Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Pembahasan

III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010-Maret 2011. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikologi Biologi IPB dan Laboratorium Reproduksi Zoologi LIPI Cibinong.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah isolat cendawan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 koleksi IPBCC., asam galat, asam tanat, Dinitrosalycylic Acid DNS, I 2 KI 1, Carboxy Methyl Cellulose CMC 1, media agar dekstrosa kentang, media cair dekstrosa kentang, pewarna merah kongo, media Malt Ekstrak Agar MEA, tanaman gaharu Aquilaria sp., pewarna biru tripan 50, tembaga asetat 50, 0.1M 1-naftol, 0.1M p-kresol, 1 M NaCl. Alat yang digunakan mikrotom beku, mikroskop cahaya, mikroskop pemindai elektron SEM.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian Gambar 1 yaitu : 1. Pengamatan mekanisme penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 2. Analisis kolonisasi cendawan menggunakan metode pewarna biru tripan dan SEM. 3. Pengamatan perubahan fisiologi secara visual pada tingkat sel dan didukung dengan respon lainnya. Gambar 1 Bagan alur penelitian Gejala luar Patogenesis Fusarium sp. IPBCC 08.569 pada Aquilaria sp. Mekanisme penetrasi Mekanis pembentukan apresorium Pewarna biru tripan SEM Enzimatik Hipersensitifitas toksin Perubahan warna Klorosis Uji histokimia Aroma wangi Kolonisasi Akumulasi terpenoid Akumulasi pati Cendawan Tanaman

3.3.1 Persiapan Inokulum Cendawan

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diperoleh dari bagian batang pohon yang wangi dan dengan lubang gerekan serangga. Pohon gaharu berasal dari desa Pasir Garam, Kabupaten Bangka Tengah. Isolat tersebut diremajakan pada media agar dekstrosa kentang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Isolat akan digunakan sebagai sumber inokulum untuk mempelajari proses patogenesis cendawan meliputi proses kolonisasi dan respon tanaman terhadap kolonisasi cendawan.

3.3.2 Pengamatan Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

3.3.2.1 Mekanisme Penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Mekanisme penetrasi mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme penetrasi secara fisik diamati dengan kemungkinan terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium, pengamatan enzimatik mencakup uji lignoselulolitik. Sedangkan uji toksisitas berhubungan dengan gejala hipersensitifitas terhadap ekstrak kasar toksin. Kemampuan Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Apresorium Konidia cendawan diperoleh dari isolat yang berumur 7 hari pada media MEA Lampiran 1. Sebanyak ±10 ml air steril dituang di atas kultur tersebut. Cawan selanjutnya digoyangkan selama 1 jam. Suspensi yang berisi konidia cendawan dimasukkan ke dalam falkon 15 ml dan divortek selama ±1 menit. Suspensi selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000 xg selama 10 menit pada suhu 4 o C. Supernatan dibuang dan pelet konidia diresuspensikan dengan penambahan 5 ml akuades steril. Jumlah konidia diatur sampai konsentrasi konidia berkisar 1-3x10 5 ml. Perkecambahan konidia dan terbentuknya apresorium diuji mengikuti metode Lee Bostock 2006 yang dimodifikasi. Pengamatan terhadap perkecambahan konidia dan pembentukan apresorium dilakukan dengan cara mengoleskan suspensi konidia ke bagian kulit kayu tanaman Aquilaria sp. sehat yang telah disterilisasi permukaannya. Kulit kayu disayat selanjutnya diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah berisi kertas tissue basah. Pengamatan terbentuknya apresorium juga diamati dengan cara meletakan sebanyak 3-5 tetes suspensi konidia di atas gelas objek. Pengamatan terbentuknya apresorium dilakukan 2, 4, 6, 8, dan 24 jam setelah inkubasi. Sebelum pengamatan, kulit kayu yang diberi perlakuan konidia direndam dengan biru tripan selama 20-30 menit, sedangkan konidia yang di atas gelas objek ditetesi dengan biru tripan. Kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya. Uji Aktivitas Enzimatik Aktifitas enzimatik yang diamati meliputi aktifitas lignolitik dan selulolitik. Aktifitas lignolitik diuji secara kualitatif sedangkan aktifitas selolitik dipelajari secara kualitatif dan kuntitatif. Aktivitas lignolitik yang diuji mencakup kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim polifenol oksidase, lakase, dan tirosinase mengikuti metode Gramms et al. 1998. Sedangkan aktivitas selulolitik yang diuji adalah kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim endoglukonase CMC-ase. Enzim polifenol oksidase dideteksi dengan cara menumbuhkan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada media MEA dengan penambahan asam galat 0,05 MEAG atau dengan penambahan asam tanat 0,05 MEAT selama 7 hari pada suhu ruang. Terbentuknya warna coklat di bawah dan di sekitar koloni menunjukkan bahwa isolat bereaksi Bavedamm positif atau menghasilkan enzim polifenol oksidase. Sedangkan deteksi adanya lakase dan tirosinase dilakukan dengan melihat perubahan warna berturut-turut setelah penetesan 1-2 tetes 0,1 M 1-naftol pada posisi pukul 12 dan 1-2 tetes 0,1 M p-kresol pada posisi pukul 6 pada koloni isolat uji umur 7 hari pada media MEA yang diinkubasi pada suhu ruang. Perubahan warna diamati 1 jam dan 24 jam setelah penetesan. Terjadinya perubahan warna koloni dan medium di sekitar tempat penetesan 1-naftol menjadi biru sampai ungu menandakan terbentuknya lakase. Jika terbentuk merah orange sampai coklat setelah penetesan p-kresol menandakan terbentuknya tirosinase. Aktivitas selulolitik diuji secara kualitatif mengikuti metode Teather Petter 1987. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ditumbuhkan pada media agar CMC 1 Lampiran 1 dalam dua tahapan dan masing-masing dalam tahapan penumbuhan, kultur diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas selulolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih pada medium tersebut. Zona jernih yang terbentuk divisualisasikan dengan cara menuangkan pewarna merah kongo 0,1 selama 15 menit. Kemudian zat warna dibuang dan medium dibanjiri dengan 1M NaCl selama 15 menit. Pada saat ini zona bening akan tampak, sedangkan di luar zona jernih medium akan bewarna merah. Analisis kuantitatif aktivitas selulolitik dilakukan dengan dua tahap yaitu persiapan ekstrak kasar enzim dan asai enzim. Ekstrak kasar enzim diperoleh dengan menanamkan 3 potongan inokulum dengan diameter 0.5 cmpotongan pada 100 ml medium cair CMC 1 dengan pH 7 di dalam erlenmeyer 250 ml. Inokulum berasal dari biakan yang ditumbuhkan dalam medium agar CMC 1 yang berumur 7 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang di dalam mesin penggoyang selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 10.000 xg selama 10 menit, suhu 4 o C. Filtrat yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk asai enzim CMC-ase. Aktivitas CMC-ase diuji mengikuti metode Miller 1959. Sebanyak 0,5 ml filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi 21 x 1.5 cm dan dicampur dengan 0,5 ml larutan CMC 1 dalam buffer posfat pH 7.5 Lampiran 1, diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30 o C. Selanjutnya reaksi dihentikan dengan menambahkan 1 ml DNS Lampiran 1 dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 100 o C. Absorbansi kemudian dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer. Konsentrasi CMC-ase yang dihasilkan diperoleh melalui konversi absorbansi dengan menggunakan kurva standar glukosa Lampiran 2. Aktivitas CMC-ase dinyatakan dalam unit per ml filtrat. Satu unit setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan selama 1 jam. Uji Hipersensitif Toksin Uji hipersensitifitas ekstrak kasar toksin dilakukan pada daun tembakau yang telah berumur ±4 bulan. Pertama-tama ekstrak kasar toksin diproduksi dengan cara menumbuhkan sebanyak tiga potong koloni cendawan dengan diameter 0.5 cmpotongan di dalam erlenmeyer yang telah berisi 100 ml media cair dekstrosa kentang. Kemudian cendawan diinkubasi pada suhu 28 o C, sambil digoyang dengan kecepatan 121 rpm selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 5.000 xg selama 15 menit, suhu 4 o C. Filtrat yang terbukti bebas dari konidia cendawan selanjutnya siap digunakan untuk uji aktivitas toksin. Sebanyak ±1 ml filtrat yang telah bebas konidia cendawan dioleskan ke permukaan daun tembakau steril. Tanaman yang telah diberi perlakuan disungkup menggunakan plastik bening selama 2 hari. Setelah dua hari tutup plastik dibuka dan tanaman dibiarkan kembali tumbuh pada lingkungan biasa. Aktivitas toksin yang dihasilkan diamati secara visual dengan timbulnya gejala nekrosis pada permukaan daun yang diberi perlakuan. Sebagai kontrol digunakan daun yang hanya dioles dengan media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat dan daun sehat tanpa perlakuan. Toksisitas dinyatakan sebagai rataan skor Tabel 1. Tabel 1 Cara penilaian aktivitas hipersensitifitas toksin Skor Gejala tidak adanya gejala nekrosis 1 kurang dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis 2 lebih dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis.

3.3.2.2 Analisis Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Analisis kolonisasi dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan pewarna biru tripan dan SEM. Analisis kolonisasi cendawan diamati pada daerah kayu yang diinokulasi dan di luar daerah inokulasi di atas dan di bawah kayu yang diinokulasi pada 7, 14, dan 21 hari setelah inokulasi 7, 14, dan 21 hsi. Inokulasi Cendawan ke Batang Aquilaria sp. Sebelum pengamatan kolonisasi, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diinokulasikan pada batang bibit Aquilaria sp. sehat, umur ±1 tahun dengan diameter ±0,5 cm, dan tinggi ±30 cm. Bagian batang yang akan diinokulasi dilukai sepanjang ±2 cm dengan membuang setengah dari kulit dan kambium batang. Seluruh permukaan batang yang telah dilukai selanjutnya ditempel dengan isolat uji, dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip. Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai tanpa diberi perlakuan sebagai kontrol positif dan tanaman yang sehat sebagai kontrol negatif. Inokulasi dilakukan pada 10 tanaman. Pewarnaan Menggunakan Biru Tripan Bagian kayu yang telah diinokulasi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.5 cm. Kemudian kayu dicuci dengan akuades. Potongan kayu selanjutnya dibekukan pada suhu -18 o C sebelum disayat secara melintang dan membujur dengan mikrotom beku Yamato RV-240. Proses pewarnaan biru tripan dilakukan mengikuti metode Kormanick McGraw 1982. Sayatan kayu direndam dalam larutan KOH 10 vv pada suhu 90 o C selama 30 menit dan direndam kembali pada suhu ruang selama 24 jam. Apabila selama proses tersebut kolonisasi cendawan masih belum bisa diamati, maka perendaman diperpanjang sampai kolonisasi cendawan dapat dibedakan dengan sel tanaman. KOH dibuang dan sisanya dihilangkan dengan membilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Sayatan kayu direndam dalam larutan HCl 1N selama 2-3 jam. kemudian diwarnai dengan pewarna biru tripan 0.05 Lampiran 1 selama 20-30 menit dan disimpan dalam larutan gliserin 50 Kormik Graw 1982. Sayatan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2. Proses kolonisasi yang terjadi selanjutnya didokumentasikan menggunakan kamera digital. Pengamatan di bawah Mikroskop Pemindai Elektron SEM Bagian kayu yang telah diinokulasi 7, 14, dan 21 hsi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong sepanjang ±1 cm. Bagian kayu tersebut selanjutnya siap untuk dipreparasi. Preparasi diawali dengan membersihkan kayu di dalam caccodylate buffer ± 2 jam, kemudian diagitasi dalam ultrasonic cleaner selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan proses prefiksasi dengan cara merendam kayu di dalam larutan glutaraldehyde 2.3 selama 2 hari. Sedangkan proses fiksasi dilakukan dengan cara merendam kayu di dalam tannic acid 2 selama 6 jam, kemudian sampel dicuci 4 kali dengan caccodylate buffer selama 5 menit. Proses selanjutnya adalah proses dehidrasi, kayu secara bertahap direndam 4 kali di dalam alkohol 50 selama 5 menit, 1 kali di dalam alkohol 70 selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 85 selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 95 selama 20 menit, dan 2 kali di dalam alkohol absolut selama 10 menit. Terakhir dilakukan proses pengeringan dengan cara merendam kayu dua kali di dalam tert butanol selama 10 menit, dibekukan di dalam freezer sampai beku, dan terakhir dimasukkan ke dalam freezed drier sampai kering. Kayu yang sudah kering diletakan di atas batang besi, kemudian bagian permukaan batang yang diinokulasi dan dilukai dilapisi dengan emas dalam technic Hummer V sputter coater. Pengamatan pada bagian dalam kayu yang terinfeksi dilakukan dengan membuang bagian permukaan kayu yang diinokulasi menggunakan mikrotom beku, kemudian dilapisi kembali dengan emas tanpa preparasi kembali. Selanjutnya struktur cendawan yang terdapat pada kayu yang terinfeksi diamati menggunakan mikroskop elektron model JSM 5000 LV yang dioperasikan pada tegangan 20 kv. Pengamatan menggunakan SEM dilakukan di laboratorium mikroskop SEM, Zoologi LIPI Cibinong.

3.3.3 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Respon tanaman terhadap isolat uji diamati dengan melihat gejala yang ditimbulkan setelah inokulasi. Gejala yang terjadi pada tingkat seljaringan diamati dengan uji histokimia. Sedangkan gejala yang teramati pada tingkat organ dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Pengamatan terhadap gejala yang ditimbulkan diamati 7, 14, dan 21 hsi.

3.3.3.1 Uji Histokimia

Uji histokimia yang diamati meliputi uji terpenoid dan pati. Bagian kayu yang telah diinokulasi dan daerah perubahan warna dipotong secara melintang menggunakan mikrotom beku Yamato RV-240. Sayatan kayu kemudian direndam dalam larutan tembaga asetat 50 selama 30 menit untuk uji terpenoid Martin et al. 2002. Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan gliserin 50. Sedangkan untuk pengamatan pati, sayatan ditetesi dengan larutan I 2 KI 1 tanpa perendaman dengan larutan tembaga asetat 50. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya. Sebagai kontrol digunakan sayatan batang tanaman yang hanya dilukai kontrol positif dan batang tanaman sehat kontrol negatif.

3.3.3.2 Gejala Luar

Gejala luar yang diamati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu pada daerah terinfeksi, dan adanya aroma wangi yang dinyatakan dalam sistem skor 0-10 Tabel 2. Selanjutnya dinyatakan dalam bentuk rataan skor pada setiap pengamatan. Tabel 2 Sistem skor respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 Nilai Gejala Daun Warna Kayu Wangi tidak klorosisklorosis putih tidak wangi 1 tidak klorosisklorosis putih kecoklatan tidak wangi 2 tidak klorosisklorosis coklat tidak wangi 3 klorosis putih kecoklatan agak wangi 4 tidak klorosis putih kecoklatan agak wangi 5 klorosis coklat agak wangi 6 tidak klorosis coklat agak wangi 7 klorosis putih kecoklatan wangi 8 tidak klorosis putih kecoklatan wangi 9 klorosis coklat wangi 10 tidak klorosis coklat wangi Rumus rataan skor adalah sebagai berikut : Keterangan : Xn = Tanaman ke –n Skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pembentukan gaharu. Tingkat pembentukan gaharu dinyatakan dalam 3 kategori Tabel 3. Tabel 3 Kategori tingkat pembentukan gaharu Kategori skor Tingkat pembentukan gubal gaharu 1 7-10 gaharu sudah terbentuk 2 3-6 gaharu mulai terbentuk 3 0-2 gaharu tidak terbentuk Selain melakukan pengamatan terhadap perubahan warna kayu, pengamatan juga dilakukan terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna. Pertambahan panjang zona perubahan warna adalah panjang kayu yang mengalami pertambahan panjang perubahan warna ke arah tajuk atas atau ke arah akar bawah dari daerah yang diinokulasi atau dilukai. Kulit kayu di sisi atas dan bawah daerah yang diinokulasi dan dilukai dikupas dan panjang perubahan warnanya diukur. Sedangkan kedalaman perubahan warna diamati pada sayatan melintang daerah yang diinokulasi atau dilukai.

3.3.4 Analisis Data

Data hasil pengamatan panjang dan dalam zona perubahan warna dianalisis dengan perangkat lunak SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL satu faktor dan RAL dengan waktu serta diuji F pada α = 5. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia membentuk tabung kecambah pada jam ke- 6 Gambar 2a dan terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-8 Gambar 2b. Pengamatan pada jam ke-24 memperlihatkan adanya kumpulan miselium di permukaan kulit kayu Gambar 2c. Kulit kayu Aquilaria sp. tidak memiliki lentisel dan hifa tidak ditemukan menembus permukaan kulit kayu. Gambar 2 Perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia berkecambah kb. a 6 jam, b 8 jam, dan c 24 jam. Pada uji perkecambahan konidia secara in vitro di atas gelas objek, konidia belum berkecambah pada jam ke-0. Konidia baru mulai menunjukkan adanya perkecambahan pada jam ke-4, dan tabung kecambah terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-6 dan ke-8. Jumlah konidia yang berkecambah sebesar 2.92 pada jam ke-4. Sampai pengamatan jam ke-8 persentase perkecambahan konidia meningkat, namun hanya mencapai 5.42 Gambar 3. Sama halnya dengan pengamatan perkecambahan konidia pada permukaan kulit kayu, apresorium juga tidak terbentuk di atas gelas objek. Gambar 3 Persentase perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 5 µm 5 µm 5 µm Miselium kb hifa a b c Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak memiliki kemampuan menembus kulit kayu sebagai penghalang fisik penetrasi serta persentase perkecambahan yang juga rendah, maka pada studi kolonisasi inokulasi dilakukan pada batang yang telah dilukai. Batang dilukai dengan jalan membuang kulit kayu dan jaringan floem. Inokulan yang diberikan berupa biomasa Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Sama halnya dengan pengamatan pembentukan apresorium di permukaan kulit kayu yang utuh dan di atas gelas objek apresorium juga tidak terbentuk pada permukaan kayu yang dilukai tempat kontak langsung dengan inokulan. Setelah hifa dan konidia melekat di permukaan kayu yang dilukai Gambar 4a, konidia berkecambah Gambar 4b, selanjutnya membentuk hifa penetrasi Gambar 4c. Hifa penetrasi tersebut masuk ke sel-sel xilem yang terluka Gambar 4c. Pada jaringan parenkima jejari yang terluka, hifa berkembang ke sel tetangga melalui pori-pori sel Gambar 4d. Gambar 4 Perkecambahan konidia dan hifa penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kayu Aquilaria sp. yang dilukai pada 7 hsi. a hifa dan konidia k, b konidia berkecambah kb, c hifa penetrasi hp masuk melalui jaringan terluka, dan d hifa penetrasi hp di dalam parenkima jejari terluka menembus sel berikutnya melalui pori. Perbesaran 2000x. hifa konidia kb pori hp hp a b c d Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Uji lignolitik Fusarium sp. IPBCC. 08.569 secara kualitatif di dalam media yang mengandung lignin membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu merombak atau menggunakan lignin sebagai sumber karbon. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu menggunakan beberapa sumber karbon kompleks seperti asam galat, asam tanat, naftol, dan p-kresol. Pada medium MEAG, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadinya perubahan warna medium menjadi kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni Gambar 5. Pada medium MEAT, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadi perubahan warna medium menjadi kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni dan terbentuk zona bening di sekeliling koloni Gambar 6. Terjadinya diskolorisasi pada media MEAG dan MEAT menunjukkan reaksi Bavedamm positif yang menjadi indikasi terbentuknya enzim polifenol oksidase. Gambar 5 Diskolorisasi medium MEAG akibat aktifitas polifenol oksidase kiri dan kontrol kanan setelah 7 hari inkubasi. Gambar 6 Diskolorisasi medium MEAT dan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni akibat aktifitas polifenol oksidase kiri dan kontrol kanan setelah 7 hari inkubasi. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan lakase dan tirosinase. Lakase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi ungu setelah 1 jam penetesan 0,1M 1-naftol, warna ungu menjadi semakin pekat setelah pengamatan pada jam ke-24 Gambar 7. Sedangkan tirosinase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi kuning kemerahan setelah pengamatan 1 jam penetesan 0,1M p-kresol dan menjadi merah setelah pengamatan jam ke-24 Gambar 7. Gambar 7 Perubahan warna koloni Fusarium sp. IPBCC. 