2.4.2. Perkembangan Sosial Budaya Tamil di Medan
Pada masa kolonial, orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi-lokasi perkebunan yang ada di sekitar kota Medan dan Sumatera Timur. Setelah masa
kemerdekaan, mereka pada umumnya berdiam di sekitar kota, yang terbanyak di kota Medan, juga di Binjai, Lubuk Pakam, dan Tebing Tinggi. Pemukiman
mereka yang tertua di kota Medan terdapat di suatu tempat yang dulu dikenal dengan nama Kampung Madras, yaitu di kawasan bisnis Jl. Zainul Arifin dulu
bernama Jalan Calcutta. Kawasan ini lazim juga dikenal dengan sebutan Kampung Keling. Lokasi perkampungan mereka terletak di pinggiran Sungai
Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan dan menjadi jalur utama transportasi di masa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih mudah
ditemuka n situs-situs yang menandakan keberadaan orang Tamil, misalnya tempat ibadah umat Hindu Shri Mariamman Kuil sebagai kuil terbesar yang dibangun
tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya; juga pemukiman dan mesjid yang dibangun oleh orang Tamil Muslim sejak tahun 1887. Pada masa sekarang ini permukiman
orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh Medan dan sekitarnya.
Pada perkembangan terakhir penduduk Tamil terbagi atas 66 yang menganut agama Hindu, 28 agama Budha, 4,5 beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 yang
beragama Islam. Pastor James Bharataputra,SJ pimpinan Graha Annai Maria Velankanni di Medan, menyebutkan bahwa jumlah umat Tamil Katolik di kota Medan saat ini ribuan
orang. Di masa lalu pekerjaan orang-orang Tamil banyak diasosiasikan dengan pekerjaan
kasar, seperti kuli perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan pekerjaan- pekerjaan lainnya yang lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang
Universitas Sumatera Utara
orang Tamil yang datang ke Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan rendah di India, yang tentu saja memiliki tingkat pendidikan yang amat rendah pula. Mereka inilah
yang dipekerjakan di zaman kolonial sebagai kuli di perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Di masa sekarang keturunan mereka banyak yang bekerja sebagai karyawan
swasta, buruh, dan juga sebagai sopir. Kalau di masa kolonial sebagian dari mereka menjadi penarik kereta lembu dan pembuat jalan, di masa kini keturunan mereka banyak
yang sudah mengusahakan jasa transportasi angkutan barang truk pick up dan juga menjadi pemborong pembangunan jalan. Keahlian mereka dalam kedua bidang pekerjaan
ini banyak diakui orang. Ada juga yang menjadi pedagang, di antaranya menjadi pedagang tekstil dan pedagang rempah-rempah di pusat-pusat pasar di Medan. Selain itu
mereka juga banyak yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta. Selain itu banyak juga yang melakoni usaha
sebagai penjual makanan, misalnya martabak keling. Warga Tamil yang ada di kota Medan terdiri dari berbagai agama, ada yang
Hindu,Islam, Protestan dan Katolik. Warga Tamil Katolik juga memiliki sebuah gereja Katolik yang dibangun pada tahun 1912, yang sebagian besar anggotanya juga tergolong
Tamil Adi-Dravida, bahwa sejak tahun 1912 telah ada missionaris Katolik khusus untuk orang-orang India Tamil di Medan. Sebuah gereja lain dibangun pada tahun 1935 oleh
pastor Reverend Father James. Warga Tamil Kristen dan Katolik bermukim di sebuah lokasi yang disebut Kampung Kristen. Zulkifli B.Lubis : Kajian Awal Tentang
Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan. Jurnal Antropologi Sosial Budaya. USU 2005 Pastor James Bharataputra,SJ yang datang ke Indonesia tahun 1967 dan bertugas di
Medan sejak 1972, pernah mendirikan sekolah khusus untuk orang-orang India Tamil yang miskin, bernama Lembaga Sosial dan Pendidikan Karya Dharma. Sekarang sekolah
itu diambil alih oleh Yayasan Don Bosco, dan menjadi SD St. Thomas 56. Kemudian Pastor James Bharataputra membeli sebidang tanah di kawasan Tanjung Selamat pada
tahun 1979, yang semula direncanakannya untuk tempat pemukiman baru bagi orang-
Universitas Sumatera Utara
orang Tamil Katolik yang menumpang di sekitar Jl. Hayam Wuruk. Pada tahun 2001 beliau membangun sebuah Kapel untuk umat Tamil Katolik di atas tanah tersebut, yang
diresmikan oleh Uskup Agung Medan Mgr A.G.P. Datubara, OFM,Cap; dan di sebelah bangunan kapel berukuran kecil itu sekarang berdiri sebuah gedung yang bernama Graha
Annai Maria Velangkanni.
Universitas Sumatera Utara
BAB III DESKRIPSI ANNAI MARIA VELANGKANI
DI MEDAN TUNTUNGAN
3.1 Sejarah Berdirinya Annai Maria Velangkani
Munculnya Graha Annai Velangkanni ini diprakarsai oleh Pastor James Bharataputra, S.J., yang sejak 35 tahun yang lalu sudah bercita-cita membangun
sebuah tempat ziarah Annai Velangkanni di Indonesia. Pastor James ingin ada tempat beribadah bagi umat Hindu yang kemudian memeluk agama Katolik di
kota Medan. Selain itu Annai Maria Velangkani dapat menjadi tempat kunjungan wisata rohani bagi umat Katolik.
Asal usul dari devosi Annai Velangkanni dimulai pada abad ke-17 dimana Bunda Maria,Yesus dan wanita samaria pernah menampakkan diri di
Vailankanni, sebuah dusun pesisir Tanjung Benggala di bagian India Selatan di Provinsi Tamilnadu dan telah melakukan berbagai mukjizat penyembuhan baik
jasmani maupun rohani. Maria Annai sendiri berarti bunda Maria dalam bahasa Tamil. Puluhan ribu orang datang setiap harinya untuk berziarah ke tempat suci
ini penuh dengan iman dan pengharapan untuk mengalami kuasa Tuhan dalam doa dan permohonannya. Sri Paus Yohannes ke-23 telah menjuluki tempat ziarah
itu sebagai “Lourdes dari Timur” dan mengangkat statusnya sebagai Basilika. Graha Annai Velangkanni Tanjung Selamat bukan sebuah duplikat
Basilika Vailankanni itu, karena bentuk bangunan Graha ini sama sekali original dengan penuh makna melalui bentuk arsitektur, simbol-simbol yang menceritakan
sejarah kejadian dunia dan keselamatan umat manusia seperti yang tercantum
Universitas Sumatera Utara