti pandangan teori interaksi simbolik sebagai berikut: 1 Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada hakekat dan dinamika interaksi yang terjadi antar manusia. 2 Tindakan manusia human action dipengaruhi oleh interaksi sosial dan interaksinya dengan dirinya sendiri self interaction. 3 Sebelum melakukan tindakan, manusia terlebih dahulu merumuskan situasi define the situation lingkungan yang dihadapinya. 4 Kejadian masa lalu dapat mempengaruhi kejadian saat ini, harapan dan tujuan juga dapat mempengaruhi tindakan saat ini. Namun keputusan yang diambil seseorang selalu didasarkan atas analisis dan rumusan terhadap situasi rill yang dihadapinya saat ini. 5 Berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, manusia sesungguhnya adalah sosok yang bebas yang dalam batas tertentu dapat menentukan sendiri tindakannya. Menurut Blommer dan Spradly dalam Endraswara 2001 ada beberapa premis dasar interaksi simbolik; pertama manusia melakukan berbagai hal atas makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Kedua makna berbagai hal itu berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, makna ditangani atau dimodifikasi melalui satu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam berbagai hal yang dia hadapi. Di samping tiga premis dasar di atas, Muhajir dalam Endraswara 2001 menambahkan tujuh proposisi,yaitu : 1 Perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang mengejala, 2 Kemaknaan manusia dicari sumbernya kedalam interaksi sosial, 3 Manusia itu merumuskan proses yang berkembang secara holistik, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga, 4 Pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, dan maksud, bukan berdasarkan mekanik, 5 Konsep mental manusia berkembang secara dialektik, 6 Perilaku manusia itu wajar, kreatif dan konstruktif, bukan elementer-reaktif, 7 Perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik

Beberapa tokoh interaksionisme simbolik merumuskan beberapa prinsip dasar teori ini, yang meliputi ; 1 Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir 2 Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial 3 Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka 4 Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi