Interaksi dan Pembentukan Perilaku
penerimaannya haruslah dibina to establish acceptance. Pada akhirnya kegiatan dimotivasikan to motivate action.
Park dalam Effendy 2003 mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial psikologis dengan mana seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang
lain. Park menunjukkan bahwa dua orang atau lebih, dapat bertukar informasi selama berlangsungnya proses komunikasi, dimana masing-masingnya memberikan
makna berbeda pada informasi yang diterima. Makna pesan merupakan inti dari komunikasi. Proses komunikasi pada
intinya adalah proses penyampaian makna dalam bentuk pesan dengan menggunakan kode-kode tertentu. Pembicaraan, gambar atau lainnya hanyalah merupakan simbol
atau kode, sedangkan yang disampaikan adalah apa yang terkandung di dalam simbolgambar itu. Makna menjadi penting karena padanyalah ukuran suatu bahasa
berada. Mulyana, 2005. Pemberian makna merupakan proses yang aktif. Makna diciptakan dengan
kerjasama di antara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan pembaca, makna pesan dapat diilustrasikan sebagai lambang atau simbol komunikasi.
Karena pesan bersifat abstrak, dengan akal budinya manusia melahirkan sejumlah lambang komunikasi: mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan bahasa tulisan;
yang berfungsi untuk merubah pesan yang abstrak menjadi kongkritberwujud DeVito, 1997.
Lambang atau simbol digunakan untuk merujuk pada sebuah obyek. Obyek yang ditunjuk oleh lambang itu adalah apa yang dimaksud oleh kelompok sosial
penggunanya, melekat pada budaya setempat. Tidak harus ada hubungan yang penting antara obyek yang ditunjuk dengan lambang yang menunjuknya, sehingga
dapat dinyatakan bahwa lambang atau simbol komunikasi sebagai bentuk pesan yang bersifat sembarang.
Manusialah yang memberi makna terhadap lambang komunikasi yang digunakan. Kita tidak tahu mengapa hewan tunggangan berkaki empat diberi
lambang komunikasi ”kuda” dalam bahasa Indonesia atau ”horse” dalam bahasa Inggris. Sekali suatu lambang komunikasi telah memiliki makna, maka ia melekat
terhadapnya. Dengan demikian, kita dapat nyatakan bahwa makna adalah hubungan antara suatu obyek dengan lambangnya Littlejohn, 1996.
Menurut Dewey dalam Denzin 1992 manusia tidak akan bertindak sebelum memahami situasi, dan tindakannya selalu disesuaikannya dengan definisi situasi
yang dibuatnya. Karena situasi bisa berubah-rubah, kebenaranpun bersifat relatif. Kebenaran, bagi penganut pragmatisme, tidak pernah bersifat absolut, selalu
dikaitkan dengan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kebenaran suatu pemikiran atau makna sebuah pernyataan dipengaruhi oleh
konsekwensi praktis dari pemikiran dan pernyataan Hewit, 1991. Menurut William James dalam Denzin 1992 kebenaran suatu pemikiran harus bisa diuji dan
diverifikasi di lapangan. Suatu pemikiran bisa bermanfaat untuk sebuah situasi, namun tidak bermanfaat untuk situasi yang lainnya. Dengan kata lain James pun
percaya bahwa kebenaran itu bersifat relatif.
2.3 Interaksi Simbolik 2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik
Pemikiran filsafat pragmatisme banyak mempengaruhi pemikiran para teoritisi interaksi simbolik. Stephen W. Litlejhon 1996 dalam bukunya “theories
of human communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar teori interaksi simbolik adalah George Herbert Mead, Herbert Blumer, Manford Khun,
Kenneth Burke, dan Hugh Duncan. Interaksi simbolik adalah suatu perspektif sosiologis yang berakar pada
filsafat pragmatisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke- 20. Para penganutnya percaya bahwa perspektif ini mampu menjawab dan
menjelaskan pengalaman sehari-hari manusia serta setiap permasalahan yang dihadapinya Hewitt, 1991.
Interaksi simbolik adalah perspektif ilmiah untuk memahami kehidupan masyarakat dan perilaku manusia. Berdasarkan pandangan ini manusia sesungguhnya
adalah sosok yang aktif dan dinamis serta goal-oriented, bukan semata-mata
mahkluk yang pasif dan responsif, sosok yang tidak mudah dimanipulasi dan sukar diprediksi perilakunya Lesmana, 2001.
Cooley 1864 – 1929 melalui perangkat yang dinamakannya “sympathetic imagination,” menjelaskan bahwa seseorang diyakini dapat mengamati situasi atau
melihat permasalahan dari perspektif orang lain. Hal ini dilakukan dengan menempatkan diri pribadi self pada posisi orang lain. Konsep “sympathetic
imagination” dikemudian hari dieksplorasi oleh George Herbert Mead dan melalui sedikit modifikasi, diubah menjadi konsep “taking the role of the other” atau
mengambil peran orang lain, salah satu konsep penting dalam teori interaksi simbolik Hewitt, 1991.
William James 1842-1910 dalam Denzin, 1992 secara khusus mempelajari hubungan antara mind and body. Menurut James apa yang dilakukan manusia,
sebagian besar diyakini lahir dari kesadaran yang reflektif reflective consciousness. Bagi James, kesadaran merupakan tema utama yang harus dipelajari
oleh psikologi. Dua konsep lain yang dikemukakan oleh James adalah diri-pribadi self dan realita.
Diri-pribadi diakui sebagai pusat kesadaran manusia, terdiri atas “I” dan “Me” “Aku” dan “Diriku”, masing-masing mewakili subyek dan obyek individu.
Tiap manusia sesungguhnya memiliki banyak diri-pribadi: sebagai suami atau istri di rumah, sebagai pendidik di sekolah, sebagai anggota masyarakat dan lain-lain.
Konsep “Aku” dan “Diriku” kemudian dikembangkan oleh Mead dalam teorinya interaksi simbolik Denzin, 1992.
Jhon Dewey 1859 – 1952 yang konsepnya “meaning arises through communication”, adalah seorang filosof dan pendidik yang banyak menulis tentang
komunikasi. Menurut Dewey, semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, sehingga
tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia berupaya
mencari makna meaning suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku