III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010-Maret 2011. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikologi Biologi IPB dan Laboratorium Reproduksi
Zoologi LIPI Cibinong.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah isolat cendawan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 koleksi IPBCC., asam galat, asam tanat, Dinitrosalycylic Acid DNS, I
2
KI 1, Carboxy Methyl Cellulose CMC 1, media agar dekstrosa kentang, media cair
dekstrosa kentang, pewarna merah kongo, media Malt Ekstrak Agar MEA, tanaman gaharu Aquilaria sp., pewarna biru tripan 50, tembaga asetat 50,
0.1M 1-naftol, 0.1M p-kresol, 1 M NaCl. Alat yang digunakan mikrotom beku, mikroskop cahaya, mikroskop pemindai elektron SEM.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian Gambar 1 yaitu :
1. Pengamatan mekanisme penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 2. Analisis kolonisasi cendawan menggunakan metode pewarna biru tripan dan
SEM. 3. Pengamatan perubahan fisiologi secara visual pada tingkat sel dan didukung
dengan respon lainnya.
Gambar 1 Bagan alur penelitian Gejala luar
Patogenesis Fusarium sp. IPBCC
08.569 pada Aquilaria sp.
Mekanisme penetrasi Mekanis pembentukan apresorium
Pewarna biru tripan
SEM Enzimatik
Hipersensitifitas toksin
Perubahan warna Klorosis
Uji histokimia
Aroma wangi Kolonisasi
Akumulasi terpenoid Akumulasi pati
Cendawan
Tanaman
3.3.1 Persiapan Inokulum Cendawan
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diperoleh dari bagian batang pohon yang wangi dan dengan lubang gerekan serangga. Pohon gaharu berasal dari desa Pasir
Garam, Kabupaten Bangka Tengah. Isolat tersebut diremajakan pada media agar dekstrosa kentang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Isolat akan
digunakan sebagai sumber inokulum untuk mempelajari proses patogenesis cendawan meliputi proses kolonisasi dan respon tanaman terhadap kolonisasi
cendawan.
3.3.2 Pengamatan Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
3.3.2.1 Mekanisme Penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Mekanisme penetrasi mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme penetrasi secara fisik diamati dengan kemungkinan
terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium, pengamatan enzimatik mencakup uji lignoselulolitik. Sedangkan uji toksisitas berhubungan dengan
gejala hipersensitifitas terhadap ekstrak kasar toksin.
Kemampuan Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Apresorium
Konidia cendawan diperoleh dari isolat yang berumur 7 hari pada media MEA Lampiran 1. Sebanyak ±10 ml air steril dituang di atas kultur tersebut.
Cawan selanjutnya digoyangkan selama 1 jam. Suspensi yang berisi konidia cendawan dimasukkan ke dalam falkon 15 ml dan divortek selama ±1 menit.
Suspensi selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000 xg selama 10 menit pada suhu 4
o
C. Supernatan dibuang dan pelet konidia diresuspensikan dengan penambahan 5 ml akuades steril. Jumlah konidia diatur sampai konsentrasi
konidia berkisar 1-3x10
5
ml. Perkecambahan konidia dan terbentuknya apresorium diuji mengikuti metode Lee Bostock 2006 yang dimodifikasi.
Pengamatan terhadap perkecambahan konidia dan pembentukan apresorium dilakukan dengan cara mengoleskan suspensi konidia ke bagian kulit
kayu tanaman Aquilaria sp. sehat yang telah disterilisasi permukaannya. Kulit kayu disayat selanjutnya diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah berisi
kertas tissue basah. Pengamatan terbentuknya apresorium juga diamati dengan cara meletakan sebanyak 3-5 tetes suspensi konidia di atas gelas objek.
Pengamatan terbentuknya apresorium dilakukan 2, 4, 6, 8, dan 24 jam setelah inkubasi. Sebelum pengamatan, kulit kayu yang diberi perlakuan konidia
direndam dengan biru tripan selama 20-30 menit, sedangkan konidia yang di atas gelas objek ditetesi dengan biru tripan. Kemudian diamati menggunakan
mikroskop cahaya.
Uji Aktivitas Enzimatik
Aktifitas enzimatik yang diamati meliputi aktifitas lignolitik dan selulolitik. Aktifitas lignolitik diuji secara kualitatif sedangkan aktifitas selolitik dipelajari
secara kualitatif dan kuntitatif. Aktivitas lignolitik yang diuji mencakup kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim polifenol oksidase, lakase, dan
tirosinase mengikuti metode Gramms et al. 1998. Sedangkan aktivitas selulolitik yang diuji adalah kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim
endoglukonase CMC-ase. Enzim polifenol oksidase dideteksi dengan cara menumbuhkan Fusarium
sp. IPBCC. 08.569 pada media MEA dengan penambahan asam galat 0,05 MEAG atau dengan penambahan asam tanat 0,05 MEAT selama 7 hari pada
suhu ruang. Terbentuknya warna coklat di bawah dan di sekitar koloni menunjukkan bahwa isolat bereaksi Bavedamm positif atau menghasilkan enzim
polifenol oksidase. Sedangkan deteksi adanya lakase dan tirosinase dilakukan dengan melihat perubahan warna berturut-turut setelah penetesan 1-2 tetes 0,1 M
1-naftol pada posisi pukul 12 dan 1-2 tetes 0,1 M p-kresol pada posisi pukul 6 pada koloni isolat uji umur 7 hari pada media MEA yang diinkubasi pada suhu
ruang. Perubahan warna diamati 1 jam dan 24 jam setelah penetesan. Terjadinya perubahan warna koloni dan medium di sekitar tempat penetesan 1-naftol menjadi
biru sampai ungu menandakan terbentuknya lakase. Jika terbentuk merah orange sampai coklat setelah penetesan p-kresol menandakan terbentuknya tirosinase.
Aktivitas selulolitik diuji secara kualitatif mengikuti metode Teather Petter 1987. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ditumbuhkan pada media agar CMC
1 Lampiran 1 dalam dua tahapan dan masing-masing dalam tahapan penumbuhan, kultur diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas
selulolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih pada medium tersebut.
Zona jernih yang terbentuk divisualisasikan dengan cara menuangkan pewarna merah kongo 0,1 selama 15 menit. Kemudian zat warna dibuang dan medium
dibanjiri dengan 1M NaCl selama 15 menit. Pada saat ini zona bening akan tampak, sedangkan di luar zona jernih medium akan bewarna merah.
Analisis kuantitatif aktivitas selulolitik dilakukan dengan dua tahap yaitu persiapan ekstrak kasar enzim dan asai enzim. Ekstrak kasar enzim diperoleh
dengan menanamkan 3 potongan inokulum dengan diameter 0.5 cmpotongan pada 100 ml medium cair CMC 1 dengan pH 7 di dalam erlenmeyer 250 ml.
Inokulum berasal dari biakan yang ditumbuhkan dalam medium agar CMC 1 yang berumur 7 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang di dalam mesin
penggoyang selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan
10.000 xg selama 10 menit, suhu 4
o
C. Filtrat yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk asai enzim CMC-ase.
Aktivitas CMC-ase diuji mengikuti metode Miller 1959. Sebanyak 0,5 ml filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi 21 x 1.5 cm dan dicampur dengan 0,5 ml
larutan CMC 1 dalam buffer posfat pH 7.5 Lampiran 1, diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30
o
C. Selanjutnya reaksi dihentikan dengan menambahkan 1 ml DNS Lampiran 1 dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 100
o
C. Absorbansi kemudian dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan
spektrofotometer. Konsentrasi CMC-ase yang dihasilkan diperoleh melalui konversi absorbansi dengan menggunakan kurva standar glukosa Lampiran 2.
Aktivitas CMC-ase dinyatakan dalam unit per ml filtrat. Satu unit setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan selama 1 jam.
Uji Hipersensitif Toksin
Uji hipersensitifitas ekstrak kasar toksin dilakukan pada daun tembakau yang telah berumur ±4 bulan. Pertama-tama ekstrak kasar toksin diproduksi
dengan cara menumbuhkan sebanyak tiga potong koloni cendawan dengan diameter 0.5 cmpotongan di dalam erlenmeyer yang telah berisi 100 ml media
cair dekstrosa kentang. Kemudian cendawan diinkubasi pada suhu 28
o
C, sambil digoyang dengan kecepatan 121 rpm selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan
kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 5.000 xg selama 15 menit, suhu 4
o
C. Filtrat yang terbukti bebas dari konidia cendawan selanjutnya siap digunakan untuk uji aktivitas
toksin. Sebanyak ±1 ml filtrat yang telah bebas konidia cendawan dioleskan ke
permukaan daun tembakau steril. Tanaman yang telah diberi perlakuan disungkup menggunakan plastik bening selama 2 hari. Setelah dua hari tutup plastik dibuka
dan tanaman dibiarkan kembali tumbuh pada lingkungan biasa. Aktivitas toksin yang dihasilkan diamati secara visual dengan timbulnya gejala nekrosis pada
permukaan daun yang diberi perlakuan. Sebagai kontrol digunakan daun yang hanya dioles dengan media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat dan daun
sehat tanpa perlakuan. Toksisitas dinyatakan sebagai rataan skor Tabel 1. Tabel 1 Cara penilaian aktivitas hipersensitifitas toksin
Skor Gejala
tidak adanya gejala nekrosis 1
kurang dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis 2
lebih dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis.
3.3.2.2 Analisis Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Analisis kolonisasi dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan pewarna biru tripan dan SEM. Analisis kolonisasi cendawan diamati pada daerah
kayu yang diinokulasi dan di luar daerah inokulasi di atas dan di bawah kayu yang diinokulasi pada 7, 14, dan 21 hari setelah inokulasi 7, 14, dan 21 hsi.
Inokulasi Cendawan ke Batang Aquilaria sp.
Sebelum pengamatan
kolonisasi, Fusarium
sp. IPBCC.
08.569 diinokulasikan pada batang bibit Aquilaria sp. sehat, umur ±1 tahun dengan
diameter ±0,5 cm, dan tinggi ±30 cm. Bagian batang yang akan diinokulasi dilukai sepanjang ±2 cm dengan membuang setengah dari kulit dan kambium
batang. Seluruh permukaan batang yang telah dilukai selanjutnya ditempel dengan isolat uji, dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip.
Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai tanpa diberi
perlakuan sebagai kontrol positif dan tanaman yang sehat sebagai kontrol negatif. Inokulasi dilakukan pada 10 tanaman.
Pewarnaan Menggunakan Biru Tripan
Bagian kayu yang telah diinokulasi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.5 cm. Kemudian kayu dicuci dengan
akuades. Potongan kayu selanjutnya dibekukan pada suhu -18
o
C sebelum disayat secara melintang dan membujur dengan mikrotom beku Yamato RV-240.
Proses pewarnaan biru tripan dilakukan mengikuti metode Kormanick McGraw 1982. Sayatan kayu direndam dalam larutan KOH 10 vv pada
suhu 90
o
C selama 30 menit dan direndam kembali pada suhu ruang selama 24
jam. Apabila selama proses tersebut kolonisasi cendawan masih belum bisa diamati, maka perendaman diperpanjang sampai kolonisasi cendawan dapat
dibedakan dengan sel tanaman. KOH dibuang dan sisanya dihilangkan dengan membilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Sayatan kayu direndam dalam
larutan HCl 1N selama 2-3 jam. kemudian diwarnai dengan pewarna biru tripan 0.05 Lampiran 1 selama 20-30 menit dan disimpan dalam larutan gliserin 50
Kormik Graw 1982. Sayatan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2. Proses kolonisasi yang terjadi
selanjutnya didokumentasikan menggunakan kamera digital.
Pengamatan di bawah Mikroskop Pemindai Elektron SEM
Bagian kayu yang telah diinokulasi 7, 14, dan 21 hsi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong sepanjang ±1 cm. Bagian kayu tersebut selanjutnya
siap untuk dipreparasi. Preparasi diawali dengan membersihkan kayu di dalam caccodylate buffer ± 2 jam, kemudian diagitasi dalam ultrasonic cleaner selama 5
menit. Selanjutnya dilakukan proses prefiksasi dengan cara merendam kayu di dalam larutan glutaraldehyde 2.3 selama 2 hari. Sedangkan proses fiksasi
dilakukan dengan cara merendam kayu di dalam tannic acid 2 selama 6 jam, kemudian sampel dicuci 4 kali dengan caccodylate buffer selama 5 menit. Proses
selanjutnya adalah proses dehidrasi, kayu secara bertahap direndam 4 kali di dalam alkohol 50 selama 5 menit, 1 kali di dalam alkohol 70 selama 20 menit,
1 kali di dalam alkohol 85 selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 95 selama
20 menit, dan 2 kali di dalam alkohol absolut selama 10 menit. Terakhir dilakukan proses pengeringan dengan cara merendam kayu dua kali di dalam tert butanol
selama 10 menit, dibekukan di dalam freezer sampai beku, dan terakhir dimasukkan ke dalam freezed drier sampai kering.
Kayu yang sudah kering diletakan di atas batang besi, kemudian bagian permukaan batang yang diinokulasi dan dilukai dilapisi dengan emas dalam
technic Hummer V sputter coater. Pengamatan pada bagian dalam kayu yang terinfeksi dilakukan dengan membuang bagian permukaan kayu yang diinokulasi
menggunakan mikrotom beku, kemudian dilapisi kembali dengan emas tanpa preparasi kembali. Selanjutnya struktur cendawan yang terdapat pada kayu yang
terinfeksi diamati menggunakan mikroskop elektron model JSM 5000 LV yang dioperasikan pada tegangan 20 kv. Pengamatan menggunakan SEM dilakukan di
laboratorium mikroskop SEM, Zoologi LIPI Cibinong.
3.3.3 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Respon tanaman terhadap isolat uji diamati dengan melihat gejala yang ditimbulkan setelah inokulasi. Gejala yang terjadi pada tingkat seljaringan
diamati dengan uji histokimia. Sedangkan gejala yang teramati pada tingkat organ dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Pengamatan terhadap gejala yang
ditimbulkan diamati 7, 14, dan 21 hsi.
3.3.3.1 Uji Histokimia
Uji histokimia yang diamati meliputi uji terpenoid dan pati. Bagian kayu yang telah diinokulasi dan daerah perubahan warna dipotong secara melintang
menggunakan mikrotom beku Yamato RV-240. Sayatan kayu kemudian direndam dalam larutan tembaga asetat 50 selama 30 menit untuk uji terpenoid
Martin et al. 2002. Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan gliserin 50. Sedangkan untuk pengamatan pati, sayatan
ditetesi dengan larutan I
2
KI 1 tanpa perendaman dengan larutan tembaga asetat 50. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya. Sebagai kontrol
digunakan sayatan batang tanaman yang hanya dilukai kontrol positif dan batang tanaman sehat kontrol negatif.
3.3.3.2 Gejala Luar
Gejala luar yang diamati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu pada daerah terinfeksi, dan adanya aroma wangi yang
dinyatakan dalam sistem skor 0-10 Tabel 2. Selanjutnya dinyatakan dalam bentuk rataan skor pada setiap pengamatan.
Tabel 2 Sistem skor respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Nilai Gejala
Daun Warna Kayu
Wangi
tidak klorosisklorosis putih
tidak wangi 1
tidak klorosisklorosis putih kecoklatan
tidak wangi 2
tidak klorosisklorosis coklat
tidak wangi 3
klorosis putih kecoklatan
agak wangi 4
tidak klorosis putih kecoklatan
agak wangi 5
klorosis coklat
agak wangi 6
tidak klorosis coklat
agak wangi 7
klorosis putih kecoklatan
wangi 8
tidak klorosis putih kecoklatan
wangi 9
klorosis coklat
wangi 10
tidak klorosis coklat
wangi Rumus rataan skor adalah sebagai berikut :
Keterangan : Xn = Tanaman ke –n
Skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pembentukan gaharu. Tingkat pembentukan gaharu dinyatakan dalam 3 kategori Tabel 3.
Tabel 3 Kategori tingkat pembentukan gaharu
Kategori skor
Tingkat pembentukan gubal gaharu
1 7-10
gaharu sudah terbentuk 2
3-6 gaharu mulai terbentuk
3 0-2
gaharu tidak terbentuk Selain melakukan pengamatan terhadap perubahan warna kayu, pengamatan
juga dilakukan terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna. Pertambahan panjang zona perubahan warna adalah panjang kayu yang
mengalami pertambahan panjang perubahan warna ke arah tajuk atas atau ke arah akar bawah dari daerah yang diinokulasi atau dilukai. Kulit kayu di sisi atas
dan bawah daerah yang diinokulasi dan dilukai dikupas dan panjang perubahan warnanya diukur. Sedangkan kedalaman perubahan warna diamati pada sayatan
melintang daerah yang diinokulasi atau dilukai.
3.3.4 Analisis Data
Data hasil pengamatan panjang dan dalam zona perubahan warna dianalisis dengan perangkat lunak SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap
RAL satu faktor dan RAL dengan waktu serta diuji F pada α = 5. Bila terdapat
pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia membentuk tabung kecambah pada jam ke-
6 Gambar 2a dan terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-8 Gambar 2b. Pengamatan pada jam ke-24 memperlihatkan adanya kumpulan miselium di
permukaan kulit kayu Gambar 2c. Kulit kayu Aquilaria sp. tidak memiliki lentisel dan hifa tidak ditemukan menembus permukaan kulit kayu.
Gambar 2 Perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia berkecambah kb. a 6 jam, b
8 jam, dan c 24 jam. Pada uji perkecambahan konidia secara in vitro di atas gelas objek, konidia
belum berkecambah pada jam ke-0. Konidia baru mulai menunjukkan adanya perkecambahan pada jam ke-4, dan tabung kecambah terus memanjang
membentuk hifa pada jam ke-6 dan ke-8. Jumlah konidia yang berkecambah sebesar 2.92 pada jam ke-4. Sampai pengamatan jam ke-8 persentase
perkecambahan konidia meningkat, namun hanya mencapai 5.42 Gambar 3. Sama halnya dengan pengamatan perkecambahan konidia pada permukaan kulit
kayu, apresorium juga tidak terbentuk di atas gelas objek.
Gambar 3 Persentase perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 5 µm
5 µm 5 µm
Miselium kb
hifa
a b
c
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak memiliki kemampuan menembus kulit kayu sebagai penghalang fisik
penetrasi serta persentase perkecambahan yang juga rendah, maka pada studi kolonisasi inokulasi dilakukan pada batang yang telah dilukai. Batang dilukai
dengan jalan membuang kulit kayu dan jaringan floem. Inokulan yang diberikan berupa biomasa Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Sama halnya dengan pengamatan
pembentukan apresorium di permukaan kulit kayu yang utuh dan di atas gelas objek apresorium juga tidak terbentuk pada permukaan kayu yang dilukai tempat
kontak langsung dengan inokulan. Setelah hifa dan konidia melekat di permukaan kayu yang dilukai Gambar
4a, konidia berkecambah Gambar 4b, selanjutnya membentuk hifa penetrasi Gambar 4c. Hifa penetrasi tersebut masuk ke sel-sel xilem yang terluka Gambar
4c. Pada jaringan parenkima jejari yang terluka, hifa berkembang ke sel tetangga melalui pori-pori sel Gambar 4d.
Gambar 4 Perkecambahan konidia dan hifa penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kayu Aquilaria sp. yang dilukai pada 7 hsi. a
hifa dan konidia k, b konidia berkecambah kb, c hifa penetrasi hp masuk melalui jaringan terluka, dan d hifa penetrasi hp di
dalam parenkima jejari terluka menembus sel berikutnya melalui pori. Perbesaran 2000x.
hifa konidia
kb
pori hp
hp
a b
c d
Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Uji
lignolitik Fusarium sp. IPBCC. 08.569 secara kualitatif di dalam media yang mengandung lignin membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu
merombak atau menggunakan lignin sebagai sumber karbon. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu menggunakan beberapa sumber karbon kompleks seperti
asam galat, asam tanat, naftol, dan p-kresol. Pada medium MEAG, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadinya perubahan warna medium menjadi
kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni Gambar 5. Pada medium MEAT, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadi perubahan warna medium
menjadi kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni dan terbentuk zona bening di sekeliling koloni Gambar 6. Terjadinya diskolorisasi pada media MEAG dan
MEAT menunjukkan reaksi Bavedamm positif yang menjadi indikasi terbentuknya enzim polifenol oksidase.
Gambar 5 Diskolorisasi medium MEAG akibat aktifitas polifenol oksidase kiri dan kontrol kanan setelah 7 hari inkubasi.
Gambar 6 Diskolorisasi medium MEAT dan terbentuknya zona bening di
sekeliling koloni akibat aktifitas polifenol oksidase kiri dan kontrol kanan setelah 7 hari inkubasi.
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan lakase dan tirosinase. Lakase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi ungu
setelah 1 jam penetesan 0,1M 1-naftol, warna ungu menjadi semakin pekat setelah
pengamatan pada jam ke-24 Gambar 7. Sedangkan tirosinase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi kuning kemerahan setelah
pengamatan 1 jam penetesan 0,1M p-kresol dan menjadi merah setelah pengamatan jam ke-24 Gambar 7.
Gambar 7 Perubahan warna koloni Fusarium sp. IPBCC. 08.569 setelah
ditetesi 0,1 M naftol pk. 12.00 dan 0,1 M p-kresol pk. 6.00. Sebelum penetesan kiri dan setelah penetesan kanan. a satu jam
setelah penetesan, b 24 jam setelah penetesan.
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga memiliki aktivitas enzim selulolitik. Galur ini memiliki indeks selulolitik Gambar 8 sebesar 0,039 dan aktivitas
enzim sebesar 0,01 Uml filtrat. Berdasarkan kemampuan cendawan dalam menggunakan CMC sebagai sumber karbon membuktikan Fusarium sp. IPBCC.
08.569 membentuk enzim CMC-ase.
Gambar 8 Zona jernih yang terbentuk pada medium CMC 1 sebelum divisualisasikan dengan merah kongo 1 kiri dan setelah
divisualisasikan dengan merah kongo kanan 4 hari inkubasi. Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569
juga menghasilkan toksin. Uji hipersensitifitas ekstrak kasar filtrat pada daun tembakau menyebabkan timbulnya gejala hipersensitifitas berupa nekrosis. Gejala
hipersensitifitas yang ditimbulkan sangat rendah dengan rataan skor sebesar 0,43. Gejala nekrosis muncul pada hari ke-3. Pada pengamatan hari ke-5 dan ke-7 tidak
terjadi penambahan gejala nekrosis Gambar 9a. Berbeda dengan daun yang dioles dengan ekstrak kasar filtrat, pada daun baik yang hanya diolesi dengan
a 1 jam b 2 jam
media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat Gambar 9b maupun daun sehat Gambar 9c tidak terlihat adanya gejala nekrosis.
Gambar 9 Gejala hipersensitifitas daun tembakau a setelah dioles dengan ekstrak kasar toksin, b dioles media cair dekstrosa kentang tanpa
biakan isolat, dan c daun sehat pengamatan hari ke-5. Tanda panah menunjukkan bagian daun yang mengalami nekrosis.
Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati sampai akhir pengamatan terbatas pada jaringan hidup. Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC.
08.569 pada 7 hsi ditemukan pada jaringan parenkima jejari dan lapisan pertama included phloem dari permukaan tempat inokulasi. Pada 14 hsi, kolonisasi telah
mencapai setengah dari tebal jaringan xilem dan terdapat pada jaringan xilem yang sama dengan 7 hsi. Kolonisasi pada 21 hsi juga ditemukan pada jaringan
yang sama dengan pengamatan sebelumnya pada daerah xilem dan berkembang ke bagian empelur. Kolonisasi ke arah luar daerah inokulasi baru teramati 14 hsi,
± 100 um ke arah atas dan bawah dari daerah inokulasi di jaringan xilem yang sama hanya sebagian kecil dari daerah perubahan warna dan tidak terjadi
penambahan luas daerah kolonisasi pada pengamatan 21 hsi. Struktur cendawan yang dibentuk di dalam sel tanaman setelah hifa
penetrasi adalah vesikelgelembung Gambar 10a dan hifa infeksi Gambar 10b. Sedangkan struktur seperti haustorium tidak ditemukan. Hifa menembus sel
tetangga melalui pori-pori sel Gambar 10c dan masuk ke dalam sel-sel di included phloem Gambar 10d yang terletak di dekat sel parenkima jejari yang
terinfeksi. Infeksi cendawan menyebabkan jaringan included phloem mengalami kerusakan Gambar 10d. Pada pengamatan 14 hsi, klamidospora ditemukan di
permukaan batang yang diinokulasi Gambar 10e. a
b c
Gambar 10 Perkembangan hifa dan kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di dalam sel-sel jaringan xilem Aquilaria sp. a vesikel v di dalam
parenkima jejari pada 7 hsi, b hifa infeksi hi di dalam parenkima jejari pada 14 hsi, c hifa menembus sel tetangga melalui pori sel
pada 14 hsi, d hifa di dalam included phloem pada 14 hsi, dan e struktur mirip klamidospora k pada 14 hsi. a,b,d, dan e merupakan
hasil foto mikroskop, sedangkan c merupakan hasil foto SEM perbesaran 1500x.
Pada 21 hsi, struktur hifa yang berfragmentasi menyerupai konidia ditemukan pada beberapa sel included phloem Gambar 11a dan parenkima jejari
Gambar 11b ±50 µm di bawah daerah yang diinokulasi. Sebagian dari fragmen tersebut berkecambah Gambar 11b. Pada 21 hsi hifa sudah mencapai sel-sel di
jaringan empelur Gambar 11c.
hifa
hifa
v
1 µm a
hi
1 µm b
c
e 5 µm
1 µm k
d
Gambar 11 Struktur hifa berfragmentasi hb menyerupai konidia pada 21 hsi di dalam included phloem a dan parenkima jejari b, serta hifa di
dalam sel-sel empelur c. Gambar a dan b merupakan hasil foto SEM perbesaran 2000 kali, sedangkan gambar c merupakan hasil
foto mikroskop cahaya.
