3.3.1 Persiapan Inokulum Cendawan
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diperoleh dari bagian batang pohon yang wangi dan dengan lubang gerekan serangga. Pohon gaharu berasal dari desa Pasir
Garam, Kabupaten Bangka Tengah. Isolat tersebut diremajakan pada media agar dekstrosa kentang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Isolat akan
digunakan sebagai sumber inokulum untuk mempelajari proses patogenesis cendawan meliputi proses kolonisasi dan respon tanaman terhadap kolonisasi
cendawan.
3.3.2 Pengamatan Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
3.3.2.1 Mekanisme Penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Mekanisme penetrasi mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme penetrasi secara fisik diamati dengan kemungkinan
terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium, pengamatan enzimatik mencakup uji lignoselulolitik. Sedangkan uji toksisitas berhubungan dengan
gejala hipersensitifitas terhadap ekstrak kasar toksin.
Kemampuan Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Apresorium
Konidia cendawan diperoleh dari isolat yang berumur 7 hari pada media MEA Lampiran 1. Sebanyak ±10 ml air steril dituang di atas kultur tersebut.
Cawan selanjutnya digoyangkan selama 1 jam. Suspensi yang berisi konidia cendawan dimasukkan ke dalam falkon 15 ml dan divortek selama ±1 menit.
Suspensi selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000 xg selama 10 menit pada suhu 4
o
C. Supernatan dibuang dan pelet konidia diresuspensikan dengan penambahan 5 ml akuades steril. Jumlah konidia diatur sampai konsentrasi
konidia berkisar 1-3x10
5
ml. Perkecambahan konidia dan terbentuknya apresorium diuji mengikuti metode Lee Bostock 2006 yang dimodifikasi.
Pengamatan terhadap perkecambahan konidia dan pembentukan apresorium dilakukan dengan cara mengoleskan suspensi konidia ke bagian kulit
kayu tanaman Aquilaria sp. sehat yang telah disterilisasi permukaannya. Kulit kayu disayat selanjutnya diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah berisi
kertas tissue basah. Pengamatan terbentuknya apresorium juga diamati dengan cara meletakan sebanyak 3-5 tetes suspensi konidia di atas gelas objek.
Pengamatan terbentuknya apresorium dilakukan 2, 4, 6, 8, dan 24 jam setelah inkubasi. Sebelum pengamatan, kulit kayu yang diberi perlakuan konidia
direndam dengan biru tripan selama 20-30 menit, sedangkan konidia yang di atas gelas objek ditetesi dengan biru tripan. Kemudian diamati menggunakan
mikroskop cahaya.
Uji Aktivitas Enzimatik
Aktifitas enzimatik yang diamati meliputi aktifitas lignolitik dan selulolitik. Aktifitas lignolitik diuji secara kualitatif sedangkan aktifitas selolitik dipelajari
secara kualitatif dan kuntitatif. Aktivitas lignolitik yang diuji mencakup kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim polifenol oksidase, lakase, dan
tirosinase mengikuti metode Gramms et al. 1998. Sedangkan aktivitas selulolitik yang diuji adalah kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim
endoglukonase CMC-ase. Enzim polifenol oksidase dideteksi dengan cara menumbuhkan Fusarium
sp. IPBCC. 08.569 pada media MEA dengan penambahan asam galat 0,05 MEAG atau dengan penambahan asam tanat 0,05 MEAT selama 7 hari pada
suhu ruang. Terbentuknya warna coklat di bawah dan di sekitar koloni menunjukkan bahwa isolat bereaksi Bavedamm positif atau menghasilkan enzim
polifenol oksidase. Sedangkan deteksi adanya lakase dan tirosinase dilakukan dengan melihat perubahan warna berturut-turut setelah penetesan 1-2 tetes 0,1 M
1-naftol pada posisi pukul 12 dan 1-2 tetes 0,1 M p-kresol pada posisi pukul 6 pada koloni isolat uji umur 7 hari pada media MEA yang diinkubasi pada suhu
ruang. Perubahan warna diamati 1 jam dan 24 jam setelah penetesan. Terjadinya perubahan warna koloni dan medium di sekitar tempat penetesan 1-naftol menjadi
biru sampai ungu menandakan terbentuknya lakase. Jika terbentuk merah orange sampai coklat setelah penetesan p-kresol menandakan terbentuknya tirosinase.
Aktivitas selulolitik diuji secara kualitatif mengikuti metode Teather Petter 1987. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ditumbuhkan pada media agar CMC
1 Lampiran 1 dalam dua tahapan dan masing-masing dalam tahapan penumbuhan, kultur diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas
selulolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih pada medium tersebut.
Zona jernih yang terbentuk divisualisasikan dengan cara menuangkan pewarna merah kongo 0,1 selama 15 menit. Kemudian zat warna dibuang dan medium
dibanjiri dengan 1M NaCl selama 15 menit. Pada saat ini zona bening akan tampak, sedangkan di luar zona jernih medium akan bewarna merah.
Analisis kuantitatif aktivitas selulolitik dilakukan dengan dua tahap yaitu persiapan ekstrak kasar enzim dan asai enzim. Ekstrak kasar enzim diperoleh
dengan menanamkan 3 potongan inokulum dengan diameter 0.5 cmpotongan pada 100 ml medium cair CMC 1 dengan pH 7 di dalam erlenmeyer 250 ml.
Inokulum berasal dari biakan yang ditumbuhkan dalam medium agar CMC 1 yang berumur 7 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang di dalam mesin
penggoyang selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan
10.000 xg selama 10 menit, suhu 4
o
C. Filtrat yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk asai enzim CMC-ase.
Aktivitas CMC-ase diuji mengikuti metode Miller 1959. Sebanyak 0,5 ml filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi 21 x 1.5 cm dan dicampur dengan 0,5 ml
larutan CMC 1 dalam buffer posfat pH 7.5 Lampiran 1, diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30
o
C. Selanjutnya reaksi dihentikan dengan menambahkan 1 ml DNS Lampiran 1 dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 100
o
C. Absorbansi kemudian dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan
spektrofotometer. Konsentrasi CMC-ase yang dihasilkan diperoleh melalui konversi absorbansi dengan menggunakan kurva standar glukosa Lampiran 2.
Aktivitas CMC-ase dinyatakan dalam unit per ml filtrat. Satu unit setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan selama 1 jam.
Uji Hipersensitif Toksin
Uji hipersensitifitas ekstrak kasar toksin dilakukan pada daun tembakau yang telah berumur ±4 bulan. Pertama-tama ekstrak kasar toksin diproduksi
dengan cara menumbuhkan sebanyak tiga potong koloni cendawan dengan diameter 0.5 cmpotongan di dalam erlenmeyer yang telah berisi 100 ml media
cair dekstrosa kentang. Kemudian cendawan diinkubasi pada suhu 28
o
C, sambil digoyang dengan kecepatan 121 rpm selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan
kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 5.000 xg selama 15 menit, suhu 4
o
C. Filtrat yang terbukti bebas dari konidia cendawan selanjutnya siap digunakan untuk uji aktivitas
toksin. Sebanyak ±1 ml filtrat yang telah bebas konidia cendawan dioleskan ke
permukaan daun tembakau steril. Tanaman yang telah diberi perlakuan disungkup menggunakan plastik bening selama 2 hari. Setelah dua hari tutup plastik dibuka
dan tanaman dibiarkan kembali tumbuh pada lingkungan biasa. Aktivitas toksin yang dihasilkan diamati secara visual dengan timbulnya gejala nekrosis pada
permukaan daun yang diberi perlakuan. Sebagai kontrol digunakan daun yang hanya dioles dengan media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat dan daun
sehat tanpa perlakuan. Toksisitas dinyatakan sebagai rataan skor Tabel 1. Tabel 1 Cara penilaian aktivitas hipersensitifitas toksin
Skor Gejala
tidak adanya gejala nekrosis 1
kurang dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis 2
lebih dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis.
3.3.2.2 Analisis Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Analisis kolonisasi dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan pewarna biru tripan dan SEM. Analisis kolonisasi cendawan diamati pada daerah
kayu yang diinokulasi dan di luar daerah inokulasi di atas dan di bawah kayu yang diinokulasi pada 7, 14, dan 21 hari setelah inokulasi 7, 14, dan 21 hsi.
Inokulasi Cendawan ke Batang Aquilaria sp.
Sebelum pengamatan
kolonisasi, Fusarium
sp. IPBCC.
08.569 diinokulasikan pada batang bibit Aquilaria sp. sehat, umur ±1 tahun dengan
diameter ±0,5 cm, dan tinggi ±30 cm. Bagian batang yang akan diinokulasi dilukai sepanjang ±2 cm dengan membuang setengah dari kulit dan kambium
batang. Seluruh permukaan batang yang telah dilukai selanjutnya ditempel dengan isolat uji, dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip.
Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai tanpa diberi
perlakuan sebagai kontrol positif dan tanaman yang sehat sebagai kontrol negatif. Inokulasi dilakukan pada 10 tanaman.
Pewarnaan Menggunakan Biru Tripan
Bagian kayu yang telah diinokulasi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.5 cm. Kemudian kayu dicuci dengan
akuades. Potongan kayu selanjutnya dibekukan pada suhu -18
o
C sebelum disayat secara melintang dan membujur dengan mikrotom beku Yamato RV-240.
Proses pewarnaan biru tripan dilakukan mengikuti metode Kormanick McGraw 1982. Sayatan kayu direndam dalam larutan KOH 10 vv pada
suhu 90
o
C selama 30 menit dan direndam kembali pada suhu ruang selama 24
jam. Apabila selama proses tersebut kolonisasi cendawan masih belum bisa diamati, maka perendaman diperpanjang sampai kolonisasi cendawan dapat
dibedakan dengan sel tanaman. KOH dibuang dan sisanya dihilangkan dengan membilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Sayatan kayu direndam dalam
larutan HCl 1N selama 2-3 jam. kemudian diwarnai dengan pewarna biru tripan 0.05 Lampiran 1 selama 20-30 menit dan disimpan dalam larutan gliserin 50
Kormik Graw 1982. Sayatan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2. Proses kolonisasi yang terjadi
selanjutnya didokumentasikan menggunakan kamera digital.
Pengamatan di bawah Mikroskop Pemindai Elektron SEM
Bagian kayu yang telah diinokulasi 7, 14, dan 21 hsi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong sepanjang ±1 cm. Bagian kayu tersebut selanjutnya
siap untuk dipreparasi. Preparasi diawali dengan membersihkan kayu di dalam caccodylate buffer ± 2 jam, kemudian diagitasi dalam ultrasonic cleaner selama 5
menit. Selanjutnya dilakukan proses prefiksasi dengan cara merendam kayu di dalam larutan glutaraldehyde 2.3 selama 2 hari. Sedangkan proses fiksasi
dilakukan dengan cara merendam kayu di dalam tannic acid 2 selama 6 jam, kemudian sampel dicuci 4 kali dengan caccodylate buffer selama 5 menit. Proses
selanjutnya adalah proses dehidrasi, kayu secara bertahap direndam 4 kali di dalam alkohol 50 selama 5 menit, 1 kali di dalam alkohol 70 selama 20 menit,
1 kali di dalam alkohol 85 selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 95 selama
20 menit, dan 2 kali di dalam alkohol absolut selama 10 menit. Terakhir dilakukan proses pengeringan dengan cara merendam kayu dua kali di dalam tert butanol
selama 10 menit, dibekukan di dalam freezer sampai beku, dan terakhir dimasukkan ke dalam freezed drier sampai kering.
Kayu yang sudah kering diletakan di atas batang besi, kemudian bagian permukaan batang yang diinokulasi dan dilukai dilapisi dengan emas dalam
technic Hummer V sputter coater. Pengamatan pada bagian dalam kayu yang terinfeksi dilakukan dengan membuang bagian permukaan kayu yang diinokulasi
menggunakan mikrotom beku, kemudian dilapisi kembali dengan emas tanpa preparasi kembali. Selanjutnya struktur cendawan yang terdapat pada kayu yang
terinfeksi diamati menggunakan mikroskop elektron model JSM 5000 LV yang dioperasikan pada tegangan 20 kv. Pengamatan menggunakan SEM dilakukan di
laboratorium mikroskop SEM, Zoologi LIPI Cibinong.
3.3.3 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Respon tanaman terhadap isolat uji diamati dengan melihat gejala yang ditimbulkan setelah inokulasi. Gejala yang terjadi pada tingkat seljaringan
diamati dengan uji histokimia. Sedangkan gejala yang teramati pada tingkat organ dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Pengamatan terhadap gejala yang
ditimbulkan diamati 7, 14, dan 21 hsi.
3.3.3.1 Uji Histokimia
Uji histokimia yang diamati meliputi uji terpenoid dan pati. Bagian kayu yang telah diinokulasi dan daerah perubahan warna dipotong secara melintang
menggunakan mikrotom beku Yamato RV-240. Sayatan kayu kemudian direndam dalam larutan tembaga asetat 50 selama 30 menit untuk uji terpenoid
Martin et al. 2002. Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan gliserin 50. Sedangkan untuk pengamatan pati, sayatan
ditetesi dengan larutan I
2
KI 1 tanpa perendaman dengan larutan tembaga asetat 50. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya. Sebagai kontrol
digunakan sayatan batang tanaman yang hanya dilukai kontrol positif dan batang tanaman sehat kontrol negatif.
3.3.3.2 Gejala Luar
Gejala luar yang diamati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu pada daerah terinfeksi, dan adanya aroma wangi yang
dinyatakan dalam sistem skor 0-10 Tabel 2. Selanjutnya dinyatakan dalam bentuk rataan skor pada setiap pengamatan.
Tabel 2 Sistem skor respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Nilai Gejala
Daun Warna Kayu
Wangi
tidak klorosisklorosis putih
tidak wangi 1
tidak klorosisklorosis putih kecoklatan
tidak wangi 2
tidak klorosisklorosis coklat
tidak wangi 3
klorosis putih kecoklatan
agak wangi 4
tidak klorosis putih kecoklatan
agak wangi 5
klorosis coklat
agak wangi 6
tidak klorosis coklat
agak wangi 7
klorosis putih kecoklatan
wangi 8
tidak klorosis putih kecoklatan
wangi 9
klorosis coklat
wangi 10
tidak klorosis coklat
wangi Rumus rataan skor adalah sebagai berikut :
Keterangan : Xn = Tanaman ke –n
Skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pembentukan gaharu. Tingkat pembentukan gaharu dinyatakan dalam 3 kategori Tabel 3.
Tabel 3 Kategori tingkat pembentukan gaharu
Kategori skor
Tingkat pembentukan gubal gaharu
1 7-10
gaharu sudah terbentuk 2
3-6 gaharu mulai terbentuk
3 0-2
gaharu tidak terbentuk Selain melakukan pengamatan terhadap perubahan warna kayu, pengamatan
juga dilakukan terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna. Pertambahan panjang zona perubahan warna adalah panjang kayu yang
mengalami pertambahan panjang perubahan warna ke arah tajuk atas atau ke arah akar bawah dari daerah yang diinokulasi atau dilukai. Kulit kayu di sisi atas
dan bawah daerah yang diinokulasi dan dilukai dikupas dan panjang perubahan warnanya diukur. Sedangkan kedalaman perubahan warna diamati pada sayatan
melintang daerah yang diinokulasi atau dilukai.
3.3.4 Analisis Data
Data hasil pengamatan panjang dan dalam zona perubahan warna dianalisis dengan perangkat lunak SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap
RAL satu faktor dan RAL dengan waktu serta diuji F pada α = 5. Bila terdapat
pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia membentuk tabung kecambah pada jam ke-
6 Gambar 2a dan terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-8 Gambar 2b. Pengamatan pada jam ke-24 memperlihatkan adanya kumpulan miselium di
permukaan kulit kayu Gambar 2c. Kulit kayu Aquilaria sp. tidak memiliki lentisel dan hifa tidak ditemukan menembus permukaan kulit kayu.
Gambar 2 Perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia berkecambah kb. a 6 jam, b
8 jam, dan c 24 jam. Pada uji perkecambahan konidia secara in vitro di atas gelas objek, konidia
belum berkecambah pada jam ke-0. Konidia baru mulai menunjukkan adanya perkecambahan pada jam ke-4, dan tabung kecambah terus memanjang
membentuk hifa pada jam ke-6 dan ke-8. Jumlah konidia yang berkecambah sebesar 2.92 pada jam ke-4. Sampai pengamatan jam ke-8 persentase
perkecambahan konidia meningkat, namun hanya mencapai 5.42 Gambar 3. Sama halnya dengan pengamatan perkecambahan konidia pada permukaan kulit
kayu, apresorium juga tidak terbentuk di atas gelas objek.
Gambar 3 Persentase perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 5 µm
5 µm 5 µm
Miselium kb
hifa
a b
c