5 dicuci dengan 1 ml PBS phosphate buffer saline lalu divortex dan disentrifuse
kembali dan buang supernatannya dilakukan sebanyak 2 kali. Setelah itu 1 ml PBS dicampurkan kembali dengan endapan yang sudah dicuci selanjutnya
divortex dan diambil 0.2 ml untuk diinjeksikan secara intraperitoneal diantara sirip ventral dan anal pada satu ekor ikan kerapu macan untuk menguji
virulensinya. Setelah ikan menunjukkan gejala klinis seperti hemoragi pada rahang mulut atau sirip yang kemerahan, ikan dibedah dan dilakukan reisolasi
bakteri dengan menggoreskan jarum ose steril ke bagian ginjal, empedu, limpa, usus dan organ lainnya yang menunjukkan kelainan kemudian dibiakkan di media
TCBS Thiosulphate Citrate Bile-salt Sucrose dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28
o
C. Untuk mendapatkan biakan murni maka setiap koloni bakteri yang tumbuh terpisah dan berlainan morfologinya dibiakkan kembali ke dalam agar
miring SWC dan diinkubasi pada suhu 28
o
C selama 24 jam selanjutnya diidentifikasi kembali yang meliputi uji oksidatiffermentatif, uji oksidase, uji
katalase, uji motilitas dan pewarnaan Gram Holt et.al, 1994 untuk memastikan kelainan yang terjadi pada organ-organ tersebut disebabkan oleh bakteri yang
dinjeksikan. Bakteri hasil uji postulat Koch inilah yang akan digunakan pada uji selanjutnya.
2.1.3 Penentuan Nilai LD
50
Lethal Dosage
50
Penentuan nilai LD
50
ini penting dilakukan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang akan digunakan pada uji tantang karena pada uji ini akan diketahui
konsentrasi bakteri yang dapat menyebabkan kematian hingga setengah dari populasi ikan uji. Untuk uji LD
50
disiapkan 6 akuarium yang diisi masing-masing 10 ekor ikan kerapu macan. Pada uji ini ikan diinjeksi bakteri uji secara
intraperitoneal sebanyak 0,1 ml per ekor ikan uji sesuai masing-masing konsentrasi yang diujikan. Terdapat 3 konsentrasi yang diujikan yaitu 10
5
, 10
4
dan 10
3
cfuml, setiap konsentrasi bakteri terdiri dari 2 ulangan Lampiran 2. Pengamatan dengan menghitung jumlah ikan yang masih hidup dan yang mati
sampai hari ke-7. Kemudian dilakukan penghitungan dengan metode Reed Muench 1938 untuk mengetahui nilai LD
50
-nya Lampiran 3. Setelah
6 perhitungan dilakukan diperoleh konsentrasi bakteri yang digunakan pada uji
tantang adalah 10
4
cfuml.
2.1.4 Pembuatan Ekstrak Meniran Phyllanthus niruri-Bawang Putih
Allium sativum
Tepung meniran-bawang putih yang digunakan pada penelitian ini berasal dari BALITTRO Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Bogor, Jawa
Barat. Tepung meniran-bawang putih digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ekstrak meniran-bawang putih untuk uji in vitro. Ekstrak meniran didapatkan
dengan melarutkan tepung meniran dengan akuades steril yang kemudian direbus selama 15 menit pada suhu 90 °C Lampiran 4 sedangkan ekstrak bawang putih
didapatkan dengan melarutkan tepung bawang putih dengan akuades steril saja Lampiran 5 Fauziah, 2012.
2.1.5 Uji In Vitro
Uji in vitro ini dilakukan untuk melihat aktivitas antibakteri dari bahan tanaman yang digunakan terhadap bakteri uji dengan metode Kirby-Bauer Lay,
1994. Sebelumnya dipersiapkan campuran ekstrak meniran dan bawang putih dalam beberapa kombinasi dosis yaitu 15+20, 15+25, 20+20, 20+25 dan
25+20 gL. Hal ini dilakukan untuk melihat dosis yang paling efektif menghambat pertumbuhan bakteri uji dalam media agar plate SWC yang digunakan Lampiran
6. Selanjutnya suspensi bakteri dengan kepadatan paling virulen dari uji LD
50
10
4
cfuml disebar sebanyak 0,1 ml pada permukaan agar plate SWC yang telah
padat menggunakan batang penyebar agar merata. Kemudian kertas cakram d=0,5 cm direndam dalam campuran ekstrak meniran-bawangputih selama
5 menit. Setelah itu, kertas diambil dengan menggunakan pinset dan ditempatkan pada permukaan agar yang telah disebar bakteri lalu diinkubasi pada suhu 28
o
C selama 24 jam. Masing-masing kombinasi dosis dari campuran ekstrak tersebut
dibuat dalam 2 ulangan. Zona hambat yang terbentuk di sekitar kertas cakram diukur dengan menggunakan penggaris ketelitian 1 mm. Dosis yang
menghasilkan zona hambat paling besar menjadi dosis yang digunakan pada pengujian in vivo.
7
2.1.6 Pembuatan Pakan Perlakuan