22
Terhadap Tabanni Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Penelitian
ini dilakukan
dengan pendekatan
peraturan perundang-undangan,
khususnya fikih
Islam. Undang-Undang
Perlindungan Anak
dan peraturan
pelaksanaannya. Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya terhadap
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.
45
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan library research yaitu menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
46
a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu
1 Al-Qur’an 2 Fikih Islam
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 4 Undang-Undang Dasar 1945.
5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 6 Kompilasi Hukum Islam.
7 Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 8 Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tentang Pengangkatan Anak.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
45
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 13.
46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
23
dari kalangan hukum yang berhubungan dengan Tabanni. c.
Bahan hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedi atau majalah yang terkait dengan Tabanni.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 dua alat pengumpulan data yaitu : a.
Studi dokumen yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan caramempelajari buku-buku, hasil penelitian
dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada
informan yang terkait dengan Tabanni.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan dari nara sumber sehingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta di evaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan
analisis. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik
kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan
memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
24
BAB II LATAR BELAKANG KONSEP TABANNI DITINJAU DARI FIKIH ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Konsep Tabanni Menurut Fikih Islam
Pengangkatan anak dalam fikih Islam disebut dengan tabanni memiliki dua pengertian yaitu pengangkatan anak oleh seseorang terhadap anak orang lain yang
diketahui nasabnya, kemudian memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandung baik kasih sayang atau nafkahnya biaya hidup tanpa diberikan status
nasab, dan menasabkan seorang anak orang lain sebagai anaknya dan ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu menjadikan anak sah.
47
Pengangkatan anak yang mempunyai pengertian secara mutlak sudah menjadi praktik di zaman jahiliyah, telah dilarang oleh Allah SWT karena menghilangkan
asal-usul yang asli anak angkatnya. Adanya pengalihan status nasab menjadi sebab pelarangan pengangkatan anak secara mutlak, walaupun di dalamnya juga terdapat
ingin membantu meringankan beban anak angkatnya. Pengangkatan anak yang bertujuan untuk memelihara, mengasuh, memungut, dan mendidik anak-anak yang
terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasabnya terhadap orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan
dianjurkan oleh ajaran Islam. Bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis
47
Muhammad Amin Summa. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam., Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 44.
24
Universitas Sumatera Utara
25
yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutus nasab dengan orang tua kandungnya.
Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan
kesehatan, demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan suatu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak
dianugerahi oleh Allah SWT, mereka mematrikan perbuatan pengangkatan anak sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mendidik, memelihara
anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa usaha-
usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam. Entitas tersebut yaitu pengangkatan anak tentunya mempunyai implikasi yang
sudah menjadi konsekuensi dari keduanya. Maka, dalam membahas akibat hukumnya dalam kaidah Fikih Islam akan diuraikan sebagai berikut:
1. Status Nasab
Tujuan syariah Islam adalah untuk menjaga eksistensi manusia dalam berbagai tingkat kehidupannya, baik secara primer dharûriyah, sekunder hâjjiyah
maupun pelengkap tahsîniyah. Tingkatan primer merupakan tingkatan kebutuhan manusia yang esensial, yang apabila tidak terpenuhi menjadikan hilangnya eksistensi
manusiawinya, sehingga tingkatan ini menghendaki adanya realisasi dan perwujudan dalam konteks kehidupan yang nyata tahqîqu wa ijâduhâ serta pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
26
terhadap eksistensinya al muhâfadhat ‘alâ baqâihâ.
48
Memelihara keturunan hifdh al-Nasl merupakan salah satu tingkat primer kebutuhan manusia dalam paling esensi untuk menjaga eksistensinya agar tidak
merusak keturunan. Oleh karenanya, pengangkatan anak dalam Islam hanya bertujuan untuk memberikan pemeliharaan dan perlindungan kepada anak angkat tanpa adanya
pengalihan nasab. Sehingga, eksistensi anak dalam status nasabnya tidak menjadi rusak karena tidak bercampur dengan keturunan yang bukan nasabnya.
2. Kewarisan
Sistem kewarisan dalam Islam tidak sama dengan sistem kewarisan hukum sekuler dan kewarisan ala Tionghoa. Sistem kewarisan Islam sangat memerhatikan
aspek maslahat dalam aplikasinya. Sehingga, dalam pandangan Islam, ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan nasab baik dari golongan furû’, ushûl dan hawâsyî, perkawinan al- mushâharah.
49
Kewarisan yang berlaku dalam hukum sekuler tidak memerhatikan hal tersebut, sehingga anak angkat menjadi bagian ahli waris dari keluarga angkatnya.
Begitu juga dengan kewarisan ala adat Tionghoa yang menyisihkan keluarga yang mempunyai hubungan nasab dari pada keluarga angkatnya. Bisa dipastikan, bahwa
hal ini akan melahirkan konflik dalam sebuah keluarga, karena adanya perselisihan
48
MA. Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana, 2005, hal. 293.
49
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
27
dalam penentuan ahli waris.
50
Islam yang sangat memerhatikan mashlahat, tetap memerhatikan hubungan nasab dan perkawinan al-mushârah dalam menentukan ahli waris. Artinya,
siapapun yang tidak mempunyai hubungan darah, tidak bisa menjadi ahli waris. Sehingga anak angkat yang tidak masuk dalam kategori nasab dan perkawinan, tidak
berhak mendapatkan tirkah dengan cara waris. Ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, dan tidak pula dilahirkan dari rahim orang tua
angkatnya. Anak angkat tetap menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya saja.
Masuknya anak angkat sebagai ahli waris akan melahirkan kecemburuan sosial di antara keluarga ahli waris, sebab ahli waris akan merasa dirugikan dengan
kehadiran anak angkat sebagai ahli waris. Dengan masuknya anak angkat sebagai ahli waris juga akan mengurangi bagian harta warisan para ahli waris.
51
Mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi
kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memerhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka dia bisa mendapatkan
harta orang tua angkatnya dengan cara hibah pada waktu orang tua angkatnya belum meninggal dan cara wasiat setelah orang tua angkatnya meninggal.
Pemberian wasiat tidak boleh melebihi sepertiga harta dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Apabila orang tua angkatnya mempunyai ahli
50
Ibid.
51
Kasuwi Saiban, Hukum Waris Islam, Malang: UM Press, 2007, hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
28
waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika wasiatnya lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan, maka tidak boleh dilaksanakan kecuali atas izin
dari ahli waris.
52
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan wasiat, sedang hartanya banyak, maka penguasa ulil amri berhak mengeluarkan kebijakan yang tidak perlu
disandarakan kepada ada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa hidupnya, tetapi kepada hukum atau undang-undang yang berlaku. Hal inilah yang
disebut dengan wasiat wajibah. Tujuan dari wasiat wajibah ini yaitu untuk membantu anak angkat tetap bisa bertahan dan mampu menafkahi dirinya sendiri.
Bagian warisan yang bisa diterima oleh orang yang diakui dengan secara tidak langsung, berdasarkan pernyataan Yahyâ al-Laitsî mengutip pendapatnya Imam
Malik dalam warisan orang yang diakui yang artinya:
53
Saya mendengar Malik berkata: masalah sosial yang berada ditengah-tengah kita adalah tentang seorang laki-laki yang mati dan meninggalkan beberapa
anak. Kemudian salah satu diantara mereka berkata: “ayahku telah mengakui bahwa fulan adalah anaknya”, nasab anak itu tidak bisa bersambung hanya
dengan kesaksaian satu orang. Pengakuan itu tidak bisa tidak bersambung ke ayahnya kecuali hanya kepada anak yang mengakuinya itu dan mendapatkan
bagian dari harta yang diterima orang yang melakukan kesaksian. Malik berkata: maksud tersebut adalah orang yang meninggal, meninggalkan dua
orang anak dan meninggalkan harta sebanyak 600 dinar, maka masing dari keduanya mendapatkan 300 dinar, kemudian salah satu dari mereka
melakukan kesaksian bahwa ayahnya yang telah meninggal mengakui bahwa fulan adalah anaknya, maka dari tangan orang yang melakukan kesaksian itu
diberikan 100 dinar dan itu bagian waris dari mustalhaq orang diaku. Jika yang satunya juga mengakui hal tersebut, maka dia mendapat 100 dinar
darinya, sehingga haknya terpenuhi dan nasabnya bersambung.
52
Ibid., hal. 72.
53
Ibid., hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
29
Jika anak yang diaku mustalhaq lah tidak mempunyai hubungan nasab, karena syarat-syarat dalam pengakuan tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak
menerima warisan seperti halnya anak angkat. Hal itu disebabkan karena anak yang diaku tidak mempunyai hubungan nasab dengan mustalhiq.
3. Perkawinan Islam mensyariatkan perkawinan adalah untuk menjaga nasab agar tidak
terjadi kerancuan dan hal itu merupakan maqâsid al-syarîah dalam Islam. Sehingga dengan perkawinan, yang halal tetap menjadi halal dan yang haram tetap menjadi
haram. Maka, tidak dimasukkannya anak angkat sebagai mahram keluarga angkatnya adalah agar statusnya ia sebagai orang yang halal tidak menjadi kabur dan tidak
beralih menjadi mahram. Anak angkat tetap tidak termasuk sebagai orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan, sehingga ia tetap ajnabi
asing. Ketentuan ini adalah untuk menjaga timbulnya fitnah di kemudian hari,
sehingga tetap jelas apa yang halal disisi Allah dan begitu pula apa yang haram disisi- Nya. Artinya, ketentuan tersebut untuk menghindari kesalahpahaman yang halal dan
haram. Hal ini biasanya terjadi karena anak angkat biasanya dianggap sebagai anak sendiri dalam satu keluarga, sehingga seakan-akan dia menjadi mahram. Padahal dia
sesungguhnya orang lain yang haram disentuh, bahkan haram dilihat auratnya. Apabila anak angkat hidup dan tinggal bersama keuarga angkatnya, maka ia
tetap harus menjaga jarak atau tetap berada dalam ketentuan Fikih Islam dalam berinteraksi sehari-hari. Berbeda halnya dengan anak yang diakui mustalhaq lah, ia
Universitas Sumatera Utara
30
bisa menjadi mahram mustalhiq, jika pengakuannya sah karena statusnya menjadi anak sah secara syar’i, ia pun menjadi mahram, bukan lagi halal untuk dinikahi
dalam keluarga tersebut. Anak angkat tidak masuk dalam kategori hubungan nasab dan tidak pula
hubungan al-mushaharah. Jika ada hubungan al-mushaharah antara anak angkat dan keluarga angkatnya, maka anak tersebut mempunyai hubungan mahram yang
menyebabkan lahirnya larangan perkawinan. Misalnya, ibu kandung anak angkat dinikahi oleh ayah angkatnya dan terjadi persetubuhan, maka anak tersebut bila
perempuan tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya karena statusnya sudah menjadi anak tiri.
54
Dengan demikian, anak angkat yang tidak menjadi mahram keluarga angkatnya, dapat dinikahi oleh keluarga angkatnya. Misalnya, anak angkatnya
seorang perempuan, ia boleh dinikahi oleh ayah angkatnya atau saudara angkatnya atau yang lainnya dalam keluarga tersebut. Bagi mustalhaq lah jika perempuan
tidak dapat dinikahi, karena dia haram mahram dengan keluarga mustalhiq.
55
4. Perwalian
Perwalian terhadap anak, terdiri dari perwalian terhadap dirinya, harta, dan dirinya dan harta secara sekaligus. Anak yang masih belum mampu untuk melakukan
pekerjaan dengan baik belum cakap hukum, perlu mendapatkan perwalian dalam setiap urusannya. Hal ini untuk menghindarkan anak dari penipuan misal: dalam
54
Ibid.
55
Ibid., hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
31
membelanjakan hartanya. Mendampingi anak atau menjadi walinya tidak hanya dalam konteks membelanjakan hartanya saja, tetapi juga menjadi wali dalam
perkawinannya jika ia seorang perempuan atau bahkan dalam perwalian diri dan hartanya secara sekaligus.
Menjadi wali nikah, pada hakikatnya hanyalah orang yang mempunyai hubungan darah ayah dan ashabah dalam kewarisan. Wali anak angkat perempuan
ialah orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya. Kecuali jika orang tua kandungnya mewakilkan kepada orang tua angkatnya.
56
Berbeda dalam perwalian harta, kurator atau orang yang bertindak sebagai wali, tidak harus orang yang mempunyai hubungan nasab. Lebih ditekankan adalah
orang yang mampu untuk mendampingi dan mengawasi anak tersebut dalam membelanjakan hartanya dan mengurusi segala keperluannya, baik anak itu anak
angkat atau anak sah secara syar’i mustalhaq lah. Semua itu adalah untuk memberikan pelayanan dan pendidikan kepada setiap anak yang dilahirkan, apalagi
anak tersebut termasuk al-laq’th anak temuan.
57
5. Nafkah
Pada dasarnya, pengangkatan dan pengakuan bertujuan untuk memberikan pelayanan, perawatan, pemeliharaan dan pendidikan dan kesejahteraan terhadap anak.
Tabanni yang dianjurkan oleh Islam adalah tabanni dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada pengangkatan anak oleh sebuah keluarga yang tidak mempunyai
keturunan, tetapi kepentingan anak juga harus diperhatikan. Pemberian nafkah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan maslahat kepada setiap anak.
56
Ibid.
57
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
Artinya, pemberian nafkah dapa membantu anak dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya hingga ia dewasa dan mampu mandiri.
Pemberian nafkah terhadap anak angkat, sebenarnya bukan merupakan kewajiban ayah angkatnya. Tabanni yang dilakukan oleh sebuah keluarga
menyebabkan adanya peralihan tanggung jawab dalam memberikan nafkah dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, terlebih orang tua kandung tidak mampu secara
ekonomi. Adanya hubungan timbal balik ini karena anak angkat nantinya juga akan berjasa dalam keluarga, yaitu sebagai pelengkap keluarga yang tidak mempunyai
keturunan. Tidak ada akibat hukum dari tabanni ini, yang ada hanyalah terciptanya
hubungan kasih sayang dan beralihnya tanggung jawab dalam memberikan nafkah. Di samping itu, tabanni dalam arti mendidik, dan memelihara anak yang terabaikan
hak-haknya karena kefakiran dan kemiskinan juga bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.
58
Untuk pengukuhan anak, pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang menjadi konsekuensi yang ditimbulkan. Adanya hubungan ayah dan anak melahirkan
adanya hak dan kewajiban di antara keduanya, begitu juga sebaliknya. Orang tua secara syar’i berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelayanan dan nafkah
kepada anaknya mustalhaq lah. Ini juga sebagai usaha agar orang tuanya dapat menghindarkan anak tersebut dari kefakiran dan kemiskinan.
Pengakuan secara tidak langsung yang masih membutuhkan pembenaran dari pihak ketiga, tidak selamanya melahirkan kewajiban ayah terhadap anak. Apabila
pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh pihak ketiga, maka kewajiban untuk
58
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
33
memberikan nafkah berada di bawah tanggungan orang yang mengakuinya, misal orang yang mengaku saudara. Hubungan hanya terbatas hubungan kekeluargaan saja,
seperti memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya tanpa adanya hubungan nasab dengan pihak ketiga.
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah
dikaruniai keturunan. Karena mengangkat anak diperbolehkan oleh Undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
terhadap perlindungan anak. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengenai pengangkatan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandung. Pasal
91 ketentuan peralihan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selanjutnya menyatakan bahwa pada saat berlakunya Undang-Undang tersebut,
Universitas Sumatera Utara
34
semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam rangka melakukan pengangkatan anak, seperti yang disebutkan dalam pasal 39, yaitu:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. 3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. 4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. 5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat Sementara dalam pasal 40 disebutkan bahwa:
1. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
Universitas Sumatera Utara
35
2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan. Hal ini menegaskan bahwa dalam hal pengangkatan anak dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seorang anak angkat harus mengetahui tentang asal usulnya dan tentang orang tua kandungnya, juga diberi
kebebasan untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Seperti juga ditegaskan dalam pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak,
atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan tersebut
mendorong perlunya
perlindungan anak dalam rangka kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Perlindungan anak merupakan usaha untuk menciptakan kondisi yang
melindungi anak untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Pada dasarnya bila diperhatikan dari segi manapun juga tujuan pengangkatan anak mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan.
C. AlasanMotivasi Pengangkatan Anak
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, sangat penting melihat alasanmotivasi pengangkatan anak sehingga sangat perlu diperhatikan, dan harus
Universitas Sumatera Utara
36
dipastikan dilakukan demi kepentingan yang terbaik untuk anak. Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-alasan, dorongan yang
menyebabkan seseorang berbuat sesuatu. Misalnya seseorang menjadi anggota perkumpulan maka motivasinya antara lain ingin sesuatu yang baru bersama anggota
perkumpulannya tersebut.
59
Dalam kaitannya dengan pengangkatan anak berarti dengan adanya alasan- alasan atau motivasi atau dorongan yang melatar belakangi seseorang melakukan
perbuatan hukum mengangkat anak. Apabila melihat pada alasanmotivasi serta tujuan pengangkatan anak, maka akan banyak sekali ragamnya. Akan tetapi menurut
Djaja S. Meliala, alasan terutama yang terpenting adalah: 1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak
mampu memeliharanya. 2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya di hari tua. 3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat
mempunyai anak sendiri. 4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja. 6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan kebahagiaan keluarga.
60
59
W.A. Gerungan, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Jakarta: Eresco, 1977, hal. 142.
60
Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak Adopsi di Indonesia, Bandung: Tarsito, 1982, hal.3.
Universitas Sumatera Utara
37
Ada beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar atau
alasan dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain:
1. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut: a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak.
b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya. c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan. d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu
pengangkatan anak. e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk
kepentingan pihak tertentu. 2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut :
a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri. b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak
yang ingin mengangkat anaknya. c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak.
d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain. e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua kandungnya.
f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya.
g. Masih mempunyai anak beberapa lagi. h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri.
i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan
Universitas Sumatera Utara
38
tidak sah. j.
Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.
61
Dalam kaitannya dengan motivasi pengangkatan anak, menurut Datuk Usman ada berbagai motif dari pengangkatan anak ini antara lain :
1. Tidak mempunyai anak untuk melangsungkan keturunan.
2. Agar ada orang yang mengurus apabila sudah tua nantinya.
3. Untuk melanjutkan dan memelihara harta benda.
4. Untuk pemeliharaan berkala.
5. Untuk memasukkan seseorang kedalam masyarakat hukum.
6. Mengangkat derajat seseorang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
7. Karena belas kasihan kepada anak yatim piatu atau orang tuanya tidak mampu.
8. Karena anak-anaknya yang ada hanya laki-lakiperempuan saja, sedangkan ia
menginginkan sebaliknya. 9.
Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
10. Untuk menambah tenaga dalam keluarga. 11. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
12. Anak dahulu sering penyakitan atau meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga lain untuk diadopsi agar anak selalu sehat dan
61
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hal.38.
Universitas Sumatera Utara
39
panjang umur. 13. Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung di Rejang disebut Mulang Jurai, di
Kalimantan disebut Ngukup. 14. Mengangkat kedudukan anak perempuan. Biasanya anak perempuan sendiri
dirubah kedudukannya serupa dengan kedudukan anak laki-laki, misalnya di Bali disebut dengan Anak Sentana, di Karo disebut Ilakiken. Berbeda dengan di Bali
Anak Sentana adalah untuk pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris, di Karo hanya terbatas dalam penerimaan warisan saja.
15. Mengangkat derajat
seorang anak
laki-laki dari
seorang isteri
yang kedudukannya rendah selir menjadi anak dari istri yang lebih tinggi
kedudukannya, misalnya di Bali dan Lampung. 16. Mengangkat menantu menjadi ahli waris, yaitu mengangkat seorang laki-laki dan
dimasukkan kedalam kerabat mertua laki-lakinya, misalnya di Lampung dan di perbatasan Minangkabau dan Tapanuli.
17. Memasukkan seorang anak dari klan ibu ke klan bapak, misalnya di Rejang. 18. Mendapatkan teman bagi anaknya.
19. Untuk mempertahankan ikatan perkawinankebahagiaan keluarga 20. Untuk dinikahkan dengan anak adoptan.
62
Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan
62
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Dipakai dalam Lingkungan Sendiri pada FH-USU, Medan, tanpa tahun, hal 89-92.
Universitas Sumatera Utara
40
pengangkatan anak diantaranya: 1. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam
suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak.
2. Untuk melanjutkan garis keturunan terutama sekali bangsa yang menganut sistem pengabdian kepada leluhur voor ouder verering.
3. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak
memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya. 4. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan
pekerjaan rutin yang bersifat ekstern maupun intern. 5. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak.
6. Untuk memberikan kepuasan bathiniah bagi keluarga yang sangat membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan
seluruh keluarganya.
63
Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak kepada orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan
menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya.
Pada dasarnya Al-Quran dan Al-Hadist tidak membenarkan pengangkatan anak dalam arti memutuskan hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya.
Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an sebagaimana tertera dalam Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, yang dilatarbelakangi
pada saat Nabi Muhammad SAW mengangkat Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya Haritsah melainkan diganti dengan
panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga kemudian Allah SWT menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4-5 serta Ayat 37 dan ayat 40 yang pada intinya melarang
pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan
63
M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Jakarta: Fakultas Tarbiyah Universitas Darmawangsa, 1995, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
41
saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkatnya. Dengan demikian dalam Fikih Islam hanya mengakui pengangkatan anak
dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.
Konsep pengangkatan anak dalam Fikih Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya
diperbolehkan atau suruhan dengan motivasi untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan dan kasih sayang, pemberian nafkah,
pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung nasab.
Sedangkan mendidik anak, melayani, dan memenuhi segala kebutuhan yang dibutuhkan seorang anak adalah bagian dari hadhanah yang sangat dianjurkan oleh
Islam. Perlu
ditegaskan, bahwa
tujuan pengangkatan
anak adalah
untuk kesejahteraan anak, bukan untuk kepentingan calon orang tua angkat. Inilah konsep
Islam yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena dalam syariat Islam dan Fikih Islam tidak diberikan hak waris kepada anak angkat ataupun orang tua angkat maka Kompilasi Hukum Islam KHI
memberikan wasiat wajibah maksimal 13 bahagian, itupun dengan mengajukan permohonan dan dengan putusanpenetapan dari Mahkamah Syar’iyah ataupun
Pengadilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
42
BAB III PROSEDUR TABANI MENURUT FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pelaksanaan Tabanni Menurut Fikih Islam
Pengangkatan anak dalam tradisi masyarakat muslim, berbeda dengan tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat adat pada umumnya. Tradisi pengangkatan
anak dalam masyarakat muslim, lebih dominan mendapat pengaruh dari Syari’at Islam, bila dibandingkan dengan pengaruh dari hukum adat. Hukum adat bagi
masyarakat muslim bersumber pada Syari’at Islam. Adat yang bertentangan dengan Syari’at Islam adalah bukan adat bagi masyarakat muslim.
64
Oleh karenanya, bagi masyarakat muslim Syari’at Islam merupakan standar norma yang mengatur seluruh
prilaku kehidupan termasuk pengangkatan anak. Tradisi mengadopsi anak telah terjadi dari zaman jahiliyah dengan istilah at-
tabanni di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua
angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
65
Amir Syarifuddin menyatakan bahwa fikih Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari
kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya.
64
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998, hal. 143.
65
A. Rahman Ritonga, dkk, Op.Cit, 1996, hal. 27.
42
Universitas Sumatera Utara
43
Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
66
Hal itu pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah
kepada Nabi Saw untuk merawatnya. Tindakan Nabi Muhammad S.A.W. ini mendapat teguran dari Allah melalui wahyu Illahi sebagaimana tertera dalam Al-
Qur’an Surat Al-Azhab ayat 4, 5, yang diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat
dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.
67
Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau mengangkat Zaid menjadi anaknya sendiri,
sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Zaid bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai, dari Ibnu Umar
radhiallahu‘anhu: Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
68
Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain menjadi seperti anak sendiri tetap dianjurkan
dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada masa jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua
66
Mira Amira, “Anak Adopsi Menurut Islam”, http:amiramira404.blogspot.com, Diakses tanggal 4 September 2013.
67
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985, hal. 23.
68
A. Rahman Ritonga, dkk, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
44
angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram. Untuk pembatalan kebiasaan jahiliyah tersebut Allah Swt menurunkan ayat 4-
5 surah al-Ahzab, dan peristiwa itu dikenal dengan peristiwa ibthaluttabanni pembatalan hukum anak angkat, maka pembatalan itu direalisasikan oleh Nabi Saw
dengan mengawini mantan isteri Zaid bin Haritsah, yang mana sebelumnya orang beranggapan bahwa isteri Zaid bin Haritsah yaitu Zainab binti Jahsy adalah menantu
Nabi Muhammad S.A.W.
69
Dengan kata lain, nikahnya Nabi Saw dengan Zainab binti Jahsy pupuslah anggapan orang tentang Zaid sebagai anak kandung Rasul Saw,
dan mulai saat diturunkan ayat di atas Rasul Saw memanggil Zaid bin Harisah dan berkata: Engkau adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.
Perkawinan Rasul Saw dengan Zainab binti Jahsy setelah diceraikan oleh Zaid dan habis masa tunggunya iddah, menjadi dasar hukum dalam Fikih Islam untuk
tidak memberlakukan anak angkat seperti anak kandung, dan berlakulah seperti orang lain, namun demikian tidak pula menutup kemungkinan untuk berbuat baik kepada
anak angkat, atas prinsip tolong menolong, dalam berbuat baik dan ketaqwaan. Secara panjang lebar Allah S.W.T. menjelaskan tentang halalnya mengawini
bekas isteri anak angkat, yaitu ketika Rasulullah S.A.W. ragu dan takut bertemu dengan orang banyak ketika akan mengawini Zainab binti Jahsy, karena Zainab
adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini sebagaimana difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37-40.
69
Ibid., hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
45
Mengangkat anak hukumnya Haram apabila, nasabnya dinisbatkan kepada orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim,
yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan
sendiri oleh Rasulullah SAW. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini,
sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya’.
Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu
Sabil, yang
dalam Islam
dianjurkan untuk
memeliharanya. Asy-Syarbashi
mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab R.A.
ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
70
Apabila ada anak-anak yang ditinggal mati ayahnya karena peperangan atau bencana lain misalnya, seperti peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam,
maka agama Islam memberikan jalan keluar yang lain dari pengangkatan anak tersebut. Umpamanya dengan jalan menikahi para janda yang ditinggal mati
suaminya dengan laki-laki lain. Dengan demikian anak-anak janda tersebut tidak lagi
70
Mira Amira, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
46
menjadi terlantar. Status anak tersebut bukan anak angkat tetapi anak tiri. Kalau anak tiri tersebut perempuan, maka anak tiri itu akan menjadi mahramnya, dalam arti
sudah haram kawin dengannya kalau sudah ba’da dukhul dengan ibu anak tirinya itu.
71
Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh Hukum BaratHukum Sekuler dan
praktek masyarakat jahiliyah, yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya
mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara dan lain-lain dalam konteks
beribadah kepada Allah SWT.
72
Fikih Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan
anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih
dan sayang dan hubungan tanggung jawab sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat
71
Al-Quran Surah An-Nisa ayat 23.
72
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
47
dengan anak angkat harus menjaga mahram. Dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah Muhammad SAW
diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah anak angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid Bin Haritsah tidak ada
hubungan nasab, kecuali hubungan kasih sayang sebagai orang tua angkat dengan anak angkatnya.
73
Muhammad Ali As-Sabuni dalam Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan mengatakan sebagaimana Islam telah membatalkan zihar, demikian pula hanya
dengan tabanni. Fikih Islam telah mengharamkan tabanni yang menisbatkan seorang anak angkat kepada yang bukan bapaknya dan hal itu termasuk dosa besar yang
mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Allah SWT,
74
sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam Hadis riwayat Bukhari:
Barang siapa yang memanggil mendakwakan dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpakan laknat Allah, para malaikat dan
manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah tidak menerima darinya amalan- amalannya dan kesaksiannya HR. Muslim.
75
Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk kemudian dimasukkan ke
dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari
73
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hal. 87.
74
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit., hal. 46.
75
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
48
Islam, karena sangat bertentangan dengan Ajaran Islam. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, juga oleh Imam Bukhari, Rasulullah pernah menyatakan bahwa:
Tidak seorangpun yang mengakui membanggakan diri kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah
kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami kalangan kaum muslimin, dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.
76
Al-Imam Al-Lausi dalam Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan menyatakan bahwa hharam hukumnya bagi orang yang dengan sengaja menisbahkan anak kepada
yang bukan ayahnya, sebagaimana yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat jahiliyah. Adapun apabila seseorang memanggil anak dengan panggilan anakku ibni
yang menunjukkan kasih sayang seseorang kepada anak yang dipanggil tersebut, maka hal tersebut tidak diharamkan.
77
Unsur kesengajaan menasabkan seseorang kepada seorang ayah yang bukan ayahnya padahal ia mengetahui ayahnya yang
sebenarnya, adalah penyebab haramnya perbuatan tersebut, dan hal demikian itu terjadi dalam lembaga pengangkatan tabbani dalam pengertian tidak terbatas.
Dalam hal seorang anak yang ditemukan al-laqith oleh seseorang dan orang yang menemukan itu tidak mengetahui siapa ayah dari anak yang ditemukan itu,
maka orang
yang menemukan
tersebut dapat
mengklaim dirinya
sebagai ayahnyaorang tuanya sampai benar-benar diketahui ayah yang sebenarnya. Mahmud
76
Ibid., hal. 47.
77
Yusuf Al-Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, Terjemahan Abu Hana Zulkarnain, ddk, Jakarta: Akbar, 2004, hal. 284.
Universitas Sumatera Utara
49
Syaltut menjelaskan tentang kasus anak temuan al-laqith bahwa para ulama fikih telah sepakat jika ada seorang anak yang identitas orang tuanya tidak diketahui, dan
anak tersebut ditemukan oleh seorang muslim dan diyakini bahwa anak itu adalah anaknya bukan anak orang lain dengan ciri yang ada, maka demi menjaga
kehormatan dan nama baik anak itu di masyarakat dengan adanya orang tua yang jelas mengakui itu, maka dapat ditetapkan hubungan nasab anak itu dengan seseorang
yang mengakuinya dan terjadinya hubungan kemahraman dan kewarisan antara keduanya. Jika ternyata setelah lama tidak ada seorangpun mengakui anak tersebut,
maka ia tetap berada di bawah perlindungan dan perwalian orang yang memungutnya dan bertanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan anak itu, baik lahir maupun
batin. Termasuk pendidikan, keterampilan agar kelak menjadi anak yang saleh. Untuk mencukupi biaya kebutuhan anak tersebut, maka tua tersebut dapat meminta bantuan
baitul mal. Jika baitul mal tidak ada maka kewajiban bagi seluruh umat Islam
bergotong royong untuk membantunya.
78
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam
disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka
sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila
78
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit., hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
50
pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai
pertanggungjawaban Allah SWT. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak
mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih
hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Masyarakat yang beragama muslim melakukan pengangkatan anak dalam rangka mewujudkan prinsip ta’awun atau tolong menolong antara sesama muslim.
Hal ini terbukti dengan penggunaan istilah dalam adat dengan “anak pungut” yang mendekati makna kasih sayang, belas kasihan.
79
Dalam masyarakat muslim, pengangkatan anak berjalan seperti biasa, dimana anak yang telah dijadikan anak angkat umumnya berpindah tempat tinggalnya ke
rumah orang tua angkatnya. Biasanya perpindahan tersebut dilakukan melalui prosesi upacara adat yang didahului dengan kenduri hajatan, dimana dalam prosesi tersebut
orang-orang yang dituakan memberikan nasehat-nasehat sehubungan dengan pengangkatan anak.
Prosesi tersebut bukan memutuskan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Upacara ini semata-mata dimaksudkan untuk meminta
79
A. Hamid Sarong, Op.Cit., hal. 301.
Universitas Sumatera Utara
51
perlindungan kepada Allah SWT, agar anak angkat dan orang tua angkat dapat menjadi keluarga yang baik dan terbangun hubungan harmonis antara mereka seolah-
olah antara anak dengan orang tua kandungnya. Di samping itu, upacara adat dimaksudkan untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa telah terjadi
pengangkatan anak. Namun demikian seiring dengan perkembangan aturan hukum tentang
pengangkatan anak dan pemikiran masyarakat tentang perlunya kepastian hukum, maka upacara adat dirasakan tidak cukup, tetapi harus ditambah dengan proses
hukum yaitu dengan mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengangkatan anak dari pengadilan.
