2
2008 dan adanya akumulasi senyawa golongan terpenoid pada daerah yang diinokulasi Nobuchi Siripatanadilok 1991; Putri et al. 2008. Namun studi
sitologi tentang infeksi cendawan dan responnya belum pernah dilaporkan. Studi sitologi interaksi patogen dan inangnya dapat dipelajari dengan
mengamati terjadinya perubahan-perubahan ultrastruktur dan komposisi di dalam sel tanaman inang secara langsung menggunakan mikroskop cahaya, mikroskop
elektron, atau mikroskop konfokal Kunoh 1995. Studi histopatologi dan histokimia merupakan salah satu pendekatan studi sitologi. Studi ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang, sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk
penelitian selanjutnya ditingkat molekuler Kunoh 1995.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme patogenesis Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terhadap pohon gaharu Aquilaria sp.
dalam proses pembentukan gaharu ditingkat sel dan organ.
1.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mempenentrasi tanaman Aquilaria sp. secara fisik, enzimatik, atau dengan
bantuan toksin. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mengkolonisasi jaringan tertentu tanaman yang menyebabkan timbulnya respon fisiologis. Respon fisiologis pada
tingkat sel dapat diamati berupa deposit senyawa terpenoid. Akumulasi senyawa terpenoid menyebabkan kayu berubah warna dan menghasilkan aroma wangi.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gaharu
2.1.1 Definisi dan Manfaat Gaharu
Gaharu dikenal juga dengan nama eaglewood, aloewood, agarwood, dan jinkoh Barden et al. 2000. Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas
coklat-kehitaman dan memiliki kandungan kadar damar wangi Dewan Standar Nasional 1999. Gaharu berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu
sebagai akibat dari gangguan dan proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. Ng
et al. 1997. Beberapa jenis pohon Aquilaria yang terbukti bisa menghasilkan gubal gaharu adalah A. agalocha, A. beccariana, A. crassna, A. filaria, A. hirta, A.
malaccensis, dan A. microcarpa Ng et al. 1997; Soehartono Newton 2001. Gaharu digunakan untuk berbagai tujuan seperti bahan dasar industri
parfum, bahan kosmetik, dan obat-obatan Barden et al. 2000. Cina telah memanfaatkan gaharu sejak ratusan tahun yang lalu sebagai obat sakit perut,
penghilang rasa sakit, kanker, diare, cegukan, ginjal, dan tumor paru-paru. Di Eropa gaharu digunakan sebagai obat kanker dan di India digunakan sebagai obat
tumor usus. Selain itu gaharu juga digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti yang dilakukan oleh umat Budha, Hindu, dan Islam Barden et al. 2000; Compton
Ishihara 2006.
2.1.2 Gejala Pembentukan Gubal Gaharu
Banyak pendapat yang berkembang mengenai proses pembentukan gaharu. Menurut Ng et al. 1997 gaharu terbentuk karena adanya pelukaan atau pelukaan
yang diikuti infeksi cendawan. Mohamed et al. 2010 menemukan pembentukan gaharu yang wangi pada bekas luka yang disertai adanya miselium cendawan.
Namun secara umum cendawan banyak dilaporkan berpengaruh dalam proses pembentukan gaharu Qi et al. 2005. Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon
tanaman terhadap adanya cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman yang terluka Qi et al. 2005; Bhuiyan et al. 2009.
Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun Putri et al. 2008.
Gejala yang terjadi bisa teramati beberapa hari setelah tanaman diinokulasi cendawan. Namun, pada pohon gaharu alam yang terbentuk secara alami dan
terinfeksi selama bertahun-tahun perubahan warna kayu terbentuk hampir pada semua bagian kayu tapi terjadinya klorosis daun tidak terlihat lagi, sehingga
ketika dilihat secara visual tanaman terlihat sehat Barden et al. 2000. Cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman gaharu merupakan benda
asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa, sebagai respon terhadap serangan patogen Bhuiyan et al. 2009. Senyawa tersebut berupa resin
berwarna coklat dan beraroma harum Ng et al. 1997. Senyawa utama gaharu adalah seskuiterpenoid golongan terpenoid dan turunan peniletil kromon. Kedua
senyawa tersebut berperan dalam menghasilkan aroma wangi khas gaharu. Berbagai jenis senyawa seskuiterpeoid dan peniletil kromon telah berhasil
diisolasi dari berbagai kayu gaharu. Kelompok seskuiterpen tersebut diantaranya turunan guia dienal, selina-dienone, dan selina dienot, isopronoid, a-guaiene, a-
humulene dan d-guaiene Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera Ito 2009. Kelompok peniletil kromon diantaranya 6,7-
dimethoxy-2- 2-phenylethyl chromonne, dan 6-methoxy-2- [2-4-methoxyphenyl ethyl] chromone Qi 1995; Konishi et al. 2002; Qi et al. 2005; Fudai et al. 2009;
Okudera Ito 2009. Senyawa –senyawa tersebut akan menumpuk pada jaringan
xilem dan membentuk aroma wangi gaharu.
2.1.3 Cendawan Penginduksi Gaharu
Santoso 1996 menyatakan bahwa ada 17 genus cendawan yang telah berhasil diisolasi dari gubal gaharu alami yaitu Botryodiplodia, Curvularia,
Cercosporella, Chaetomium, Cladosporium, Cythospaera, Diplodia, Fusarium, Pestalotia, Papularia, Phialogeniculata, Phytomyces, Pythium, Rhinocladiella,
Rhizoctonia, Spidostibella, dan Trichoderma. Siregar 2009 mengisolasi 6 jenis cendawan Cladosporium sp, Fusarium sp, Mucor sp, Rhizopus sp, Trichoderma
sp, dan Sopulariopsis sp. di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Erari Ruimassa 2009 menemukan 3 jenis cendawan Cochliobolus sp, Fusarium
lateritum dan Trichoderma sp. yang berasosiasi dalam pembentukan gubal gaharu di Provinsi Papua. Isnaini et al. 2009 menemukan 3 jenis cendawan
Fusarium spp, Rhizoctania, Trichoderma di Kep. Lombok. Selain itu Mohamed
et al. 2010 berhasil mengisolasi Cunninghamella, Curvularia, Fusarium dan Trichoderma dari bekas patahan tanaman Aquilaria malaccensis. Diantara banyak
cendawan yang berhasil diisolasi dari gubal gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan yang paling dominan Isnaini et al. 2009.
2.2 Fusarium sp.
Fusarium sp. termasuk ke dalam kelompok cendawan bermitospora. Bentuk spora aseksual konidia merupakan ciri utama dari cendawan ini.
Fusarium sp. memiliki 2 jenis konidia yaitu mikrokonidia memiliki 0-1 septat sederhana yang terdiri atas satu atau dua sel atau makrokonidia yang terdiri atas
beberapa sel 2-10 sel yang berbentuk seperti bulan sabit. Konidia dibentuk di atas monopialid. Selain membentuk makro dan mikro konidia, Fusarium sp. juga
membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan dan bahan makan kurang menguntungkan Groenewald 2005. Selain dapat menginduksi terbentuknya
gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan patogen tanaman yang sering menyebabkan berbagai penyakit pada tanaman seperti busuk pangkal batang,
tumor akar root crown, penyakit pembuluh xilem, dan penyakit pasca panen Wang Jeffer 2000; Ploetz 2005.
2.3 Patogenesis
Patogenesis merupakan proses perkembangan penyakit mulai infeksi sampai menghasilkan gejala penyakit Groenewald 2005.
2.3.1 Mekanisme Penetrasi dan Infeksi Patogen
Perkembangan penyakit secara umum diawali dengan tahapan pra infeksi yang mencakup melekatnya spora dan hifa ke permukaan inang, perkecambahan
spora, dan pembentukan struktur penetrasi seperti apresorium. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan infeksi dan kolonisasi Prins et al. 2000; Lee
Bostock 2006. Proses pelekatan inokulan merupakan tahapan awal cendawan melakukan
kontak dengan permukaan inang yang akan menentukan keberhasilan proses infeksi Mendgen Deising 1993. Proses pelekatan dipengaruhi oleh bahan
ekstraseluler dan struktur kimia yang dihasilkan cendawan. Penyusun bahan untuk pelekatan cendawan diperkirakan berupa protein serta glukoprotein yang dapat
melindungi spora dari metabolit sekunder yang dihasilkan inangnya. Spora yang telah stabil akan berkecambah dengan membentuk tabung kecambah. Prins et al.
2000; Li et al. 2005; Lee Bostock 2006. Spora membutuhkan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan yang optimum untuk bisa berkecambah
Prins et al. 2000. Gula dan asam amino yang diekresikan oleh inang dapat mempercepat terjadinya proses perkecambahan Mendgen Deising 1993; Prins
et al. 2000. Kebanyakan spora bisa langsung berkecambah setelah spora matang dan lepas dari sel pembentukannya, namun beberapa spora lainnya membutuhkan
periode dormansi untuk beberapa saat sebelum berkecambah dengan membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan kurang menguntungkan Groenewald
2005. Proses penetrasi dapat dibagi dua yaitu penetrasi secara aktif dan penetrasi
pasif melalui jaringan yang terluka atau terbuka Prins et al. 2000. Mekanisme penetrasi yang dilakukan oleh cendawan mencakup aktivitas penetrasi secara
fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme patogenesis secara fisik terjadi dengan kemungkinan terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium.
Apresorium dibentuk pada ujung tabung kecambah sebagai penyangga hifa penetrasi. Terbentuknya apresorium dan hifa penetrasi tergantung pada faktor
lingkungan, struktur fisika hidropobisitas dan topografi permukaan kayu, dan bahan kimia yang dihasilkan tanaman seperti monomer kutin, etilen, dan lilin
Mendgen Deising 1993; Dean et al. 1995; Lee Bostock 2006. Sebagian cendawan akan membentuk apresorium sebelum menembus jaringan inang,
namun pada sebagian cendawan tidak membentuk apresorium. Secara umum Fusarium sp. tidak membentuk apresorium Kang Buchenenauer 2002
Lagopodi et al. 2002; Kikot et al. 2009. Fusarium oxysporum tidak membentuk apresorium dan tidak mampu menembus permukaan luar tanaman gandum yang
masih utuh Kang Buchenauer 2002. Ketika cendawan patogen tidak membentuk apresorium, enzim pendegradasi dinding sel diduga berperan dalam
proses patogenesis Mendgen Deising 1993. Enzim oksidatif dan hidrolitik yang dikeluarkan cendawan berfungsi untuk
mengurai dinding sel tanaman menjadi sederhana. Enzim oksidatif merupakan enzim non spesifik yang bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan
dalam degradasi lignin, sedangkan enzim hidrolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang bekerja pada substrat spesifik Perez et al. 2002.
Enzim perombak lignin tergolong dalam kelompok enzim peroksidase yang mampu mengoksidase gugus non fenolik dalam lignin serta kelompok enzim fenol
oksidase yang mampu men goksidasi gugus δ-dan p-fenol serta gugus aromatik
amina menjadi quinon Hatakka 2001; Lankinen 2004. Contoh enzim peroksidase adalah mangan peroksidase MnP mengoksidasi Mn
+2
menjadi Mn
+3
yang kemudian mengoksidasi unit non fenol menjadi radikal fenoksi. Lignin peroksidase LiP yang mengoksidasi unit fenol dan non fenolik lignin melalui
pelepasan satu elektron menghasilkan kation dan fenoksi Hatakka 2001; Lankinen 2004. Sedangkan enzim fenol oksidase dibagi menjadi dua. Kelompok
pertama terdiri dari enzim polifenol oksidase, tirosinase, dan katekol oksidase, kelompok kedua adalah enzim lakase Ogel et al. 2006.
Enzim selulase dibagi dalam tiga kelompok yang pertama endoglukanase atau endo-ß-1,4-glukanase disebut juga Cx, CMC Carboxymethyl Cellulose-ase
atau 1,4- ß-D-glukan-4-glukanohidrolase, kedua eksoglukanase atau ekso-ß-1,4- glukanase, dan yang ketiga 1,4-glukosidase Lymar et al. 1995; Perez et al. 2002.
Enzim endoglukanase menghidrolisis molekul selulosa secara acak dan menyerang disembarang lokasi dan menghasilkan oligosakarida dengan fragmen
yang berbeda membentuk ujung rantai baru Lynd et al. 2002. Enzim eksoglukanase bekerja terhadap lokasi khusus dekat ujung yang tidak tereduksi
dan menghasilkan fragmen dengan bobot molekul yang rendah, melepaskan unit- unit selobiosa atau glukosa dari ujung selulosa yang tidak tereduksi seperti ß-1,4-
glukan selobiohidrolase. Endo dan eksoglukanase berperan dalam perombakan selulosa pertama karena menyukai selulosa dengan bobot tinggi, yang akan
menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim 1,4-glukosidase Perez et al. 2002. Fusarium spp. dapat menghasilkan
berbagai jenis enzim lignoselulase. Diantaranya Fusarium oxysporum dapat menghasilkan enzim fenol oksidase, lignin peroksidase dan selulase Tamuli et al.
2008; Ramanathan et al. 2010.
Cendawan kadang menghasilkan senyawa toksin yang disekresikan saat penetrasi jaringan inang untuk merubah fisiologi tanaman dan mengganggu
permeabilitas dinding sel tanaman Bushnell 1995. Terganggunya permeabilitas sel tanaman akibat ikatan toksin pada membran sel menyebabkan kerusakan
struktur membran Bushnell 1995. Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh
cendawan Prins et al. 2000. Beberapa jenis toksin yang dihasilkan Fusarium spp. diantaranya enniatin, fumonisin, sambutoksin, dan trikotesen Kim et al.
1995; Hermann et al. 1996; Seo et al. 1996; Kang Buchenenauer 2002; Langevin et al. 2004.
Cendawan juga bisa menghasilkan zat pengatur tumbuh ZPT yang bisa mengganggu perkembangan tanaman seperti asam absisat ABA, etilen, dan
auksin Prins et al. 2000; Groenewald 2005. ZPT dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan pertumbuhan abnormal inang yang menguntungkan pertumbuhan
patogen, seperti ABA yang dihasilkan cendawan patogen pada umbi kentang dapat menghambat akumulasi fitoaleksin risitin dan albumin Prins et al. 2000.
Struktur polisakarida dinding sel cendawan juga bisa mengganggu permeabiltas sel tanaman dan menginduksi terbentuknya fitoaleksin pada tanaman inang.
Infeksi merupakan tahapan cendawan yang berada pada kondisi stabil dan menetap di dalam sel atau jaringan inang dan memperoleh nutrisi dari inangnya.
Cendawan membentuk hifa infeksi setelah cendawan masuk ke dalam sel inang. Hifa infeksi merupakan perpanjangan hifa penetrasi. Pada beberapa cendawan
setelah terbentuk hifa penetrasi terbentuk vesikel dan selanjutnya membentuk hifa infeksi. Terakhir cendawan akan menghasilkan haustorium agar dapat
memanfaatkan nutrisi sel inang Mendgen Deising 1993. Secara umum Fusarium spp. tidak membentuk struktur seperti haustorium Kikot et al. 2009.
Setelah proses infeksi, cendawan melakukan kolonisasi dengan berkembang atau memperbanyak diri, atau dua-duanya dalam jaringan tanaman Prins et al. 2000;
Lee Bostock 2006. Berdasarkan sifat patogenesis dan interaksinya dengan sel inang, cendawan
dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu cendawan nekrotof dan biotrof.
Cendawan nekrotrof akan menyebabkan kematian inangnya ketika cendawan mengkolonisasi sel inang. Cendawan biotrof merupakan cendawan yang
memanfaatkan nutrisi dari sel tanaman yang masih hidup, sehingga perlu untuk menjaga kelangsungan hidup sel tanaman dalam periode waktu yang lama. Pada
cendawan biotrof, j aringan terinfeksi sering menjadi „sink‟ metabolit yang
mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan terinfeksi. Mendgen Deising 1993. Sedangkan cendawan biotrof yang dapat
ditumbuhkan pada media sintetik termasuk kedalam kelompok hemibiotrof Mendgen Deising 1993; Cooke 1978.
Proses kolonisasi bisa hanya terjadi pada daerah antara kutikula dan epidermis kolonisasi subkutikula, terdapat pada permukaan tanaman tapi
mengirim haustoria ke dalam semua jaringan tanaman yang diinfeksinya, atau berkembang diantara sel tanaman dengan miselium interseluler. Sedangkan pada
Fusarium sp. yang menyebabkan vascular wilt, cendawan menyerang jaringan pembuluh xilem secara sistemik menembus pori yang terdapat dalam jaringan
xilem, kemudian berkembang ke jaringan parenkima. Mikrokonidia akan terbentuk dalam jaringan tersebut Groenewald 2005.
2.3.2 Mekanisme Pertahanan Tanaman dari Serangan Patogen
Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan patogen dan respon tersebut akan bertanggung jawab terhadap resistensi tanaman
terhadap patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, pertama dengan adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai
penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam sel tanaman. Kedua respon biokimia berupa reaksi-reaksi kimia yang
terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya Groenewald 2005.
Permukaan tanaman merupakan penghalang struktural pertama patogen. Patogen harus bisa menembus penghalang tersebut sebelum menyebabkan infeksi.
Struktur-struktur seperti lapisan lilin dan bulu-bulu halus mencegah terbentuknya lapisan air dan mencegah patogen berkecambah dan memperbanyak diri. Kutikula
yang menutupi sel epidermis menghalangi terjadinya penetrasi secara langsung. Dinding sel tersusun atas selulosa yang berikatan kuat dengan hemiselulosa dan
lignin menghambat proses infeksi Perez et al. 2002. Kematian sel atau jaringan yang terserang oleh patogen dapat melindungi tanaman dari serangan selanjutnya.
Kejadian tersebut disebut nekrotik atau reaksi pertahanan hipersensitif
hypersensitive defense reaction.
Sel dan jaringan inang akan bereaksi terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh patogen atau karena mekanik dan kimia melalui serangkaian
reaksi biokimia untuk mengisolasi gangguan dan menyembuhkan luka Mert-Turk 2002. Ketahanan biokimia dapat disebabkan oleh senyawa penghambat patogen
yang memang telah dibentuk dalam metabolisme tanaman walaupun tidak terjadi serangan patogen atau senyawa penghambat patogen yang terbentuk ketika
adanya serangan patogen yang disebut fitoaleksin Mert-Turk 2002. Senyawa fitoaleksin adalah senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang
dihasilkan tanaman setelah terjadi gangguan Mert-Turk 2002. Setiap tanaman menghasilkan fitoaleksin yang berbeda. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat yang
berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik untuk mencegah patogen berkembang. Fitoaleksin yang terbentuk bisa berupa senyawa fenolik, alkaloid,
atau terpenoid Zwenger Basu 2008. Akumulasi fitoaleksin dipicu oleh molekul abiotik atau biotik yang disebut elisitor Mert-Turk 2002. Pada
cendawan, elisitor bisa berupa struktur polisakarida dinding sel cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman gaharu dapat menginduksi terbentuknya
senyawa pertahanan berupa seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera Ito
2009. Serangan dan infeksi cendawan dapat mengganggu proses fisiologis dan
morfologi tanaman Nieamann visintini 2005; Lee Bostock 2006. Berdasar kan perluasan gejala yang terjadi dikenal gejala lokal dan gejala sistimetik
Christiansen et al. 1999. Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer. Sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh
dari derah inokulasi.
2.4 Studi Sitologi Patogenesis
Studi sitologi interaksi patogen inang dapat dipelajari menggunakan mikroskop konfokal, mikroskop cahaya, atau mikroskop elektron Kunoh 1995.
Mikroskop konfokal bisa digunakan untuk mengamati terjadinya perubahan- perubahan ultrastruktur dan komposisi di dalam sel tanaman inang secara
langsung Kunoh 1995. Mikroskop konfokal bisa membedakan struktur antar organel sel dengan sangat baik. Namun studi dengan cara ini memiliki kelemahan
karena kadang sukar untuk memperoleh gambar sel terinfeksi yang berbeda dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang
patogen kadang memiliki arsitektur sel yang sama Kunoh 1995. Studi histopatologi dan histokimia merupakan salah satu pendekatan studi
sitologi. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan
mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler Kunoh 1995. Studi histopatologi dapat digunakan untuk mempelajari
perkembangan patogen di dalam jaringan-jaringan inang dan studi histokimia dapat digunakan untuk mempelajari terbentuknya akumulasi senyawa pertahanan
sebagai respon terhadap serangan cendawan. Uji histokimia terbentuknya senyawa terpenoid dapat dilakukan dengan menggunakan tembaga asetat yang
menyebabkan senyawa terpenoid menjadi bewarna coklat kekuningan Martin et al. 2002.
Pengamatan struktur cendawan di dalam sel menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop elektron memerlukan proses preparasi terlebih dahulu.
Preparasi yang dilakukan bisa dengan mewarnai sel cendawan sehingga dapat dibedakan dengan sel tanaman atau dengan melakukan fiksasi agar sel cendawan
tidak berubah. Metode pewarnaan cendawan merupakan metode yang memanfaatkan zat pewarna staining untuk mewarnai dinding sel cendawan.
Pewarna yang digunakan diantaranya lactofenol blue, biru tripan dan chlorazol black E. Pewarna tersebut akan bereaksi dengan dinding sel cendawan baik
cendawan yang masih hidup atau yang sudah mati Waller 2002. Penggunaan mikroskop elektron seperti mikroskop pemindai elektron SEM bisa digunakan
untuk studi detil arsitektur permukaan sel. SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3
dimensi. Sebelum dilakukan pengamatan menggunakan SEM dilakukan preparasi terlebih dahulu agar tidak terjadi perubahan arsitektur dari sel tanaman atau
cendawan Flegler et al. 1993.
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian