Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan

(1)

1.1Latar Belakang

Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas mengandung sumber daya alam perikanan yang sangat berlimpah. Produksi ikan patin meningkat drastis pada tahun 2010, yaitu sebanyak 147.890 ton, di mana pada tahun 2007 hanya 102.021 ton. Potensi tersebut akan semakin meningkat dengan adanya target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Target yang dipatok adalah peningkatan produksi perikanan sebesar 353% (KKP 2010).

Salah satu program yang dikembangkan oleh KKP adalah peningkatan produksi ikan patin. Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) merupakan jenis ikan air tawar yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Rasa dagingnya yang lezat mengakibatkan banyaknya kalangan pengusaha perikanan yang tertarik dengan usaha budidaya ini. Kaluarga ikan patin (Pangasidae) merupakan ikan ekonomis di Asia Tenggara dengan produksi lebih dari 250.000 ton pada tahun 2001 (Slembrouck et al. 2005). Ikan patin dikenal sebagai komoditas perikanan yang berprospek cerah, rasa dagingnya lezat dan gurih mengakibatkan ikan ini sangat digemari oleh masyarakat (Susanto dan Amri 2002).

Ikan patin merupakan bahan biologis yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pengolahan untuk meningkatkan daya simpan dan konsumsi. Salah satu cara pengolahan sederhana yang sering diterapkan oleh masyarakat adalah penggorengan.

Penggorengan adalah proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging ikan. Beberapa studi menunjukkan proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Proses pemanasan menyebabkan terjadinya koagulasi protein yaitu hasil denaturasi protein pada suhu tinggi (Winarno 2008).


(2)

Protein tersusun dari sekuen-sekuen asam amino. Susunan asam amino ini bersifat khas untuk setiap jenis protein (Winarno 1997). Asam-asam amino saling berbeda gugus R-nya (Rediatning dan Kartini 1987). Asam amino adalah senyawa yang mempunyai rumus umum +H3NCH - (R) COO- , bersifat ion dan hidrofil.

Kerusakan protein pada daging ikan akibat penggorengan akan berpengaruh terhadap kandungan asam amino yang berkorelasi dengan kandungan gizi yang dikonsumsi. Selain kadar air, abu, protein, dan lemak, selama proses pemanasan juga terjadi perubahan struktur jaringan pada daging ikan yang diakibatkan oleh perubahan suhu. Mengingat masih kurangnya informasi mengenai komposisi kimia dan struktur jaringan akibat penggorengan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi kimia dan struktur jaringan baik pada daging ikan patin segar maupun setelah proses penggorengan.

1.2Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), kandungan asam amino, dan pengamatan deskriptif struktur jaringan pada daging putih fillet ikan patin segar dan goreng.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu komoditas ikan air tawar ekonomis penting. Ikan ini mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan misalnya ukuran per individu yang besar, fekunditas yang cukup tinggi, kebiasaan makan yang omnivor serta mutu dagingnya digemari oleh masyarakat. Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut.

Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus

Gambar 1 Ikan patin (Pangasiushypophthalmus)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm, ukuran tubuh ini tergolong besar bagi ikan jenis lele-lelean. Pada pembudidayaan dalam umur 6 bulan ikan patin bisa mencapai ukuran 35-40 cm (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 2002).


(4)

Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi patil bergerigi di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip punggung berjumlah enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak berukuran kecil sekali yang disebut adipose fin. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya yang panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lunak. Sirip perutnya memiliki 8-9 jari-jari lunak (Slembrouck et al. 2005). Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil.

Ikan ini memiliki beberapa sifat biologis, yaitu nokturnal atau melakukan aktivitas pada malam hari seperti halnya catfish lainnya dan sesekali muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara langsung (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air, yaitu dari perairan yang agak asam (pH 5) sampai perairan yang basa (pH 9). Kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah 3-6 ppm, karbondioksida yang ditolerir 9-20 ppm, dengan alkalinitas 80-250. Suhu air media pemeliharaan yang optimal berada dalam kisaran 28-30 °C (Khairuman dan Suhenda 2001).

2.2 Komposisi Kimia Ikan Patin

Tubuh ikan patin didominasi oleh daging yang mencapai 49%. Komposisi yang lain, yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan, dan gelembung renang. Pada umumnya, komposisi daging ikan terdiri dari 15 - 24% protein, 0,1 - 22% lemak, 1 - 3% karbohidrat, 0,8 - 2% substansi anorganik, dan 66-84% air (Suzuki 1981). Komposisi kimia ikan patin segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan patin (Pangasius sp.)

Komposisi Kadar (%)

Air 82,22

Abu 0,74

Protein 14,53

Lemak 1,09

Sumber: Maghfiroh (2000)

Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh pada penampakan, tekstur serta cita rasa. Bahkan di dalam makanan kering sekalipun, terkandung air dalam jumlah tertentu. Produk


(5)

hasil perikanan memiliki kandungan air yang sangat tinggi, sekitar 80%. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar air dalam suatu bahan menunjukkan perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan.

Kandungan lemak dalam daging ikan bervariasi tergantung pada spesies, umur, kondisi sebelum atau setelah perkembangbiakan (bertelur), dan kondisi pakan. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka semakin rendah kandungan air daging ikan (Suzuki 1981). Lemak yang terdapat pada produk perikanan pada umumnya sangat mudah untuk dicerna langsung oleh tubuh, sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan oleh pertumbuhan, dan kadar kolesterol sangat rendah (Adawyah 2007).

Penentuan kadar abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau inserasi (pengabuan) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak ikut terbakar.

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien selain karbohidrat dan lemak yang berperan lebih penting dalam pembentukan

biomolekul daripada sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4 kkal/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat. Produk perikanan

memiliki kandungan protein yang mudah diserap dan dicerna sehingga baik dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi protein terutama pada anak-anak (Sudhakar et al. 2009). Fungsi utama protein bagi tubuh adalah membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein juga digunakan sebagai bahan bakar apabila kebutuhan energi tubuh tidak terpenuhi oleh lemak dan karbohidrat. Separuh atau 50% dari berat kering sel dalam jaringan yaitu hati dan daging diperkirakan terdiri dari protein (Winarno 1997).

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah timbulnya pemecahan protein berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme lemak protein. Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, umumnya karbohidrat tersebut dalam bentuk glikogen (Nurjanah et al. 2009). Selain itu, karbohidrat pada produk


(6)

perikanan terdiri dari glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya (Okuzumi dan Fujii 2000).

2.3 Sistem Urat Daging

Bagian badan teleostei merupakan sistem urat daging terbesar. Urat daging berfungsi pada seluruh pergerakan tubuh, mengatur pergerakan elemen anggota tubuh, misalnya pemompaan darah, gerakan peristaltik organ viscera dan struktur yang berhubungan dengannya (Grizzle & Rogers 1976). Ada tiga macam jaringan urat daging, yaitu urat daging kerangka, urat daging licin, dan urat daging jantung. Urat daging licin (otot polos) memiliki serabut yang lebih sederhana dan kecil dibandingkan dengan serabut otot lainnya.

Gambar 2 Urat daging kerangka Sumber : Kusmawan D (2011)

Urat daging licin terdiri dari sel urat daging mononukleat, sedangkan kedua urat daging lainnya adalah urat daging berinti banyak (multinukleat) yang diikat oleh facia atau tenunan ikat (endomisium) untuk membentuk berkas urat daging (bundle). Urat daging kerangka atau bergaris terdapat pada jaringan yang dapat diatur (voluntary control). Serabut multinukleat mengandung myofibril yang tersebar rata di seluruh penampang melintang, terpusat di tengah atau terdapat sepanjang dinding serabut (Harder 1975). Myofibril terdiri dari ratusan myofilamen yang terbagi menjadi elemen tipis, actin dan myosin.

2.4 Asam Amino

Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing dihubungkan dengan ikatan peptida. Suatu protein jika dihidrolisis dengan asam,


(7)

alkali, atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino. Struktur kimia asam amino dapat dilihat pada Gambar 3.

COOH (gugus karboksil)

H C R (gugus radikal)

NH2 (gugus amino) Gambar 3 Struktur umum asam amino

Sumber: Almatsier (2006)

Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C

yang dikenal sebagai karbon α. Gugus R merupakan rantai cabang yang

membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 2008). Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH (Winarno 2008).

Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, dan dibagi dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Suharsono 1970 dalam

Sitompul 2004).

2.3.1 Asam amino esensial

Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam amino eksogen. Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Asam amino esensial dapat dilihat pada Tabel 2.


(8)

Tabel 2 Asam amino esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Histidin His 155,2

Arginin Arg 174,2

Treonin Thr 119,1

Valin Val 117,1

Metionin Met 149,2

Isoleusin Ile 131,2

Leusin Leu 131,2

Fenilalanin Phe 165,2

Lisin Lys 146,2

Triptofan Trp 204,2

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Hames dan Hooper menyatakan ada 10 jenis asam amino esensial, yaitu histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin, dan triptofan.

Histidin merupakan asam amino yang diperoleh dari hasil hidrolisis protein yang terdapat dalam sperma suatu jenis ikan (kaviar), asam amino ini bermanfaat baik untuk kesehatan radang sendi dan memperkuat hubungan antar syaraf khususnya syaraf organ pendengaran. Histidin bermanfaat untuk perbaikan jaringan, dibutuhkan dalam dalam pengobatan alergi, rheumatoid arthritis, anemia serta dalam pembentukan sel darah merah dan sel darah putih (Harli 2008).

Arginin adalah asam amino yang dibentuk di hati dan beberapa diantaranya terdapat dalam ginjal. Arginin bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau produksi limfosit, meningkatkan pengeluaran hormon pertumbuhan (HGH) dan meningkatkan kesuburan pria (Linder 1992).

Treonin merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik hidroksil (Winarno 2008). Treonin mampu meningkatkan kemampuan usus dan proses pencernaan. Asam amino ini bekerja untuk mempertahankan keseimbangan protein dan berperan dalam pembentukan kolagen dan elastin (Harli 2008).

Valin diperlukan dalam pertumbuhan dan penampilan, terutama berfungsi dalam sistem saraf dan pencernaan. Selain itu, valin berfungsi untuk membantu gangguan saraf otot, mental dan emosional, insomnia, dan keadaan gugup. Kekurangan valin dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit, panas dan dingin (Edison 2009).


(9)

Metionin adalah suatu asam amino dengan gugus sulfur yang diperlukan tubuh dalam pembentukan asam nukleat dan jaringan serta sintesa protein. Juga menjadi bahan pembentuk asam amino lain (sistein) dan vitamin (kolin). Metionin bekerja sama dengan vitamin B12 dan asam folat dalam membantu tubuh mengatur pasokan protein berlebihan dalam diet tinggi protein. Selain itu, fungsi penting lain metionin adalah membantu menyerap lemak dan kolesterol. Karena itu, metionin merupakan kunci kesehatan bagi hati yang berhubungan banyak dengan lemak. Defisiensi metionin dapat berakibat rematik kronis, pengerasan hati (sirosis), dan gangguan ginjal (Harli 2008).

Isoleusin diperlukan dalam produksi dan penyimpanan protein oleh tubuh, dan pembentukan hemoglobin. Kemudian berperan dalam metabolisme dan fungsi kelenjar timus dan kelenjar pituitari (Harli 2008).

Leusin merupakan asam amino yang bekerja untuk memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, serta membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post - operative) (Harli 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem kekebalan tubuh (Edison 2009).

Fenilalanin merupakan asam amino esensial yang menjadi bahan baku bagi pembentukan katekolamin sebagai peningkat kewaspadaan penting bagi tranmisi impuls saraf. Fenilalanin juga berperan sebagai prekursor tirosin dan bersama membentuk hormon tiroksin dan epinefrin (Almatsier 2006). Defisiensi fenilalanin dapat berakibat mata merah (bloodshot eyes), katarak, dan perubahan perilaku (psychotic dan schizophrenic) (Harli 2008).

Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan memperkuat sistem sirkulasi. Mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal. Bersama proline dan Vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Lisin mampu menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih. Lisin memiliki sifat mudah rusak akibat panas. Kekurangan lisin menyebabkan mudah lelah, sulit konsentrasi, rambut rontok, anemia, pertumbuhan terhambat dan kelainan reproduksi (Harli 2008).

Triptofan merupakan prekursor vitamin niasin dan pengantar syaraf serotonin (Almatsier 2006). Fungsinya dalam proses pembekuan darah dan pembentukan cairan pencernaan. Triptofan juga berperan sebagai bahan


(10)

pembentuk neuro-transmitter serotonin, triptopan berfungsi dalam pengendoran saraf dan membantu proses tidur (Harli 2008).

2.3.2 Asam amino non esensial

Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh disebut juga asam amino endogen (Winarno 1997). Beberapa asam amino non esensial dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Asam amino non esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Alanin Ala 89

Asam aspartat Asp 133,1

Asam glutamate Glu 147,2

Glisin Gly 75

Prolin Pro 115,1

Serin Ser 105,1

Tirosin Thr 181,1

Sistin Sis Sistin

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Asam amino non esensial memiliki manfaat yang baik untuk makhluk hidup. Di bawah ini akan dibahas beberapa asam amino non esensial serta manfaatnya.

Alanin berfungsi untuk memperkuat membran sel dan membantu metabolisme glukosa menjadi energi tubuh, sedangkan asam aspartat bermanfaat untuk penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).

Asam glutamat dapat diperoleh dari glutamin. Gugus amida yang terdapat pada molekul glutamin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui proses hidrolisis dengan asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan keinginan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam emosi (Linder 1992).

Glisin adalah asam amino yang dapat menghambat proses dalam otak yang menyebabkan kekakuan gerak seperti pada multiple sclerosis, sedangkan prolin adalah asam amino yang dapat diperoleh dari hasil hidrolisis kasein. Prolin berfungsi sebagai bahan dasar glutamic acid. Glisin bergabung dengan lisin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen yang penting untuk menjaga kecantikan kulit, memperkuat persendian, tendon, tulang rawan dan otot jantung (Harli 2008).


(11)

Asam amino serin berfungsi membantu pembentukan lemak pelindung serabut syaraf (myelinsheaths). Penting dalam metabolisme lemak dan asam lemak, pertumbuhan otot dan kesehatan sistem imun serta membantu produksi antibodi dan immunoglobulin (Linder 1992).

Sistin berfungsi untuk membantu kesehatan pankreas, menstabilkan gula darah dan metabolisme karbohidrat, mengurangi gejala alergi makanan dan intoleransi. Sistin sangat dibutuhkan dalam pembentukan kulit, terutama penyembuhan luka bakar dan luka operasi. Membantu penyembuhan kelainan pernafasan misalnya bronkhitis serta meningkatkan aktifitas sel darah putih melawan penyakit (Harli 2008).

Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai gugus fenol dan bersifat asam lemah. Asam amino ini dapat diperoleh dari kasein, yaitu protein utama yang terdapat dalam keju. Tirosin memiliki beberapa manfaat yaitu, dapat mengurangi stress, anti depresi serta detoksifikasi obat dan kokain (Linder 1992).

2.4 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam aminonya. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Asam-asam amino esensial harus ada dalam jumlah yang cukup dalam makanan supaya aktivitas metabolisme tubuh tetap terjaga secara optimal (Buckle et al. 1978). Analisis asam amino bertujuan menentukan jenis dan jumlah asam amino yang terkandung dalam suatu protein bahan pangan.

Analisis asam amino ini sangat diperlukan, misalnya untuk menganalisis hasil industri makanan, makanan ternak, obat-obatan, analisis cairan biologi dan hidrolisat protein. Cara analisis asam amino yang masih lazim digunakan sampai saat ini adalah kromatografi dengan berbagai macam teknik misalnya kromatografi kertas, lapisan tipis dan kolom (Rediatning dan Kartini 1987). Akhir-akhir ini analisis asam amino menggunakan kromatografi cair dengan kinerja tinggi atau yang lebih dikenal dengan istilah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Muchtadi 1989).

HPLC yang pada awalnya merupakan singkatan dari High pressure Liquid Chromatography karena metode ini memang merupakan suatu cara kromatografi


(12)

dengan menggunakan tekanan (Pressure). Namun, akhir-akhir ini dengan bertambah baiknya modifikasi dan penampakan dari peralatan, maka namanya berubah menjadi High Performance Liquid Chromathography (Salamah 1997).

HPLC merupakan suatu cara pemisahan komponen dari suatu campuran berdasarkan perbedaan distribusi/absorbs komponen diantara dua fase yang berbeda yaitu fase diam (stasioner) dan fase bergerak (mobil) (Salamah 1997). Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji et al. 2007).

Teknik HPLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu mampu membedakan asam amino D dan L, dapat bekerja lebih cepat dan pemisahan 24 asam amino dalam cairan fisiologik dapat diselesaikan dalam waktu 40 menit (Winarno 2008). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC, antara lain: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder (Adnan 1997). Gambar alat kromatografi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 High Performance Liquid Chromatograhy (HPLC) (Sumber: Anonima

2009)

Pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam HPLC adalah air, metanol, asetonitril, kloroform dan pelarut-pelarut lain dalam keadaan murni (HPLC grade) (Salamah 1997). Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi


(13)

terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis, tetapi ada beberapa protein yang masih berikatan. Hidrolisis asam yang umum digunakan dalam analisis asam amino yaitu HCl 6 N yang menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan, tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur et al. 1992).

2.6 Penggorengan dengan Metode Deep Frying

Pemanasan merupakan suatu perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan pangan yang bertujuan mengurangi populasi mikroorganisme atau membunuhnya yang ada di dalam bahan pangan. Perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme (Tamrin dan Prayitno 2008).

Deep frying merupakan salah satu sistem penggorengan dengan merendam seluruh bagian bahan yang digoreng di dalam minyak sebagai medium penghantar panas (Stevenson et al. 1984). Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C (Weiss 1982). Menurut Ketaren (1986), minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk asap, berarti minyak mengalami dekomposisi, sehingga menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak.

Bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan menguap yang ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Bersamaan dengan itu, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis bahan yang digoreng. Selain itu, akan terjadi juga pelarutan sebagian komponen bahan dan terbentuk cita rasa akibat pemanasan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen minor lainnya (Orthoefer 1989).

Proses penggorengan memberi efek yang merugikan terhadap nilai gizi. Efek tersebut terjadi karena reaksi antara amino group dari asam amino esensial, yaitu lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam


(14)

bahan pangan yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan asam amino arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard (Susilo 2008).

Pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi menyebabkan protein akan mengalami perubahan rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200 °C, residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik (Suwandi 1990).

Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan (salah satunya penggorengan) menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Perubahan struktural yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.


(15)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Histopatologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ikan patin, minyak goreng, es, air, plastik tahan panas, aluminium foil, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3, indikator (cairan methyl red dan brom cresol green), HCl 6 N, metanol, pikolotiosianat, triethylamin, gas nitrogen, asetonitril 60%, natrium asetat 1 M, kertas saring Whatman, sarung tangan, enthellan, xylol I, xylol II, alkohol 70 %, 80%, 90%, 100%, pewarna eosin, air, pewarna hematoksilin, akuades, parafin, kertas kalender, kain kassa, dan larutan BNF (Buffered Neutral Formalin).

Alat-alat yang diperlukan, antara lain deep fryer, HPLC, pisau, mikroskop cahaya, timbangan digital, gelas ukur, gelas piala, oven, cawan, desikator, erlenmeyer, labu lemak, kjeltab, tabung soxhlet, dan pipet, mikroskop, gelas penutup, gelas objek, waterbath, mikrotom, silet, dan botol film.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang asal sampel ikan patin dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik ikan meliputi panjang total, lebar total, tinggi total dan bobot total, serta rendemen ikan patin. Kemudian dilakukan beberapa analisis terhadap daging putih pada ikan patin segar dan goreng yaitu, analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak, analisis asam amino, serta pengamatan jaringan daging ikan patin menggunakan mikroskop cahaya. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.


(16)

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Persiapan contoh

Ikan patin hidup diperoleh dari kolam budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Ikan patin segera dibawa ke laboratorium preparasi bahan baku dengan menggunakan plastik. Ikan patin dalam keadaan segar disimpan dalam wadah berisi es dan air untuk mempertahankan kesegaran, serta dicuci dengan air bersih untuk membersihkan kotoran yang melekat padanya. Kemudian dilakukan pengumpulan data morfometrik ikan patin (panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin) serta pengukuran rendemen (daging, kulit dan jeroan) ikan patin. Bagian daging yang diambil untuk analisis adalah

fillet daging putih. Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia.

3.3.2 Penggorengan

Daging fillet ikan patin digoreng dalam minyak goreng (minyak sayur) sebanyak 4 L dengan suhu 190 °C selama ± 5 menit yang disetting pada alat. Rendemen

kulit

1 Analisis proksimat 2 Analisis asam amino 3 Pengamatan jaringan

Rendemen jeroan

Rendemen daging Ikan Patin

Penentuan ukuran dan bobot

Penggorengan (Suhu 190 0C,± 5 menit)

Daging putih fillet patin Ikan patin segar


(17)

Penggorengan dilakukan menggunakan deep fryer. Setelah proses penggorengan selesai, ikan yang telah digoreng ditiriskan menggunakan saringan.

3.3.3 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentase masing-masing bobot bagian tubuh (daging, kulit, dan jeroan) ikan patin dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) =

( ) x 100%

3.3.4 Analisis Proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan untuk menentukan komposisi kimia bahan baku. Kandungan kimia bahan baku dapat ditentukan jenis dan habitatnya (Winarno 2008). Analisi proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, abu, protein dan lemak.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1 gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.

Kadar air dihitung dengan rumus berikut : % kadar air = −

− x 100%

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.


(18)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin, kemudian ditimbang.

Rumus yang digunakan untuk penghitungan kadar abu adalah: % Kadar abu = −

− x 100% Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

% Kadar lemak =W3−W2

W1 × 100% Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)


(19)

d)Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Analisis protein dilakukan dengan menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = � − � 0,1 �� 14 x 100%

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

3.3.5 Analisis asam amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula syringe yang akan digunakan dibilas dengan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi, dan tahap injeksi serta analisis asam amino.


(20)

a. Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel ditimbang sebanyak 3 mg dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 oC selama 24 jam. Pemanasan dalam oven dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Selain itu, pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis.

b. Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel kemudian dikeringkan menggunakan rotary evaporator selama 15-30 menit untuk mengubah sistein menjadi sistin. Sampel yang sudah kering ditambah dengan 5 ml HCl 0,01 N kemudian disaring dengan kertas saring milipore.

c. Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari larutan buffer kalium borat dengan sampel 1:1 kemudian dicampurkan dengan larutan Ortoftalaldehida (OPA) dengan perbandingan 5:1 dengan sampel, selanjutnya campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring Whatman.

d. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan sebanyak 5 µl diinjeksikan ke dalam HPLC. Pemisahan semua asam amino ditunggu sampai selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam bahan dapat dihitung dengan rumus:

% Asam amino = Luas area sampel x C x Fp x BM x 100% Luas area standar x bobot sampel Keterangan:

C = Konsentrasi standar asam amino (0,5 µmol/ml) FP = faktor pengenceran (5 ml)


(21)

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut:

Temperatur : 27 oC (suhu ruang)

Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18) Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95% Detektor : Fluoresensi

Panjang gelombang : 350 nm-450 nm

3.3.6 Pengamatan mikroskopik jaringan daging ikan patin 3.3.6.1 Pembuatan preparat jaringan daging ikan patin

Pembuatan preparat histologi terdiri dari tiga tahapan, yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan.

(1) Fiksasi jaringan dan parafinasi a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan, sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup juga mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan fiksatif yang digunakan adalah larutan BNF (Buffered Neutral Formalin) yang mamiliki komposisi asam pikrat, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan.

b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama, jaringan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70%


(22)

dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam. Organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

d) Impregnasi

Impregnasi adalah tahap penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Titik cair parafin yaitu 54-58 °C. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel, sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II, dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

f) Blocking

Jaringan yang telah dibenam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini


(23)

membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku misal kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam. g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikron. Teknik pemotongan parafin yang mengandung adalah sebagai berikut.

a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom yang dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikrometer. c) Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu balok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengadung preparat jaringan. d) Hasil irisan diambil dengan jarum, lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang.

e) Setelah pipa parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, yaitu albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering.

(3) Pewarnaan jaringan

Pewarnaan jaringan meliputi proses dewaxing, hidrasi, pewarnaan hematoksilin-eosin, dehidrasi, dan mounting.


(24)

a) Dewaxing

Sebelum dilakukan dewaxing, gelas objek yang berisi jaringan diletakkan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang yang ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang kemudian direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit.

b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas objek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

c) Pewarnaan hematoksilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama tujuh menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama tujuh menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama tiga menit dan dicuci dengan akuades. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan 100% masing-maisng dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya. e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent, yaitu enthellan.


(25)

Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthellan yang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam.

3.3.6.2 Pengamatan preparat jaringan daging ikan patin

Preparat jaringan diamati di bawah mikroskop Micros Austria MC300 dengan perbesaran mulai dari 100x hingga 400x sesuai dengan kejelasan objek. Setelah itu, didokumentasikan menggunakan kamera Kodak M863. Hasil pengamatan jaringan dinyatakan dalam bentuk gambar dan dituliskan secara deskriptif serta dibandingkan antara jaringan daging ikan patin segar secara umum dengan jaringan daging ikan patin akibat pengaruh penggorengan.


(26)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam budidaya, Dramaga, Bogor. Ikan patin yang digunakan berupa sampel segar utuh untuk pengukuran panjang, lebar, tinggi, dan bobot total. Ikan patin ini memiliki kulit berwarna hitam kebiruan di bagian atas dan warna putih keperakan di bagian bawah. Daging patin segar dan goreng yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b) Gambar 6 Daging patin segar (a) dan goreng (b)

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian daging. Daging segar yang digunakan berwarna putih kemerahan dengan aroma spesifik daging patin dan tidak berbau amis. Setelah melalui proses penggorengan, daging berwarna coklat keemasan. Penggorengan pada suhu minyak antara 180-190 °C menghasilkan tingkat kegaringan yang baik dan daging tetap kelihatan basah (Zaitsev etal. dalam Suwandi 1990).

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan bobot dengan menggunakan 30 sampel. Parameter yang diamati yaitu panjang, lebar, tinggi dan bobot total. Data morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan bobot ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Rata-rata panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Ukuran panjang dan bobot patin

No. Parameter Satuan Nilai

1 Panjang cm 35,55 ± 2,83

2 Lebar cm 4,85 ± 0,74

3 Tinggi cm 6,38 ± 0,94

4 Bobot gram 397,13 ± 36,06


(27)

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan patin memiliki panjang 35,55 cm, lebar 4,85 cm, tinggi 6,38 cm, dan bobot rata-rata 397,13 gram. Menurut Susanto dan Amri (2002), panjang ikan patin yang dibudidayakan selama 6 bulan bisa mencapai 35-40 cm.

Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol, diantaranya adalah makanan dan suhu (Effendi 1997).

Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia. Bahan baku daging patin segar dan goreng kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke lemari pendingin untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu bahan baku.

4.2Rendemen Ikan Patin

Rendemen adalah presentasi bobot bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan sehingga menghasilkan nilai ekonomis dari suatu bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan berat ikan patin utuh. Persentasi rendemen daging, kulit dan jeroan ikan patin segar dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Rendemen daging, kulit, dan jeroan ikan patin segar 38,56%

3,73% 14,47%

43,28%

Daging Kulit Jeroan Lain-lain


(28)

Berdasarkan Gambar 7, diketahui bahwa rendemen daging patin mencapai 38,56%. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian Hustiany (2005) yang menyatakan ikan patin hasil budidaya yang berukuran 500-1000 gram memiliki rendemen daging sebanyak 30-42,5%. Rendemen kulit dan jeroan patin berturut-turut adalah 3,37% dan 14,43%.

Rendemen hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya. Bagian kepala, tulang, dan sirip umumnya belum dimanfaatkan secara maksimal dan menjadi limbah padatan, padahal bagian ini menyumbang sebesar 43,28% dari bobot total ikan patin. Kepala, tulang, dan sirip sisa pengolahan dapat dimanfaatkan untuk menbuat flavor ikan yang gurih sebagai pelengkap makanan. Tulang ikan juga berpotensi dijadikan tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor, sehingga dapat digunakan sebagai sumber alternatif pemenuhan kebutuhan kalsium dan fosfor. Selain itu, limbah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk pakan hewan (Thalib 2009). Kulit patin berpotensi sebagai bahan baku pembuatan gelatin (Dianti 2008).

4.3 Hasil Analisis Kimia

Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi mengenai komposisi proksimat, serta asam amino daging patin segar dan goreng.

4.3.1 Komposisi Proksimat

Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia kandungan suatu bahan pangan. Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar (crude) adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis kadar air, abu, lemak, dan protein dilakukan di

laboratorium, sedangkan perhitungan kadar karbohidrat dihitung secara

by difference.

Hasil analisis proksimat daging patin dapat dilihat pada Tabel 5. Contoh perhitungan komposisi kimia daging patin dapat dilihat pada Lampiran 2.


(29)

Tabel 5 Komposisi kimia daging patin segar dan goreng

Komposisi

Daging patin segar (%) Daging patin goreng (%)

selisih (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk)

Air 82,27 - 63,56 - 22,74

Abu 0,77 4,34 0,91 2,50 42,40

Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14 89,92

Protein 15,07 85,00 19,45 53,38 37,20

Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98 64,01

Kandungan bahan dalam produk merupakan parameter penting bagi konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya.

(1) Kadar air

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam daging ikan patin. Kadar air dalam ikan patin menunjukkan persentase tertinggi dibandingkan dengan kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Kadar air daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kadar air (bk) daging patin segar dan patin goreng

Kadar air yang terdapat pada daging patin mengalami perubahan proporsi dari 82,27% pada daging patin goreng menjadi 63,56% (bb) pada daging patin goreng. Tingginya kadar air pada daging disebabkan oleh kemampuan bahan untuk mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Kadar air yang tinggi dalam ikan segar menunjukkan air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni. Daging patin segar memiliki kadar air yang tinggi yakni 82,27%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Maghfiroh (2000), yaitu kadar air patin sebesar 82,22%. Hal ini menunjukkan ikan patin adalah bahan pangan

82,27 63,56 0 20 40 60 80 100 Air K ad ar ( % )

daging patin segar daging patin goreng


(30)

yang bersifat mudah rusak (high perishable food). Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008).

Setelah daging ikan digoreng terjadi penurunan kadar air yang dipengaruhi oleh faktor pemasakan, sehingga menyebabkan cairan dari dalam daging patin merembes keluar (terjadi drip) (Nurjanah et al. 2009). Pada saat daging ikan digoreng, terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke daging melalui media pindah panas, yaitu minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, daging patin akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Daging patin memiliki struktur yang porous. Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler yang lebih besar terlebih dahulu dan digantikan oleh minyak panas. Adanya perbedaan tekanan uap air pada bagian dalam bahan pangan yang basah dengan minyak merupakan gaya yang mendorong terjadinya kehilangan air (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

(2) Kadar abu

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Kadar abu (bb) daging patin segar adalah 0,77%. Menurut hasil penelitian Maghfiroh (2000), kadar abu patin sebesar 0,74%. Perbedaan komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu

dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan beberapa

faktor, diantaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009). Kadar abu daging patin segar dan patin goreng dengan basis kering dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kadar abu (bk) daging patin segar dan patin goreng 4,34

2,5

0 2 4 6 8 10

Abu

K

ad

ar

(

%

)

daging patin segar daging patin goreng


(31)

Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar abu daging patin setelah proses penggorengan dengan mengabaikan kadar airnya. Berdasarkan Gambar 9, kandungan abu patin goreng lebih rendah dibandingkan kandungan abu daging patin segar. Kadar abu daging patin segar mencapai 4,34% (bk), namun setelah digoreng terjadi perubahan menjadi 2,50% (bk). Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses penggorengan. Penggorengan dapat mempengaruhi nilai gizi suatu bahan pangan.

Proses penggorengan dapat menyebabkan kandungan gizi suatu bahan menurun akibat panas. Perubahan proporsi mineral dalam daging patin goreng disebabkan oleh adanya sejumlah mineral yang larut dan terbawa ke dalam minyak saat proses penggorengan. Menurut Debnath et al. (2003), deep fat frying

biasanya melibatkan tiga tipe pindah massa, yaitu (a) migrasi air dari bagian inti bahan pangan ke permukaan yang terbuang selama pemasakan; (b) absorpsi minyak ke dalam bahan pangan; dan (c) leaching komponen bahan pangan yang bersifat mudah larut ke dalam minyak. Mineral (abu) adalah komponen yang mudah larut dalam air atau minyak.

(3) Kadar lemak

Lemak adalah salah satu komponen utama yang terdapat dalam bahan pangan selain karbohidrat dan protein, oleh karena itu peranan lemak dalam menentukan karakteristik bahan pangan cukup besar. Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram energi sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram.

Analisis kadar lemak yang dilakukan untuk mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada daging patin segar dan setelah penggorengan. Ikan patin merupakan ikan berlemak rendah. Menurut Junianto (2003), ikan dengan kandungan lemak <5% termasuk ikan berlemak rendah. Berdasarkan perhitungan basis basah, kadar lemak daging patin pada penelitian ini adalah 0,36%, sedangkan menurut Maghfiroh (2000) kadar lemak patin yaitu 1,09%. Perbedaan nilai lemak ini dapat disebabkan karena umur panen dan laju metabolisme organisme.


(32)

Lemak semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak untuk berkembang biak. Variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies dan antar individu dalam satu spesies (Suzuki 1981). Selain itu, daging patin yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging putih, sedangkan bagian daging yang banyak mengandung lemak terdapat pada daging merah. Kadar lemak basis kering daging patin segar dan setelah penggorengan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Kadar lemak (bk) daging patin segar dan patin goreng

Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar lemak daging patin setelah proses penggorengan dengan mengabaikan kadar airnya. Gambar 10 menunjukkan kadar lemak daging patin segar sebesar 2,03% (bk) dan proporsinya meningkat menjadi 20,14% (bk) pada daging patin goreng. Perubahan proporsi kadar lemak tersebut disebabkan oleh penggunaan minyak pada proses penggorengan. Minyak goreng merupakan lemak cair sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan meningkatkan nilai kalori bahan pangan (Winarno 2008). Proses penggorengan akan menambah kandungan lemak dan memperbesar penguapan air (Suwandi 1990).

(4) Kadar protein

Analisis kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan protein pada daging patin segar dan patin goreng. Kandungan protein daging patin segar dan goreng secara basis basah berturut-turut adalah 15,07% dan 19,45%. Menurut

2,03

20,14

0 5 10 15 20 25

Lemak

K

ad

ar

(

%

)

daging patin segar daging patin goreng


(33)

Maghfiroh (2000), kadar protein patin segar adalah 14,53%. Ikan dengan kandungan protein 15-20% termasuk ikan berprotein tinggi (Junianto 2003). Hal ini menunjukkan bahwa ikan patin merupakan ikan berprotein tinggi.

Peningkatan kadar protein basis basah terjadi secara proporsional setelah penggorengan diakibatkan oleh pengurangan kadar air (Syarief dan Halid 1993). Secara basis basah, kandungan protein daging patin segar dan goreng dipengaruhi oleh kadar airnya. Daging patin yang telah melalui proses penggorengan memiliki kandungan air yang lebih kecil dibandingkan saat daging masih segar, sehingga menyebabkan persentasi protein dalam daging meningkat secara proporsional.

Nilai protein yang terkandung di dalam ikan umumnya 15-25% (Nurjanah dan Abdullah 2010). Kandungan protein yang sesuai diperlihatkan

dengan perhitungan basis kering dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Kadar protein (bk) daging patin segar dan patin goreng

Berdasarkan Gambar 11, diketahui bahwa kadar protein basis kering antara daging patin segar dan goreng berturut-turut adalah 85% dan 53,38%. Perubahan proporsi kandungan protein terjadi akibat pemanasan dalam proses penggorengan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian Suwandi (1990) yang menyatakan bahwa pemanasan menyebabkan protein terkoagulasi dan terdenaturasi, sehingga protein menjadi tidak larut.

Protein yang terhidrolisa dan terdenaturasi akan mengalami peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia, dan hidrogen sulfida pada daging (Suwandi 1990). Perubahan ini diperlukan untuk meningkatkan daya cernanya atau untuk memanfaatkan perubahan warna atau citarasa yang timbul

85

53,38

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Protein

K

ad

ar

(

%

)

daging patin segar daging patin goreng


(34)

pada makanan tersebut. Semakin tinggi suhu, semakin besar jumlah protein yang terdenaturasi, sehingga membentuk struktur yang lebih sederhana. Kandungan protein bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008).

Kandungan protein daging patin yang dihasilkan setelah melalui proses penggorengan sebenarnya kurang valid karena masih dipengaruhi oleh persentase minyak yang terkandung di dalam ikan. Kadar lemak semakin tinggi akibat banyaknya minyak yang masuk ke dalam daging ikan, sehingga kandungan protein menurun secara proporsional seiring dengan tingginya kandungan lemak.

(5) Kadar karbohidrat

Karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Setelah digoreng daging patin mengalami perubahan warna. Hal ini dikarenakan pada proses penggorengan terjadi reaksi Maillard antara karbohidrat (glikogen) khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil tersebut menghasilkan warna coklat pada bahan (Winarno 2008). Analisis karbohidrat dalam daging patin dilakukan secara by difference.

Kadar karbohidrat daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Kadar karbohidrat (bk) daging patin segar dan patin goreng

Kandungan karbohidrat daging patin segar adalah 8,63% (bk), dan mengalami perubahan menjadi 23,98% (bk) setelah mengalami proses penggorengan. Adapun kandungan karbohidrat daging patin segar basis basah yaitu 1,53%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Okuzumi dan Fuzii (2000)

8,63

23,98

0 5 10 15 20 25 30

Karbohidrat

K

ad

ar

(

%

)

daging patin segar daging patin goreng


(35)

yang menyatakan bahwa kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan sebesar 1% untuk ikan. Pada hasil perhitungan by difference diduga masih terdapat kandungan lain selain karbohidrat, karena tidak dilakukan pengujian khusus tentang karbohidrat.

Variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, misalnya pada ikan air tawar (ikan patin) dan ikan laut (ikan layang). Ikan layang pada kondisi segar memiliki kandungan air 67,37%. Setelah melalui proses penggorengan kadar airnya menjadi 10,24%. Kandungan protein ikan layang segar sebesar 25,90% dan mengalami perubahan menjadi 15,28% setelah digoreng. Metode pengolahan yang berbeda juga dapat mempengaruhi komposisi kimia ikan. Ikan layang yang dikukus mengalami perubahan proporsi kadar air menjadi 59,24% dan kandungan protein menjadi 21,14% (Zaelanie dan Kartikaningsih 2008).

4.3.2 Komposisi Asam Amino

Mutu suatu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein yang bermutu adalah protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam perbandingan yang menyamai kebutuhan tubuh (Winarno 1997). Analisis asam amino dilakukan untuk menduga komposisi asam amino dan menentukan kadar asam amino pada protein daging patin dalam segar dan patin goreng. Prosedur analisis dan contoh perhitungan asam amino dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

Hasil dari analisis asam amino daging patin segar dan goreng didapatkan 15 asam amino yang terdiri dari 9 jenis asam amino esensial dan 6 jenis asama amino nonesensial. Asam amino esensial yang terdapat pada daging patin adalah isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, histidin, treonin, valin, dan arginin. Asam amino non esensial yang terkandung dalam daging patin adalah aspartat, serin, glutamat, glisin, alanin, dan tirosin. Hasil analisis asam amino daging patin dalam keadaan segar dan perbandingannya dengan hasil penelitian Suryanti (2009) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan bahwa diantara 15 asam amino yang dihasilkan dalam penelitian didominasi oleh tiga jenis asam amino esensial, yaitu arginin, leusin dan lisin, sedangkan untuk asam amino non esensial didominasi oleh dua jenis asam amino, yaitu aspartat dan glutamat. Suryanti (2009) menyatakan bahwa


(36)

dari 15 asam amino dalam daging patin, terdapat empat jenis asam amino esensial yang mendominasi, yaitu treonin, leusin, lisin dan valin, sedangkan untuk asam amino non esensial terdapat empat jenis yang mendominasi yaitu, aspartat, glutamat, glisin dan alanin. Hasil analisis asam amino terhadap daging patin segar menunjukkan variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu dalam suatu spesies, antar individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009).

Tabel 6 Perbandingan asam amino daging patin segar

No. Asam Amino Hasil (g/100g) Hasil penelitian

Hasil (g/100g) Suryanti (2009)*

1 Isoleusin 0,58 0,46

2 Leusin 1,05 0,53

3 Lisin 0,99 0,49

4 Metionin 0,40 0,30

5 Fenilalanin 0,52 0,36

6 Histidin 0,43 0,31

7 Treonin 0,56 0,88

8 Valin 0,60 0,55

9 Arginin 0,86 0,26

10 Aspartat 1,37 1,13

11 Serin 0,60 0,41

12 Glutamat 2,16 1,61

13 Glisin 0,60 0,70

14 Alanin 0,87 0,88

15 Tirosin 0,45 0,32

Sumber (*): Suryanti (2009)

Pada umumnya, hasil asam amino baik yang segar maupun yang telah digoreng nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2009). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan umur, musim penangkapan, serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005).

Asam amino pembatas adalah asam amino yang berada pada jumlah paling sedikit pada suatu bahan makanan (Harris dan Karmas 1989). Tabel 6 menunjukkan bahwa asam amino pembatas pada hasil penelitian Suryanti (2009) adalah Arginin sebesar 0,26 g/100 g, sedangkan asam amino pembatas pada hasil analisis asam amino daging patin segar adalah metionin yaitu 0,40 g/100 g.


(37)

Berdasarkan hasil analisis, didapatkan kromatogram dengan 15 jenis asam amino. Kromatogram (peak) asam amino daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Gambar 13 Kromatogram asam amino daging patin segar

Gambar 14 Kromatogram asam amino daging patin goreng

Penggorengan merupakan salah satu contoh metode pengolahan yang memanfaatkan suhu panas yang dapat mempengaruhi kandungan gizi suatu bahan, termasuk komposisi asam amino. Protein harus dihidrolisis sehingga menghasilkan asam amino bebas (Winarno 2008). Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam aminonya. Protein bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino dalam proporsi yang sesuai untuk pertumbuhan. Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein yang bermutu tinggi (Almatsier 2006).

Proses pengolahan termasuk penggorengan dapat mempengaruhi kandungan asam amino yang ada pada suatu bahan. Setiap jenis asam amino memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, begitu juga pengaruh suatu pengolahan terhadap kemantapannya. Pengolahan secara umum dengan menggunakan panas dapat mengakibatkan terjadinya penyusutan jumlah asam


(38)

amino hingga 40% tergantung dari jenis pengolahan, suhu dan lamanya proses pengolahan (Harris dan Karmas 1989). Hasil analisis asam amino daging patin segar dan goreng disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis asam amino daging patin segar dan goreng Asam amino Daging patin segar (%) Daging patin goreng (%)

bb Bk bb Bk

Isoleusin 0,58 3,27 1,09 2,99

Leusin 1,05 5,92 1,98 5,43

Lisin 0,99 5,58 0,82 2,25

Metionin 0,40 2,26 0,78 2,14

Fenilalanin 0,52 2,93 0,99 2,72

Histidin 0,43 2,43 0,52 1,43

Treonin 0,56 3,16 1,03 2,83

Valin 0,60 3,38 1,17 3,21

Arginin 0,86 4,85 1,45 3,98

Aspartat 1,37 7,73 2,58 7,08

Serin 0,60 3,38 1,05 2,88

Glutamat 2,16 12,18 4,01 11,00

Glisin 0,60 3,38 0,76 2,09

Alanin 0,87 4,91 1,49 4,09

Tirosin 0,45 2,54 0,85 2,33

Jumlah asam amino daging patin goreng mengalami penurunan dibandingkan daging patin segar. Rata-rata jumlah asam amino daging patin segar sebesar 4,53% (bk) dan goreng 3,76% (bk) atau mengalami perubahan proporsi sebesar 16,99%. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan asam amino pada daging patin segar lebih tinggi dibandingkan pada daging goreng. Hal tersebut disebabkan oleh adanya reaksi Maillard yang terjadi akibat proses penggorengan. Pada reaksi Maillard terjadi pembentukan pigmen berwarna coklat setelah proses penggorengan. Penurunan gizi protein akibat reaksi Maillard menyebabkan penurunan daya cerna protein terutama lisin menjadi rusak akibat reaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid, serta penurunan availibilitas semua asam amino (Muchtadi 1989).

a) Asam Amino Esensial

Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat disintesis di dalam tubuh sehingga harus diasup melalui makanan. Asam amino esensial memiliki peranan yang penting dalam keseimbangan tubuh. Hasil analisis


(39)

menggunakan HPLC, terdekteksi 9 jenis asam amino esensial, yaitu isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, histidin, treonin, valin, dan arginin. Histogram kandungan asam amino esensial pada daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Asam amino esensial (bk) daging patin segar dan goreng

Gambar 15 menunjukkan bahwa asam amino esensial yang memiliki nilai tertinggi adalah leusin, yaitu 5,92% untuk daging patin segar dan 5,43% untuk daging patin goreng. Leusin merupakan asam amino terbanyak terkandung pada bahan pangan sumber protein (Walsh 2002 dalam Wahyuni 2008). Asam amino esensial terbanyak kedua adalah lisin, yaitu 5,58% untuk daging patin segar, namun kadar lisin menurun drastis setelah daging mengalami proses penggorengan. Hal ini berkaitan dengan sifat lisin yang bersifat basa dalam pelarut air. Kerusakan dapat terjadi pada saat hidrolisis protein menggunakan asam, pengeringan, maupun derivatisasi. Selain itu, lisin memiliki sifat mudah rusak akibat panas. Metionin, histidin, dan fenilalanin merupakan tiga asam amino esensial yang memiliki jumlah terkecil yang terdapat dalam daging patin.

Jumlah total asam amino yang dihasilkan oleh asam amino esensial adalah sebesar 1204 mg/100 g. Suryanti (2009) melaporkan bahwa urutan jumlah asam amino esensial yang terdapat dalam daging patin dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah treonin > valin > leusin > lisin > isoleusin > fenilalanin > histidin > metionin > arginin. Perbedaan kandungan asam amino dipengaruhi oleh

0 1 2 3 4 5 6 3,27 5,92 5,58 2,26 2,93 2,54 3.16 3,38 4,85 2,99 5,43 2,25 2,14 2,72 2,33 2,83 3,21 3,98 Kadar asam am in o (%)


(40)

beberapa faktor diantaranya musim, ukuran tubuh, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

Kadar asam amino dalam suatu protein tidak secara kuantitatif menunjukkan nilai gizinya karena pembatas dalam penggunaan protein adalah nilai cerna protein. Pengolahan dapat menaikkan dan menurunkan nilai cerna protein. Denaturasi protein oleh panas dapat mempermudah hidrolisis protein oleh protease dalam usus halus, namun demikian panas juga dapat menurunkan mutu protein (Harris dan Karmas 1989).

Semakin tinggi kadar asam amino esensial dalam suatu bahan pangan, semakin baik pula mutu protein bahan pangan tersebut (Winarno 1997). FAO/WHO (1985) dalam Wu et al. (2010) menetapkan kebutuhan asam amino untuk anak-anak usia 2-5 tahun lebih dari 100 mg asam amino/kg berat badan yang digunakan untuk pertumbuhan anak-anak.

FAO/WHO (1986) dalam Dincer et al. (2010) menyatakan bahwa jumlah asam amino esensial leusin dan isoleusin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah 14 dan 19 mg asam amino/ kg berat badan setiap hari. Kadar leusin dan isoleusin pada daging patin cukup tinggi, leusin dan isoleusin merupakan asam amino esensial yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan oleh karena itu kedua asam amino ini sangat dibutuhkan oleh anak-anak dan bayi dalam masa pertumbuhannya. Leusin merupakan asam amino yang paling banyak terkandung pada bahan pangan sumber protein (Walsh 2002 dalam Wahyuni 2008).

Lisin tergolong esensial bagi manusia dan kebutuhan rata-rata per hari adalah (1,0-1,5) g. Lisin menjadi kerangka dalam pembentukan niasin (Vitamin B3), bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, dan mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal. Kekurangan lisin menyebabkan mudah lelah, sulit konsentrasi, rambut rontok, anemia, pertumbuhan terhambat dan kelainan reproduksi (Harli 2008). Kandungan lisin pada daging patin segar cukup tinggi mencapai 990 mg/100 g, sehingga daging patin dapat dijadikan sebagai sumber asam amino esensial yang menunjang pertumbuhan.

b. Asam amino non esensial

Asam amino non esensial merupakan asam amino yang dapat disintesis di dalam tubuh. Hasil analisis terdeteksi 6 jenis asam amino non esensial, yaitu


(41)

aspartat, serin, glutamat, glisin, alanin, dan tirosin. Asam amino non esensial yang terdapat dalam daging patin disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Asam amino non esensial (bk) daging patin segar dan goreng

Gambar 16 menunjukkan bahwa asam amino non esensial yang memiliki nilai tertinggi pada daging patin adalah glutamat, yaitu 12,18% untuk daging patin segar dan 11,00% untuk daging patin goreng. Asam amino non esensial terbanyak kedua adalah aspartat, yaitu 7,73% pada daging patin segar dan 7,08% pada daging patin goreng. Glisin, serin, dan tirosin merupakan asam amino non esensial dengan jumlah yang paling sedikit yang terdapat pada daging patin.

Jumlah total asam amino yang dihasilkan oleh asam amino non esensial adalah 2057 mg/100 g. Suryanti (2009) melaporkan bahwa urutan jumlah asam amino non esensial yang terdapat dalam daging patin dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah glutamat > aspartat > alanin > glisin > serin > tirosin. Variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu dalam suatu

spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Perbedaan tersebut dapat disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan, makanan serta kondisi bertelur.

Glutamat merupakan komponen penyusun alami dalam hampir semua bahan makanan yang mengandung protein yang tinggi misalnya daging, ikan, susu dan sayur-sayuran. Glutamat juga dapat diproduksi dalam tubuh manusia dan

0 2 4 6 8 10 12 14

Aspartat Serin Glutamat Glisin Alanin Tirosin 7,73 3,38 12,18 3,38 4,91 2,43 7,08 288 11 2,09 4,09 1,43 Kadar asam am in o (%)


(42)

merupakan komponen yang sangat penting bagi metabolisme manusia. Glutamat memiliki ciri bila ditambahkan ke dalam suatu bahan pangan akan memberikan ciri rasa yang kuat dan merangsang saraf yang ada pada lidah manusia. Sifat ini dimanfaatkan oleh industri penyedap. Garam turunan yang berasal dari glutamat, yang dikenal sebagai monosodium glutamat sangat dikenal sebagai penyedap makanan masakan (Ardyanto 2004)

Kandungan asam glutamat memiliki porsi tertinggi pada daging patin, sehingga dalam proses pemasakan patin tidak perlu dilakukan penambahan penyedap masakan (monosodium glutamat/MSG). Tingginya asam glutamat pada daging patin menyebabkan dagingnya beraroma gurih dan berasa manis (Nurjanah et al. 2009).

Kadar aspartat pada daging patin cukup tinggi. Aspartat merupakan asam amino non esensial yang berfungsi untuk membantu detoksifikasi hati, membantu meningkatkan sistem imun, menghambat pertumbuhan sel tumor, membantu pelepasan hormon pertumbuhan, membantu perubahan karbohidrat menjadi energi sel (Harli 2008). Tingginya kandungan asam amino glutamat dan aspartat dapat terjadi karena proses analisis yang digunakan menggunakan metode analisis asam yang mempunyai derajat hidrolisis yang lebih tinggi sehingga kandungan asam amino tersebut lebih tinggi. Asam aspartat dan glutamat dihasilkan oleh hidrolisa asam dari asparigin dan glutamin (Lehninger 1990).

4.4 Deskripsi Jaringan Daging Ikan Patin

Pengamatan jaringan daging ikan patin dilakukan untuk melihat perbedaan struktur jaringan daging patin sebelum dan sesudah penggorengan. Penyiapan preparat dilakukan dengan menggunakan metode parafin. Diagram alir analisis histologi dapat dilihat pada Lampiran 5. Struktur jaringan daging patin sebelum dan sesudah penggorengan dapat dilihat pada Gambar 17.

Struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Gambar 17 (a) dan (b)). Jaringan yang tidak kompak dapat disebabkan oleh dehidrasi selama penyimpanan dan menyebabkan sel jaringan menjadi lisis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor penyimpanan daging patin di dalam freezer


(43)

patin. Dehidrasi menyebabkan kemampuan mengikat air oleh protein myofibril menjadi berkurang (Thorarinsdottir et al. 2011). Dehidrasi akan menyebabkan denaturasi pada protein otot dan kerusakan struktur membran. Penyimpanan daging patin di dalam freezer juga menyebabkan terbentuknya Kristal es. Terbentuknya kristal es ini dapat berpengaruh pada struktur internal otot dan menyebabkan denaturasi protein (Bahuaud et al. 2008). Selain itu, sarkoplasma yang banyak terdapat pada ikan patin menjadi terpotong-potong dan pecah saat daging ikan patin dicuci, sehingga jaringannya menjadi pecah atau remuk.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 17 Struktur jaringan daging patin segar perbesaran 100x (a), perbesaran 400x (b). Struktur jaringan daging patin goreng perbesaran 100x (c), perbesaran 400x (d).

Struktur jaringan daging patin goreng yang terlihat pada Gambar 17 (c) dan (d) memiliki perbedaan dengan struktur jaringan daging patin segar. Pada jaringan daging patin goreng tedapat serabut-serabut jaringan yang lebih kompak dan padat. Hal ini dipengaruhi oleh perlakuan penggorengan. Proses penggorengan dapat menyebabkan cairan dari dalam daging patin merembes keluar (terjadi drip) (Nurjanah et al. 2009). Selama perembesan air dari dalam sel, struktur daging patin mengalami perubahan dibandingkan dengan struktur jaringan daging patin segar. Proses penggorengan mengakibatkan jumlah air bebas dalam daging patin keluar dan terjadi koagulasi, sehingga tekstur daging


(1)

c Kadar lemak

Contoh perhitungan kadar abu daging patin segar ulangan 1: Berat sampel = 5,59 gram (W1)

Berat cawan sebelum dioven = 77,73 gram (W2) Berat cawan setelah dioven = 77,75 gram (W3)

Kadar lemak = 3− 2

1 100%

= 77.75−77.73

5.59 100% = 0,36%

d Kadar protein

Contoh perhitungan kadar protein daging patin goreng ulangan 1:

Berat sampel = 1,20 gram ml HCl sampel = 2,32 ml

ml HCl blanko = 0 N HCl = 0,1152

fp = 10

% Kadar protein = � − � �� 14 6.25 100%

= 2.32−0 0.1152 14 10 6.25

1200 100% = 19,49%

Patin segar

Patin goreng

1 2 1 2

Berat sampel (g) 5,59 5,55 4,36 4,49

Berat cawan sebelum dioven (g) 77,73 78,10 73,93 74,56

Berat cawan setelah dioven (g) 77,75 78,12 74,25 74,89

Kadar lemak (%) 0,36 0,36 7,34 7,35

Rataan (%) 0,36 7,345

Patin segar

Patin goreng

1 2 1 2

Berat sampel (g) 1,09 1,09 1,20 1,20

ml HCl sampel (ml) 1,63 1,63 2,32 2,31

ml HCl blanko (ml) 0 0 0 0

Kadar protein (%) 15,07 15,07 19,49 19,40


(2)

Lampiran 3 Prosedur analisis asam amino

Penimbangan sampel 3 mg

Penambahan HCl 6 N sebanyak 1 ml

Pemanasan dalam oven 110 oC selama 24 jam

Penyaringan dengan kertas saring milipore

Pengeringan dengan rotary evaporator; 15 – 30 menit Penambahan HCl 0,01 N sebanyak 5 ml ke dalam erlenmeyer

Penyaringan dengan kertas saring milipore

Penambahan Buffer KaliumBorat ke dalam sampel (1:1)

Penginjekan ke HPLC


(3)

Lampiran 4 Contoh perhitungan asam amino

No Jenis asam amino

Bobot molekul (g/mol)

Luas area Standar Daging patin

segar

Daging patin goreng

1 Aspartat 133,1 48720804 11332007 16656975

2 Glutamat 147,1 46903788 15558241 22562960

3 Serin 105,09 46309031 6011175 8125557

4 Histidin 155,16 33005559 2082098 1936436

5 Glisin 75,07 35142222 6290175 6261769

6 Treonin 119,12 51796314 5445825 7928652

7 Arginin 174,2 44406003 4924909 6496055

8 Alanin 89,09 43808463 9616318 12923644

9 Tirosin 181,19 47378075 2645363 3902113

10 Metionin 149,21 54543433 3273138 5013358

11 Valin 117,15 56631674 6592224 9962073

12 Fenilalanin 165,19 44734591 3148034 4748908

13 Isoleusin 131,17 56804669 5641845 8321863

14 Leusin 131,17 50137149 9019112 13330577

15 Lisin 146,19 13887794 2132064 1369144

Contoh perhitungan aspartat pada daging patin segar Bobot sampel = 27600 µg

% Asam amino = Luas area sampel x C x Fp x BM x 100%

Luas area standar x bobot sampel

% Asam amino = 11332007 x 0,5 µmol /ml x 50ml x 133,1 x 100%

48720804 x 27600 µg

= 2,80%

% asam aspartat (bb) = (100− )

100 % ( )

= (100−51,0554 )

100 2,80


(4)

Lampiran 5 Diagram alir analisis histologi

Fiksasi

Pencucian

Dehidrasi

Clearing

Impregnasi

Embedding

Blocking

Pemotongan

Pewarnaan

Preparat


(5)

Lampiran 6 Dokumentasi penelitian

Daging patin segar Penggorengan dengan Daging patin goreng deep fryer

Analisis kadar protein Analisis kadar lemak Analisis kadar abu


(6)

ALHANA. Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan. Dibimbing oleh

AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO

Penggorengan adalah proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging ikan. Proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan protein pada daging ikan akibat penggorengan akan berpengaruh terhadap kandungan asam amino yang berkorelasi dengan kandungan gizi yang dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), kandungan asam amino, dan pengamatan deskriptif struktur jaringan pada daging putih fillet ikan patin segar dan goreng. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis proksimat (AOAC 1995, 2005), Analisis asam amnio menggunakan HPLC, dan pengamatan jaringan dengan metode parafin.

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) memiliki panjang total rata-rata 35,55 cm, lebar total rata-rata 4,85 cm dan tinggi rata-rata 6,38 cm, dan bobot rata-rata 397,13 gram. Rendemen daging patin sebesar 38,56%, kulit 14,43% dan jeroan 3,73%. Rendemen terbesar terdapat pada kepala dan tulang patin yaitu 43,28%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa daging patin merupakan hasil perairan yang berprotein tinggi yaitu 15,07% (bb). Penggorengan menyebabkan perubahan kadar air sebesar 22,74%, abu 42,40%, dan protein 37,20%, dan kadar lemak sebesar 89,92%. Protein daging patin mengandung 15 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang memiliki kadar tertinggi dalam daging patin adalah leusin sedangkan asam amino non esensial dengan jumlah tertinggi adalah asam glutamat. Rata-rata kadar asam amino pada daging patin goreng mengalami penurunan sebesar 16,99% dari daging patin segar. Penggorengan menyebabkan perubahan struktur jaringan daging patin. Pengamatan jaringan menunjukkan bahwa struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sedangkan jaringan daging patin goreng lebih kompak dan menyatu. Pemanasan yang terjadi saat penggorengan menyebabkan air dalam daging patin merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih kompak.