Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotik
penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia.
69
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara umum dapat digambarkan sebagai berikut
Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak
efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.
70
a. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci.
:
b. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut.
c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya.
d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman,
peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan narkotika.
e. Acara pidananya bersifat khusus.
f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan
narkotika. g.
Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika. h.
Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP. i.
Ancaman Pidana lebih berat.
a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
69
Hari Sasangka, Op.Cit hal.165
70
Ibid hal.164
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula
bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan perundang- undangan.
71
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende
Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976.
Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula
kriminalisasi di dalamnya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur
berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika.
Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi menggunakan saran penal hukum pidana menyangkut 2 dua pokok pemikiran
yaitu masalah penentuan:
72
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan;
2. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Dalam sub-bab ini akan fokus dipaparkan mengenai perbuatan apa saja yang dijadikan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang
71
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung : Nusa Media, 2011
hal.133
72
Ibid, hal.134
Universitas Sumatera Utara
Narkotika, sedangkan terkait sanksi akan dibahas secara khusus dalam sub-bab berikutnya.Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1.
Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka
atau tanaman Ganja. Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1; 2.
Perbuatan secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36
ayat 2 ; 3.
Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3 ;
4. Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito
narkotika. Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 ; 5.
Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli atau menukar narkotika Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ; 6.
Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain Pasal 23 ayat 6 dan Pasal 36
ayat 6 ; 7.
Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri Pasal 23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 ;
Universitas Sumatera Utara
8. Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat 1
diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya; 9.
Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 1 sampai dengan ayat
7 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976; 10.
Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan Pasal 24 dan Pasal 40 ;
11. Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter,
lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
Pasal 42 ; 12.
Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan
yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 Pasal 42 ; 13.
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Pasal 43 ;
14. Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika
Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 . 15.
Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang berwajib Pasal 48 .
Universitas Sumatera Utara
16. Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai kejahatan
kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran Pasal 50 .
Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik. Kelemahan
utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika. Hal ini menyebabkan Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai narkotika
jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis narkotika yang belum diatur dalam Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif
terhadap kemunculan berbagai jenis narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak
ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif
dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan
kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai pengawasan
terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar belakang
perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika seharusnya
menjadi dasar yang cukup untuk meng-kriminalisasi-kan berbagai tindak pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.
b. Kebijakan Hukum Pidana terkait Pertanggungjawaban Pidana dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.
Pada umumnya dalam setiap rumusan delik dicantumkan unsur kesalahan baik itu dalam bentuk kesengajaan opzet ataupun dalam bentuk kealpaan culpa. Hal ini
sesuai dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ yang umumnya dikenal dalam ilmu hukum pidana.
Ilmu Hukum Pidana juga mengenal bahwa syarat pemidanaan adalah unsur objektif dan unsur subjektif. Hal tersebut berusaha dirumuskan oleh A.Z. Abidin sebagai
berikut:
73
Actus reus delictum – perbuatan criminal sebagai syarat pemidanaan objektif
73
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.90
Universitas Sumatera Utara
Mens rea – pertanggungjawaban criminal sebagai syarat pemidanaan subjektif A ditambah B= C syarat pemidanaan
Pertanggungjawaban pidana sering juga disebut sebagai kesalahan dalam arti luas dan. Andi Hamzah menyatakan bahwa Kesalahan dalam arti luas meliputi:
74
1. Sengaja, atau
2. Kelalaian culpa;
3. Dapat dipertanggungjawabkan
Ditambahkan lagi oleh Andi Hamzah bahwa ketiga-tiganya merupakan unsur subjektif atau jika kita mengikuti golongan yang memasukkan unsur kesalahan dalam
arti luas ke dalam pengertian delik strafbaar feit.
75
Namun dalam beberapa rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak dicantumkan unsur kesengajaan maupun kealpaan.
Sebagai contoh dalam Rumusan Pasal 36 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Barangsiapa secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk
persediaan atau menguasai narkotika dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 enam tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah
apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja”
Satu sisi dapat dipahami bahwa unsur kesalahan dalam pasal tersebut telah tersirat dalam unsur “ tanpa hak” yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut.
Peniadaan unsur “ kesengajaan” memang dapat menguntungkan para penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana narkotika serta memperkecil kemungkinan para
74
Ibid hal. 103
75
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana untuk berkelit. Pelaku dianggap bersalah apabila tidak memiliki hakizin dalam memiliki, menyimpan atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.
Namun di sisi lain, sebenarnya metode perumusan ini berpotensi menghukum pelaku yang tidk bersalah. Metode perumusan seperti ini ada baiknya ditinjau kembali demi
menjaga asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga dicantumkan rumusan delik
dengan bentuk kesalahan “ kesengajaan” yaitu : a.
Dokter yang dengan sengaja menggunakan dan memberikan narkotika kecuali untuk pengobatan Pasal 40
b. dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika Pasal 45 .
c. Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika Pasal 46 .
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika terdapat tindak pidana dengan kesalahan dalam bentuk kelalaian yaitu kelalaian yang menyebabkan
terjadinya perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau
tanaman Ganja di atas tanah yang dimilikinya ataupun yang dikuasainya.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan mengenai pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai korporasi sebagai
subjek hukum. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 42 dan Pasal 49 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam Pasal 42 secara tegas
disebutkan “pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan” sebagai unsur “subjek” dari tindak
pidana tersebut. Sementara dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika diatur secara umum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi jika melakukan tindak pidana narkotika. Pasal 49 menyebutkan : “Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu
atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.”
Jika merujuk pada redaksi pasal 49 tersebut, maka ada dua tujuan pencantuman pasal tersebut yaitu :
a. Memperluas subjek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika tidak hanya sebatas manusia natural person tetapi juga mencakup korporasi legal person
b. Mempertegas pengenaan pertanggungjawaban pidana apabila dilakukan oleh
korporasi legal person maka dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengurusmanusia natural person danatau korporasi legal person .
Universitas Sumatera Utara
Tujuan yang tercantum dalam poin a sebagaimana diuraikan di atas kiranya agak sukar tercapai mengingat penggunaan redaksi kata “ Barangsiapa” dalam mayoritas
rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Penggunaaan kata “ Barangsiapa” merupakan terjemahan dari kata “hij”yang lazim
digunakan dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP agaknya lebih mengarah kepada manusia natural person . Hal tersebut dapat disimpulkan dari :
76
1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah : barangsiapa,
warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Penggunaan istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang
bersangkutan dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2-9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur terutama dalam
Pasal 44-45, 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang antara lain mensyaratkan kejiwaan petindakpelaku.
3. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP, terutama mengenai
pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang.
Pasal 1 yang merupakan ketentuan umum dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak mencantumkan pengertian dari “Barangsiapa” tersebut.
Maka penggunaan redaksi kata “ Barangsiapa” menjadi multitafsir apakah hanya merujuk pada manusia natural person ataukah merujuk juga pada korporasi legal
person sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut.
Perumusan korporasi sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika patut diapresiasi karena merupakan suatu langkah yang
76
Mohammad Eka Putra, Op.Cit hal.23
Universitas Sumatera Utara
sangat esensial dan revolusioner dalam hukum pidana Indonesia terkhusus dalam penanggulangan tindak pidana narkotika. Perumusan korporasi sebagai subjek hukum
menyebabkan korporasi tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana bahkan lebih jauh dapat dikenakan sanksi pidana. Pengenaan pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi menjadi kian krusial mengingat bahwa tindak pidana narkotika sudah meulai dilakukan secara terorganisisr, transnasional dan canggih. Oleh karena itu hukum
pidana harus beradaptasi untuk memberantas hal tersebut. Pentingnya pertanggungjawaban korporasi tersebut dapat dilihat dari uraian
Mohammad Ekaputra sebagai berikut: “ Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan
perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum
tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan,baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana Corporate criminal dan dapat pula memperoleh keuntungan
dari suatu tindak pidana Crimes for corporation. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum
maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana corporate criminal responsibility ”
c. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan
pidana.
77
77
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.5
Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
Universitas Sumatera Utara
perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana sanksi hukum bagi mereka yang
mewujudkannya.
78
Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa
sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer berikut
mengenai sanksi pidana:
79
1 Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di
masa yang akan datang tanpa pidana; 2
Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi
ancaman-ancaman dari bahaya; 3
Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan
penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.
Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia KUHP yaitu:
a. Pidana Pokok yaitu:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pencabutan hak-hak tertentu;
1. perampasan barang-barang tertentu;
2. pengumuman putusan hakim.
78
Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 hal.1
79
Tongat,Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Malang:
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004 hal.9
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa sanks pidana straf tetapi juga sanksi tindakan maatregel. Untuk memberdakan antara
sanksi pidana dengan maatregel dapat dipakai pendapat Roeslah Saleh berikut sebagai pedoman:
“Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung
pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidan, sedangkan
yang lain daripada itu adalah tindakan maatregel, misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah untuk dididik di dalam
lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena
ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit.”
80
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk
memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi
dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :
1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda,
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.
80
Mohammad Eka Putra, Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010, hal.9
Universitas Sumatera Utara
2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara
penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- Iima puluh juta rupiah diancamkan terhadap tindak pidana membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 4 dan 5 sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1
satu tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1976. 3.
Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merumuskan dua 2 jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana
denda secara kumulatif. 4.
Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika pelaku yang melanggar pasal 36 ayat 7 dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan
memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian undang-undang nomor 9
tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan.
5. Percobaan poging melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi
yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari
Universitas Sumatera Utara
aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 13 terhadap percobaan poging .
6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 13 dengan batasan maksimum 20 dua puluh
tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasa 36 ayat 1 sampai dengan ayat 7 .
7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 13 tanpa batasan maksimum serta untuk
pidana denda dikalikan 2 dua bagi pelaku yang melakukan pengulangan recidive terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat 1 sampai dengan ayat 7.
8. Pencabutan hak terhadap importir, Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik,
rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35 ayat 1 butir 1
sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.