08.569 setelah ditetesi 0,1 M naftol pk. 12.00 dan 0,1 M p-kresol pk. 6.00. Sebelum penetesan kiri dan setelah penetesan kanan. a satu jam setelah penetesan, b 24 jam setelah penetesan. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga memiliki aktivitas enzim selulolitik. Galur ini memiliki indeks selulolitik Gambar 8 sebesar 0,039 dan aktivitas enzim sebesar 0,01 Uml filtrat. Berdasarkan kemampuan cendawan dalam menggunakan CMC sebagai sumber karbon membuktikan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 membentuk enzim CMC-ase. Gambar 8 Zona jernih yang terbentuk pada medium CMC 1 sebelum divisualisasikan dengan merah kongo 1 kiri dan setelah divisualisasikan dengan merah kongo kanan 4 hari inkubasi. Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan toksin. Uji hipersensitifitas ekstrak kasar filtrat pada daun tembakau menyebabkan timbulnya gejala hipersensitifitas berupa nekrosis. Gejala hipersensitifitas yang ditimbulkan sangat rendah dengan rataan skor sebesar 0,43. Gejala nekrosis muncul pada hari ke-3. Pada pengamatan hari ke-5 dan ke-7 tidak terjadi penambahan gejala nekrosis Gambar 9a. Berbeda dengan daun yang dioles dengan ekstrak kasar filtrat, pada daun baik yang hanya diolesi dengan a 1 jam b 2 jam media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat Gambar 9b maupun daun sehat Gambar 9c tidak terlihat adanya gejala nekrosis. Gambar 9 Gejala hipersensitifitas daun tembakau a setelah dioles dengan ekstrak kasar toksin, b dioles media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat, dan c daun sehat pengamatan hari ke-5. Tanda panah menunjukkan bagian daun yang mengalami nekrosis. Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati sampai akhir pengamatan terbatas pada jaringan hidup. Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 7 hsi ditemukan pada jaringan parenkima jejari dan lapisan pertama included phloem dari permukaan tempat inokulasi. Pada 14 hsi, kolonisasi telah mencapai setengah dari tebal jaringan xilem dan terdapat pada jaringan xilem yang sama dengan 7 hsi. Kolonisasi pada 21 hsi juga ditemukan pada jaringan yang sama dengan pengamatan sebelumnya pada daerah xilem dan berkembang ke bagian empelur. Kolonisasi ke arah luar daerah inokulasi baru teramati 14 hsi, ± 100 um ke arah atas dan bawah dari daerah inokulasi di jaringan xilem yang sama hanya sebagian kecil dari daerah perubahan warna dan tidak terjadi penambahan luas daerah kolonisasi pada pengamatan 21 hsi. Struktur cendawan yang dibentuk di dalam sel tanaman setelah hifa penetrasi adalah vesikelgelembung Gambar 10a dan hifa infeksi Gambar 10b. Sedangkan struktur seperti haustorium tidak ditemukan. Hifa menembus sel tetangga melalui pori-pori sel Gambar 10c dan masuk ke dalam sel-sel di included phloem Gambar 10d yang terletak di dekat sel parenkima jejari yang terinfeksi. Infeksi cendawan menyebabkan jaringan included phloem mengalami kerusakan Gambar 10d. Pada pengamatan 14 hsi, klamidospora ditemukan di permukaan batang yang diinokulasi Gambar 10e. a b c Gambar 10 Perkembangan hifa dan kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di dalam sel-sel jaringan xilem Aquilaria sp. a vesikel v di dalam parenkima jejari pada 7 hsi, b hifa infeksi hi di dalam parenkima jejari pada 14 hsi, c hifa menembus sel tetangga melalui pori sel pada 14 hsi, d hifa di dalam included phloem pada 14 hsi, dan e struktur mirip klamidospora k pada 14 hsi. a,b,d, dan e merupakan hasil foto mikroskop, sedangkan c merupakan hasil foto SEM perbesaran 1500x. Pada 21 hsi, struktur hifa yang berfragmentasi menyerupai konidia ditemukan pada beberapa sel included phloem Gambar 11a dan parenkima jejari Gambar 11b ±50 µm di bawah daerah yang diinokulasi. Sebagian dari fragmen tersebut berkecambah Gambar 11b. Pada 21 hsi hifa sudah mencapai sel-sel di jaringan empelur Gambar 11c. hifa hifa v 1 µm a hi 1 µm b c e 5 µm 1 µm k d Gambar 11 Struktur hifa berfragmentasi hb menyerupai konidia pada 21 hsi di dalam included phloem a dan parenkima jejari b, serta hifa di dalam sel-sel empelur c. Gambar a dan b merupakan hasil foto SEM perbesaran 2000 kali, sedangkan gambar c merupakan hasil foto mikroskop cahaya. Berbeda dengan tanaman yang diinokulasi, pada tanaman yang dilukai Gambar 12a 12b maupun tanaman yang sehat Gambar 12c tidak ditemukan adanya strutur cendawan. Gambar 12 Sayatan membujur a kayu Aquilaria sp. yang dilukai, serta sayatan melintang b dan membujur c kayu Aquilaria sp. sehat pada 14 hsi. Parenkima jejari pj, included phloem ip, dan unsur trakea xilem utx. Gambar a dan c merupakan hasil foto SEM perbesaran 750x, sedangkan b merupakan hasil foto mikroskop cahaya. hb hb hifa 5 µm a b c 5 µm ip pj utx pj a b c utx pj

4.1.2 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati pada tingkat sel dan jaringan berupa akumulasi senyawa terpenoid. Di daerah inokulasi, akumulasi senyawa terpenoid dapat ditemukan pada jaringan xilem di dalam parenkima jejari, included phloem Gambar 13a, dan unsur trakea xilem Gambar 13b pada 7 hsi dan 14 hsi. Kemudian berlanjut ke daerah empelur pada pengamatan 21 hsi Gambar 13c. Di luar daerah inokulasi, senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan xilem yang sama dengan daerah inokulasi di daerah perubahan warna Tabel 4, begitupun pada tanaman yang dilukai Gambar 13d. Pada tanaman sehat akumulasi senyawa terpenoid tidak ditemukan, namun pada jaringan parenkima jejari dan included phloem Gambar14a, serta empelur Gambar 14b ditemukan adanya butir pati. Pada tanaman yang diinokulasi cendawan dan dilukai butir pati ditemukan pada jaringan yang sama di dalam sel yang tidak terdapat akumulasi terpenoid. Gambar 13 Senyawa terpenoid kuning kecoklatan pada sayatan melintang kayu Aquilaria sp. a-c setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 21 hsi dan d setelah pelukaan pada 21 hsi. Parenkima jejari pj, included phloem ip, unsur trakea xilem utx. ip 5µm d utx ip 5µm a utx 5µm b e 5µm c pj pj Gambar 14 Akumulasi butir pati biru kehitaman pada sayatan melintang Aquilaria sp. sehat a di dalam included phloem ip dan parenkima jejari pj, serta b di dalam empelur e. Respon tanaman akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati pada tingkat organ adalah klorosis daun, perubahan warna kayu di daerah inokulasi, dan terdeteksinya aroma wangi gaharu. Klorosis daun dan perubahan warna kayu juga terjadi pada tanaman yang dilukai, sedangkan aroma wangi gaharu tidak terdeteksi akibat pelukaan. Daun yang mengalami klorosis adalah daun yang berada dekat daerah inokulasi dan juga dilukai Gambar 15. Daun-daun yang klorosis dapat gugur atau bertahan sampai akhir pengamatan. Perubahan warna terjadi di daerah kayu yang diinokulasi dan dilukai. Perubahan warna yang terjadi berkisar dari putih kecoklatan sampai coklat. Inokulasi cendawan menyebabkan perubahan warna kayu menjadi coklat, sedangkan pelukaan menyebabkan warna menjadi putih kecoklatan sampai akhir pengamatan Gambar 16. Pada tanaman sehat gejala tersebut tidak terjadi sampai akhir pengamatan. Gambar 15 Klorosis daun Aquilaria sp. setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 7 hsi kiri dan tanaman sehat kanan. pj ip e 5µm 5µm b a Gambar 16 Perubahan warna kayu a putih, b putih kecoklatan, dan c coklat. Inokulasi cendawan dan pelukaan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna P0.01. Tingkat perubahan warna kayu tertinggi terjadi akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 dan berbeda sangat nyata dengan pelukaan Tabel 4. Periode inkubasi juga berpengaruh terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna kayu Tabel 5. Pertambahan panjang zona perubahan warna akibat inokulasi cendawan hanya meningkat sampai pengamatan 14 hsi, kemudian menurun pada pengamatan 21 Tabel 5. Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap zona perubahan warna mm kayu Aquilaria sp. Perlakuan Zona perubahan warna panjang dalam Fusarium sp. 9,9c 1,0c Kontrol + 1,4b 0,3b Kontrol - 0,0a 0,0a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. Tabel 5 Pengaruh periode inkubasi terhadap zona perubahan warna mm kayu Aquilaria sp. Periode inkubasi hari Zona perubahan warna Fusarium sp. Kontrol + panjang dalam panjang dalam 7 7,9a 0,6a 0,4a 0,1a 14 11,6c 1,0b 2,0b 0,4b 21 10,3b 1,3b 1,8b 0,5b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5. Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu, dan adanya aroma wangi yang dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Rataan skor menunjukkan pengaruh inokulasi dan pelukaan terhadap terbentuknya gaharu. Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi a c b mengindulsi terbentuknya gaharu. Pengamatan yang dilakukan pada 7 hsi diperoleh rataan skor sebesar 3,73 yang berarti tanaman berpeluang menunjukkan pembentukan gaharu. Pada pengamatan 14 hsi rataan skor meningkat menjadi 7,8 yang berarti semua tanaman telah menunjukkan pembentukan gaharu. Namun pada pengamatan 21 hsi terjadi penurunan terbentuknya gaharu menjadi kategori ke-2 dengan rataan skor sebesar 5,64 Tabel 6. Berbeda dengan tanaman yang diinokulasi, gejala terbentuknya gaharu tidak ditemukan pada tanaman yang dilukai saja. Pada pengamatan 7 hsi rataan skor sebesar 0, pada pengamatan 14 hsi rataan skor sebesar 1,27, dan pada 21 hsi rataan skor sebesar 1. Tanaman masih dikategorikan ke dalam kelompok ke-3 karena rataan skor masih berada di bawah 2 sampai akhir pengamatan Tabel 6. Tabel 6 Pembentukan gaharu akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08. 569 Perlakuan Rataan skor perubahan fisik dan pembentukan aroma wangi 7 hsi 14 hsi 21 hsi Fusarium sp. 3,73 7,8 5,56 Kontrol + 1,27 1 Kontrol - 0,00 0,00 0,00

4.2 Pembahasan

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp. utuh maupun pada batang yang dilukai tempat kontak langsung dengan inokulan. Cendawan ini mirip dengan Fusarium oxysporum yang tidak membentuk apresorium di permukaan luar gandum yang masih utuh Kang Buchenauer 2002. Tapi berbeda dengan Fusarium moniliforme yang mampu membentuk apresorium pada saat menyerang benih kedelai Rahman et al. 2010. Namun secara umum Fusarium spp. dilaporkan tidak membentuk apresorium untuk membantu penetrasi Kikot et al. 2009. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diketahui tidak dapat menembus penghalang fisik penetrasi kulit kayu, maka cendawan ini membutuhkan pelukaan untuk memulai penetrasi. Proses penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terjadi secara pasif melalui daerah yang terluka atau pori-pori sel. Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Enzim lignoselulolitik yang dihasilkan diduga berperan dalam membantu penetrasi cendawan. Menurut Mendgen Deising 1993 ketika cendawan patogen tidak membentuk apresorium, enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel yang dihasilkan diduga berperan dalam proses patogenesis. Tamuli et al. 2008 melaporkan bahwa Fusarium oxysporum juga menghasilkan enzim lignoselulolitik saat menginfeksi batang Aquilaria malaccensis. Aktivitas polifenol oksidase tertinggi dihasilkan pada 40 hari inkubasi 0,083 Uml, sedangkan aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada 20 hari inkubasi 5,01 Uml. Terjadinya perubahan aktivitas enzim yang dihasilkan diduga berperan dalam perkembangan infeksi dan gejala penyakit pada batang A. malaccensis Tamuli et al. 2008. Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan senyawa toksin ekstraseluler yang menyebabkan sel tanaman menjadi nekrosis. Toksin yang dihasilkan kemungkinan juga berperan dalam proses penetrasi atau mungkin berperan untuk proses infeksi. Kang dan Buchenauer 1999 melaporkan bahwa Fusarium culmorum mengasilkan toksin trikotesen pada saat menginfeksi gandum. Toksin yang dihasilkan ditemukan pada dinding sel, organel sel, jaringan floem, dan xilem. Toksin yang ditemukan pada dinding sel diduga berperan dalam membantu penetrasi Kang dan Buchenauer 1999, sedangkan toksin yang ditemukan di dalam sel dan jaringan inang berperan dalam perkembangan proses infeksi Kang dan Buchenauer 2002. Pengamatan lebih lanjut ke dalam jaringan Aquilaria sp. menunjukkan bahwa kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terbatas pada jaringan hidup parenkima jejari, included phloem dan empelur tempat ditemukannya akumulasi pati. Ketika Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menginfeksi jaringan included phloem, terjadi kerusakan pada jaringan tersebut, karena included phloem memiliki dinding sel yang lebih tipis dibanding jaringan xilem lainnya. Enzim lignoselulolitik atau toksin yang dihasilkan diduga mampu merusak jaringan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 merupakan cendawan patogen dan tergolong kedalam kelompok cendawan hemibiotrof Cooke 1978. Kondisi lingkungan kurang menguntungkan untuk perkembangan cendawan, karena telah ditemukan klamidospora dipermukaan kayu yang diinokulasi pada 14 hsi. Diduga metode inokulasi yang digunakan kurang efektif untuk perkembangan cendawan. Menurut Jensen 2010 aerasi yang baik dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan perkembangan kolonisasi cendawan di dalam tanaman gaharu sehingga dapat menghasilkan gaharu berkualitas. Cendawan ini diduga telah bersporulasi pada pengamatan 21 hsi dengan ditemukannya hifa berfragmentasi yang menyerupai konidia Groenewald 2005. Infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan timbulnya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap infeksi yang terjadi baik pada tingkat sel, jaringan maupun organ. Respon non spesifik yang teramati adalah akumulasi senyawa terpenoid, klorosis daun, dan perubahan warna kayu. Gejala tersebut selain terjadi pada batang yang diinokulasi, juga terjadi pada batang yang hanya dilukai. Sedangkan respon spesifik dicirikan dengan terbentuknya aroma wangi khas gaharu dan hanya terdeteksi pada batang yang diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Hal yang sama juga pernah dilaporkan oleh Putri et al. 2008 bahwa inokulasi isolat uji dan pelukaan pada Aquilaria crassna menyebabkan terjadinya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap perlakuan. Senyawa terpenoid diduga merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan Aquilaria sp. sebagai respon terhadap luka dan infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Senyawa terpenoid tersebut disintesis di dalam jaringan hidup parenkima jejari, included phloem, dan empelur yang akan merusak akumulasi pati ketika proses infeksi dan pelukaan terjadi. Menurut Qi et al. 2005; Okudera Ito 2009 seskuiterpenoid golongan terpenoid dibentuk pada sel hidup. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok 1991 bahwa parenkima merupakan tempat terjadinya biosintesis senyawa gaharu. Kandungan pati dalam parenkima akan menurun setelah pelukaan atau inokulasi cendawan. Sedangkan senyawa terpenoid yang ditemukan pada unsur trakea xilem diduga hanya tempat deposit tapi bukan tempat sintesis senyawa terpenoid. Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun diduga berhubungan dengan terganggunya ketersediaan hara akibat adanya pelukaan. Kekurangan hara tersebut menyebabkan daun menjadi kekurangan pigmen klorofil sehingga daun menjadi klorosis Nieamann Visintini 2005. Sedangkan perubahan warna kayu diduga terjadi akibat adanya akumulasi senyawa terpenoid dalam jaringan kayu. Terjadinya perluasan perubahan warna di luar daerah infeksi diduga merupakan respon hipersensitif tanaman untuk membatasi infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Menurut Prins et al. 2000 respon hipersensitifitas tanaman bisa berupa terjadinya nekrosis sel dan adanya akumulasi senyawa pertahananan. Inokulasi cendawan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih gelap dibanding pelukaan. Selain itu inokulasi cendawan juga menyebabkan panjang dan dalam zona perubahan warna yang sangat berbeda nyata bila dibandingkan akibat pelukaan. Infeksi cendawan diduga menyebabkan peningkatan akumulasi senyawa terpenoid, sehingga warna menjadi lebih gelap dan lebih panjang. Perubahan warna masih digunakan sebagai indikator kayu gaharu akan menghasilkan senyawa gaharu. Semakin gelap warna yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat gubal gaharu yang dihasilkan Ng et al. 1997; Barden et al. 2000. Aroma wangi hanya terdeteksi pada kayu yang diinokulasi dengan Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Diduga senyawa utama aroma wangi gaharu turunan seskuiterpenoid dan peniletil kromon tidak terbentuk akibat adanya pelukaan namun karena infeksi cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman gaharu dapat menginduksi terbentuknya seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Fudai et al. 2009; Okudera Ito 2009. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Qi 1995; Qi et al. 2005; dan Bhuiyan et al. 2009 bahwa senyawa utama yang berperan dalam menghasilkan aroma wangi gaharu seskuiterpenoid dan turunan peniletil kromon tidak ditemukan pada pohon Aquilaria sp. yang sehat maupun tanaman yang hanya dilukai, tapi pada pohon yang sakit dan terinfeksi. Diduga cendawan merangsang sintesis senyawa tersebut. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi menginduksi terbentuknya gaharu, sedangkan pelukaan tidak berpotensi dalam menginduksi terbentuknya gaharu. Hal tersebut didukung dengan hasil rataan skor yang diperoleh. Terjadinya perubahan peningkatan dan penurunan gejala pembentukan gaharu diduga karena metabolit sekunder yang berperan dalam pembentukan senyawa gaharu terus berubah-ubah di dalam pohon gaharu. Perubahan tersebut diduga berhubungan dengan aktivitas infeksi cendawan. Senyawa gaharu yang dihasilkan akan meningkat bersamaan dengan mulai terjadinya proses infeksi dan aroma wangi menurun dan hilang bersamaan dengan berhentinya proses infeksi cendawan. Selain karena proses infeksi berhenti, terjadinya penurunan rataan skor pada akhir pengamatan diduga juga disebabkan karena penguapan senyawa terpenoid seskuiterpenoid. Senyawa seskuiterpenoid merupakan senyawa yang mudah menguap dan diduga berpengaruh terhadap perubahan warna dan terbentuknya aroma wangi Okudera Ito 2009. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Okudera Ito 2009 bahwa terjadi penurunan jumlah senyawa seskuiterpenoid yang dihasilkan Aquilaria sp. setelah beberapa minggu diberi perlakuan metil jasmonat, asam salisilat, atau ß-glucan, diduga hal tersebut terjadi karena senyawa seskuiterpenoid yang dihasilkan menguap ke udara. V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dokumen yang terkait

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu

3 11 84

Efektivit As Dan Interaksi Ant Ara Acremonium Sp. Dan Fusarium Sp. Dalam Pembentukan Gubal Gaharu P Ada Aquilaria microcarpa Baill

1 7 15

Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu

1 7 155

Interaksi Antara Biak Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.) Dan Fusarium Sp. Dalam Menghasilkan Senyawa Seskuiterpena

4 13 77

PENGARUH INOKULUM JAMUR (Fusarium sp, Trikoderma sp) DAN STRESSING AGENT TERHADAP PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU (Aquilaria malacensis).

0 4 6