BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Hal ini berarti hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat.
1
Hukum bersifat terbuka berarti hukum harus selalu peka dan berinteraksi dengan lingkungan sosial sehingga terjadi pertukaran informasi antara hukum dengan
lingkungan sosial tersebut.Dengan demikian, disamping hukum merupakan suatu institusi normatif yang memberikan pengaruhnya terhadap lingkungannya, ia juga
menerima pengaruh serta dampak dari lingkungannya tersebut. Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai
alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat.
2
Keterbukaan hukum terhadap lingkungan sosial tersebut bertujuan agar hukum selalu efektif dan efisien dalam menyikapi setiap perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat mengingat sifat masyarakat yang senantiasa dinamis akibat adanya interaksi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
Dengan keterbukaan tadi, diharapkan hukum dapat mengimbangi perubahan sosial tersebut.
1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010 hal.189
2
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hukum seringkali tertinggal dari kejadian sosial dalam masyarakat.Tertinggalnya hukum dari dinamika masyarakat
juga dinyatakan oleh R.Soeroso melalui uraiannya tentang pekerjaan pembuatan undang-undang yang meliputi 2 dua aspek yaitu :
3
- Pembuat undang-undang hanya menerapkan aturan-aturan umum saja:
pertimbangan-pertimbangan tentang hal konkret diserahkan kepada hakim. -
Pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial yang timbul di kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah
undang-undang itu. Ketertinggalan hukum dari kejadian yang timbul dalam masyarakat akan
menimbulkan suatu kesenjangan.Kesenjangan tersebut lama-kelamaan akan mempengaruhi tingkah laku dan kesadaran hukum anggota-anggota masyarakat.
Kesenjangan tersebut akan mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat, yang tidak
lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan.
4
Keadaan tersebut tentu bertentangan dengan gagasan Von Savigny 1799-1861 salah seorang pemuka ilmu sejarah hukum yang menyatakan bahwa
hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat volkgeist.
5
3
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,2001, hal.110
4
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.192
5
Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2012, hal.203
Universitas Sumatera Utara
Ketertinggalan hukum terutama hukum tertulis terhadap perubahan sosial masyarakat merupakan masalah yang harus disikapi secara serius oleh setiap
stakeholder di bidang hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban masyarakat. Secara sederhana dapat kita tarik analogi, kalau hukum tidak
dapat beradaptasi seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana mungkin hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut? Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hukum sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat.
Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum pidana modern yaitu untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan.
6
Uraianyang dikemukakan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hukum pidana harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial
Kejahatan dalam hal ini tidak boleh dimaknai begitu sempit sebatas rumusan delik yang tercantum dalam buku kedua KUHP
ataupun delik yang tercantum dalam keseluruhan perundang-undangan pidana di Indonesia melainkan lebih mendasar sebagai suatu masalah sosial. Karena sebenarnya
saat terjadi kejahatan, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat terganggu yang selanjtunya menimbulkangap ataupun kekacauan dalam
tatanan sosial masyarakat. Penerapan hukum pidana seyogyanya harus dapat memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang rusak akibat kejahatan tersebut.
6
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010 hal 12
Universitas Sumatera Utara
social policy berupa social welfare dan social defence.
7
Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana adalah Tindak Pidana Narkotika. Narkotika semula ditujukan untuk kepentingan
pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian
banyak seperti yang terdapat saat ini serta dapt pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam
kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa. Dampak paling nyata dari
kedekatan hukum pidana dengan kebijakan sosial tersebut adalah hukum pidana harus senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan akibat interaksi
sosial dalam masyarakat..
8
Bahaya lain dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini adalah efeknya yang dimensional, artinya tindak pidana Narkotika dapat menimbulkan tindak pidana
Oleh karena itu tindak pidana narkotika terbilang cukup unik karena pada apabila Narkotika digunakan dengan
dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter psikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi
kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, namun di sisi lain apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan dan kerusakan mental bahkan fisik si
penyalahguna.
7
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007 hal.77
8
Moh.Taufik Makarao, Suhasril, Moh.Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003 hal.19
Universitas Sumatera Utara
lain. Efek adiktif dari narkotika tersebut menyebabkan tidak sedikit para pecandu terpaksa melakukan tindak pidana lainnya seperti pencurian, penggelapan demi
mendapatkan uang untuk membeli narkotika tersebut. Selain dapat melatarbelakangi berbagai tindak pidana, penyalahgunaan narkotika juga dapat membahayakan
keselamatan jiwa orang lain. Sebut saja kasus kecelakaan maut di tugu tani yang merenggut hingga sembilan nyawa sebagai contohnya.
Tingkat penyalahgunaan narkotika di Indonesia tergolong masih sangat tinggi. Dalam sebuah berita, Kepala Badan Narkotika Nasional BNN Republik Indonesia
Komjen Anang Iskandar menyebutkan, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai 4,9 juta lebih.
9
Penyalahgunaan tersebut tidak boleh dianggap enteng, karena tidak sedikit penyalahgunaan tersebut berujung maut. Bahkan setiap tahunnya
korban meninggal akibat penyalahgunan narkotika tersebut mencapai angka 15.000 jiwa.
10
Efek ketergantungan yang ditimbulkan oleh narkotika membuat orientasi peredaran narkotika bergeser ke arah matrealistis dengan mencari sasaran pasar
global. Demi mengejar keuntungan materi, tindak pidana narkotika dimodifikasi Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dan apabila hal ini terus terjadi
maka penyalahgunaan narkotika tersebut akan menurunkan kualitas maupun kuantitas Sumber Daya Manusia di Indonesia yang berujung pada melemahnya ketahanan
nasional.
9
http:regional.kompas.comread201308311620260Jumlah.Pengguna.Narkoba.di.Ind onesia.Capai. 4.9.Juta
, diakses pada tanggal 06 Februari 2014 Pukul 12:29 WIB
10
http:www.sinarbnn.co.idindex.php?option=com_contentview=articleid= 18:korban meninggal-akibat-narkoba-15000-orangcatid=7:narkoba
, diakses pada tanggal 06 Februari 2014 Pukul 12:36
Universitas Sumatera Utara
menjadi tindak pidana yang bersifat luar extraordinary luar biasa, transnasional dan terorganisir. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur perdagangan
internasional serta potensi pariwisata Indonesia yang menyebabkan Indonesia menjadi ladang subur dari peredaran Narkotika Internasional. Hal ini terbukti
daristatistik yang menunjukkan bahwa 70 persen narkotika yang beredar di di dalam negeri merupakan kiriman dari luar negeri.
11
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Berbagai modus operandi serta varian
narkotika jenis baru bermunculan dan menjadi tantangan bagi hukum pidana yang merupakan ultimum remedium terhadap tindak pidana narkotika.
Sebut saja narkotika jenis baru Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan
ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinonsendiri jika disalahgunakandapat
menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna discolorisation pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah,
lekas marah, insomnia dan serangan panik.Pengguna kronis beresiko terkena gangguan kepribadian, menderita infark miokard sampai kematian. Infark miokard
yaitu matinya sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri
11
http:www.pkni.orgperedaran-narkotika-di-indonesia-dikendalikan-jaringan-internasional ,
diakses pada tanggal 06 Februai 2014 pukul 12:52
Universitas Sumatera Utara
koroner.Hal ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah kerusakan jantung.
Permasalahan yang fundamentalterkait dengan metilon adalah Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental atau sering juga disebut Civil Law yang
menitikberatkan pada kodifikasi peraturan perundang-undangan ataupun hukum positif. Dalam konteks hukum pidana dalam sistem hukum eropa kontinental,
karakteristik utama hukum pidana terletak dalam “asas legalitas” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Asas tersebut
umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi “ Nullum delictum Nula Poena Sine Previa Legi Poenalle”. Eddie O.S Hiariej mencoba menterjemahkan asas ini ke
dalam bahasa Indonesia yaitu: “Tiada Perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana
menurut ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”.
12
Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan asas legalitas ini sebenarnya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan persamaan hak warga negara dari kesewenang-
wenangan pemerintah. Karena itu, dampak konkrit dari asas legalitas adalah hukum pidana di Indonesia sangat berpatokan dan bergantung kepada peraturan-perundangan
ataupun hukum tertulis.Maka untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika haruslah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun
12
Eddy O.S.Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana Jakarta:
Erlangga, 2009 hal.19
Universitas Sumatera Utara
2009 tentang Narkotika sebagai payung hukum terhadap pengaturan narkotika di Indonesia.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang ini. Uraian pasal tersebut secara tegas menyataka bahwa yang tergolong narkotika
hanyalah yang terdaftar dalam Undang-Undang tersebut dan yang tidak terdaftar bukanlah narkotika secara yuridis. Dengan demikian apabila kita memandang secara
sempit dari perspektif asas legalitas maka metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana yang karena bukan merupakan narkotika sebagaimana dimaksud dan
terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum tertulis sebagai konsekuensi
asas legalitas merupakan hal yang krusialmengingat betapa pesatnya perkembangan dan perubahan dalam masyarakat dengan aneka kejahatannya. Apalagi hukum tertulis
itu sendiri cenderung kaku dan sulit melakukan adaptasi terhadap perubahan- perubahan yang terjadi.
