Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotik
3. Harus mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat tanpa membeda-
bedakan status dan kedudukan, untuk dapat menjamin terciptanya kepastian hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, dalam peran sertanya
menumbuhkankembangkan perwujudan disiplin nasional;
4. Harus mampu memberikan sanksi yang terberat terhadap pelanggar tindak pidana
narkotika, baik yang dilakukan secara perseorangan, maupun secara kelompok, secara terorganisir maupun secara korporasi, dalam skala nasional, maupun
internasional, sehingga bobot tindakan represif yang melekat pada undang-undang, mampu menghasilkan efek psikologis yang lebih nyata, untu digunakan sebagai
sarana preventif;
5. Harus mampu menjamin terselenggaranya kelangsungan pengadaan narkotika
secara legal yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan pelayanan kesehatan maupun pengembangan ilmu pengetahuan;
6. Harus mampu menjamin terselenggaranya upaya pengobatan dan rehabilitasi, bagi
pasien yang mejadi korban penyalahgunaan narkotika; 7.
Kesadaran bahwa bisnis narkotika secara ekonomis sangat menguntungkan dan menggiurkan sehingga dampak akibat dan sindroma apapun yang ditimbulkan
olehnya tidak dipedulikan oleh pengedar dan jaringannya. Oleh karena itu, pengaturan dan pelaksanaannya secara ketat dan terpadu harus dapat benar-benar
diberlakukan;
8. Kesadaran bahwa narkotika jika disalahgunakan bisa menjadi racun yang merusak
fisik dan jiwa manusia. Apabila penyalahgunaan itu meluas disertai dengan peredaran gelap yang tidak terkendali, maka narkotika dapat menghancurkan
kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya generasi muda, dan memperlemah ketahanan nasional.
a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya Undang-Undang tersebut
terutama tujuan pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika dan tujuan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
85
85
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum… Op.Cit hal.188
Hal tersebut memang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
Konvensi Psikotropika 1971 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika 1988 yang telah diratifikasi Indonesia.
AR.Sujono dan Bony Daniel mencoba mengelompokkan kejahatan yang menyangkut narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
yaitu:
86
1. Menyangkut produksi narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya mengenai
produksi narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan dalam lingkup mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan menyediakan narkotika;
2. Menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan
yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan mentransito narkotika. Ada pula tindak pidana khusus ditujukan kepada nakhoda atau kapten penerbang karena
tidak melakukan tugasnya dengan baik;
3. Menyangkut jual-beli narkotika. Tidak hanya kategori jual-beli dalam arti sempit,
melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan ekspor,impor, tukar-menukar, menyalurkan dan menyerahkan narkotika;
4. Menyangkut penguasaan narkotika;
5. Menyangkut penyalahgunaan narkotika;
6. Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan pecandu
narkotika; 7.
Menyangkut label dan publikasi narkotika; 8.
Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana narkotika Adapun Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1.
Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 tiga golongan sehingga tindak pidana narkotika menjadi lebih lengkap, sistematis dan sederhana.
2. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai
dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman Pasal 78-79.
86
AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hal.22
Universitas Sumatera Utara
3. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstasi,
mengkonvensi, merakit, atau menyediakan narkotika Pasal 80 4.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa mengirim, mengangkut, mentransito narkotika Pasal 81
5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. Pasal 82
6. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan, narkotika terhadap
orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain Pasal 84 7.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika untuk diri sendiri Pasal 85
8. Orang tuawali pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak lapor. Pasal 86
9. Pecandu sudah cukup umur atau keluarganya orang tuawali sengaja tidak lapor.
Pasal 88 10.
Menggunakan anak belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika Pasal 87
11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan
42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 89 12.
Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan Pasal 92
Universitas Sumatera Utara
13. Nahkoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 93
14. Penyidik PPNSPolri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 94
15. Saksi yang memberikan keterangan tidak benar di muka siding pengadilan Pasal
95 . 16.
Melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah Indonesia Pasal 97 . Pasal ini merupakan kekhususan dari berlakunya hukum pidana Indonesia di dalam
Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia Pasal 2-9 KUHP. Warga Negara Indonesia yang melanggar Pasal 78-84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika di luar wilayah Indonesia tetap dapat dihukum menurut peraturan hukum pidana Indonesia. Hal ini dikenal sebagai “ asas nasionalitas aktif
“ . Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sebenarnya telah menganut asas ini dalam Pasal 5 namun diperluas lewat Pasal 97 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika. 17.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak memberikan kualifikasi terkait tindak pidana narkotika dalam undang-undang tersebut. Tidak
adanya penetapan kualifikasi yuridis dikhawatirkan akan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
masalahkonsekuensi yuridis dalam praktik,baik konsekuensi yuridis materiil maupun konsekuensi yuridis formal
87
18. Keseluruhan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
narkotika merupakan delik formil. Penggunaan satu jenis delik saja membuat formula kriminalisasi dalam Undang-Undang ini menjadi kurang efektif karena
sama sekali tidak mempertimbangkan akibat-akibat materiil dari sebuah rumusan delik materiil.
.
19. Membuat perbedaan antara tindak pidana yang dimulai dengan permufakatan jahat
dengan tindak pidana yang dilakukan dengan permufakatan jahat.
b. Kebijakan Hukum Pidana terkait Petanggungjawaban Pidana dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Sebagaimana telah dibahas dalam Sub-bab “Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika”, Kebijakan
pertanggungjawaban pidana meliputi subejk hukum serta kesalahan unsur subjektif dari rumusan delik. Subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika dapat digolongkan menjadi 2 dua yaitu : 1.
Manusia natural person .Hal ini tercermin dari penggunaan redaksi “Barangsiapa” serta perumusan sanksi pidana perampasan kemerdekaan yang hanya bisa diterapkan
pada manusia. Selain manusia secara umum, terdapat juga delik yang diancamkan kepada manusia secara khusus yaitu:
87
Ibid hal.190
Universitas Sumatera Utara
a. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur, Pecandu narkotika yang
belum cukup umur Pasal 86 ; b.
Pecandu narkotika yang telah cukup umur, Pecandu narkotika yang telah cukup umur Pasal 88 ;
c. Pengurus pabrik obat Pasal 89 ;
d. Nakhoda maupun kapten penerbang Pasal 93
e. Penyidik baik Penyidik PPNS maupun Penyidik Polri Pasal 94 ;
f. Saksi di muka persidangan Pasal 95 ;
g. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, pimpinan lembaga ilmu
pengetahuan, pimpinan pabrik obat tertentu, pimpinan pedagang besar farmasi Pasal 99
2. Korporasi Legal Person dapat dilihat dari rumusan Pasal 79 – 82 yang mengatur
delik yang dilakukan oleh korporasi. Sebenarnya pengenaan redaksi “barangsiapa” untuk menggambarkan korporasi sebagai subjek tindak pidana kurang tepat
sebagaimana telah diruaikan pada pembahasan sebelumnya. Namun hal ini tidak menjadi masalah yang terlalu krusial karena dalam uraian Pasal tersebut juga
langsung disebutkan secara eksplisit apabila delik tersebut dilakukan oleh korporasi. Sebagai contoh dapat dilihat dalam rumusan Pasal 78 ayat 1 berikut :
“ 1 Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki,
menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai
narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
Universitas Sumatera Utara
lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.”
Sementara dalam Pasal 78 ayat 4 tersebut diuraikan lebih khusus dan eksplisit jika delik tersebut juga mencakup korporasi sebagai subjeknya :
“ 4 Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima
milyar rupiah.”
Rumusan tersebut tentu lebih baik dibandingkan rumusan yang dipakai dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997 tentang Narkotika juga memberikan defenisi khusus tentang korporasi dalam Pasal 1 angka 19 yaitu :
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan “
Kesalahan dalam tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak berbeda jauh dengan rumusan kesalahan dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dimana mayoritas tindak pidana tidak mencantumkan unsur kesalahan dalam arti bentuk baik kesengajaan
opzet maupun kealpaan culpa. Dalam rumusan tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 umumnya memakai unsur “tanpa hak dan
melawan hukum “. Sebenarnya hal ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Boleh saja kita menganggap terpenuhinya unsur tersebut sudah cukup
untuk menyatakan dapat dicelanya perbuatan tersebut. Namun niat batin berupa kesengajaan maupun kealpaan adalah unsur yang sangat mendasar dan pokok dari
Universitas Sumatera Utara
suatu tindak pidana. Jan Remmelink dalam Mohammad Eka Putra juga menyatakan hal yang senada yaitu :
“Banyak unsur rumusan delik mencakup unsur-unsur yang sifatnya psikis, misalnya dengan maksud oogmerk, kesengajaan opzet, kelalaianculpa
onachtzaamheid. Dalam bentuk kejahatan, penyebutan unsur-unsur ini mutlak ada. Sebaliknya, dalam pelanggaran merupakan pengecualian.”
88
Berdasarkan uraian di atas, tidak dicantumkannya unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan dalam rumusan pasal perlu dipertimbangkan
kembali demi menjaga nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Namun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika juga
ditemuka 2 dua tindak pidana yang mencantumkam unsur kesengajaan yaitu Pasal 86 dan Pasal 88.
c. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak begitu berbeda dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dari segi jenis sanksi, sanksi yang digunakan dalam Undang-Undang22 Tahun 1997 tentang Narkotika berupa sanksi
pidana dan sanksi tindakan maatregel.
88
Mohammad Eka Putra,Dasar-Dasar Hukum…,Op.Cit, hal.108
Universitas Sumatera Utara
Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda serta
pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak pidana yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 lima
juta rupiah dan perampasan hasil tindak pidana narkotika. Sedangkan sanksi tindakan maatregel berupa : rehabilitasi yang meliputi pengobatan dan perawatan serta
pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana.
Sanksi pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika umumnya diancamkan secara kumulatif bersama dengan pidana denda. Hal
ini bertujuan untuk memaksimalkan hukuman sehingga menimbulkan efek jera yang lebih nyata dalam aplikasinya. Pemaksimalan hukuman tersebut dapat juga dilihat
dengan adanya ancaman pidana minimal khusus penjara maupun denda dalam ketentuan pidana Undang-Undang tersebut.
Pemaksimalan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika semakin terlihat dengan adanya pemberatan terhadap tindak pidana
yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan
apabila ada pengulangan recidive Pemberatan ini dapat dikatakan sangat membebani para pelanggar mengingat cukup beratnya sanksi pidana yang
diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bervariasi: untuk pidana denda berkisar antara Rp.1.000.000,00 satu juta rupiah sampai
Universitas Sumatera Utara
Rp.7.000.000.000,00. tujuh milyar rupiah dan untuk pidana penjara berkisar antara 3 tiga bulan sampai 20 dua puluh tahun.
Ketentuan lain mengenai kebijakan terkait sanksi pidana, pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah dengan
dipidananya Percobaan dan permufakatan jahat dengan ancamana yang sama dengan melakukan tindak pidana. Perumusan kebijakan terkait sanksi yang sangata
memberatkan bagi pelanggar dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diharapkan dapat memaksimalkan peranan Undang-Undang ini dalam
menanggulangi tindak pidana narkotika.
3.
Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban
yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan,
melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi
dan sangat rahasia baik di tingkat nasional. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIMPR2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
89
a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.