Penggorengan dengan Metode Deep Frying

terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis, tetapi ada beberapa protein yang masih berikatan. Hidrolisis asam yang umum digunakan dalam analisis asam amino yaitu HCl 6 N yang menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan, tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain Nur et al. 1992.

2.6 Penggorengan dengan Metode Deep Frying

Pemanasan merupakan suatu perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan pangan yang bertujuan mengurangi populasi mikroorganisme atau membunuhnya yang ada di dalam bahan pangan. Perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme Tamrin dan Prayitno 2008. Deep frying merupakan salah satu sistem penggorengan dengan merendam seluruh bagian bahan yang digoreng di dalam minyak sebagai medium penghantar panas Stevenson et al. 1984. Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C Weiss 1982. Menurut Ketaren 1986, minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk asap, berarti minyak mengalami dekomposisi, sehingga menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak. Bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan menguap yang ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Bersamaan dengan itu, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis bahan yang digoreng. Selain itu, akan terjadi juga pelarutan sebagian komponen bahan dan terbentuk cita rasa akibat pemanasan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen minor lainnya Orthoefer 1989. Proses penggorengan memberi efek yang merugikan terhadap nilai gizi. Efek tersebut terjadi karena reaksi antara amino group dari asam amino esensial, yaitu lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam bahan pangan yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan asam amino arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard Susilo 2008. Pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi menyebabkan protein akan mengalami perubahan rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200 °C, residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik Suwandi 1990. Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan salah satunya penggorengan menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose. Perubahan struktural yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging Hurling et al. 1996. Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air. 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat