Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik
5 Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi 6
Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampua mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri yang memungkinkan
mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan, dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara serangkaian
peluang itu. 7
Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat Ritzer Goodman, 2007.
Kapasitas Berpikir
Salah satu konsep dasar mengenai interaksi simbolik adalah apa yang disebut oleh George Herbert Mead Charon, 1998 sebagai “mind, self and socity.” Mind
didefinisikan sebagai the ability of the invidual to indicate to one’s self the response that one’s gestures indicates to others.” Mind juga dinamakan “reflecting
thinking” memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan menunda respons kepada stimuli. Proses mental itu bertujuan untuk mengorganisir dan mengontrol
respons individu kepada stimuli. Mead menjelaskan komponen perilaku yang penting untuk diobservasi, yaitu
apa yang disebut Mead sebagai minded behavior, yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak
kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi. Intra-komunikasi dalam diri individu dimungkinkan karena tiap-tiap individu
memiliki self diri-pribadi. Self merupakan bagian dari lingkungan yang menjadi obyek perbuatan seseorang. Manusia pun bisa menilai perbuatannya, atau marah
terhadap diri sendiri, menyesali tindakan sendiri atau mengakui bahwa perbuatannya salah. Singkat kata ia bisa mengenal diri sendiri make indication to himself.
Bahkan ia bisa berdialog dengan diri sendiri yang dinamakan self-interaction interaksi pribadi atau minded activity berpikir Charon, 1998
Intra-komunikasi menurut Mead, tidak berbeda dengan proses berkomunikasi dengan orang lain. Hanya saja, intra-komunikasi berlangsung dalam diri sendiri,
sehinggga orang lain tidak dapat memahaminya, namun Mead menolak tudingan psikologi behavioristik yang mengatakan bahwa kegiatan berpikir tidak dapat
diobservasi. Menurut Mead, apa yang dipikirkan seseorang bisa saja dituturkan kepada orang lain, sehingga dapat diobservasi.
Mead menamakan covert behavior perilaku tersembunyi atau tidak kasat mata dan overt behavior perilaku lahiriah atau kasat mata. Masing-masing untuk
aktifitas berpikir dan bentuk tindakan perilaku yang dihasilkannya. Masalah perilaku tidak kasat mata sama sekali tidak disinggung dalam psikologi behavioristik
yang sering juga disebut psikologi obyektif, padahal proses berpikir menjadi kualitas paling esensial bagi manusia. Mead percaya bahwa pengingkaran atas eksisitensinya
sama dengan mengidentifikasikan manusia dengan benda mati Charon, 1998. Teori interaksi simbolik memusatkan perhatian terutama pada makna dan
simbol dari tindakan dan interaksi manusia. Perilaku tersembunyi atau proses
berpikir melibatkan simbol dan makna. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku tidak melibatkan perilaku
tersembunyi karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal. Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku
itu Ritzer Goodman, 2007. Teori interaksiaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai
benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri
merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek
lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat Ritzer, dan Goodman, 2007
Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir, kapasitas ini dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial, pandangan ini menyebabkan teoritisi
interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial
yakni sosialisasi. Kemamapuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini
dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Sosialisasi adalah proses dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan
kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri. Sosialisasi bukanlah semata-mata proses atau arah dimana aktor menerima informasi,
tetapi aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka sendiri Manis Melzer, dalam Ritzer Goodman, 2007.
Interaksi
Interaksi berarti aksi atau tindakan seseorang yang senantiasa memper- hatikan aksi atau tindakan orang lain yang ditujukan kepadanya, action that takes
account one other Charon,1998, atau seperti yang dikatakan oleh George Simmel dalam Lesmana 2001, action which is mutually determined. Interaksi berarti
seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia pun senantiasa mempengaruhi orang lain. Interaksi juga berarti tindakan seseorang dibangun atas
dasar tindakan orang lain yang ditujukan terhadapnya didalam situasi tertentu. Ini berarti individu juga senantiasa memperhatikan dan menginterpretasikan tindakan
mitra interaksinya sebelum bertindak Lesmana, 2001. Interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan
diperlihatkan. Semua jenis interaksi tidak hanya interaksi selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Dalam kebanyakan interaksi, aktor
harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain, dan interaksi simbolik memerlukan
proses mental itu dengan kebutuhan mereka sendiri Ritzer dan Goodman 2007. Charon 1998 mendefenisikan interaksi sebagai; “aksi sosial bersama
individu-individu yang berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing-masing
mutual action individuals, communicating to each other in what they do orienting their acts to each other.”
Jhon Dewey mengemukakan bahwa ”meaning arise through communication.” George Herbert Mead kemudian memperjelas pendapat Dewey dengan mengatakan;
” meaning is content of an object which is dependent upon the relation of an organism or group of organism to it.” Dewey menggunakan istilah
“communication” sedangkan Mead menggunakan istilah “relation.” Keduanya sama-sama menunjukan mutlaknya interaksi sosial untuk terbentuknya sebuah
makna obyek. Pemahaman individu atas makna timbul dari interaksinya dengan lingkungan fisik dan sosial. Interaksi mengandung arti bahwa para pelaku
memperhatikan satu sama lain dan senantiasa saling menginterpretasikan pesan yang disampaikan Lesmana, 2001.
Ballis-Lal dalam Lesmana 2001 menjelaskan bahwa tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan mitra-interaksinya melalui proses interpretasi.
Langkah yang diambil seorang aktor bergantung pada langkah yang diambil atau akan diambil oleh aktor lain. Itulah yang dimaksud dengan interdependensi antar-
interaktan. Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan
the generalized other, istilah yang dipergunakan oleh Mead yang perlu diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. Dikatakan oleh Mead “the
matured self arises when a generalized other is internalized so that the community exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan
menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang
matang Charon, 1998. Kecuali dipengaruhi oleh interaksi dengan individu lain, tindakan individu
juga dipengaruhi oleh interaksi dengan diri-pribadi self sebelum mengambil keputusan, individu berdialog dengan diri pribadi mengenai obyek yang dihadapi.
Komunikasi dan dialog dengan diri pribadi menjadi sasaran untuk menginterpretasi makna obyek. Konsep diri, pengalamannya terhadap obyek di masa lampau,
kepentinganya terhadap obyek tersebut, dan faktor resiko menjadi bahan penting dalam proses interaksi dengan self Charon, 1998
Simbol
Teoritisi interaksi simbolik membayangkan bahasa sebagai sistem simbol yang sangat luas. Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk menggantikan
sesuatu yang lain. Kata-kata membuat seluruh simbol yang lain menjadi tepat. Tindakan obyek, dan kata-kata lain eksis dan hanya mempunyai makna karena telah
dan dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata Ritzer Goodman, 2007. Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang untuk bertindak
menurut cara-cara khas yang dilakukan manusia. Karena simbol, manusia tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri,
tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan Charon, 1998.
Ritzer dan Goodman 2007 menambahkan kegunaan umum dari simbol dan bahasa, khususnya yang mempunyai sejumlah fungsi bagi aktor :
1. Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial yang
memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat obyek yang mereka jumpai di situ. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan,
agar tidak membingungkan. Bahasa memungkinkan orang mengatakan, menggolongkan dan terutama mengingat secara lebih efisien ketimbang yang
dapat mereka lakukan dengan menggunakan jenis simbol lain seperti kesan bergambar.
2. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Dari
pada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan tertentu ketimbang terhadap bagian
lingkungan yang lain. 3.
Simbol meningkatkan kemampuan untuk berpikir. Jika sekumpulan simbol bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka
bahasa akan dapat lebih mengembangkan kemampuan ini. Dalam artian ini, berpikir dapat dibayangkan sebagai berinteraksi secara simbolik dengan diri
sendiri.
4. Simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah,
kemampuan ini mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan 5.
Simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan kehidupan
seperti apa dimasa lalu, atau kemungkinan hidup dimasa depan. Lagi pula, aktor dapat secara simbolik mendahului pribadi mereka sendiri dan membayangkan
seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut pandang orang lain. Inilah konsep teoritis interaksinisme simbolik yang terkenal: mengambil peran orang lain.
6. Simbol memungkinkan orang untuk membayangkan realitas metafisik seperti
surga dan neraka. 7.
Simbol memungkinkan orang menghindari diperbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktif – mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka
kerjakan.
Makna
Makna bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial.
Manusia menanggapi simbol dengan cara berpikir. Tanda-tanda mempunyai artinya sendiri. Simbol adalah obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan atau
menggantikan apapun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan Charon, 1998.
Obyek sosial diartikan sebagai “anything that becomes involved in a social interaction” Shibutani dalam Lesmana 2001. Jangkauan obyek sosial amat luas,
termasuk juga diri self ketika terjadi proses intra-komunikasi atau proses berdialog dengan diri sendiri. Obyek diyakini tidak memiliki makna apa-apa. Manusialah yang
memberikan makna tertentu pada obyek yang dijumpainya. Obyek-obyek yang dimaksud bisa berbentuk fisik benda mati, lingkungan, orang, peristiwa atau yang
bersifat abstrak seperti gagasan dan ideologi. Memberikan makna berarti memahami apa arti sebuah simbol dari obyek,
kemudian bertindak atas dasar pemahaman itu. Makna adalah apa yang dipikirkan ,
ketika seseorang memikirkan seekor kuda, apa yang dirasakan ketika ia membayangkan sebuah ujian yang sulit, apa yang dinginkan ketika berkhayal menjadi
orang kaya. Makna berfungsi menjembatani individu ketika ia berpikir, merasa dan menginginkan sesuatu, dengan obyeknya Lesmana, 2001.
Berdasarkan pengertian obyek sosial tersebut, interaksi simbolik mengajukan tiga asumsi dasar yang berkaitan dengan itu, yaitu; Pertama, manusia bertindak
terhadap suatu obyek berdasarkan pemahaman makna obyek tersebut bagi dirinya, atau berdasarkan definisi situasi tempat obyek tersebut berada. Kedua, makna obyek,
atau definisi situasi obyek terbentuk oleh interaksi sosial, khususnya interaksi dengan significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting untuk dijadikan
referensi untuk satu masalah tertentu. Ketiga, makna obyek tidak konstan, tetapi dapat berubah dari waktu ke waktu melalui proses interpretasi, proses pemahaman
kembali makna dan pemahaman kembali situasi Charon, 1998.
Definisi Situasi
Analisis dan pemahaman situasi dalam teori interaksi simbolik dinamakan “definisi situasi.” Menurut Charon 1998, humans do not sense their environment
directly but instead define their situation as they go along in their action.” Manusia bertindak menurut hasil rumusan situasi yang dibuatnya. Aktor memberikan respons
kepada setiap sinyal cues yang dijumpai, menganalisisnya dalam definisi situasi, dan bertindak atas dasar konstruksi definisi tersebut.
Definisi situasi adalah hasil dari proses eksplorasi untuk mengetahui segala opsi perilaku yang ada dalam situasi tertentu, serta tindakan yang perlu diambil
dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Definisi situasi bersifat kognitif, menyangkut pengetahuan mengenai posisi seseorang di dalam waktu dan
ruang yang dapat membatasi cara dan pilihan untuk bertindak Hewit, 1991. Begitu pentingnya defenisi situasi dalam tindakan manusia, sehingga W.I
Thomas dan Doroty Thomas Charon, 1998 berpendapat “ if men define situation as real, they are real in their consequences”. Jika seseorang telah mendefinisikan
situasi sebagai sesuatu yang nyata, maka akibatnyapun adalah nyata. Jika seseorang
melihat situasi A dapat menimbulkan kejadian B, dan kebenaran atas defenisi situasi A yang dilakukannya tidak diragukan, maka ia percaya bahwa B pasti akan terjadi.
Realita bagi seseorang pada hakekatnya sama dengan definisi situasi yang dibuatnya. Definisi situasi diyakini menjadi kuasa-prima lahirnya tindakan. Thomas mengetahui
bahwa sebagian besar definisi kita tentang situasi telah disediakan oleh masyarakat untuk kita. Thomas menekankan bahwa yang menjadi sumber definisi sosial
terutama keluarga dan komunitas Charon, 1998. Charon mengakui bahwa menganalisis dan merumuskan situasi tidaklah
mudah. Banyak faktor ikut mempengaruhinya; obyek sosial yang ada, tujuan, perspektif, norma, kelompok referensi, pengalaman masa lalu, dan penilaian
terhadap apa yang sedang terjadi, semua harus diperhatikan dengan seksama. Definisi situasi itu harus dikonstruksi, bukan sesuatu yang sudah ada sehingga
dengan mudah bisa diperoleh siapapun. Konstruksi bisa dilakukan seorang diri, atau bersama interaktan lain dalam proses interaksi.
Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perumusan situasi, tujuan goals dan perspektif diyakini dua faktor paling utama. Perbuatan manusia, baik
secara individu maupun kolektif, umumnya berorientasi pada tujuan atau perwujudan atas tujuan tertentu. Bagaimana tujuan dikaitkan dengan situasi yang dihadapi,
perspektif memegang peran, khususnya perspektif yang dianut oleh kelompok referensi dan yang berkaitan dengan posisinya Charon, 1998. Perspektif
digambarkan sebagai lensa untuk memfilter dan menginter-pretasikan realita. Tingkat pengetahuan mengenai orang lain dan tujuan yang hendak dicapainya serta
kekuasaan yang dimiliki orang tersebut terhadap dirinya juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan definisi situasi Hewitt, 1991.
Membuat Pilihan Keputusan
Berdasarkan kemampuan memaknai simbol-simbol dari suatu obyek dan mendefinisikan situasi obyek tersebut, maka manusia dapat membuat pilihan tindakan
yang akan mereka lakukan. Orang tidak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan terhadap mereka. Berdasarkan penafsiran mereka sendiri, manusia
mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru terhadap situasi. Jadi menurut teori interaksionisme simbolik, aktor setidaknya mempunyai sedikit otonom. Mereka tidak
semata-mata sekedar dibatasi atau ditentukan; mereka dapat membuat pilihan yang unik dan bebas. Begitu pula mereka mampu membangun kehidupan dengan gaya
yang unik Ritzer Goodman, 2007.
Aksi dan Interaksi
Dari teori interaksi simbolik akhirnya memberikan sebuah teori aksi a theory of action. Teori aksi dan reaksi dapat digambarkan seperti diagram berikut ini
Gambar 1. Teori aksi ini bisa dipakai untuk memperoleh pemahaman tentang tindakan individu atau sebab-sebab tindakan action individu. Teori tersebut
menyebutkan bahwa aksi atau tindakan seseorang terhadap suatu obyek sosial selalu didasarkan atas keputusan yang diambilnya saat itu yang dipengaruhi oleh
pemaknaannya terhadap obyek atau definisi situasi dari obyek itu. Tindakan dapat berubah, apabila keputusan yang diambil berubah yang diakibatkan oleh perubahan
definisi situasi yang dihadapinya. Perubahan definisi situasi dimungkinkan karena perubahan hasil interaksi yang dialaminya dengan lingkungan dan significant others.
Gambar 1. Model “AKSI” Charon 1998 2.4 Hasil Studi Kewirausahaan, Interaksi Simbolik dan Kebaruan
Penelitian
Beberapa kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini, baik berdasarkan obyek kajian entrepreneurship maupun pendekatan teori yang
digunakan interaksi simbolik, berikut ini disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini.
Kajian Pambudy 1999, menjelaskan bahwa: a perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh perilaku komunikasi, yaitu dalam hal pemilihan media komunikasi,
partisipasi sosial, keterdedahan media massa, kontak antara sesama peternak, aktivitas peternak dalam kelompok, dan kontak dengan penyuluh pada taraf yang
berbeda. Selain itu, juga dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan seperti; umur,
Obyek Sosial
Interaksi dengan diri sendiri
self-interaction
tujuan
perspektif
pengalaman Interaksi dengan
orang lain Social- interaction
significant others
refference group
Definisi Situasi
Keputusan
Tindakan
tanggungan keluarga, lama berternak, pendidikan dan penghasilan peternak. b perilaku berwirausaha dibentuk dari tiga aspek, yaitu pengetahuan berwirausaha,
sikap mental berwirausaha, dan keterampilan berwirausaha. c perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh fungsi agribisnis, baik itu pada tingkat off-farm hulu,
on-farm dan off-farm hilir. Kajian Suparta 2001 dalam disertasinya menyimpulkan: 1 90,30 persen
peternak mempunyai sifat kewirausahaan tinggi, yang terbentuk karena pengaruh peubah-peubah yang dapat dialami dan atau dirasakan langsung dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari, seperti; keterampilan sistem nilai masyarakat lokal, persepsi, penyediaan sapronak, dan pemasaran hasil. 2 semua faktor internal peternak
berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agribisnis terutama faktor keterampilan dan sifat kewirausahaan, sedangkan 3 faktor-faktor eksternal berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku peternak secara tidak langsung melalui; pengetahuan, persepsi, sikap, keterampilan, motivasi ekternal, dan sifat kewirausahaan.
Seperti terlihat dari kajian-kajian di atas, semua peneliti menggunakan paradigma positivistic-scientific ilmiah. Hal lain yang dapat disimak adalah;
penelitian-penelitian tersebut lebih banyak melihat dan didasari oleh teori-teori tentang “faktor apa yang menggerakkan orang berperilaku tertentu isi.” Penelitian-
penelitian tersebut menurut Kast dan Rosenzweig 1995 didasari oleh teori yang fokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi perilaku, seperti kondisi internal
dan kondisi eksternal yang bersangkutan. Sementara penelitian ini lebih fokus pada keinginan untuk melihat proses terjadi suatu perubahan perilaku seseorang yaitu
dalam hal pembentukan dan atau pengembangan jiwa kewirausahaan dari perspektif
paradigma kualitatif-naturalistik alamiah.
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu fenomenologi. Studi fenomenologi adalah studi yang melihat dan menyajikan realitas sebagaimana
tampaknya tanpa memaksakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran tertentu didalamnya. Dengan metode tersebut studi ini melihat, bagaimana sesungguhnya realitas perilaku
kewirausahaan dihasilkan diproses. Teori-teori interaksi simbolik, adalah salah satu teori yang ikut memperkaya studi fenomenologi ini.
Mulyana 2001 menjelaskan bahwa, akar pemikiran interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis.
Artinya, masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah ’barang jadi’
melainkan barang yang ’akan jadi’, karenanya teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai ’diri’ self yang tumbuh berdasarkan ’negosiasi makna’
dengan orang lain. Dari penelusuran pada beberapa kepustakaan, teori dan konsep interaksi
simbolik banyak digunakan oleh para antropolog atau para sosiolog untuk melihat kasus-kasus sosial budaya peradaban dalam suatu masyarakat. Untuk kasus-kasus
yang lebih sempit seperti perubahan sifat dan ciri individu dalam suatu komunitas bisnis, belum ditemukan. Penggunaan pendekatan teori interaksi simbolik untuk
melihat proses pembentukan entrepreneurship adalah kebaharuan lain dari penelitian ini.
Dua kajian yang menggunakan teori interaksi simbolik adalah Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI dan Manajemen Komunikasi Pengemis,
yang kedua tulisan ini terdapat dalam buku Metode Penelitian Komunikasi Deddy Mulyana 2007.
”Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI” merupakan disertasi Arrianie 2010 menyimpulkan bahwa para aktor politik di DPR RI sangat dinamis,
mereka memiliki motif yang lebih bersifat individual dalam memainkan peran politik mereka di DPR RI, bukan motif yang berkaitan dengan kepentingan partai politik
yang mereka wakili, apalagi dengan kepentingan rakyat banyak. Untuk itu mereka kerap melakukan pengelolaan kesan impression management untuk mewujudkan
kepentingan mereka. Panggung politik adalah sebuah dunia yang kental dengan manipulasi diri.
Makna pesan politik yang sama dalam suatu fraksi boleh jadi dimaknai berbeda oleh politisi dari fraksi yang sama, tapi boleh jadi dimaknai sama oleh politisi dari
fraksi yang berbeda. Terdapat kekacauan konsepsi pada panggung politik. Peristiwa yang seharusnya terjadi di panggung belakang back stage, bisa terjadi di panggung
depan front stage atau sebaliknya. Apa yang terjadi di pangung depan bagi individu atau kelompok politisi baik dalam arti partai, fraksi atau komisi boleh jadi
merupakan panggung belakang bagi individu atau kelompok politisi lainnya, atau dapat juga terjadi sebaliknya. Ditemukan pula panggung tengah yang menjadi ajang
kompromi politik, yang berada di luar atau mengantarai dua panggung tersebut. Studi ”Manajemen Komunikasi Pengemis” Engkus Kuswarno dalam
Mulyana 2007 antara lain menjelaskan: apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan subyek yang melakukan suatu tindakan sosial; pengemis
adalah aktor kehidupan; pengemis menciptakan dunianya sendiri; pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik; dan pengemis memerankan panggung
sebuah drama kehidupan serta pengemis hidup dengan kemampuan mengelola komunikasi interpersonal, intrapersonal maupun sistem dimana mereka berada.
Interaksi di antara sesama pengemis dan pengemis dengan orang lain yang bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna tersendiri.
Secara intersubyektif pengemis memilih lambang yang dapat berinteraksi dalam sistem sosial mereka.
Pengemis berupaya menampilkan dirinya seperti apa yang mereka kehendaki. Mereka wujudkan hal itu dalam bentuk verbal maupun non verbal untuk memberikan
kesan yang diharapkan bagi lawan mereka berinteraksi. Mereka menampakkan panggung depan front stage di hadapan publik calon dermawan yang berbeda
dengan panggung belakang back stage atau kehidupan keseharian tanpa kehadiran calon dermawan. Dalam konteks tersebut, pengemis memiliki kemampuan untuk
mengelola komunikasi mereka didasarkan atas nilai komponen masing-masing impression management, baik secara intrapersonal, interpersonal maupun sistem
dalam arti luas. Kedua kajian di atas lebih banyak melihat bagaimana aktor mengelola kesan
impression management untuk berbagai alasan. Keduanya lebih banyak bersandar pada teori dramaturgis yang dipopulerkan oleh Erving Gofman dan merupakan varian
dari teori interaksi simbolik.
Berbeda dengan kajian-kajian tersebut, penelitian ini lebih ditekankan pada keinginan untuk melihat bagaimana aktor memaknai atau menginterpretasikan
hubungan atau interaksinya dengan lingkungan sosial social interaction terutama dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh secara signifikan significant
others. Proses pemaknaan atau penginterpretasian itu sendiri dalam perspektif teori interaksi simblik adalah suatu proses berpikir, atau dengan kata lain disebut interaksi
dengan dirinya sendiri self interaction. Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita.
Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang dekat dengan diri kita. George Herbert Mead menyebut mereka significant others – orang lain yang sangat penting.
Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W. J. Humber menamainya
affective others – orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah kita secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita Rakhmat,
2005. Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan
the generalized other, istilah yang dipergunakan oleh Mead yang perlu diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. Dikatakan oleh Mead “the
matured self arises when a generalized other is internalized so that the community exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan
menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang
matang Charon, 1998. Selanjutnya Rakhmat 2005 menjelaskan bahwa dalam perkembangannya,
significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan
menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang
yang pernah berhubungan dengan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita
seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Kita mengambil peran orang lain role taking yang amat penting
artinya dalam pembentukan konsep diri. Dalam bermasyarakat, manusia pasti menjadi anggota dari suatu kelompok.
Setiap kelompok pasti mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini
disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau kita
memilih kelompok rujukan tertentu, maka kita akan menjadikan norma-norma dalam kelompok ini sebagai ukuran perilaku kita.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Kesiapan pelakupengelola sebuah usaha menghadapi berbagai tantangan ditentukan sejauh mana mereka mau mengembangkan dirinya. Pada tahap awal, hal
ini akan sangat tergantung pada persepsi pandangan pengelola usaha terhadap usahanya itu sendiri. Jika pengelola usaha memaknai usahanya sebagai suatu
“bisnis” yang harus diperjuangkan dan dikelolanya sedemikian rupa, maka ia akan termotivasi untuk membangun dan mengembangkan usahanya dengan segala
kemampuannya untuk memperoleh out come yang paling optimal. Pandangan pengelola usaha terhadap usahabisnis yang dilakoninya berubah
seiring dengan perjalanan waktu, demikian pula halnya dengan pandangan pelaku usaha terhadap makna ‘kewirausahaan.’ Hal tersebut sangat dipengaruhi situasi
lingkungan sosial yang memungkinkan mereka bisa berinteraksi dengan berbagai kalangan dan memperoleh berbagai pengetahuan atau informasi dari interaksi
tersebut. Ilmu, pengetahuan dan informasi yang diperoleh cepat atau lambat akan merubah pandangan persepsi orang pada obyek tersebut, yang pada akhirnya
melahirkan motif dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan perubahan- perubahan.
Interaksi seseorang dengan orang lain atau lingkungannya adalah media dan sekaligus katalisator terjadinya perubahan sikap dan perilaku orang tersebut. Hal ini
sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Charles H. Cooley bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu membentuk konsep diri
seseorang. Bagi Cooley, interaksi berfungsi sebagai sarana sosialisasi. Menurut Jhon Dewey, semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi.
Dari proses komunikasi manusia berupaya mencari makna meaning suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami
makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku itu.
Penelitian ini ingin melihat bagaimana aktor subyek penelitian–pengelola perusahaan KemChicks, memaknai dunianya usahabisnis yang sedang
dilakoninya. Jiwa entrepreneur atau entrepreneurship aktor akan tumbuh dan berkembang, tergantung pada bagaimana ia memaknai situasi entrepreneurship
tersebut. Penelitian ini dimulai dengan asumsi bahwa ; seorang bila ia inginkan, bisa menjadi seorang wirausahawan entrepreneur atau menjadi apapun seperti yang
diinginkannya. Dengan siapa dan pada lingkungan mana dia berinteraksi, cepat atau lambat akan mempengaruhi pandangan atau pemikirannya. Pandangan atau
pemikirannya itulah pada akhirnya yang akan menentukan makna entrepreneur – entrepreneurship bagi dirinya dan yang akan menuntunnya untuk menjadi atau tidak
menjadi seorang entrepreneur yang sesungguhnya. Berdasarkan asumsi tersebut dapat dijelaskan bahwa keputusan seseorang untuk menjadi seorang wirausahawan
entrepreneur tidak muncul begitu saja, namun lahir dari suatu proses konstruksi yang sadar; dan ia bertindak menurut hasil rumusan situasi yang dibuatnya. Apakah
ia akan menjadikan dirinya seorang wirausahawan atau tidak selalu dipengaruhi oleh pemahaman serta makna yang ia berikan terhadap kewirausahaan.
Secara instrinsik, suatu obyek tidak memiliki makna apa-apa. Manusialah yang memberikan makna tertentu pada obyek yang dijumpainya. Memberikan makna
berarti memahamai apa arti sebuah simbol, kemudian bertindak atas dasar pemahaman itu. Makna adalah apa yang dipikirkan pelaku usaha ketika ia
memikirkan usahanya, apa yang dirasakan ketika ia membayangkan usahanya berkembang, apa yang dinginkannya ketika berkhayal menjadi orang kaya. Makna
berfungsi menjembatani pelaku usaha ketika ia berpikir, merasa dan menginginkan sesuatu, dari usahanya.
Pendekatan atau teori interaksi simbolik digunakan untuk mengkonstruksi dan menganalisis proses pemaknaan atau pendefinisian entrepreneurship oleh para
aktor. Kelebihan dari pendekatan interaksionisme simbolik ini adalah karena adanya pengakuan bahwa “manusia adalah mahkluk yang berpikir.” Artinya, perspektif ini
mengakui bahwa tidaklah mudah bagi siapapun merubah sikap dan perilakunya, hanya karena adanya satu atau dua stimulus, apalagi jika sikap dan perilaku yang
dimaksud telah menjadi kebiasaan atau budaya baginya. Keberadaan significant others maupun situasi entrepreneurship yang mendukung tidak serta merta merubah
perilaku seseorang, tetapi kedua hal tersebut akan diterjemahkan lebih dulu melalui proses berpikir. Sebelum mengambil keputusan, aktor berdialog berinteraksi
dengan diri pribadi self-interaction. Proses berpikir atau interaksi dengan diri-sendiri sesungguhnya adalah proses
merumuskan atau mendefinisikan situasi. Dalam proses tersebut, pelaku usaha tidak hanya dipengaruhi kedua faktor eksogen faktor luar diri di atas, akan tetapi dalam
diri pelaku usaha itu sendiri juga terdapat potensi yang sangat besar faktor indogen dan paling menentukan perubahan pada pelaku usaha tersebut. Faktor-faktor yang
dimaksud adalah a tujuan hidup, b perspektif, c situasi konteks, d pengalaman masa lalu yang terkait dengan obyek sosial.
Komunikasi dan interaksi di antara aktor pelaku usaha tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi selalu terjadi dalam suatu situasi, artinya interaksi mempunyai
lingkungan, apakah itu lingkungan politik, ekonomi, sosial atau budaya. Sebagaimana dijelaskan Charon 1998, manusia bertindak menurut hasil rumusan
situasi yang dilakukannya. Aktor memberikan respons kepada setiap sinyal cues yang dijumpai, menganalisisnya dalam definisi situasi, dan bertindak atas dasar
konstruksi definisi tersebut. Jadi definisi situasi merupakan proses eksplorasi untuk mengetahui segala opsi perilaku yang ada dalam situasi tertentu, serta tindakan apa
yang perlu diambil dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Secara singkat kerangka pemikiran dari penelitian ini sebagaimana dijelaskan
di atas disajikan dalam bentuk skema berikut ini, seperti tersaji pada Gambar 2. Gambar skema tersebut diadopsi dari model Charon 1998 yang disesuaikan dengan
tujuan penelitian.
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian “Interaksi Simbolik dan Terbentuknya Jiwa Kewirausahaan entrepreneurship”
Entrepreneurship
Interaksi dengan Diri Sendiri
self-interaction Interaksi dengan
Lingkungan Sosial Social- interaction
Definisi Situasi makna Entrepreneurship
Definisi Situasi Lingkungan
entrepreneurship
Definisi Situasi Diri dan
entrepreneurship
Keputusan Menjadi Entrepreneur
Entrepreneur Entrepreneurship
Definisi Situasi makna Diri sendiri self
tujuan motif
perspektif
pengalaman Definisi Situasi
makna Lingkungan Sosial society
norma, budaya
significant others
refference graup
IV. METODE PENELITIAN