B. Prosedur Pengangkatan Anak pada Pengadilan Agama
Pasal 63 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menegaskan dengan membagi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan umum.
Pengadilan agama berwenang mengadili perkara bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan pengadilan umum bagi perkara lainnya. Oleh karena pengangkatan anak
tidak termasuk hal yang diatur dalam Undang-undang tersebut, maka kewenangan mengenai pengangkatan anak meskipun dilakukan oleh mereka yang beragama Islam
tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri. Lahirnya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
juga tidak mengatur kewenangan pengadilan agama terhadap perkara pengangkatan anak, sehingga kewenangan itu tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri.
Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di
Universitas Sumatera Utara
52
tanah air, akan tetapi di satu sisi sebagaimana diakui Mahkamah Agung aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai saat ini belum memadai. Di sisi yang lain,
pengesahan pengangkatan anak tersebut telah diklaim sebagai lembaga hukum yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri. Sedangkan pada saat yang sama
sejak diberlakukannya Kompilasi hukum Islam KHI. Pengadilan Agama merasa berkepentingan pula untuk menangani pengesahan pengangkatan anak ini. Alasannya
adalah Kompilasi Hukum Islam KHI telah secara eksplisit istilah anak angkat menurut versinya.
80
Perkembangan terakhir yang menarik untuk dicermati terkait dengan pengaruh modernitas terhadap hukum Islam adalah amandemen terhadap Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006.
Sebagaimana diketahui bahwa DPR RI pada tanggal 21 Februari 2006 sudah menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Fenomena ini merupakan awal yang baik bagi Peradilan Agama pasca satu atap one roof system setelah munculnya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah memunculkan dampak yang sangat luas di lingkungan Peradilan Agama baik menyangkut penyiapan sumber
80
Hasil Wawancara Dengan Bapak Hasfan Pulungan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 1 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
53
daya manusianya maupun penyiapan materi hukum yang siap pakai di lingkungan Peradilan Agama khususnya terkait dengan pengangkatan anak. Bahwa Peradilan
Agama berwenang dalam hal menetapkan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam penjelasan pada Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-undang RI Nomor 3 Tahun
2006. Kewenangan baru ini membawa implikasi serius bagi perkembangan Peradilan Agama ke depan mengingat selama ini masih ada kecenderungan pemahaman bahwa
pengangkatan anak harus melalui Peradilan Negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, semakin jelas bahwa
pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam adalah menjadi kewenangan penuh Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa berlaku di Pengadilan Agama
sebelum lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orang tua angkat mengajukan perkara permohonan
pengangkatan anak sebagaimana lazimnya perkara volunteer permohonan. Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku sampai keluar
Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetapan dari permohonan pengangkatan anak bisanya dipedomani SEMA No. 2
Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983. Pengangkatan anak menurut hukum perdata umum, sebelum perkara diajukan ke Pengadilan Negeri, calon orangtua angkat harus
terlebih dahulu
mendapatkan izin
pengangkatan anak
dari Kepala
Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi. Untuk mendapatkan izin dari Kepala Dinas
Kesejahteraan Sosial Propinsi, calon orang tua angkat dan anak angkat telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial RI
Universitas Sumatera Utara
54
No.13HUK1993. Pengadilan Agama hanya berwenang mengurusi pengangkatan anak di
kalangan umat Islam dan pengangkatan anak antar Negara Intercountry adoption yang beragama Islam. Di luar pengangkatan anak menurut perspektif hukum Islam,
kewenangan ada di tangan Pengadilan Negeri, termasuk pengangkatan anak antar Negara Intercountry adoption yang beragama non Islam.
Kewenangan Pengadilan Agama menetapkan asal usul anak malah sudah disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam KHI sejak tahun 1991. Pasal 103
kompilasi Hukum Islam KHI menyebutkan bahwa asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lain. Jika akta kelahiran atau bukti lain tidak ada,
maka yang berwenang menetapkan asal usul anak adalah Pengadilan Agama.
81
Untuk menetapkan
kewenangan absolut
Pengadilan Agama
dalam memberikan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam perlu diketahui
terlebih dahulu dasar hukum penerapannya. Peraturan perundang-undangan belum memadai dalam mengatur penerapan kewenangan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam tersebut. Sesuai ketentuan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 juncto Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 54, maka dalam hal ini hukum
acara yang berlaku adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Mahkamah Agung juga memberikan tiga arahan yang harus diperhatikan
81
Hasil Wawancara Dengan Bapak Hasfan Pulungan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 1 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
55
hakim sebelum memutus penetapan pengangkatan anak. Arahan itu juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:
82
1. Pengangkatan anak bisa dilakukan demi kepentingan terbaik anak. 2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat, bila asal usul
anak tidak diketahui maka disesuaikan dengan mayoritas penduduk setempat. Menurut pendapat penulis, aturan ini mencegah terjadinya pengangkatan anak
yang berbeda agama dengan orang tua angkat, sehingga pembenturan
kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri tidak akan terjadi. 3. Pengangkatan anak oleh orang asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir ultimum remidium. Peraturan ini wajib ditaati karena apabila hal ini terjadi maka, mencederai
bunyi dari Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dimana fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh Negara. Kalaupun
pengangkatan anak oleh orang asing tersebut terjadi, maka diharuskan mentaati bunyi Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
mewajibkan orang tua angkat memberitahukan asal usul anak dan orang tua kandung kepada si anak kelak dan dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan. Bahwa sampai saat ini belum ada juklak yang tegas dari Mahkamah Agung
terkait dengan praktek pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam di
82
Hasil Wawancara Dengan Bapak Hasfan Pulungan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 1 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
56
lingkungan Peradilan Agama. Kondisi demikian tidak saja akan membingungkan para pencari keadilan ketika akan mengajukan permasalahannya, tetapi juga akan
menimbulkan benturan pemahaman ketika produk peradilan itu harus berhubungan dengan institusi lain non peradilan dalam sistem kenegaraan.
Menurut SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak bentuk keputusan pengangkatan
anak ada dua macam, yaitu penetapan dan putusan. Berbentuk penetapan jika pengangkatan anak terjadi antar WNI dan berbentuk putusan jika terjadi antara WNI
dengan WNA atau WNA dengan WNI. Oleh karena dalam pembahasan ini hanya membahas pengangkatan anak antar WNI maka, sudah barang tentu keputusan
Pengadilan Agama yang menjadi produk adalah berupa penetapan. Oleh karena berupa penetapan maka sistematikanya seperti sistematika penetapan perkara
voluntair pada umumnya. Dalam hal ini perlu ditegaskan, bahwa sekalipun pada prinsipnya segala yang
diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak dan segenap aturan di atas
kaitannya dengan praktek penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Agama perlu harus dibaca berlaku pula bagi Pengadilan Agama, akan tetapi kehadirannya harus
disikapi secara proporsional. Hal ini disebabkan oleh 2 hal yaitu :
1. SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak
tersebut terbit jauh sebelum
Universitas Sumatera Utara
57
pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam ini secara yuridis formal belum diakui menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
2. SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak
tersebut terbit saat aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan pengangkatan anak belum ada. Oleh karena itu,
ketika kita membicarakan pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam ini, dalam rangka menyikapi SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak tersebut kita harus melakukan hal sebagai berikut :
a. Oleh karena aturan mengenai pengangkatan anak tersebut tidak disengaja untuk mengatur pengangkatan anak secara Islam, maka SEMA Nomor 6
Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak tersebut atau bahkan semua aturan mengatur
tentang pengangkatan anak kita ikuti sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam tentang pengangkatan anak;
b. Oleh karena SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak tersebut terbit
saat aturan yang berkaitan dengan anak angkat belum ada, maka kita harus pula melihat aturan hukum baru mengenai hal serupa. Sebab, aturan hukum
tersebut tampaknya saling melengkapi. Prosedur
menerima, memeriksa
dan mengadili
perkara permohonan
pengangkatan anak antar Warga Negara Indoesia, harus diperhatikan tahapan-tahapan
Universitas Sumatera Utara
58
dan persyaratan sebagai berikut:
83
1. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan a. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
b. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.
c. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
d. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditanda tangani oleh pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
e. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan dan di alamatkan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau
domisili calon anak angkat. Kesalahan alamat sesuai dengan kompetensi relative mengakibatkan permohonan tidak dapat diterima niet onvankelijke
verklaard karena alasan pengadilan tidak berwenang mengadili. Mahkamah Agung menegaskan dalam lampiran SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang
penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak bahwa permohonan pengangkatan anak yang tidak diajukan kepada
pengadilan dalam wilayah hukum anak tersebut bertempat tinggal atau bertempat kediaman, dinyatakan tidak dapat diterima atau pemohon
dianjurkan untuk mencabut permohonannya dan mengajukan kembali pada
83
Hasil Wawancara Dengan Bapak Hasfan Pulungan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 1 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
59
pengadilan yang berwenang. Perkara pengangkatan anak kewenangan pengadilan Agama yang bersifat
voluntair dapat berkembang ke arah perkara yang bersifat contentiosa antara orang- orang beragama Islam maupun antara orang yang beragama Islam dengan orang yang
beragama selain Islam. Contoh perkara yang demikian, misalnya dalam perkara pencabutan kekuasaan orang tua angkat karena alasan sesuatu hal yang sangat
merugikan kepentingan anak angkat atau karena orang tua angkat murtad. Pada waktu yang lalu, pengangkatan anak yang telah terjadi dalam perkara itu dilakukan antara
orang-orang yang beragama Islam di pengadilan agama. Perkara pengangkatan anak yang demikian tetap menjadi wewenang pengadilan agama, karena yang dijadikan
pedoman antara orang-orang yang beragama Islam adalah ketika hubungan hukum itu terjadi, yakni pengangkatan anak dilakukan antara orang-orang beragama Islam di
pengadilan agama.
84
Dalam rangka pengawasan dan perlindungan terhadap anak angkat, sudah sepatutnya apabila orang tua asal diberi salinan penetapan. Adapun yang dimaksud
orang tua asal tersebut, bisa orang tua kandung, wali yang sah, dan organisasi sosial atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut sebelum dialihkan kekuasaanya kepada orang tua angkat. Salinan itu akan bermanfaat dalam rangka pengawasan anak angkat selama dalam
kekuasaan orang tua angkatnya. Apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak
84
Hasil Wawancara Dengan Bapak Hasfan Pulungan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 1 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
60
diinginkan yang mengganggu atau mengancam kepentingan anak, salinan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengajukan pencabutan kekuasaan orang tua angkat.
2. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak