Ratifikasi memiliki arti yang penting dalam dunia Hukum Internasional. Dalam Pratek modern, ratifikasi lebih penting dari sekedar konfirmasi saja, yang
dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh suatu traktat.
62
Keterikatan akibat ratifikasi tersebut juga memberi pengaruh terhadap perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap narkotika di Indonesia. Pengaruh
hukum Internasional terhadap hukum pidana nasional juga dinyatakan oleh Romli Atmasasmita dalam pendapatnya mengenai defenisi Hukum Pidana Internasional
berikut: “Pengertian yang kedua dari hukum pidana internasional ini adalah
menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan
sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional treaties atau
dari kewajiban-kewajiban negara-negara yang diatur di dalam hukum kebiasaan internasional”
63
1. Convention on Psychotrophic Substances 1971 Konvensi Psikotropika 1971
Perkembangan teknologi dan transportasi yang kiat pesat membuat peredaran psikotropika dan narkotika menjadi kejahatan yang bersifat transnasional serta
berdimensi internasional. Melihat hal tersebut, masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama, tindakan, serta koordinasi universal melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa
62
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2001 hal.601
63
Romli Atmasamita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Eresco, 1995,
hal.29
Universitas Sumatera Utara
Perhatian masyarakat internasional terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia merupakan faktor utama yang mendorong terciptanya konvensi ini.
Perhatian terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia tersebut menuntut perhatian secara khusus terhadap psikotropika yang memiliki dua sisi. Dalam
mukadimah konvensi ini diakui bahwa satu sisi psikotropika sangat bermanfaat bagi dunia medis dan ilmu pengetahuan sehingga ketersediaannya perlu dijamin. Namun
di sisi lain, psikotropika sangat berbahaya jika disalahgunakan karena selain merusak tubuh si penyalahguna juga dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang sangat
pelik. Atas dasar pertimbangan di atas maka dibuatlah Convention on Psychotrophic substances 1971. Convention on Psychtrophic substances 1971 juga mengatur
mengenai Kebijakan Hukum Pidana untuk memaksimalkan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
a.
Tinjauan umum terhadap Convention on Psychotropic Substances 1971 Konvensi Psikotropika 1971
Convention on Psychtrophic substances 1971 merupakan hasil kesepakatan
dari 71 negara yang mengikuti The United Nations Conference for the Adoption of a Protocol on Psychotropic Substances di Vienna pada tanggal 11 January sampai 21
February 1971.Konvensi ini sendiri dilaksanakan berdasarkan resolusi The United Nations Economic and Social Council Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 1474 XLVIII, tanggal 24 Maret 1970.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 Konvensi Psikotropika
1971 terdapat delapan pokok pikiran yang mendorong lahirnya Konvensi Psikotropika 1971 yaitu :
1. Perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia
2. Perhatian terhadap kesehatan masyarakat dan masalah sosial yang ditimbulkan
oleh penyalahgunaan psikotropika. 3.
Tekad untuk mencegah dan memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika
4. Pertimbangan bahwa tindakan yang tepat diperlukan untuk membatasi penggunaan
psikotropika hanya untuk pengobatan danatau tujuan ilmu pengetahuan. 5.
Pengakuan bahwa penggunaan psikotropika untuk pengobatan danatau tujuan ilmu pengetahuan sangat diperlukan sehingga ketersediannya perlu terjamin.
6. Keyakinan bahwa tindakan efektif untuk memerangi penyalahgunaan psikotropika
tersebut memerlukan koordinasi dan tindakan yang universal. 7.
Pengakuan adanya kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melakukan pengawasan psikotropika dan keinginan bahwa badan internasional yang
melakukanpengawasan tersebut beradadalam kerangka organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
8. Pengakuan bahwa diperlukan konvensi internasional untuk mencapai tujuan ini.
Indonesia menjadi bagian dari konvensi ini melalui piagam aksesi tanggal 02 Desember 1996 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
Universitas Sumatera Utara
menteri luar negeri Ali Alatas yang saat itu menjabat yang kemudian di ratifikasi melalui 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances
1971 Konvensi Psikotropika 1971 . Indonesia menganggap materi dalam Konvensi Psikotropika 1971 selaras dengan usaha pemerintah dalam mengendalikan peredaran
dan penyalahgunaan psikotropika bahkan memperbesar kemungkinan kerjasama dengan negara-negara lain dalam melakukan pengawasan serta pemberantasan
peredaran psikotropika. Sementara dari aspek kepentingan dalam negeri dengan menjadi pihak pada konvensi tersebut Indonesia dapat lebih mengkonsolidasikan
upayanya dalam mencegah dan melindungi kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda, terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan
psikotropika. Secara umum pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi psikotropika
1971 adalah : 1.
Pengertian Di dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan psikotropika adalah setiap
bahan, baik alamiah maupun sintetis, sebagaimana tertuang di dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV yang dilampirkan dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Konvensi ini. Psikotropika ini mempunyai manfaat untuk pengobatan danatau tujuan ilmu pengetahuan, tetapi dapat menimbulkan
kecenderungan untuk disalah-gunakan sehingga akan dapat mengganggu kesehatan dan menimbulkan masalah sosial lainnya.
2. Lingkup Pengawasan
Universitas Sumatera Utara
Para Pihak diminta aktif melakukan pengawasan terhadap psikotropika yang terdapat dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV. Selain
psikotropika yang tercantum di dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV tersebut agar Para Pihak juga diminta aktif melaporkan beserta data
pendukungnya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila mempunyai informasi berkenaan dengan psikotropika yang belum berada di
bawah pengawasan internasional, yang menurut pendapatnya perlu dimasukkan ke dalam Daftar Psikotropika. Demikian pula apabila diperlukan pemindahan dari
satu golongan ke golongan lain ataupun penghapusan dari daftar. 3.
Penggunaan, Penandaan, dan Periklanan Penggunaan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter
atau diberikan oleh tenagalain yang diberi wewenang. Untuk keselamatan pemakai, diperlukan penandaan mengenai petunjuk penggunaan dan peringatan
yang dicantumkan pada kemasan psikotropika. Periklanan psikotropika bagi masyarakat umum pada prinsipnya dilarang.
4. Perdagangan Internasional
Para pihak diminta agar produksi, perdagangan, pemilikan, dan pendistri- busian psikotropika yang tertuang pada Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan
IV didasarkan atas izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Berkenaan dengan psikotropika dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV, Para
Pihak diminta agar produsen dan semua yang diberi we-wenang untuk memperdagangkan dan mendistribusi psikotropika, menye-lenggarakan pencatatan
Universitas Sumatera Utara
yang menunjukkan rincian, jumlah yang dibuat, psikotropika yang ada dalam sediaan, nama penyalur, dan penerima. Konvensi ini menghendaki agar Para Pihak
melakukan pengaturan yang sebaik-baiknya berkenaan dengan ekspor impor Psikotropika. Para Pihak melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dapat menyatakan bahwa negara tersebut melarang pemasukan ke dalam negaranya atau salah satu wilayahnya, psikotropika yang tercantum dalam Daftar
Psikotropika Golongan II, III dan IV. 5.
Tindakan untuk Pertolongan Pertama dan Keadaan Darurat Psikotropika yang termasuk dalam Daftar Psikotropika Golongan II, III,
dan IV, yang dibawa melalui pengangkutan internasional untuk tujuan pertolongan pertama pada kecelakaan atau untuk keadaan darurat, tidak dianggap sebagai
kegiatan ekspor-impor atau perlintasan melalui negara. 6.
Pemeriksaan Para Pihak akan menegakkan suatu sistem pemeriksaan atas para pro-
dusen, eksportir, importir, serta distributor psikotropika, sarana pelayanan kesehatan dan lembaga ilmu pengetahuan yang menggunakan psikotropika
tersebut. 7.
Pelaporan Kewajiban Para Pihak melaporkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai : a.
Penerapan Konvensi di negaranya, perubahan-perubahan penting dalam hukum dan peraturan perundang-undangan psikotropika;
Universitas Sumatera Utara
b. Nama-nama pejabat pemerintah dan alamat yang menangani perda-gangan
internasional psikotropika; c.
Kasus lalu-lintas gelap atau penyitaan dari lalu-lintas gelap yang dianggap penting;
d. Ekspor, impor, dan produksi.
8. Pencegahan Penyalahgunaan
Para Pihak akan mengambil langkah pencegahan penyalahgunaan psikotro- pika, identifikasi dini, pengobatan dan rehabilitasi secara terkoordinasi serta akan
meningkatkan kemampuan personal melalui pelatihan. 9.
Peredaran Gelap Dengan memperhatikan sistem konstitusi, hukum, dan administrasinya,
Para Pihak akan melakukan pencegahan penyalahgunaan dengan : a.
Membuat peraturan-peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk
kepada suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut; b.
Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap psikotropika; c.
Mengadakan kerja sama antar Para Pihak dan organisasi internasional yang berwenang.
10. Penerapan Ketentuan Tentang Pengawasan Yang Lebih Ketat
Universitas Sumatera Utara
Para Pihak dapat mengambil langkah pengawasan yang lebih ketat atau lebih tegas daripada yang ditetapkan dalam Konvensi ini, dengan tujuan untuk
melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara menurut H.Siswanto dalam bukunya Politik Hukum Pidana
dalam Undang-Undang Narkotika, substansi materi konvensi tentang psikotropika yang berkaitan dengan aspek hukum internasional sebagai bahan pengaturan
psikotropika dalam undang-undang nasional adalah diantaranya :
64
a. Masalah perizinan dalam kaitannya dengan tindakan pengawasan
psikotropika Golongan II,III, dan IV dan menngatur tentang ketentuan- ketentuan perdagangan internasional meliputi izin ekspor-impor
psikotropika,
b. Ketentuan-ketentuan khusus mengenai pengangkut psikotropika dalam
kotak obat pertolongan pertama di kapal laut, pesawat terbang, atau sarana angkutan umum lain yang melaksanakan lalu-lintas internasional.
c. Mengatur masalah pemeriksaan terhadap para produsen, eksportir-
importir, pedagang besar, distributor, lembaga medis dan lembaga ilmu pegetahuan.
d. Mengatur tentang tindakan-tindakan penyalahgunaan psikotropika
termasuk tindakan terhadap peredaran gelap dengan memperhatikan sistem perundangan, hukum, dan pemerintah negara yang bersangkutan.
e. Mengatur tentang ketentuan-ketentuan pidana.
b.
Kebijakan Hukum Pidana dalam Convention on Psychotropic Substances 1971 Konvensi Psikotropika 1971
Ketentuan Pidana dalam Convention on Psychotropic Substances 1971
Konvensi Psikotropika 1971 tercantum dalam Pasal 22. Meskipun demikian, hal- hal yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana tidak hanya terpaku pada pasal
64
Siswanto. S, Politik Hukum Pidana dalam Undang-Undang Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Jakarta: Rineka Cipta, 2012 hal.34
Universitas Sumatera Utara
22 konvensi tersebut. Secara garis besar kebijakan hukum pidana dalam konvensi tersebut yang juga mempengaruhi perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap
tindak pidana psikotropika dan narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut : 1.
Penggolongan psikotropika ke dalam IV golongan sesuai dengan manfaat dan dampak penyalahgunaan masing-masing psikotropika tersebut. Pada umumnya
jenis psikotropika yang termasuk golongan I merupakan psikotropika yang tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis serta menimbulkan potensi
ketergantungan dan kerusakan yang sangat tinggi apabila disalahgunakan. Jenis psikotropika yang termasuk dalam golongan II adalah psikotropika yang dapat
digunakan untuk kepentingan medis namun masih memiliki potensi ketergantungan serta kerusakan yang cukup parah apabila disalahgunakan.
Selanjutnya untuk golongan III dan IV digolongkan berdasarkan urutan besarnya manfaat dan tingkatan potensi kerusakan serta ketergantungan apabila
disalahgunakan. Penggolongan ini merupakan salah satu langkah yang revolusioner dalam perkembangan hukum psikotropika dan narkotika.
Penggolongan tersebut membuat pengaturan mengenai psikotropika menjadi lebih sederhana dan sistematis. Sedangkan terhadap perkembangan hukum pidana
psikotropika dan narkotika, penggolongan ini mendorong formulasi pemidanaan yang lebih efektif dan efisien. Perumusan tindak pidana terkait psikotropika
maupun narkotika tentunya menjadi lebih cermat dan proporsional. Tindak pidana terkait golongan I tentu akan diancam dengan sanksi yang lebih berat
dibandingkan dengan tindak pidana yang berkaitan golongan II, III, maupun
Universitas Sumatera Utara
golongan IV. Hal ini disesuaikan dengan asas ultimum remedium dalam hukum pidana yang mensyaratkan harmonisasi antara jahatnya perbuatan dengan
beratnya sanksi. Penggolongan ini juga membuat hukum pidana psikotropika menjadi lebih kuat dan lengkap mengingat sudah digolongkannya 109 jenis
psikotropika dalam konvensi ini. Dengan penggolongan yang sudah relatif banyak tersebut tentulah kepastian hukum serta eksistensi asas legalitas lebih terjamin.
Namun di sisi lain, penggolongan ini sebenarnya dapat berakibat buruk dan melemahkan hukum pidana. Dengan adanya penggolongan tersebut, maka hukum
pidana akan menjadi lebih kaku terhadap perkembangan jenis-jenis baru psikotropika ataupun narkotika. Potensi pelemahan tersebut sebenarnya sudah
disadari oleh pihak yang menyepakati konvensi ini. Dalam article 2, paragraph 1Convention on Psychotropic Substances dinyatakan :
“If a Party or the World Health Organization has information relat substance not yet under international control which in its opinion may the
addition of that substance to any of that Schedules of this Conver shall notify the Secretary-General and furnish him with the information support
of that notification.The foregoing procedure shall also apply Party or the World Health Organization has information justifying the tra a substance
from one Schedule to another among those Schedules deletion of a substance from the Schedules.”
Artikel tersebut mengamanatkan bahwa apabila para pihak memiliki informasi terkait psikotropika jenis baru yang berpotensi disalahgunakan, maka para pihak
harus memberitahunya kepada Sekretatis Jenderal untuk selanjutnya mengalami proses penelitian oleh World Health Organization WHO apakah jenis tersebut
dapat digolongkan psikotropika serta dimasukkan dalam golongan I, II, III, atau
Universitas Sumatera Utara
IV. Hal yang diutarkan dalam article 2, paragraph 1tersebut ternyata cukup efektif dalam mengatasi kelemahan penggolongan tersebut. Terbukti jumlah
psikotropika yang digolongkan dalam konvensi tersebut meningkat cukup banyak dari 32 jenis pada saat pertama kali disahkan menjadi 109 jenis pada saat ini. Hal
ini berarti para pihak sebagai subjek hukum dalam konvensi tersebut turut bersikap aktif dalam meminimalisisr kelemahan penggolongan psikotropika
tersebut. Maka dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kelemahan dari suatu substansi peraturan hukum dapat ditutupi oleh para pihak terkait
peraturan tersebut. 2.
Convention on Psychotropic Substances mengharuskan para pihak merumuskan sebagai tindak pidana setiap tindakan sengaja yang bertentangan dengan peraturan
hukum yang merupakan kewajiban dari konvensi tersebut sebagai tindak pidana. Hal ini membuat para pihak harus lebih detail merumuskan tindak pidana demi
mengawal kewajiban-kewajiban yang merupakan amanat dari konvensi tersebut. Berbagai tindak pidana pasti akan dirumuskan mengingat begitu luas dan
lengkapnya kewajiban para pihak yang diatur dalam konvensi psikotropika 1971. Kewajiban tersebut meliputi proses produksi, pelaporan, periklanan, penggunaan,
penyalahgunaan hingga ekspor dan impor. Banyaknya kewajiban tersebut tidak hanya mengakibatkan banyaknya tidak pidana tetapi juga menuntut variasi
rumusan delik. 3.
Convention on Psychotropic Substances memprioritaskan pidana perampasan kemerdekaan. Article 22, paragraph 1 a menyatakan :
Universitas Sumatera Utara
“Subject to its constitutional limitations, each Party shall treat as a punishable offence, when committed intentionally, any action contrary to a law or regulation
adopted in pursuance of its obligations under this Convention, and shall ensure that serious offences shall be liable to adequate punishment, particularly by
imprisonment or other penalty of deprivation of liberty.”
Prioritas penggunaan sanksi pidana tersebut mengandung kekurangan mengingat mulai maraknya peredaran gelap psikotropika ataupun narkotika yang bersifat
transnasional yang sangat merugikan negara tujuan peredaran. Keuntungan yang sangat menjanjikan dari peredaran psikotropika ataupun narkotika membuatnya
menjadi mata pencaharian dari para pengedar. Belum lagi masalah sosial dan kesehatan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika ataupun narkotika
bahkan sampai bisa mengancam pembangunan suatu negara. Uraian-uraian kengerian di atas rasanya cukup untuk mengancam tindak pidana berat yang
terkait psikotropika ataupun narkotika dengan hukuman mati. Keterbatasan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat eksekusi dari pidana perampasan
kemerdekaan juga harus menjadi bahan pertimbangan dari memprioritaskan pidana perampasan kemerdekaan.
4. Pemberian tindakan maatregel sebagai langkah alternatif maupun tambahan
pemidanaan berupa pengobatan, pendidikan, pascaparawatan, rehabilitasi dan resosialisasi.
5. Tindak Pidana yang dilakukan di beberapa negara yang berbeda dianggap sebagai
suatu tindak pidana terpisah. Kebijakan ini dirumuskan demi menjamin bahwa pelaku tindak pidana transnasional mendapat pidana yang maksimal. Pertimbangan
lain dirumuskannnya kebijakan ini adalah untuk menghindari lolosnya pelaku
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana psikotropika ataupun narkotika dari jeratan hukum pidana dengan memanfaatkan celah-celah hukum di berbagai negara. Keberadaan kebijakan ini
juga harus ditanggapi dengan hati-hati karena dalam beberapa negara berlaku konsep “gabungan tindak pidana” yang jika diterapkan berpotensi meloloskan
pelaku tindak pidana dari jeratan hukum pidana negara lain karena bertentangan dengan asas nebis in idem.
6. Penyertaan, Percobaan, Permufakatan jahat maupun pembantuan dalam melakukan
tindak pidana sebagaimana yang diamanatkan dalam article 22 paragraph 1 konvensi psikotropika 1971 dapat dihukum.
7. Tindak Pidana terkait article 22 paragraph 1 konvensi psikotropika 1971 yang
dilakukan di negara lain dianjurkan dapat dijadikan bahan pertimbangan residivisme untuk menentukan dasar pemberatan pidana. Kebijakan ini sangat baik
untuk dilaksanakan oleh para pihak. Pengulangan tindak pidana menunjukkan tidak adanya perubahan ataupun kejeraan. Apalagi pengulangan tersebut dilakukan
di negara yang berbeda yang mengindikasikan si pelaku semakin mengembangkan tindak pidana yang ia lakukan. Pemberatan atas dasar residivisme sudah
sepatutnya dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana psikotropika ataupun narkotika. Namun demikian penerapan residivisme ini harus disertai dengan
penyesuaian hukum nasional para pihak. Hal ini dikarenakan residivisme pada dasarnya merupakan pengulangan tindak pidana yang sejenis dalam kurun waktu
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengklasifikasian tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana yang sejenis menjadi hal yang sangat krusial mengingat beragamnya sistem hukum pidan serta jenis-jenis delik yang dirumuskan masing-masing pihak.
8. Convention on Psychotropic Substances 1971 sangat mengedepankan asas
territorial dalam pemberlakuan hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari article 22, paragraph 4 yang berbunyi :
“The provisions of this article shall be subject to the provisions of the domestic law of the Party concerned on questions of jurisdiction”
Namun dalam memberlakukan asas territorial Konvensi Psikotropika tidak terlalu kaku dengan tidak semata-mata membebankan kewenangan untuk menuntut tindak
pidana psikotropika ataupun narkotika kepada pihak tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan locus delicti . Dalam hal tindak pidana yang cukup serius,
diberikan kewenangan penuntutan tehadap pihak dimana si pelaku ditemukan berdasarkan article 22 paragraph 2 a iv yang menyatakan:
“Serious offences heretofore referred to committed either by nationals or by foreigners shall beprosecuted by the Party in whose territory the offence was
committed, or by the Party inwhose territory the offender is found if extradition is not acceptable in conformity with thelaw of the Party to which application is
made, and if such offender has not already beenprosecuted and judgement given.” Kebijakan ini patut diapreisasi karena selain sangat menghormati hukum nasional
para pihak, juga dapat menghindarkan lolosnya si pelaku dengan melarikan diri ke negara lain sementara antar negara tersebut belum diadakan perjanjian ekstradisi.
Namun demikian perjanjian ekstradisi merupakan hal yang krusial untuk dibuat demi menghindari sengketa mengadili pelaku tindak pidana. Yang terutama, para
Universitas Sumatera Utara
pihak harus menetapkan tindak pidana seperti apa yang patut di-ekstradisi-kan serta tindak pidana seperti apa yang dapat diadili di tempat pelaku ditemukan.
9. Melakukan penyitaan dan perampasan terhadap barang bukti berupa psikotropika
hasil tindak pidana danatau alat-alat yang dipergunakan. Kebijakan ini seharusnya dilengkapi dengan “pemusnahan” barang bukti tersebut. Jika barang bukti
psikotropika tidak dimusnahkan maka berpotensi untuk diselewengkan ataupun disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.
2. United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and