13
13
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal 191.
Kekakuan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak mampu beradaptasi dan
Universitas Sumatera Utara
mengakomodir bahaya penyalahgunaan metilon yang berpotensi menimbulkan dampak negatif narkotika pada umumnya.
Keberadaan mengenai metilon kian dilematis mengingat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharamkan para hakim
menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
14
Pada umumnya dalam menanggapi kekosongan hukum sebagaimana yang terjadi terhadap katinon tersebut, ilmu hukum mengenal istilah penemuan hukum
Rechtsvinding yang lazim dipraktekkan oleh para penegak hukum. Menurut Sudikno Mertukusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan Konsekuensinya, para penegak hukumuntuk aktif dan tidak boleh
menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi danmengganggu tatanan sosial dalam masyarakatdengan dalih belum ada hukumnya.Demikian halnya
terhadapmetilon yang tidakdimasukkan dalam daftar narkotika dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kekosongan hukum
tersebuttidak bisa dijadikan alasan absennya kebijakan hukum pidana terhadap Metilon.
14
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkanwajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Universitas Sumatera Utara
hukum umum pada peristiwa konkret.
15
Dalam penemuan hukum tersebut juga terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu sumber hukum dan kedua adalah fakta.
Dalam penemuan hukum dikenal dua metode yaitu Konstruksi Hukum dan Intrepetasi Penafsiran .
16
Mengenai sumber hukum G.W Paton mengemukakan sebagai berikut : Maka dalam melakukan
penemuan hukum untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap fakta yaitu“penyalahgunaanmetilon” sangat penting mencari sumber-sumber hukum yang
dapat dijadikan bahan referensi para penegak hukum dalam melakukan penemuan hukum tersebut.
“ The term sources of law has many meanings and is frequent causes of error unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular
text Ada banyak arti dari istilah sumber hukum dan sering kali menjadi sebab terjadinya kekeliruan – kekeliruan terkecuali jika kita teliti dengan seksama arti-arti
yang khusus yang diberikan terhadap istilah tersebut yang terdapat di dalam suatu teks tertentu”
17
Uraian menurut Paton tersebut telah menjelaskan bahwa tidak ada pengertian resmi dari sumber hukum yang menyebabkan sering terjadinya kekeliruan baik dalam
dunia teori maupun praktik hukum. Sebelum melakukan penemuan hukum maka haruslah dipahami apa sebenarnya sumber hukum yang diakui secara umum dalam
dunia teori maupun praktik hukum.
15
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hal 56
16
Ibid
17
Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum Medan: Kelompok studi Hukum dan
Masyarakat, 1998 hal.52
Universitas Sumatera Utara
Achmad Ali mencoba merumuskan sumber hukum lebih sederhana yaitu : Sumber hukum adalah tempat dimana kita menemukan hukum namun adakalanya
sumber hukum sekaligus merupakan hukum seperti keputusan hakim.
18
1. Undang-Undang
Beritik tolak dari pandangan tersebut maka dalam ilmu hukum sendiri dikenal lima sumber hukum
sebaga tempat dimana kita menemukan hukum yaitu:
2. Kebiasaanadat
3. Traktat Perjanjian
4. Jurisprudensi
5. Doktrina
Melihat sumber-sumber hukum yang dikemukakan di atas, maka dalam kasus metilon, tidak dapat digunakan hanya satu sumber hukum yaitu Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana. Hukum terhadap metilon
masih harus dicari dan ditemukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Metilon sebenarnya tidaklahsama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Katinona yang merupakan senyawa induk dari metilon telah termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan semua uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengangkat
dan membahas ke dalam skripsi yang diberi judul: “KEBIJAKAN HUKUM
18
Liza Erwina, Pengantar Ilmu Hukum Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012 hal.125
Universitas Sumatera Utara
PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKAAnalisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika
.”
B. Perumusan Masalah