Pemikiran George H. Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik

pengantar oleh Anselm Strauss, yang juga seorang interaksionis. Dalam ulasannya Strauss juga menyatakan bahwa Mead sesungguhnya tidak pernah menulis satu buku pun sepanjang hidupnya. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah Ia meninggal diambil dari artikel-artikelnya yang berjumlah lebih dari 80 judul Wallace dan Wolf, dalam Lesmana, 2001. George Herbert Blumer, seperti dikutip oleh Fine 1990, membedakan tiga pendekatan dalam psikologi sosial. Pertama, pendekatan yang menggunakan insting manusia dan ajaran evolusi Darwin. Kedua, pendekatan yang menitik beratkan refleksi seperti yang terdapat di dalam tulisan-tulisan para penganut psikolog behavioristik, antara lain Jhon Watson. Ketiga, sintesa dari kedua pendekatan yang menurut pengakuan Blumer didasarkan atas karya-karya gurunya, yaitu Mead. “Psikologi Darwin’” berpandangan bahwa emosi adalah keadaan psikologis, keadaan kesadaran individu, a state of consciousness, yang tidak dapat diformulasikan dalam bentuk sikap atau perilaku. Emosi secara instink sudah ada pada diri seseorang. Memang sikap adakalanya merefleksikan emosi seseorang, namun tanpa sikap dan perilaku yang mendukung, emosi tetap ada dalam diri seseorang, sebab emosi mencerminkan a state of consciousness. Dengan demikian psikologi sosial Darwin, menurut Mead, hampir identik dengan psikologi individu. Perilaku individu dipahami sebagai the inner state dari individu yang bersangkutan Fine,1990. Para penganut behavioristik mengoreksi psikologi Darwin dengan pendekatan perilaku. Pemahaman atas individu diyakini bersumber pada pemahaman terhadap perilaku atau tindakan serta stimuli lingkungan yang mendorong lahirnya perilaku tersebut. Jhon Watson mengatakan, “behavior is learned”, dan Ia mencoba megungkap hukum-hukum yang mengatur perilaku sebagai reaksi atas stimuli Hewitt, 1991. Psikologi sosial Mead, sebagai diakui sendiri oleh Mead, sebenarnya juga termasuk aliran behaviorisme, namun behaviorisme yang bersifat sosial. Aliran ketiga ini menekankan pentingnya pemahaman perilaku individu dalam konteks sosial. Ide sentral lain dari psikologi sosial Mead menyangkut realitas sosial yang dikatakan tidak pernah statis, tetapi mengalami perubahan terus menerus. Individu dan perilakunya senantiasa dalam proses “menjadi” becoming, tidak pernah dalam keadaan “jadi” become Hewit, 1991. Perbedaan pokok lain antara behaviorisme Watson dan behaviorisme Mead ialah pengakuan Mead tentang adanya komponen perilaku yang tidak kalah penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead minded behavior yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi oleh orang lain. Bahkan aktifitas mind dan juga self, kemudian mendapat fokus yang lebih khusus lagi dalam pemaparan Mead tentang teori interaksi simbolik Hewitt, 1991. Kedua buku Mead, Mind, self and Society dan George Herbert Mead on Social Psycology banyak mempengaruhi karya Blumer 1969 yang berjudul Symbolic Interactionism Perspective and Methode. Jika orang berbicara tentang teori interaksi simbolik, maka salah satu acuan utamanya adalah buku Blumer yang satu ini. Dalam buku tersebut Blummer memaparkan secara komprehensif teori interaksi simbolik, termasuk aspek metodologisnya Charon, 1998. Setelah Blumer, teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya Manford H. Khun teori Diri-Pribadi, Self Theory, Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon. Interaksi simbolik kemudian juga memberi inspirsasi bagi lahirnya perspektif-perspektif lain dalam sosiologi yang masih “sendirian”, seperti teori label, dramaturgi Ervin Goffman dan etnomethodologi Harold Garfinkel Charon, 1998. Setelah 1990 timbul upaya dari kaum interaksionis untuk mengintegrasikan teori interaksi simbolik dengan ajaran pasca modern. Teori pasca-modern menolak mitos obyektivitas dalam ilmu pengetahuan, pemisahan fakta dan nilai, upaya menemukan kebenaran sejati dan hukum yang mengatur realitas ekternal. Pasca- modern juga menolak apa yang disebut obdurate realitas eksternal yang tidak terbantahkan Lesmana, 2001. Fine 1990 secara tegas mengemukakan “Institution partly determine behavior,” bahwa perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh institusi tempat ia berada. Sedang Denzin 1992 berpendapat “ aparatus budaya” ikut mempengaruhi tindakan individu. Bahkan Gofman, menurut Fine 1990, akhirnya bergeser dari dari seorang interaksionis menjadi strukturalis ketika ia mengemukakan “structure underlies all interactions.” Charon 1998 percaya bahwa struktur yang dimaksud dalam pernyataan Goffman bukanlah “solid structure being handed down to us,” melainkan kualitas struktur yang ada pada proses interaksi sosial. Pendapat Goffman mungkin saja berlebihan oleh kaum interaksionis, namun pendapat interaksionis-awal bahwa individu bebas dalam menentukan segala tindakannya kiranya tidak lagi menjadi pandangan resmi teori interaksi simbolik.

2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri

Secara analitik, Mead membedakan diri pribadi antara “I” dan “Me” diterjemahkan: Aku dan Diriku. Perbedaan analitik ini sekaligus menunjukan bahwa diri-pribadi bisa dilihat sebagai suatu proses, disamping sebagai obyek. Sebagaimana diketahui suatu tindakan biasanya berawal ketika terjadi gangguan terhadap lingkungan eksternal individu. Terhadap gangguan itu, individu cendrung untuk secepatnya memberikan reaksi. Jika telepon tiba-tiba berdering, atau suatu suara keras di luar rumah, atau apa yang dikatakan oleh seseorang dinilai kurang jelas, ia tergerak untuk memberikan reaksi. Namun setelah reaksi diberikan, individu cendrung untuk mengevaluasi apa yang dilakukannya melalui minded-activity Lesmana, 2001 Menurut Hewitt 1991, bagian awal dari suatu tindakan individu seringkali belum begitu terorganisir, karena semata-mata lahir dari kebutuhan untuk secepatnya memberikan reaksi. Tindakannya tidak jarang bersifat spontan dan impulsif. Pada tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman terhadap diri sendiri, tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan. Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah, individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah ‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi reference group dijadikan acuannya. “Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan “Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial Lesmana, 2001. Maka diri-pribadi self sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku” tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri self- interaction. Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan. Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai “Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya terlalu berat. Pada saat itu, sang ibu bertindak sebagai “Diriku”; amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan. Dalam interaksi-pribadi yang dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus mengoreksi tindakan “Aku” Lesmana, 2001. Sebagai suatu proses sosial, self diri-pribadi mempunyai dua makna, pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,” communication with self, atau self-interaction. Kedua self itu sendiri lahir dari pengalaman sosial, pengalaman berinteraksi dengan orang lain, communication with