Analisis Asam Lemak dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan

(1)

1.1Latar Belakang

Hasil perairan Indonesia banyak dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat sebagai sumber gizi, baik hasil dari perairan laut, payau maupun perairan tawar. Ikan adalah salah satu hasil perairan yang sudah lazim dikonsumsi dan diketahui sebagai bahan pangan yang kaya protein. Salah satu jenis ikan perairan tawar yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan patin (Pangasius hypophthalmus).

Ikan patin merupakan salah satu komoditas utama perikanan budidaya. Produksinya dari tahun ke tahun meningkat dan pembudidayaannya juga sudah mulai dipraktikkan oleh masyarakat untuk dikembangkan. Produksi ikan patin meningkat drastis pada tahun 2008, yaitu sebanyak 102.010 ton, di mana pada tahun 2007 hanya 36.780 ton. Tahun 2010, volume produksi patin di Indonesia mencapai 147.890 ton (KKP 2011). Ikan yang termasuk dalam catfish ini memiliki rasa daging yang enak dan khas. Komposisi gizi yang dikandungnya cukup baik, daging ikan patin memiliki kandungan protein yang cukup tinggi.

Pemanfaatan ikan patin sebagai ikan konsumsi dapat diolah dengan berbagai cara, salah satunya melalui proses penggorengan. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging ikan. Beberapa studi menunjukkan proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat yang terdapat dalam ikan (Winarno 2008).

Asam lemak merupakan komponen rantai panjang hidrokarbon yang menyusun lipid. Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh manusia, antara lain linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3) yang digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural membran sel, serta mempunyai peranan penting dalam perkembangan otak. Beberapa keunggulan asam lemak omega 3 adalah dapat menyembuhkan aterosklerosis, mencegah kanker, diabetes dan memperkuat sistem kekebalan tubuh (Imre dan Sahgk 1997). Asam lemak linolenat memiliki


(2)

turunan EPA (Eikosapentaenoat) dan DHA (Dokosaheksaenoat) yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki beberapa manfaat, yakni dapat mencerdaskan otak, membantu masa pertumbuhan dan menurunkan kadar trigliserida (Leblanc et al. 2008).

Informasi mengenai pengaruh penggorengan terhadap komposisi asam lemak ikan patin masih sangat sedikit, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui pengaruh proses penggorengan tersebut. Pengaruh penggorengan terhadap jaringan daging ikan patin juga belum banyak dilakukan sehingga informasi yang didapatkan masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengamati jaringan daging ikan patin, baik yang masih segar maupun yang sudah melalui proses penggorengan.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), kandungan asam lemak dan morfologi jaringan daging fillet ikan patin akibat penggorengan.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting. Ikan ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya, di antaranya sebagai ikan yang rakus terhadap makanan, dalam usia 6 bulan saja ikan patin sudah bisa mencapai panjang 35-40 cm. Tempat pemeliharaan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhenda 2002). Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut.

Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus

Gambar 1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

(Sumber: Anonima 2011)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm, ukuran tubuh ini tergolong besar bagi ikan jenis catfish. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 1997).


(4)

Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi patil bergerigi di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip punggung berjumlah enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak berukuran kecil sekali yang disebut adipose fin. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya yang panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lunak. Sirip perutnya memiliki 8-9 jari-jari lunak (Khairuman dan Suhenda 2002). Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil.

Sifat-sifat biologis yang dimiliki ikan patin yaitu nokturnal atau melakukan aktivitas pada malam hari seperti halnya catfish lainnya, dan sesekali

muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen langsung dari udara (Susanto dan Amri 1997). Ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman

(pH) air, yaitu dari perairan yang agak asam (pH 5) sampai perairan yang basa (pH 9). Kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah berkisar 3-6 ppm, karbondioksida yang ditolerir berkisar 9-20 ppm, dengan alkalinitas 80-250 ppm. Suhu air media pemeliharaan yang optimal berada dalam kisaran 28-30 °C (Khairuman dan Suhenda 2002).

2.2 Komposisi Kimia Ikan Patin

Tubuh ikan patin didominasi oleh daging, yaitu mencapai 49%, sedangkan komposisi lainnya yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan dan gelembung renang. Komposisi kimia ikan patin segar menurut Maghfiroh (2000) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

Komposisi Kadar (%)

Air 82,22

Abu 0,74

Protein 14,53

Lemak Karbohidrat

1,09 1,43 2.3 Sistem Urat Daging

Bagian badan teleost merupakan sistem urat daging terbesar. Urat daging berfungsi pada seluruh pergerakan tubuh, mengatur pergerakan elemen anggota tubuh, di antaranya pemompaan darah, gerakan peristaltik organ viscera dan


(5)

struktur yang berhubungan dengannya (Grizzle dan Rogers 1976). Ada tiga macam jaringan urat daging, yaitu urat daging kerangka, urat daging licin dan urat daging jantung. Urat daging licin memiliki serabut yang lebih sederhana dan kecil dibandingkan dengan serabut otot lainnya.

Gambar 2 Urat daging ikan trout

(Sumber : Anonimb 2011)

Otot polos terdiri atas sel urat daging mononuclear, sedangkan kedua urat daging lainnya adalah urat daging berinti banyak (multinukleat) yang diikat oleh tenunan ikat (endomisium) untuk membentuk berkas urat daging (bundle). Urat daging kerangka atau bergaris terdapat pada jaringan yang dapat diatur (voluntary control). Serabut multinukleat mengandung myofibril yang tersebar rata di seluruh penampang melintang, terpusat di tengah atau terdapat sepanjang dinding serabut (Harder 1975). Myofibril terdiri dari ratusan myofilamen yang terbagi menjadi elemen tipis, aktin dan myosin.

2.4 Lipid

Lipid adalah senyawa organik berminyak atau berlemak yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut nonpolar, misalnya kloroform atau eter. Jenis lipid yang paling banyak adalah lemak atau triasilgliserol yang merupakan bahan bakar utama bagi hampir semua organisme. Lipid itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu : 1) lipid netral, 2) fosfolipid, 3) spingolipid dan 4) glikolipid. Semua jenis lipid ini banyak terdapat di alam (Suhardi et al. 2007).

Lipid berasal dari bahasa Yunani, lipos yang berarti lemak yang merupakan segolongan besar senyawa yang tidak larut air yang terdapat di alam.


(6)

Lipid berperan penting sebagai 1) komponen struktural membran; 2) lapisan pada beberapa jasad; 3) energi cadangan; 4) komponen permukaan sel yang berperan dalam proses interaksi antara sel dengan senyawa kimia di luar sel, misalnya dalam proses kekebalan jaringan dan 5) sebagai komponen dalam proses pengangkutan melalui membran (Grosch 1999).

Kelompok-kelompok lipid dapat dibedakan berdasarkan struktur kimia tertentu. Kelompok-kelompok lipid tersebut (Suhardi et al. 2007), yaitu:

1) Kelompok trigliserida yaitu lemak, minyak dan asam lemak 2) Kelompok turunan asam lemak

3) Fosfolipida dan serebrosida 4) Sterol-sterol dan steroida 5) Karotenoida

6) Kelompok lipida lain

Lemak didefinisikan sebagai komponen makanan yang tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik (Pomeranz dan Meloan 2002). Lemak ini merupakan sumber energi paling tinggi yang menghasilkan 9 kkal untuk tiap gramnya, yaitu 2,5 kali energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama (Almatsier 2000).

Suatu molekul lemak tersusun dari satu hingga tiga asam lemak dan satu gliserol. Gliserol adalah alkohol trihidrat, yaitu mempunyai tiga gugus hidroksil (Gaman dan Sherrington 1992). Jumlah asam lemak yang terdapat pada gugus gliserol menyebabkan adanya pembagian molekul lemak menjadi monogliserida, digliserida dan trigliserida. Struktur lemak berdasarkan jumlah asam lemak yang terdapat pada gugus gliserol ditunjukkan pada Gambar 3.

Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang mempunyai atom karbon 4-24, memiliki gugus karboksil tunggal dan ujung hidrokarbon nonpolar yang panjang menyebabkan hampir semua lipid bersifat tidak larut dalam air dan tampak berminyak atau berlemak (Davenport dan Johnson 1971). Penamaan asam lemak berdasarkan pada jumlah atom karbon dan posisi ikatan tak jenuh dari gugus karboksilnya (Lobb 1992).


(7)

HO-CH CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7C(O)O CH2 HO CH HO CH CH3(CH2)14C(O)O CH CH3(CH2)14C(O)O CH2

(a) monogliserida (b) digliserida

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7C(O)O CH2 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7C(O)O CH CH3(CH2)14C(O)O CH2

(c) trigliserida

Gambar 3 Struktur kimia lemak berdasarkan jumlah gliserida

(Sumber: Tambun 2006)

Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA) dan asam lemak tak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak jenuh jenuh memiliki titik cair lebih tinggi daripada asam lemak tak jenuh dan merupakan dasar dalam menentukan sifat fisik lemak dan minyak. Lemak yang tersusun oleh asam lemak tak jenuh akan bersifat cair pada suhu kamar, sedangkan lemak yang tersusun oleh asam lemak jenuh akan berbentuk padat. Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA) (Muchtadi et al. 1993). Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan rangkapnya, semakin besar kecenderungan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berikut ini

merupakan berbagai jenis asam lemak tak jenuh (O’Keefe et al. 2002): 1 Asam lemak n-3 (Omega 3)

Bentuk paling umum dari omega 3 adalah asam eikosapentaenoat (EPA), asam dokosaheksaenoat (DHA) dan asam alpha-linolenat, yang membantu membentuk EPA dan DHA. Omega 3 dapat dihasilkan dari minyak ikan, terdiri atas rantai panjang dari asam linolenat.

a) Asam α-linolenat (18:3n-3)

Asam lemak ini dihasilkan di dalam tubuh tumbuhan oleh desaturasi Δ1β dan Δ15 asam oleat. Bersama asam oleat, asam α-linolenat menggantikan satu dari


(8)

dua produk PUFA primer biosintesis asam lemak. Asam lemak ini terdapat pada daun tumbuhan dan komponen kecil dari minyak biji.

b)Asam eikosapentaenoat (20:5n-3)

Asam eikosapentaenoat (EPA) dapat dihasilkan oleh alga laut dan pada hewan melalui desaturasi atau elongasi α-linolenat. Eikosapentaenoat adalah produk primer asam lemak minyak ikan (± 20-25% berat) walaupun tidak dihasilkan oleh ikan.

c) Asam dokosapentaenoat (22:5n-3)

Asam dokosapentaenoat merupakan elongasi hasil EPA dan muncul di banyak lipid laut. Asam DPA dapat diubah menjadi DHA melalui tiga langkah

melibatkan desaturasi Δ6 pada hewan.

d)Asam dokosaheksaenoat (22:6n-3)

Asam dokosaheksaenoat dihasilkan oleh alga laut dan komponen primer minyak ikan (± 8-20% berat). Produksi DHA pada hewan berasal dari asam

linolenat terjadi melalui proses desaturasi atau elongasi α-linolenat menjadi 24:5n-3. Asam lemak tak jenuh rantai yang sangat panjang ini didesaturasi oleh

desaturasi Δ6 (kemungkinan enzim desaturasi Δ6) dan menghasilkan asam lemak

lewat satu siklus -oksidasi membentuk DHA. 2 Asam lemak n-6 (Omega 6)

Omega 6 umumnya ditemukan pada tanaman. Berikut merupakan beberapa jenis asam lemak omega 6:

a) Asam linoleat (18:2n-6)

Asam linoleat dan α-linolenat adalah prekursor dalam sintesis PUFA. Asam linoleat diproduksi dari tanaman dan secara khusus banyak dikandung pada seed oil. Walaupun alam memproduksi asam linoleat setara α-linolenat, namun dapat ditemukan beberapa cadangan makanan.

b)Asam γ-linolenat (18:3n-6)

Asam -linolenat (GLA) diproduksi pada hewan dan tumbuhan rendah

melalui desaturasi Δ6 asam linoleat. Asam linoleat pada hewan didesaturasi oleh Δ6 desaturase untuk menghasilkan asam -linolenat sebagai produk intermediet dalam produksi asam arakhidonat.


(9)

c) Dihomo-asam-γ-linolenat (20:3n-6)

Elongasi produk asam linolenat, dihomo- -linolenat (DGLA) adalah komponen terkecil fosfolipid hewan. Dihomo- -linolenat berperan sebagai prekursor pembentukan asam lemak esensial asam arakhidonat.

d)Asam arakhidonat

Asam arakhidonat merupakan hasil desaturasi dan elongasi asam linoleat pada hewan. Asam arakhidonat diproduksi pada alga laut. Asam arakhidonat merupakan asam lemak esensial sebagai prekursor untuk eikosanoid.

e) Asam dokosatetraenoat (22:4n-6)

Asam dokosatetraenoat merupakan hasil elongasi langsung asam arakhidonat dan terdapat sedikit pada jaringan hewan.

3 Asam lemak n-9 (Omega 9)

Asam lemak omega 9 juga tergolong ke dalam jenis asam lemak non-esensial yaitu asam lemak yang dapat disintesa oleh tubuh. Asam oleat merupakan omega 9 yang tergolong asam lemak tak jenuh tunggal yang paling penting. a) Asam oleat (18:1n-9)

Asam oleat merupakan produk desaturasi Δ9 asam stearat dan diproduksi

pada tumbuhan, hewan dan bakteri. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA. b)Asam erukat (22:1n-9)

Asam erukat adalah asam lemak tak jenuh tunggal rantai panjang ditemukan dalam tumbuhan, terutama dalam rapeseed. Asam erukat merupakan produk elongasi asam oleat.

Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh. Asam lemak esensial digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural membran sel dan untuk membuat bahan-bahan seperti hormon yang disebut eikosanoid. Eikosanoid membantu mengatur tekanan darah, proses pembekuan darah, lemak dalam darah dan respon imun terhadap luka dan infeksi (Thoha 2004). Salah satu contoh asam lemak tak jenuh adalah omega-3.

Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pada atom C urutan ke-3 jika dihitung dari gugus C (metil). Asam lemak yang merupakan kelompok omega-γ adalah asam α-linolenat (18:3; ALA), asam


(10)

dokosaheksaenoat (22:6; DHA), dan asam (20:5; EPA). Struktur kimia EPA dan DHA dapat dilihat pada Gambar 4.

Asam linolenat (18:3) merupakan asam lemak esensial, karena dibutuhkan tubuh namun tubuh tidak dapat mensintesisnya. Turunan dari asam linolenat adalah EPA dan DHA. Ikan dapat mengubah asam linolenat menjadi EPA dan DHA, namun perubahan ini terjadi tidak efisien pada manusia (Almatsier 2000). EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks cerebral otak dan pertumbuhan organ lainnya (Ackman 1994). EPA berperan dalam mencegah penyakit degeneratif sejak janin dan pada saat dewasa. Pada saat janin dalam kandungan, EPA sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel pembuluh darah dan jantung. EPA diperlukan dalam melancarkan pembuluh darah dan pengatur sirkulasi pada jantung pada saat dewasa (Muchtadi et al. 1993).

(a) EPA (b) DHA

Gambar 4 Struktur EPA dan DHA

(Sumber: Visentainer et al. 2005)

Asam lemak esensial yang terdapat dalam tubuh sebagai fosfolipid mempunyai fungsi (Muchtadi et al. 1993) sebagai berikut:

1 Memelihara integritas dan fungsi membran seluler 2 Mengatur metabolisme kolesterol

3 Merupakan prekursor dari senyawa yang memilki fungsi pengatur fisiologis yaitu prostaglandin, thromboksan, prostasiklin

4 Dibutuhkan untuk aksi piridoksin (Vitamin B6) dan asam pantotenat 5 Dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi.


(11)

2.5 Kromatografi Gas (Gas Chromatography)

Kromatografi gas merupakan teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh James dan Martin pada tahun 1952, teknik ini merupakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif yang cepat untuk menganalisis komponen lipida volatil misalnya hidrokarbon, fatty acid, ester dan sterol. Penggunaan kromatografi dibedakan antara dua metode. Pertama, kromatografi gas digunakan sebagai alat untuk melakukan pemisahan. Metode ini memerlukan pengubahan senyawa sampel menjadi senyawa volatil atau senyawa yang dapat diderivatisasi untuk menghasilkan senyawa volatil. Kedua, kromatografi gas sebagai pelengkap untuk hasil analisis yang sempurna, dalam hal ini waktu dan volume retensi digunakan untuk identifikasi senyawa, luas dan bobot peak sebagai informasi kuantitatifnya (Skoog et al. 1998 dalam Renata 2009).

Asam lemak yang terkandung dalam suatu bahan pangan dapat ditentukan menggunakan alat yang disebut Gas Chromatography (GC). Kromatografi gas adalah alat yang digunakan untuk memisahkan senyawa atsiri dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam. Bila fase diam berupa zat padat, maka disebut kromatografi gas padat (KGP). Bila fase diam berupa zat cair, maka disebut kromatografi gas cair (KGC) (McNair dan Bonelli 1988).

Penerapan kromatografi gas pada bidang industri antara lain untuk obat-obatan dan farmasi, lingkungan hidup, industri minyak, kimia klinik, pestisida dan residunya. Di bidang pangan, kromatografi gas digunakan untuk menetapkan kadar antioksidan dan bahan pengawet makanan serta untuk menganalisis sari buah, keju, aroma makanan, minyak, produk susu dan lain-lain (Fardiaz 1989).

2.6 Penggorengan

Penyiapan makanan dalam kehidupan sehari-hari umumnya menggunakan proses pengolahan panas. Proses pengolahan makanan dapat meningkatkan daya cerna dan penampakan, memperoleh flavor dan merusak mikroorganisme dalam bahan pangan (Azizah et al. 2009). Pengolahan dengan energi panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan. Salah satu proses pengolahan dengan energi panas yang biasa digunakan untuk mengolah hasil perikanan adalah penggorengan.


(12)

Deep frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang banyak sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng tersebut (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C. Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk asap, hal ini berarti minyak telah mengalami dekomposisi, sehingga menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak (Ketaren 1986).

Bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan menguap yang ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Bersamaan dengan itu, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis bahan yang digoreng. Selain itu, akan terjadi juga pelarutan sebagian komponen bahan dan terbentuk cita rasa akibat pemanasan protein, karbohidrat, lemak dan komponen minor lainnya (Orthoefer 1989).

Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan (salah satunya penggorengan) menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Perubahan struktural yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.


(13)

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011. Tempat-tempat yang digunakan adalah Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Histopatologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium MIPA Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ikan patin (Pangasius hypophthalmus), minyak goreng, es, air, plastik tahan panas, H2SO4,

NaOH 40%, larutan NaOH 0,5 N dalam methanol, H3BO3, Na2SO4 anhidrat,

indikator (cairan methyl red dan brom cresol green), HCl 6 N, sarung tangan, larutan standar internal asam lemak, akuades, n-heksan, metanol, larutan NaCl jenuh, larutan BF3, K2SO4, parafin, kain kasa, pewarna hematoksilin-eosin,

alkohol, xylol, larutan Bouin’s.

Alat-alat yang digunakan adalah deep fryer, pisau, mikroskop cahaya Micros Austria MC300, kamera Kodak M863, timbangan digital, gelas ukur, gelas piala, oven, cawan, desikator, erlenmeyer, labu lemak, botol film, mikrotom, kjeltab, tabung soxhlet, pipet, kompor, tanur pengabuan, pisau, penggaris, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldahl, pemanas, destilator, waterbath, buret, mortar, kertas saring, syringe 10 µL, pipet mikro, tabung bertutup teflon dan perangkat kromatografi gas (gas chromatography) Shimadzu GC 2010 Plus. 3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke lapangan, selanjutnya sampel yang digunakan diukur morfometrik dan rendemennya. Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat, analisis asam lemak dan pengamatan jaringan daging ikan patin, serta analisis asam lemak pada minyak goreng yang digunakan. Diagram alir metode penelitian disajikan pada Gambar 5.


(14)

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian 3.3.1 Persiapan contoh

Ikan patin diperoleh dari kolam budidaya jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Selanjutnya ikan patin dibawa ke laboratorium untuk penelitian dengan menggunakan plastik. Ikan dalam keadaan hidup disimpan dalam wadah berisi es dan air untuk mempertahankan kesegarannya lalu dicuci dengan air bersih. Ikan patin yang sudah bersih kemudian diukur morfometriknya dan dihitung rendemen. Rendemen terdiri atas daging, kulit, tulang, kepala dan jeroan. Morfometrik diukur dengan penggaris 30 cm dan rendemen dihitung dengan menggunakan timbangan digital.

Bagian daging yang diambil adalah fillet daging putih, yang selanjutnya melalui proses penggorengan menjadi berwarna coklat keemasan. Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia. Bahan baku daging

1 Analisis proksimat 2 Pengamatan jaringan 3 Analisis asam lemak Ikan Patin

Penentuan ukuran dan bobot

Penyiangan

Pemfilletan daging

Penggorengan (suhu 190 °C, 5 menit)

Daging ikan patin segar

Daging ikan patin goreng

1 Penghitungan rendemen 2 Analisis proksimat 3 Pengamatan jaringan 4 Analisis asam lemak


(15)

patin segar dan goreng kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke lemari pendingin untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu. 3.3.2 Penggorengan

Daging fillet ikan patin digoreng dalam minyak goreng (digunakan minyak sayur) sebanyak 3 L dengan suhu 190 °C selama ± 5 menit (suhu dan waktu disetting langsung pada alat penggorengan). Penggorengan dilakukan menggunakan deep fryer. Setelah proses penggorengan selesai, ikan yang telah digoreng ditiriskan menggunakan saringan.

3.3.3 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentase masing-masing bobot bagian tubuh ikan patin dari bobot awal. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) =

( ) x 100% 3.3.4 Analisis Proksimat

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan.

a. Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama 15 menit dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1 gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin selama 30 menit, kemudian ditimbang.

Kadar air dihitung dengan rumus berikut : % kadar air = −

− x 100% Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)


(16)

b. Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

Rumus yang digunakan untuk penghitungan kadar abu adalah: % Kadar abu = −

− x 100% Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) c. Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel yang digunakan (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

% Kadar lemak =W3−W2

W1 × 100%

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)


(17)

d. Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein adalah menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom

cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = � − � 0,1 �� 14 x 100% % Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25) 3.3.5 Analisis asam lemak (AOAC 1999)

Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. Diagram alir analisis asam lemak disajikan pada Gambar 6. Gas chromatography (GC) memiliki prinsip kerja pemisahan antara gas dan lapisan tipis cairan berdasarkan perbedaan jenis bahan (Fardiaz 1989). Hasil analisis akan terekam dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan


(18)

Gambar 6 Diagram alir analisis asam lemak Contoh lemak

Preparasi contoh (hidrolisis dan esterifikasi)

Penimbangan 20-30 mg contoh lemak

Pemasukan dalam tabung reaksi ulir

Penambahan 1 ml NaOH 0,5 N dalam metanol

Pemanasan menggunakan waterbath pada

suhu 80 ˚C selama β0 menit

Kromatogram asam lemak

Penambahan 2 ml BF3 20% dan

5 mg/ml standar internal

Pemanasan menggunakan waterbath pada

suhu 80 ˚C selama β0 menit

Penambahan 2 ml NaCl jenuh

Penambahan 1 ml Hexan

Pengambilan 1 μl dan penginjekkan ke Gas Chromatograpy


(19)

melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. Sebelum melakukan injeksi metil ester, terlebih dahulu lemak diekstraksi dari bahan lalu dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat.

a) Tahap ekstraksi

Lemak diperoleh dengan metode Soxhlet. Pada tahap ini diperoleh lemak dalam bentuk minyak. Kemudian,dari sampel tersebut ditimbang lemak sebanyak 0,02-0,03 g untuk dilanjutkan pada tahap metilasi.

b) Pembentukan metil ester (metilasi)

Tahap metilasi dimaksudkan untuk membentuk senyawa turunan dari asam lemak menjadi metil esternya. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas.

Metilasi dilakukan dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan pereaksi berturut-turut NaOH-metanol 0,5 N, BF3 dan n-heksana. Sebanyak

0,02 g minyak dari sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml NaOH-metanol 0,5 N lalu dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit pada suhu 80 oC. Larutan kemudian didinginkan. Sebanyak 5 ml BF3 ditambahkan

ke dalam tabung lalu tabung dipanaskan kembali pada waterbath dengan suhu 80 oC selama 20 menit dan didinginkan. Kemudian ditambahkan 2 ml NaCl jenuh dan dikocok. Selanjutnya, ditambahkan 5 ml heksana, kemudian dikocok dengan baik. Larutan heksana di bagian atas larutan dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 1 μl sampel lemak diinjeksikan ke dalam gas chromatography. Asam lemak yang ada dalam metil ester akan diidentifikasi oleh flame ionization detector (FID) atau detektor ionisasi nyala dan respon yang ada akan tercatat melalui kromatogram (peak).

c) Identifikasi asam lemak

Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alat kromatografi gas dengan kondisi sebagai berikut : jenis alat kromatografi gas yang digunakan adalah Shimadzu GC 2010 Plus (Gambar 7), gas yang digunakan sebagai fase bergerak adalah gas nitrogen dengan laju alir 30 mL/menit dan sebagai gas pembakar adalah hidrogen dan oksigen, kolom yang digunakan adalah capilary column merk Quadrex dengan diameter dalam 0,25 mm.


(20)

Analisis kuantitatif asam lemak dihitung dengan rumus :

Asam lemak (%) = 100 x 100%

(a) (b)

Gambar 7 Kromatografi gas (a) dan rekorder (b) Kondisi alat GC pada saat analisis:

a) Kolom : Cyanopropil methyl sil (capilary column) b) Dimensi kolom : P = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm, 0,25 µm

film Tickness c) Laju alir N2 : 30 mL/menit

d) Laju alir H2 : 40 mL/menit

e) Laju alir udara : 400 mL/menit f) Suhu injektor : 220 °C

g) Suhu detektor : 240 °C h) Suhu terprogram : 125-225 °C i) Inject volume : 1 µL

3.3.6 Pengamatan mikroskopik jaringan daging ikan patin

Pengamatan jaringan daging fillet ikan patin terdiri atas tahap pembuatan preparat dan pemeriksaan preparat. Bagian daging yang diambil adalah daging di dekat titik tengah ikan patin yang sudah difillet.

3.3.6.1 Pembuatan preparat

Pembuatan preparat histologi terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan.


(21)

(1) Fiksasi jaringan dan parafinasi a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan, sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup, mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan

fiksatif yang digunakan adalah larutan Bouin’s yang memiliki komposisi asam

pikrat, formalin dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan. b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama, jaringan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70% dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam. Selanjutnya organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 2 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing


(22)

selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

d) Impregnasi

Impregnasi adalah tahap penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Titik cair parafin yaitu 54-58 °C. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel, sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

f) Blocking

Jaringan yang telah direndam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam.

g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.


(23)

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikron. Teknik pemotongan parafin adalah sebagai berikut.

a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom yang dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikrometer. c) Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu balok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengadung preparat jaringan. d) Hasil irisan diambil dengan jarum, lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang.

e) Setelah pipa parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, yaitu albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering.

(3) Pewarnaan jaringan a) Dewaxing

Sebelum dilakukan dewaxing, gelas objek yang berisi jaringan diletakkan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang yang ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih.


(24)

b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas objek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100 % dalam wadah perendaman seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

c) Pewarnaan hematoksilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama tujuh menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama tujuh menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama tiga menit dan dicuci dengan akuades. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90% dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya. e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent yaitu enthellan. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthellan yang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam, kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.3.6.2 Pemeriksaan preparat

Preparat jaringan diamati di bawah mikroskop Micros Austria MC300 dengan perbesaran mulai dari 200x hingga 400x sesuai dengan kejelasan objek. Setelah itu, didokumentasikan menggunakan kamera Kodak M863 dan hasil yang diperoleh dibandingkan dengan literatur.


(25)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini berwarna putih keperakan dengan sedikit warna merah di sisi sirip-siripnya. Pengukuran morfometrik dilakukan untuk mengetahui panjang, tinggi dan bobot ikan patin. Hasil pengukuran morfometrik pada 30 sampel ikan patin menunjukkan bahwa sampel patin memiliki panjang rata-rata 35,55 ± 2,83 cm, tinggi 4,85 ± 0,74 cm dan bobot sebesar 397,13 ± 36,06 gram (Tabel 2). Data hasil pengukuran morfometrik ikan patin disajikan pada Lampiran 1. Ikan patin yang digunakan berumur 5-6 bulan, dengan panjang rata-rata 35,55 cm. Hasil ini sejalan dengan Khairuman 2002 dalam Tababaka 2004 yang menyatakan bahwa panjang tubuh ikan patin saat usia 6 bulan sekitar 35-40 cm dan bisa mencapai 120 cm.

Tabel 2 Ukuran dan bobot ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

No. Parameter Satuan Nilai ± SD

1 Panjang cm 35,55 ± 2,83

2 Tinggi cm 4,85 ± 0,74

3 Bobot gram 397,13 ± 36,06

Keterangan : digunakan 30 sampel ikan patin

Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol yaitu makanan dan suhu (Effendi 1997).

4.2 Rendemen Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Rendemen merupakan bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan (biasanya dinyatakan dalam persen). Tubuh ikan patin terdiri atas beberapa bagian penting yaitu daging, kulit dan jeroan, sedangkan bagian lain-lain adalah kepala dan tulang. Rendemen masing-masing bagian tubuh ikan patin disajikan pada Gambar 8.


(26)

Gambar 8 Rendemen ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan patin adalah bagian lain selain daging yaitu sebesar 43,28% yang merupakan bagian kepala dan tulang. Umumnya bagian kepala dan tulang ikan patin belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kepala ikan patin dapat diolah menjadi produk lanjutan, contohnya kerupuk, sedangkan tulang ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium, untuk pembuatan tepung ikan dan pembuatan pupuk karena mengandung kalsium tinggi dan kolagen.

Daging ikan patin berbentuk fillet (Gambar 9) merupakan bagian yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini, dengan rendemen sebesar 38,56%. Bagian kulit dan jeroan ikan patin memiliki rendemen sebesar 3,73% dan 14,43%. Kulit dan jeroan ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk penerapan proses produksi tanpa limbah (zero waste), kulit untuk pembuatan gelatin, sedangkan jeroan dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi pupuk. Gelatin adalah bahan hidrogel dari polimer alami yang diekstrak dari tulang dan kulit berbagai jenis binatang (Maddu et al. 2006). Haq (2005) telah melakukan pembuatan gelatin dengan memanfaatkan kulit ikan nila dan kulit ikan tuna.

Gambar 9 Daging fillet ikan patin segar (a) dan goreng (b)

38.56%

3.73% 14.47%

43.28%

Daging

Kulit

Jeroan

Lain-lain


(27)

4.3 Komposisi Kimia Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Hasil analisis kimia memberikan informasi tentang kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat ikan patin yang digunakan pada penelitian ini (Tabel 3). Perhitungan lengkap proksimat ikan patin dicantumkan pada Lampiran 2.

Tabel 3 Hasil analisis proksimat ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Komposisi

Patin segar (%) Patin goreng (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk)

Air 82,27 - 63,56 -

Abu 0,77 4,34 0,91 2,50

Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14

Protein 15,07 84,99 19,45 53,37

Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98

4.3.1 Kadar air

Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam daging ikan patin segar dan goreng. Kadar air pada daging patin segar yaitu 82,27% dan daging patin goreng 63,56% (Gambar 10). Terjadi penurunan kadar air pada daging patin goreng dengan perubahan relatif sebesar 22,74%.

Gambar 10 Histogram kadar air daging ikan patin

Daging patin segar memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging patin goreng. Penurunan kadar air tersebut disebabkan oleh terjadinya penguapan air pada daging ikan patin saat digoreng. Penggorengan yang terjadi pada suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan sebagian

82.27 63.56 0 20 40 60 80 100

Patin segar Patin goreng

K a d a r a ir (%)


(28)

air dalam bahan pangan (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Saat daging ikan digoreng, terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke daging melalui media pindah panas, yaitu minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, daging patin akan melepaskan uap air yang dikandungnya.

Domiszewski et al. (2011), yang melakukan penelitian mengenai pengaruh pemanasan terhadap asam lemak ikan patin, memperoleh hasil kadar air daging patin segar dan goreng sebesar 81,57% dan 63,28%. Penggorengan yang dilakukannya pada suhu 180 ˚C selama 6 menit, memberikan hasil yang relatif sama dengan penelitian ini yang menggunakan suhu 190 ˚C selama 5 menit. 4.3.2 Kadar abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Hasil analisis kadar abu pada daging patin segar adalah sebesar 0,77% dan daging patin goreng sebesar 0,91% (Gambar 11). Data menunjukkan terjadinya perubahan proporsional kadar abu pada daging patin goreng, yaitu meningkat sebesar 18,18%.

Gambar 11 Histogram kadar abu daging ikan patin

Setiap bahan pangan memiliki kadar abu yang berbeda-beda, yang menunjukkan mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut berbeda-beda. Kadar abu ikan patin relatif berbeda dengan kadar abu catfish lainnya, mengacu pada Nurilmala et al. (2009) yang melaporkan bahwa kadar abu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 1,47%. Variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antarindividu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh

0.77

0.91

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Patin segar Patin goreng

K

a

d

a

r

a

b

u


(29)

satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

4.3.3 Kadar protein

Hasil analisis proksimat untuk kadar protein menunjukkan bahwa ikan patin termasuk ikan berprotein tinggi. Kadar protein daging patin segar dan daging patin goreng adalah 15,07% dan 19,45% (Gambar 12). Ikan dikategorikan sebagai ikan berprotein tinggi jika ikan tersebut memiliki kandungan protein sebesar 15-20% (Junianto 2003).

Gambar 12 Histogram kadar protein daging ikan patin

Kadar protein daging patin setelah digoreng meningkat secara relatif sebesar 29,06%. Peningkatan kadar protein terjadi secara proporsional setelah penggorengan diakibatkan oleh pengurangan kadar air (Syarief dan Halid 1993). Daging patin yang telah melalui proses penggorengan memiliki kandungan air yang lebih kecil dibandingkan dengan daging patin segar, sehingga persentasi kadar protein dalam daging meningkat secara proporsional. Berdasarkan hasil penelitian Nurilmala et al. (2009), kadar protein jenis catfish lainnya yaitu lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 17,71%. Kedua jenis ikan ini merupakan ikan berprotein tinggi dengan kadar protein sebesar 15-20%.

4.3.4 Kadar lemak

Analisis kadar lemak yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan patin merupakan ikan berlemak rendah. Daging patin segar memiliki kadar lemak sebesar 0,36% dan daging patin goreng sebesar 7,34% (Gambar 13). Ikan dengan kandungan lemak <5% termasuk ikan berlemak rendah (Junianto 2003).

15.07

19.45

0 10 20 30

Patin segar Patin goreng

K

ad

ar

p

ro

tei

n

(%


(30)

Gambar 13 Histogram kadar lemak daging ikan patin

Peningkatan kadar lemak daging patin goreng yang sangat signifikan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan sebagai media pindah panas pada saat menggoreng ikan, terserap oleh daging patin sehingga kandungan lemak yang terdapat pada minyak goreng juga ikut terserap. Bahan pangan akan menyerap sejumlah minyak selama penggorengan. Penyerapan yang berlebihan dapat dikurangi dengan meniriskan bahan pangan yang baru digoreng (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2000).

Berbeda dengan hasil penelitian ini, Domiszewski et al. (2011) melaporkan bahwa kadar lemak daging patin segar adalah 2,23% dan daging patin goreng 9,65%. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antara individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

4.3.5 Kadar karbohidrat

Analisis kadar karbohidrat daging ikan patin dilakukan dengan metode by difference. Kadar karbohidrat yang terkandung pada daging patin segar adalah sebesar 1,53% dan daging patin goreng sebesar 8,74% (Gambar 14). Okuzumi dan Fuzii (2000) menyatakan bahwa kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan sebesar 1% untuk ikan, 1% untuk krustasea dan 1-8% untuk kekerangan.

0.36

7.34

0 2 4 6 8

Patin segar Patin goreng

K

a

d

a

r

le

ma

k


(31)

Gambar 14 Histogram kadar karbohidrat daging ikan patin

Penelitian Maghfiroh (2000) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat ikan patin adalah 1,43%. Dalam bahan pangan, keberadaan karbohidrat kadangkala tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan zat gizi lain, contohnya protein dan lemak. Selain itu, dapat juga mengandung diktiosom daging yang merakit komponen karbohidrat. Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen, terdiri atas glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya.

4.4 Komposisi Asam Lemak Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Analisis asam lemak daging patin segar dan goreng menunjukkan bahwa ikan patin mengandung asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA).

Identifikasi tiap komponen asam lemak dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Retention time merupakan waktu yang diperlukan oleh sampel mulai dari saat injeksi sampai sampel mencapai peak maksimum (Riyadi 2009). Pada peak asam lemak sampel, dihasilkan nilai retention time yang mendekati nilai retention time standar asam lemak. Nilai retention time asam lemak sampel dan standar yang digunakan pada penelitian ini dicantumkan pada Lampiran 3. Kromatogram asam lemak sampel daging ikan patin dan standar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 15, 16 dan 17.

1.53 8.74 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Patin segar Patin goreng

K a d a r ka rb oh id ra t (%)


(32)

Gambar 15 Kromatogram standar asam lemak


(33)

Gambar 17 Kromatogram hasil analisis asam lemak daging patin goreng Analisis asam lemak dengan GC menunjukkan bahwa daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak yang terdiri atas 11 jenis SFA, 8 jenis MUFA dan 11 jenis PUFA. Daging patin goreng mengandung 24 jenis asam lemak, terdiri atas 12 jenis SFA, 4 jenis MUFA dan 8 jenis PUFA. Perhitungan asam lemak daging ikan patin dicantumkan pada Lampiran 4 dan hasil akhir disajikan pada Tabel 4.

Daging patin segar mengandung asam lemak sebesar 61,64% dan daging patin goreng 79,73%. Asam lemak daging patin goreng meningkat secara relatif sebesar 29,35%. Perubahan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang menggunakan minyak goreng, dimana proses termal yang terjadi dan kadar asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin. Hasil analisis asam lemak minyak goreng yang digunakan dalam penelitian ini dicantumkan pada Tabel 5 dan kromatogramnya disajikan pada Gambar 18.


(34)

Tabel 4 Komposisi asam lemak daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

No. Asam lemak Patin segar

(%)

Patin goreng (%)

1 Asam kaprilat (C8:0) n.d 0,02

2 Asam kaprat (C10:0) n.d 0,02

3 Asam laurat (C12:0) 0,17 0,21

4 Asam miristat (C14:0) 0,82 0,75

5 Asam miristoleat (C14:1) 0,02 n.d

6 Asam pentadekanoat (C15:0) 0,07 0,04

7 Asam palmitat (C16:0) 18,20 28,92

8 Asam palmitoleat (C16:1) 0,36 0,17

9 Asam heptadekanoat (C17:0) 0,13 0,08

10 Asam heptadekanoat (C17:1) 0,11 n.d

11 Asam stearat (C18:0) 4,09 3,05

12 Asam elaidat (C18:1n9) 0,16 0,08

13 Asam oleat (C18:1n9) 22,16 35,14

14 Asam linolelaidat (C18:2n9) 0,03 n.d

15 Asam linoleat (C18:2n6) 8,00 9,61

16 Asam arakhidat (C20:0) 0,24 0,28

17 Asam linolenat (C18:3n6) 0,05 0,04

18 Asam eikosenoat (C20:1) 0,52 0,14

19 Asam linolenat (C18:3n3) 0,29 0,15

20 Asam heneikosanoat (C21:0) 0,02 n.d

21 Asam eikosedienoat (C20:2) 0,34 0,10

22 Asam behenat (C22:0) 0,14 0,05

23 Asam eikosetrienoat (C20:3n6) 0,68 0,04

24 Asam erukat (C22:1n9) 0,08 n.d

25 Asam eikosetrienoat (C20:3n3) 0,02 n.d

26 Asam arakhidonat (C20:4n6) 1,59 0,10

27 Asam trikosanoat (C23:0) 0,04 0,02

28 Asam dokosadienoat (C22:2) 0,02 n.d

29 Asam lignoserat (C24:0) 0,16 0,06

30 EPA (C20:5n3) 0,39 0,47

31 Asam nervonat (C24:1) 0,12 n.d

32 DHA (C22:6n3) 2,65 0,19

Keterangan : n.d = not detected (tidak terdeteksi)

Data menunjukkan bahwa minyak goreng yang digunakan mengandung 15 jenis asam lemak, terdiri atas 9 jenis SFA, 3 jenis MUFA dan 3 jenis PUFA, dimana kandungan ini mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin setelah mengalami penggorengan.


(35)

Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak goreng No. Kelompok

asam lemak

Jenis asam lemak

Kadar asam lemak (%)

1 Asam lemak jenuh Palmitat 26,00

Stearat 3,02

Miristat 0,72

Arakhidat 0,27

Laurat 0,12

Heptadekanoat 0,07

Behenat 0,05

Pentadekanoat 0,03

Kaprat 0,01

2 Asam lemak tak jenuh tunggal

Oleat 32,28

Palmitoleat 0,14

Eikosenoat 0,11

3 Asam lemak tak jenuh majemuk

Linoleat 10,88

Linolenat 0,16

Eikosedienoat 0,05


(36)

4.4.1 Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA)

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap. Daging ikan patin termasuk salah satu jenis ikan dengan kandungan asam lemak yang tinggi. Mengacu pada data yang disajikan pada Tabel 4, daging patin segar dan goreng masing-masing mengandung 11 dan 12 jenis SFA. Data yang diperoleh menunjukkan SFA daging patin segar dan goreng sebesar 24,08% dan 33,5%, dengan peningkatan relatif yang terjadi sebesar 28,12%. Hasil penelitian Domiszewski et al. (2011) menunjukkan bahwa kandungan SFA daging patin segar adalah 47,15% dan daging patin goreng 12,76%.

Palmitat (C16:0) merupakan SFA dengan kadar tertinggi, baik pada daging patin segar maupun goreng (Gambar 19). Daging patin segar mengandung palmitat sebesar 18,20% dan daging patin goreng 28,92%. Peningkatan kadar palmitat pada daging patin goreng diduga disebabkan oleh penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan ikut terserap ke dalam daging ikan patin saat digoreng, sehingga kandungan asam lemak minyak goreng pun terserap ke dalam daging ikan. Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan palmitat minyak goreng adalah sebesar 26,00%. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan palmitat pada daging patin goreng dipengaruhi oleh kandungan palmitat dari minyak goreng.

Gambar 19 Kandungan asam lemak jenuh daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

0 5 10 15 20 25 30

Miristat Palmitat Stearat

0.82

18.2

4.09 0.75

28.92

3.05

Ka

da

r a

sam lema

k (%

)

Daging segar Daging goreng


(37)

Kandungan asam lemak jenuh stearat (C18:0) pada daging patin segar dan goreng adalah 4,09% dan 3,05%. Daging patin goreng mengandung asam stearat yang lebih rendah dibandingkan dengan daging patin segar. Hal ini diduga disebabkan oleh oksidasi asam lemak yang terjadi saat penggorengan. Umumnya kerusakan akibat oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan pada suhu 100 °C atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi (Jacobson 1967). Asam stearat dapat menyebabkan trombogenik atau pembekuan darah, hipertensi, kanker dan obesitas (Grundy 1994 dalam Witjaksono 2005).

Hasil analisis asam lemak miristat (C14:0) pada daging patin segar adalah 0,82% dan daging patin goreng 0,75%. Oksidasi yang terjadi saat proses penggorengan diduga menyebabkan penurunan asam miristat pada daging patin goreng. Asam miristat terdapat dalam jumlah yang sedikit, tidak lebih dari kisaran 1-2%. Asam miristat dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sampo, krim, kosmetik dan flavor makanan. Asam miristat dibutuhkan dalam retina dan fotoreseptor (O’Keefe et al. 2002).

Tabel 4 menunjukkan bahwa asam kaprilat (C8:0) dan asam kaprat (C10:0) merupakan asam lemak jenuh dengan persentase terkecil. Asam kaprat tidak terdeteksi pada daging patin segar, tetapi pada daging patin goreng asam lemak ini terdeteksi sebesar 0,02%. Hal ini diduga disebabkan oleh penyerapan asam lemak dari minyak goreng yang terserap oleh daging patin. Minyak goreng yang digunakan mengandung asam kaprat sebesar 0,01%. Selain itu, tidak terdeteksinya suatu asam lemak diduga dipengaruhi oleh peng-couple-an yang tidak sempurna, volume yang diinjeksikan kurang atau hidrolisis kurang bagus. 4.4.2 Asam lemak tak jenuh tunggal

Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid/MUFA). Daging patin segar mengandung 8 jenis MUFA sebesar 23,53% dan daging patin goreng mengandung 4 jenis MUFA sebesar 35,53% (Tabel 4) dengan peningkatan relatif yang terjadi sebesar 50,99%.

Asam lemak oleat (C18:1) merupakan kandungan MUFA tertinggi, pada daging patin segar sebesar 22,16% dan daging patin goreng 35,14% (Gambar 20). Penelitian Domiszewski et al. (2011) juga menunjukkan bahwa asam lemak oleat


(38)

Gambar 20 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

merupakan MUFA tertinggi pada daging patin segar dan goreng, yaitu sebesar 37,59% dan 62,33%. Terjadinya peningkatan kadar asam oleat pada daging patin goreng diduga disebabkan oleh penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan ikut terserap ke dalam daging ikan patin saat digoreng, sehingga kandungan asam lemak minyak goreng pun terserap ke dalam daging ikan. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan asam oleat minyak goreng adalah sebesar 32,28% dan merupakan MUFA dengan persentase tertinggi. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan asam oleat pada daging patin goreng dipengaruhi oleh kandungan asam oleat dari minyak goreng. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA.

Berbeda dengan asam oleat, asam lemak palmitoleat (C16:1) dan asam lemak eikosenoat (C20:1) pada daging patin goreng mengalami penurunan dibandingkan dengan daging patin segar. Palmitoleat pada daging patin segar dan goreng adalah sebesar 0,36% dan 0,17%, sedangkan eikosenoat sebesar 0,52% dan 0,14%. Hal ini disebabkan oleh oksidasi asam lemak yang terjadi saat penggorengan. Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan pada suhu 100 °C atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi (Jacobson 1967).

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Palmitoleat Oleat Eikosenoat

0.36 22.16 0.52 0.17 35.14 0.14 K adar as am l em ak (% ) Daging segar Daging goreng


(39)

4.4.3 Asam lemak tak jenuh majemuk

Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated fatty acid/PUFA). Kandungan PUFA daging patin segar adalah sebesar 14,03%, terdiri atas 11 jenis asam lemak, sedangkan daging patin goreng sebesar 10,7% terdiri atas 8 jenis asam lemak. Penurunan PUFA pada daging patin goreng secara relatif terjadi sebesar 24,45%. Domisweski et al. (2011) melaporkan bahwa kandungan PUFA daging patin segar adalah 12,45% dan daging patin goreng 23,74%. Daging patin mengandung empat jenis asam lemak omega-3, empat asam lemak omega-6 dan satu asam lemak omega-9. Asam linoleat memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan jenis PUFA lainnya (Gambar 21).

Gambar 21 Kandungan asam lemak tak jenuh majemuk daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

Daging patin segar mengandung 8,00% asam linoleat dan daging patin goreng 9,61%. Peningkatan kandungan linoleat daging patin dipengaruhi oleh kandungan linoleat yang terdapat pada minyak goreng, dimana kandungan linoleat minyak goreng juga besar yaitu 10,88%. Linoleat merupakan asam lemak esensial karena dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan tubuh tidak dapat mensitesisnya. Kekurangan asam lemak esensial dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan saraf dan penglihatan serta menghambat pertumbuhan (Almatsier 2000).

Kandungan arakhidonat pada daging patin segar dan goreng adalah 1,59% dan 0,1%. Asam lemak arakhidonat merupakan hasil desaturasi dan elongasi asam

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Linoleat Arakhidonat EPA DHA

8

1.59

0.39

2.65 9.61

0.1 0.47 0.19

Ka da r a sam lema k (% ) Daging segar Daging goreng


(40)

linoleat pada hewan. Daging patin segar mengandung EPA sebesar 0,39% dan daging patin goreng sebesar 0,47%, sedangkan kandungan DHA patin segar adalah sebesar 2,65% dan daging patin goreng 0,19%. Proses penggorengan mempengaruhi kandungan asam lemak tersebut, dimana asam lemak tak jenuh mengalami oksidasi akibat proses termal.

Data menunjukkan beberapa asam lemak terdapat pada daging patin segar, namun pada daging patin goreng tidak terdeteksi. Asam lemak tersebut adalah asam nervonat, heptadekanoat, erukat, miristoleat (MUFA) serta linolelaidat, eikosetrieonat dan dokosadienoat (PUFA). Asam lemak tak jenuh biasanya mengalami oksidasi pada ikatan rangkapnya dan sebagai hasil oksidasi adalah hidroperoksida. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi) (Tambun 2006).

Asam lemak yang lebih dominan dalam lemak ikan yaitu EPA dan DHA (Husaini 1989 dalam Sukarsa 2004). Ikan patin baik untuk dikonsumsi karena EPA dan DHA serta asam lemak tak jenuh lain yang dikandungnya. EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks serebral otak dan untuk pertumbuhan normal organ ini, karena sangat penting untuk tetap menjaga kandungan EPA dan DHA dalam makanan (Whitney et al. 1998 dalam Abadi 2007). Mengkonsumsi asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup mampu mengurangi kandungan kolesterol dalam darah dan mengurangi risiko terkena penyakit jantung, risiko artherosklerosis serta secara selektif dapat membunuh sel-sel kanker dan menyembuhkan simtom-simtom rheumathoid arthritis. Kinsella et al. 1990 menyatakan bahwa efek klinis dari asam lemak omega-3 dalam menurunkan kadar kolesterol darah diduga disebabkan oleh pengaruhnya terhadap mekanisme produksi lipoprotein transpor dalam hati, yang kemudian disekresikan ke dalam darah.

4.5 Deskripsi Jaringan Daging Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Histologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari struktur dan sifat jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis. Pengamatan daging ikan patin dilakukan untuk melihat perbedaan struktur daging ikan patin sebelum dan sesudah penggorengan. Penyiapan preparat dilakukan dengan menggunakan metode parafin.


(41)

Perbedaan jaringan daging patin sebelum dan sesudah digoreng terlihat jelas pada Gambar 22. Struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Gambar 22 (a) dan (b)). Gambar 22 (c) dan (d) memperlihatkan jaringan daging patin goreng terdiri atas serabut-serabut jaringan tipis yang lebih kompak.

Gambar 22 Struktur jaringan daging patin segar perbesaran 100x (a), perbesaran 400x (b). Struktur jaringan daging patin goreng perbesaran 100x (c), perbesaran 400x (d).

Gambar 22 (a) dan (b) menunjukkan bahwa jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang terputus atau tidak menyatu. Hal ini diduga karena penyimpanan di dalam freezer yang dilakukan sebelum daging patin dianalisis, yang menyebabkan terjadinya dehidrasi. Dehidrasi yang terjadi pada saat penyimpanan menyebabkan kemampuan mengikat air oleh protein myofibril menjadi berkurang (Thorarinsdottir et al. 2011). Penyimpanan daging ikan patin di dalam freezer juga menyebabkan terbentuknya kristal es. Terbentuknya kristal es dapat berpengaruh pada struktur internal otot dan menyebabkan denaturasi protein (Bahuaud et al. 2008).

a

b

c

d

Serabut otot


(42)

Penggorengan yang dilakukan pada penelitian ini mempengaruhi struktur daging ikan patin, yang ditunjukkan oleh adanya perbedaan struktur jaringan yang dihasilkan. Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Gambar 22 (c) dan (d) memperlihatkan bahwa struktur jaringan daging patin goreng lebih kompak dan menyatu dibandingkan dengan daging patin segar. Pemanasan yang terjadi saat penggorengan menyebabkan air dalam daging patin merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih kompak. Perubahan struktural suatu bahan pangan yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.

Selain proses penggorengan, pembekuan yang dilakukan sebelum daging patin dianalisis juga mempengaruhi struktur jaringan daging. Perubahan struktural dapat terjadi pada saat pembekuan, terutama saat penyimpanan lanjutan yang dilakukan pada bahan daging yang beku. Kerusakan ruang sel, koagulasi protein, pengompakkan myofibril, kehilangan air (dehidrasi), penurunan daya ikat air dan perubahan aroma serta rasa merupakan beberapa pengaruh yang umum terjadi akibat pembekuan (Hall 2001 dalam Ayala et al. 2005).


(43)

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) memiliki rendemen daging sebesar 38,56%, kulit 3,73%, jeroan 14,43% dan bagian lain-lain (kepala dan tulang) sebesar 43,28% yang sangat potensial untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa proses penggorengan menyebabkan penurunan kadar air pada daging patin goreng (penurunan sebesar 22,74%). Sementara itu, parameter lainnya yaitu kadar abu, lemak, protein dan karbohidrat meningkat bila dibandingkan dengan daging patin segar.

Daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak (11 SFA, 8 MUFA, 11 PUFA) dan daging patin goreng 24 jenis asam lemak (12 SFA, 4 MUFA, 8 PUFA). Asam lemak jenuh (SFA) didominasi oleh miristat, palmitat dan stearat; MUFA didominasi oleh palmitoleat, oleat, dan eikosenoat; sedangkan PUFA didominasi oleh linoleat, arakhidonat, EPA dan DHA. Deskripsi histologis pada daging patin segar terdiri atas jaringan yang terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Jaringan daging patin goreng terdiri atas serabut-serabut jaringan tipis yang lebih kompak.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian kualitatif dengan perlakuan suhu dan lama penggorengan berdasarkan titik didih minyak goreng untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komposisi asam lemak daging ikan patin. Selain itu, perlu dilakukan ekstraksi asam lemak dengan menggunakan kloroform atau heksan.


(44)

SHERLY GUSTIA NINGSIH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(45)

AKIBAT PENGGORENGAN

SHERLY GUSTIA NINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(46)

SHERLY GUSTIA NINGSIH. Analisis Asam Lemak dan Pengamatan Jaringan

Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan.

Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO.

Pemanfaatan ikan patin (Pangasius hypophthalmus) sebagai ikan konsumsi biasanya diolah dengan berbagai cara, salah satunya melalui proses penggorengan. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pemanasan dapat menyebabkan perubahan fisik, komposisi kimia dan struktur jaringan daging ikan. Komposisi kimia yang sangat dipengaruhi oleh proses penggorengan adalah lemak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), kandungan asam lemak dan deskripsi struktur jaringan daging fillet ikan patin akibat penggorengan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011. Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat (AOAC 1995, AOAC 1999, AOAC 2005), analisis asam lemak menggunakan metode kromatografi gas dan pengamatan jaringan daging ikan patin dengan metode parafin menggunakan pewarna hematoksilin-eosin.

Ikan patin memiliki panjang total rata-rata 35,55 cm, tinggi rata-rata 4,85 cm dan bobot rata-rata 397,13 gram. Rendemen daging patin sebesar 38,56%, kulit 14,43% dan jeroan 3,73%. Rendemen terbesar terdapat pada kepala dan tulang patin yaitu 43,28%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa daging patin merupakan hasil perairan yang berprotein tinggi dan lemak rendah. Protein daging patin segar dan goreng adalah 15,07% dan 19,45%, sedangkan kadar lemaknya 0,36% dan 7,34%. Penggorengan menyebabkan penurunan kadar air sebesar 22,74% dan perubahan secara proporsional pada kadar abu, lemak dan protein.

Analisis asam lemak menunjukkan bahwa daging patin mengandung asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA). Daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak yang terdiri atas 11 jenis SFA (tertinggi palmitat), 8 jenis MUFA (tertinggi oleat) dan 11 jenis PUFA (tertinggi linoleat), sedangkan daging patin goreng mengandung 24 jenis asam lemak, terdiri atas 12 jenis SFA, 4 jenis MUFA dan 8 jenis PUFA. Penggorengan menyebabkan peningkatan relatif asam lemak pada daging patin sebesar 29,35%.

Pengamatan jaringan menunjukkan bahwa struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sedangkan jaringan daging patin goreng lebih kompak dan menyatu. Pemanasan yang terjadi saat penggorengan menyebabkan air dalam daging patin merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih lengkap.


(47)

Nama : Sherly Gustia Ningsih NRP : C34070027

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol Ir. Djoko Poernomo, B. Sc NIP. 19591127 198601 1 005 NIP. 19580419 198303 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil NIP. 19580511 1985031 002


(48)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis Asam

Lemak dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan” adalah karya saya sendiri

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Sherly Gustia Ningsih C34070027


(49)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul ”Analisis Asam Lemak dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat

Penggorengan”. Skripsi hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama kepada: Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol dan Ir. Djoko Poernomo, B. Sc selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, motivasi dan pelajaran yang telah diberikan kepada penulis; Dr. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji; Ir. Dadi R. Sukarsa dan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil selaku dosen pembimbing akademik dan Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan; keluarga tercinta ayahanda Mawardi, Ibunda Yusrida Ibrahim, kakak Robhi Yunaidi, adik

Irfandhi Yunaidi, Paman Zulkifli Ibrahim dan As’adi Ibrahim serta keluarga besar

H. Ibrahim, keluarga Beningku, terima kasih atas kebahagiaan dan cinta yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rury dan Endang, sahabat yang selalu memotivasi, Alhana sebagai partner selama penelitian, keluarga THP 44 tercinta, THP 43, THP 45 serta semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini dan hasil yang lebih baik.

Bogor, November 2011

Sherly Gustia Ningsih C34070027


(1)

c Kadar lemak

Contoh perhitungan kadar abu daging patin segar ulangan 1: Berat sampel = 5,59 gram (W1)

Berat cawan sebelum dioven = 77,73 gram (W2) Berat cawan setelah dioven = 77,75 gram (W3)

Kadar lemak = 3− 2

1

100%

= 77.75−77.73

5.59

100% = 0,36%

d Kadar protein

Contoh perhitungan kadar protein daging patin goreng ulangan 1: Berat sampel = 1,20 gram ml HCl sampel = 2,32 ml ml HCl blanko = 0 N HCl = 0,1152

fp = 10

% Kadar protein = � − � �� 14 6.25 100%

Patin segar

Patin goreng

1 2 1 2

Berat sampel (g) 5,59 5,55 4,36 4,49

Berat cawan sebelum dioven (g) 77,73 78,10 73,93 74,56 Berat cawan setelah dioven (g) 77,75 78,12 74,25 74,89

Kadar lemak (%) 0,36 0,36 7,34 7,35

Rataan (%) 0,36 7,345

Patin segar

Patin goreng

1 2 1 2

Berat sampel (g) 1,09 1,09 1,20 1,20

ml HCl sampel (ml) 1,63 1,63 2,32 2,31

ml HCl blanko (ml) 0 0 0 0

Kadar protein (%) 15,07 15,07 19,49 19,40


(2)

Lampiran 3 Retention time (RT) asam lemak ikan patin

No. Jenis

asam lemak

RT sampel (menit) Standar RT (menit) Patin

segar

Patin goreng

1 Asam kaprilat (C8:0) - 8,041 8,034

2 Asam kaprat (C10:0) - 9,915 9,908

3 Asam laurat (C12:0) 12,297 12,299 12,293

4 Asam miristat (C14:0) 14,937 14,939 14,932

5 Asam miristoleat (C14:1) 16,000 - 16,073

6 Asam pentadekanoat (C15:0) 16,337 16,340 16,331 7 Asam palmitat (C16:0) 17,832 17,868 17,760 8 Asam palmitoleat (C16:1) 18,782 18,787 18,770 9 Asam heptadekanoat (C17:0) 19,212 19,216 19,201 10 Asam heptadekanoat (C17:1) 20,201 - 20,251

11 Asam stearat (C18:0) 20,763 20,780 20,707

12 Asam elaidat (C18:1n9) 21,452 - 21,398

13 Asam oleat (C18:1n9) 21,821 21,865 21,713

14 Asam linolelaidat (C18:2n9) 22,545 - 22,585 15 Asam linoleat (C18:2n6) 23,405 23,421 23,356 16 Asam arakhidat (C20:0) 24,159 24,161 24,165 17 Asam linolenat (C18:3n6) 24,707 24,816 24,698 18 Asam eikosenoat (C20:1) 25,394 25,393 25,385 19 Asam linolenat (C18:3n3) 25,505 25,512 25,497 20 Asam heneikosanoat (C21:0) 26,197 - 26,202 21 Asam eikosedienoat (C20:2) 27,500 27,497 27,489

22 Asam behenat (C22:0) 28,560 28,555 28,589

23 Asam eikosetrienoat (C20:3n6) 29,239 29,237 29,228

24 Asam erukat (C22:1n9) 30,192 - 30,201

25 Asam eikosetrienoat (C20:3n3) 30,315 - 30,298 26 Asam arakhidonat (C20:4n6) 30,690 30,683 30,676 27 Asam trikosanoat (C23:0) 31,270 31,269 31,288 28 Asam dokosadienoat (C22:2) 32,765 - 32,763 29 Asam lignoserat (C24:0) 34,001 33,993 34,061

30 EPA (C20:5n3) 33,768 33,668 33,760

31 Asam nervonat (C24:1) 35,576 - 35,591


(3)

Lampiran 4 Contoh perhitungan asam lemak (%) =

× ×

× 100%

Asam lemak daging patin goreng : palmitat 28,92%, oleat 35,14%, linoleat 9,61%

Palmitat (%)

=

2492770

167371 × 0,06 × 1

3,0899

×

100%

28,92%

Asam oleat (%)

=

3010077

110893 × 0,04 × 1

3,0899

×

100%

=

35,14%

Linoleat (%)

=

2492770

167371 × 0,06 × 1

3,0899

×

100%


(4)

Lampiran 5 Dokumentasi penelitian

Daging patin segar Penggorengan dengan Daging patin goreng deep fryer

Analisis kadar protein Analisis kadar lemak Analisis kadar abu

Beberapa alat yang digunakan untuk pengamatan jaringan daging ikan patin


(5)

(6)

SHERLY GUSTIA NINGSIH. Analisis Asam Lemak dan Pengamatan Jaringan

Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan.

Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO.

Pemanfaatan ikan patin (Pangasius hypophthalmus) sebagai ikan konsumsi biasanya diolah dengan berbagai cara, salah satunya melalui proses penggorengan. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pemanasan dapat menyebabkan perubahan fisik, komposisi kimia dan struktur jaringan daging ikan. Komposisi kimia yang sangat dipengaruhi oleh proses penggorengan adalah lemak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), kandungan asam lemak dan deskripsi struktur jaringan daging fillet ikan patin akibat penggorengan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011. Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat (AOAC 1995, AOAC 1999, AOAC 2005), analisis asam lemak menggunakan metode kromatografi gas dan pengamatan jaringan daging ikan patin dengan metode parafin menggunakan pewarna hematoksilin-eosin.

Ikan patin memiliki panjang total rata-rata 35,55 cm, tinggi rata-rata 4,85 cm dan bobot rata-rata 397,13 gram. Rendemen daging patin sebesar 38,56%, kulit 14,43% dan jeroan 3,73%. Rendemen terbesar terdapat pada kepala dan tulang patin yaitu 43,28%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa daging patin merupakan hasil perairan yang berprotein tinggi dan lemak rendah. Protein daging patin segar dan goreng adalah 15,07% dan 19,45%, sedangkan kadar lemaknya 0,36% dan 7,34%. Penggorengan menyebabkan penurunan kadar air sebesar 22,74% dan perubahan secara proporsional pada kadar abu, lemak dan protein.

Analisis asam lemak menunjukkan bahwa daging patin mengandung asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA). Daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak yang terdiri atas 11 jenis SFA (tertinggi palmitat), 8 jenis MUFA (tertinggi oleat) dan 11 jenis PUFA (tertinggi linoleat), sedangkan daging patin goreng mengandung 24 jenis asam lemak, terdiri atas 12 jenis SFA, 4 jenis MUFA dan 8 jenis PUFA. Penggorengan menyebabkan peningkatan relatif asam lemak pada daging patin sebesar 29,35%.

Pengamatan jaringan menunjukkan bahwa struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi


Dokumen yang terkait

KANDUNGAN PROTEIN TERLARUT DAGING IKAN PATIN (Pangasius djambal) AKIBAT VARIASI PAKANTAMBAHAN

2 12 81

KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL FILLET IKAN WADER (Rasbora jacobsoni), BADER (Puintius javanicus), DAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) AKIBAT DARI PERBEDAAN TEKNIK PREPARASI

0 5 41

Lemak Daging dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Patin Pangasiun hypophthalmus Yang Diberi Pakan Dengan Rasio Karbohidrat Dan Lemak Berbeda

0 7 65

Pengaruh Rasio Karbohidrat dan Lemak Pakan Terhadap Kinerja Pertumbuhan dan Kandungan Lemak Daging Ikan Patin Pangasius hypophthalmus Untuk Pembesaran

0 5 67

Proses Pembuatan Kamaboko Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Dengan Penambahan Tepung Kentang Dan Daging Udang

2 20 88

Analisa kelayakan industri fillet ikan patin beku (Pangasius hypophthalmus) di Kabupaten Bogor

0 11 85

Pengaruh Rasio Karbohidrat dan Lemak Pakan Terhadap Kinerja Pertumbuhan dan Kandungan Lemak Daging Ikan Patin Pangasius hypophthalmus Untuk Pembesaran

0 12 144

Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan

5 31 130

Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Asam Lemak Tak Jenuh Omega-3, Omega-6 dan Karakterisasi Minyak Ikan Patin Pangasius pangasius)

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam Pangasius hypophthalmus 2.1.1 Morfologi Ikan Patin Siam Pangasius hypophthalmus - PENGARUH KITOSAN DALAM MENINGKATKAN RESPON IMUN NON-SPESIFIK PADA IKAN PATIN SIAM Pangasius hypophthalmus YANG DI INFEKSI BAKTERI

0 0 19