Berbeda dengan tanaman yang diinokulasi, pada tanaman yang dilukai Gambar 12a 12b maupun tanaman yang sehat Gambar 12c tidak ditemukan
adanya strutur cendawan.
Gambar 12 Sayatan membujur a kayu Aquilaria sp. yang dilukai, serta sayatan melintang b dan membujur c kayu Aquilaria sp. sehat pada 14
hsi. Parenkima jejari pj, included phloem ip, dan unsur trakea xilem utx. Gambar a dan c merupakan hasil foto SEM perbesaran
750x, sedangkan b merupakan hasil foto mikroskop cahaya.
hb hb
hifa
5 µm
a b
c
5 µm ip
pj utx
pj
a b
c utx
pj
4.1.2 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
Respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati pada tingkat sel dan jaringan berupa akumulasi senyawa terpenoid. Di
daerah inokulasi, akumulasi senyawa terpenoid dapat ditemukan pada jaringan xilem di dalam parenkima jejari, included phloem Gambar 13a, dan unsur trakea
xilem Gambar 13b pada 7 hsi dan 14 hsi. Kemudian berlanjut ke daerah empelur pada pengamatan 21 hsi Gambar 13c. Di luar daerah inokulasi, senyawa
terpenoid ditemukan pada jaringan xilem yang sama dengan daerah inokulasi di daerah perubahan warna Tabel 4, begitupun pada tanaman yang dilukai Gambar
13d. Pada tanaman sehat akumulasi senyawa terpenoid tidak ditemukan, namun
pada jaringan parenkima jejari dan included phloem Gambar14a, serta empelur Gambar 14b ditemukan adanya butir pati. Pada tanaman yang diinokulasi
cendawan dan dilukai butir pati ditemukan pada jaringan yang sama di dalam sel yang tidak terdapat akumulasi terpenoid.
Gambar 13 Senyawa terpenoid kuning kecoklatan pada sayatan melintang kayu Aquilaria sp. a-c setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569
pada 21 hsi dan d setelah pelukaan pada 21 hsi. Parenkima jejari pj, included phloem ip, unsur trakea xilem utx.
ip
5µm
d utx
ip
5µm
a utx
5µm
b
e
5µm
c pj
pj
Gambar 14 Akumulasi butir pati biru kehitaman pada sayatan melintang Aquilaria sp. sehat a di dalam included phloem ip dan parenkima
jejari pj, serta b di dalam empelur e. Respon tanaman akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang
teramati pada tingkat organ adalah klorosis daun, perubahan warna kayu di daerah inokulasi, dan terdeteksinya aroma wangi gaharu. Klorosis daun dan perubahan
warna kayu juga terjadi pada tanaman yang dilukai, sedangkan aroma wangi gaharu tidak terdeteksi akibat pelukaan.
Daun yang mengalami klorosis adalah daun yang berada dekat daerah inokulasi dan juga dilukai Gambar 15. Daun-daun yang klorosis dapat gugur
atau bertahan sampai akhir pengamatan. Perubahan warna terjadi di daerah kayu yang diinokulasi dan dilukai. Perubahan warna yang terjadi berkisar dari putih
kecoklatan sampai coklat. Inokulasi cendawan menyebabkan perubahan warna kayu menjadi coklat, sedangkan pelukaan menyebabkan warna menjadi putih
kecoklatan sampai akhir pengamatan Gambar 16. Pada tanaman sehat gejala tersebut tidak terjadi sampai akhir pengamatan.
Gambar 15 Klorosis daun Aquilaria sp. setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 7 hsi kiri dan tanaman sehat kanan.
pj
ip e
5µm 5µm
b a
Gambar 16 Perubahan warna kayu a putih, b putih kecoklatan, dan c coklat. Inokulasi cendawan dan pelukaan memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna P0.01. Tingkat perubahan warna kayu tertinggi terjadi akibat inokulasi Fusarium sp.
IPBCC. 08.569 dan berbeda sangat nyata dengan pelukaan Tabel 4. Periode inkubasi juga berpengaruh terhadap pertambahan panjang dan dalam zona
perubahan warna kayu Tabel 5. Pertambahan panjang zona perubahan warna akibat inokulasi cendawan hanya meningkat sampai pengamatan 14 hsi, kemudian
menurun pada pengamatan 21 Tabel 5. Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap zona perubahan warna mm
kayu Aquilaria sp. Perlakuan
Zona perubahan warna panjang
dalam Fusarium sp.
9,9c 1,0c
Kontrol + 1,4b
0,3b Kontrol -
0,0a 0,0a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5.
Tabel 5 Pengaruh periode inkubasi terhadap zona perubahan warna mm kayu Aquilaria sp.
Periode inkubasi hari
Zona perubahan warna Fusarium sp.
Kontrol + panjang
dalam panjang
dalam 7
7,9a 0,6a
0,4a 0,1a
14 11,6c
1,0b 2,0b
0,4b 21
10,3b 1,3b
1,8b 0,5b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5.
Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu, dan adanya aroma wangi yang dinyatakan dalam bentuk
rataan skor. Rataan skor menunjukkan pengaruh inokulasi dan pelukaan terhadap terbentuknya gaharu. Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi
a c
b
mengindulsi terbentuknya gaharu. Pengamatan yang dilakukan pada 7 hsi diperoleh rataan skor sebesar 3,73 yang berarti tanaman berpeluang menunjukkan
pembentukan gaharu. Pada pengamatan 14 hsi rataan skor meningkat menjadi 7,8 yang berarti semua tanaman telah menunjukkan pembentukan gaharu. Namun
pada pengamatan 21 hsi terjadi penurunan terbentuknya gaharu menjadi kategori ke-2 dengan rataan skor sebesar 5,64 Tabel 6. Berbeda dengan tanaman yang
diinokulasi, gejala terbentuknya gaharu tidak ditemukan pada tanaman yang dilukai saja. Pada pengamatan 7 hsi rataan skor sebesar 0, pada pengamatan 14 hsi
rataan skor sebesar 1,27, dan pada 21 hsi rataan skor sebesar 1. Tanaman masih dikategorikan ke dalam kelompok ke-3 karena rataan skor masih berada di bawah
2 sampai akhir pengamatan Tabel 6. Tabel 6 Pembentukan gaharu akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08. 569
Perlakuan Rataan skor perubahan fisik dan pembentukan aroma wangi
7 hsi 14 hsi
21 hsi Fusarium sp.
3,73 7,8
5,56 Kontrol +
1,27 1
Kontrol - 0,00
0,00 0,00
4.2 Pembahasan
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp. utuh maupun pada batang yang dilukai tempat kontak
langsung dengan inokulan. Cendawan ini mirip dengan Fusarium oxysporum yang tidak membentuk apresorium di permukaan luar gandum yang masih utuh Kang
Buchenauer 2002. Tapi berbeda dengan Fusarium moniliforme yang mampu membentuk apresorium pada saat menyerang benih kedelai Rahman et al. 2010.
Namun secara umum Fusarium spp. dilaporkan tidak membentuk apresorium untuk membantu penetrasi Kikot et al. 2009. Fusarium sp. IPBCC. 08.569
diketahui tidak dapat menembus penghalang fisik penetrasi kulit kayu, maka cendawan ini membutuhkan pelukaan untuk memulai penetrasi. Proses penetrasi
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terjadi secara pasif melalui daerah yang terluka atau pori-pori sel.
Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Enzim
lignoselulolitik yang dihasilkan diduga berperan dalam membantu penetrasi cendawan. Menurut Mendgen Deising 1993 ketika cendawan patogen tidak
membentuk apresorium, enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel yang dihasilkan diduga berperan dalam proses patogenesis. Tamuli et al. 2008
melaporkan bahwa
Fusarium oxysporum
juga menghasilkan
enzim lignoselulolitik saat menginfeksi batang Aquilaria malaccensis. Aktivitas
polifenol oksidase tertinggi dihasilkan pada 40 hari inkubasi 0,083 Uml, sedangkan aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada 20 hari inkubasi 5,01
Uml. Terjadinya perubahan aktivitas enzim yang dihasilkan diduga berperan dalam perkembangan infeksi dan gejala penyakit pada batang A. malaccensis
Tamuli et al. 2008. Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569
juga menghasilkan senyawa toksin ekstraseluler yang menyebabkan sel tanaman menjadi nekrosis. Toksin yang dihasilkan kemungkinan juga berperan dalam
proses penetrasi atau mungkin berperan untuk proses infeksi. Kang dan Buchenauer 1999 melaporkan bahwa Fusarium culmorum mengasilkan toksin
trikotesen pada saat menginfeksi gandum. Toksin yang dihasilkan ditemukan pada dinding sel, organel sel, jaringan floem, dan xilem. Toksin yang ditemukan pada
dinding sel diduga berperan dalam membantu penetrasi Kang dan Buchenauer 1999, sedangkan toksin yang ditemukan di dalam sel dan jaringan inang berperan
dalam perkembangan proses infeksi Kang dan Buchenauer 2002. Pengamatan lebih lanjut ke dalam jaringan Aquilaria sp. menunjukkan
bahwa kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terbatas pada jaringan hidup parenkima jejari, included phloem dan empelur tempat ditemukannya akumulasi
pati. Ketika Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menginfeksi jaringan included phloem, terjadi kerusakan pada jaringan tersebut, karena included phloem memiliki
dinding sel yang lebih tipis dibanding jaringan xilem lainnya. Enzim lignoselulolitik atau toksin yang dihasilkan diduga mampu merusak jaringan
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 merupakan cendawan patogen dan tergolong kedalam kelompok cendawan hemibiotrof
Cooke 1978.
Kondisi lingkungan kurang menguntungkan untuk perkembangan cendawan, karena telah ditemukan klamidospora dipermukaan kayu yang
diinokulasi pada 14 hsi. Diduga metode inokulasi yang digunakan kurang efektif untuk perkembangan cendawan. Menurut Jensen 2010 aerasi yang baik
dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan perkembangan kolonisasi cendawan di dalam tanaman gaharu sehingga dapat menghasilkan gaharu berkualitas.
Cendawan ini diduga telah bersporulasi pada pengamatan 21 hsi dengan ditemukannya hifa berfragmentasi yang menyerupai konidia Groenewald 2005.
Infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan timbulnya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap infeksi yang terjadi baik pada tingkat sel,
jaringan maupun organ. Respon non spesifik yang teramati adalah akumulasi senyawa terpenoid, klorosis daun, dan perubahan warna kayu. Gejala tersebut
selain terjadi pada batang yang diinokulasi, juga terjadi pada batang yang hanya dilukai. Sedangkan respon spesifik dicirikan dengan terbentuknya aroma wangi
khas gaharu dan hanya terdeteksi pada batang yang diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Hal yang sama juga pernah dilaporkan oleh Putri et al. 2008
bahwa inokulasi isolat uji dan pelukaan pada Aquilaria crassna menyebabkan terjadinya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap perlakuan.
Senyawa terpenoid diduga merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan Aquilaria sp. sebagai respon terhadap luka dan infeksi Fusarium sp. IPBCC.
08.569. Senyawa terpenoid tersebut disintesis di dalam jaringan hidup parenkima jejari, included phloem, dan empelur yang akan merusak akumulasi pati ketika
proses infeksi dan pelukaan terjadi. Menurut Qi et al. 2005; Okudera Ito 2009 seskuiterpenoid golongan terpenoid dibentuk pada sel hidup. Hal yang
sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok 1991 bahwa parenkima merupakan tempat terjadinya biosintesis senyawa gaharu. Kandungan pati dalam
parenkima akan menurun setelah pelukaan atau inokulasi cendawan. Sedangkan senyawa terpenoid yang ditemukan pada unsur trakea xilem diduga hanya tempat
deposit tapi bukan tempat sintesis senyawa terpenoid. Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun
diduga berhubungan dengan terganggunya ketersediaan hara akibat adanya
pelukaan. Kekurangan hara tersebut menyebabkan daun menjadi kekurangan pigmen klorofil sehingga daun menjadi klorosis Nieamann Visintini 2005.
Sedangkan perubahan warna kayu diduga terjadi akibat adanya akumulasi senyawa terpenoid dalam jaringan kayu. Terjadinya perluasan perubahan warna di
luar daerah infeksi diduga merupakan respon hipersensitif tanaman untuk membatasi infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Menurut Prins et al. 2000
respon hipersensitifitas tanaman bisa berupa terjadinya nekrosis sel dan adanya akumulasi senyawa pertahananan.
Inokulasi cendawan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih gelap dibanding pelukaan. Selain itu inokulasi cendawan juga menyebabkan panjang
dan dalam zona perubahan warna yang sangat berbeda nyata bila dibandingkan akibat pelukaan. Infeksi cendawan diduga menyebabkan peningkatan akumulasi
senyawa terpenoid, sehingga warna menjadi lebih gelap dan lebih panjang. Perubahan warna masih digunakan sebagai indikator kayu gaharu akan
menghasilkan senyawa gaharu. Semakin gelap warna yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat gubal gaharu yang dihasilkan Ng et al. 1997; Barden et al. 2000.
Aroma wangi hanya terdeteksi pada kayu yang diinokulasi dengan Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Diduga senyawa utama aroma wangi gaharu
turunan seskuiterpenoid dan peniletil kromon tidak terbentuk akibat adanya pelukaan namun karena infeksi cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman
gaharu dapat menginduksi terbentuknya seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al.
2009; Fudai et al. 2009; Okudera Ito 2009. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Qi 1995; Qi et al. 2005; dan Bhuiyan et al. 2009 bahwa senyawa utama
yang berperan dalam menghasilkan aroma wangi gaharu seskuiterpenoid dan turunan peniletil kromon tidak ditemukan pada pohon Aquilaria sp. yang sehat
maupun tanaman yang hanya dilukai, tapi pada pohon yang sakit dan terinfeksi. Diduga cendawan merangsang sintesis senyawa tersebut.
Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi menginduksi terbentuknya gaharu, sedangkan pelukaan tidak berpotensi dalam menginduksi terbentuknya gaharu.
Hal tersebut didukung dengan hasil rataan skor yang diperoleh. Terjadinya
perubahan peningkatan dan penurunan gejala pembentukan gaharu diduga karena metabolit sekunder yang berperan dalam pembentukan senyawa gaharu terus
berubah-ubah di dalam pohon gaharu. Perubahan tersebut diduga berhubungan dengan aktivitas infeksi cendawan. Senyawa gaharu yang dihasilkan akan
meningkat bersamaan dengan mulai terjadinya proses infeksi dan aroma wangi menurun dan hilang bersamaan dengan berhentinya proses infeksi cendawan.
Selain karena proses infeksi berhenti, terjadinya penurunan rataan skor pada akhir pengamatan diduga juga disebabkan karena penguapan senyawa terpenoid
seskuiterpenoid. Senyawa seskuiterpenoid merupakan senyawa yang mudah menguap dan diduga berpengaruh terhadap perubahan warna dan terbentuknya
aroma wangi Okudera Ito 2009. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Okudera Ito 2009 bahwa terjadi penurunan jumlah senyawa seskuiterpenoid yang
dihasilkan Aquilaria sp. setelah beberapa minggu diberi perlakuan metil jasmonat, asam salisilat, atau ß-glucan, diduga hal tersebut terjadi karena senyawa
seskuiterpenoid yang dihasilkan menguap ke udara.
V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan