Tinjauan Umum terhadap Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs Kebijakan Hukum Pidana dalam United Nation Convention Against Illicit

besar, organisasi kejahatan tersebut berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus usaha peredaran gelap narkotika dan psikotropika dengan cara menyusup, mencampuri, dan merusak struktur pemerintahan, usaha perdagangan dan keuangan yang sah serta kelompok-kelompok berpengaruh dalam masyarakat. Maka untuk mengantisipasi peredaran gelap tersebut disepakatilah Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988.

a. Tinjauan Umum terhadap Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs

and Psychotropic Substances, 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 merupakan hasil kesepakatan 106 negara peserta konvensi di Wina, Austria pada tanggal 20 Desember 1988. Latar belakang utama yang mendorong lahirnya konvensi ini adalah rasa keprihatinan terhadap perdagangan gelap narkotika.Karena itulah Negara-negara peserta konvensi merasa perlu memberikan perhatian utama dan kesatuan tekad dalam memberantas peredaran narkotika. Indonesia meratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut diuraikan secara lebih teperenci Universitas Sumatera Utara mengenai pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances yaitu : 1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula. 3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, protokol 1972 Tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 4. Perlunya memperuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjsama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

b. Kebijakan Hukum Pidana dalam United Nation Convention Against Illicit

Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 Terkait kriminalisasi, Konvensi ini menganjurkan agar para negara peserta konvensi menetapkan sebagai kejahatan tindak pidana setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Peredaran gelap yang dimaksud dalam konvensi ini adalah Universitas Sumatera Utara mencakup berbagai kegiatan terkait narkotika dari awal sekali yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu-lintas, pengedaran, pemakaiannya termasuk untuk pemakaian pribadi, bahkan organisasi serta aliran uang dari kejahatan narkotika tersebut. Kriminalisasi tehadap organisasi serta aliran uang terkait menunjukkan bahwa salah satu tujuan konvensi ini adalah untuk memberantas kejahatan narkotika yang semakin terorganisir sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat dilihat dari article 3 paragraph 1 United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 yang menyatakan : 1. Each Party shall adopt such measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally: a. i The production, manufacture, extraction; preparation, offering, offering for sale,distribution, sale, delivery on any terms whatsoever, brokerage, dispatch,dispatch in transit, transport, importation or exportation of any narcotic drug orany psychotropic substance contrary to the provisions of the 1961 Convention,the 1961 Convention as amended or the 1971 Convention; ii The cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose ofhe production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961Convention and the 1961 Convention as amended; iii The possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance forthe purpose of any of the activities enumerated in i above; iv The manufacture, transport or distribution of equipment, materials or ofsubstances listed in Table I and Table II, knowing that they are to be used in orfor the illicit cultivation, production or manufacture of narcotic drugs orpsychotropic substances; v The organization, management or financing of any of the offences enumeratedin i, ii, iii or iv above; b. i The conversion or transfer of property, knowing that such property is derivedfrom any offence or offences established in accordance with subparagraph a ofthis paragraph, or from an act of participation in such offence or offences, forthe purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or ofassisting any person who is involved in the commission of such an offence oroffences to evade the legal consequences of his actions; ii The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,movement, rights with respect to, or ownership of property, Universitas Sumatera Utara knowing that suchproperty is derived from an offence or offences established in accordance withsubparagraph a of this paragraph or from an act of participation in such anoffence or offences;” Kebijakan kriminalisasi dalam konvensi ini juga lebih memberikan perhatian khusus terhadap kejahatan perdagangan narkotika yang bersifat transnasional. Hal ini dapat dilihat dimana secara detail konvensi ini mengatur secara detail tentang “ commercial carriers pada article 15, illicit traffic by sea pada article 17, serta free trade zones and free ports pada article 18 “. Kebijakan kriminalisasi dalam Konvensi ini juga mengharuskan para pihak menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1, merupakan kejahatan serius, seperti: a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional; c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut; d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabtannya; Universitas Sumatera Utara f. .menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial; h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak; Semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika yang pada umumnya melibatkan sarana transportasi seperti kapal dan pesawat terbang membawa permasalahan terkait yurisdiksi.. Termasuk yurisdiksi negara manakah suatu kapal ataupun pesawat terbang yang sedang melintas?. Persoalan mengenai yurisdiksi ini menjadi hal yang semakin krusial mengingat yurisdiksi ini mempengaruhi hukum pidana yang akan diterapkan terhadap para pelanggar norma hukum pidana di atas kapal ataupun pesawat yang melintas. Untuk menjawab persoalan tersebut konvensi ini telah menyatukan serta memperluas pemahaman mengenai yurisdiksi tidak terbatas pada wilayah territorial suatu negara tetapi juga terhadap kenderaan yang berbendera salah satu negara para pihak. Dengan kata lain para pihak bertanggung jawab terhadap kenderaan yang didaftarkan di negaranya masing-masing. Pemahaman mengenai yurisdiksi ini sama persis dengan asas teritorial yang dianut dalam Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Universitas Sumatera Utara Kebijakan hukum pidana mengenai pengenaan sanksi terhadap kejahatan dalam konvensi ini ditempuh melalui 2 dua cara yaitu lewat pengenaan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sendiri terdiri dari: pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan lainnya, denda serta perampasan atau penyitaan aset hasil kejahatan.. Perampasan ditujukan terhadap seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas dan apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional Negara Pihak. Sanksi tindakan maatregel yang diatur dalam Konvensi ini yaitu antara lain: pembinaan, purnarawat, rehabilitasi, atau reintegrasi sosial. Dengan demikian kebijakan hukum pidana dalam konvensi ini di bidang pengenaan sanksi telah memungkinkan dikenakannya double track system. Lembaga peradilan atau pejabat penyidik dalam hukum acara pidana Indonesia diberikan kewenangan untuk memeriksa bahkan menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan 66 Kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara para Pihak.Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang termasuk dalam lingkup berlakunya pasal ini. . Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasiaan badan tersebut. 66 Ibid hal.48 Universitas Sumatera Utara Konvensi ini juga mengatur mengenai kebijakan hukum pidana dalam kerangka kerjasama internasional. Konvensi ini mengenal mutual legal assistances atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia disebut bantuan hukum timbal balik. Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini. Bantuan Hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan: a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; b. memberikan pelayanan dokumen hukum; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. memeriksa benda dan lokasi; e. memberikan informasi dan alat bukti; f. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g. mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk kepentingan pembuktian; Konvensi ini juga membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu ke negara lain. Pengalihan proses acara tersebut dapat dilakukan jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik. Selain pengalihan proes acara, Universitas Sumatera Utara Konvensi ini juga mengatur mengenai pennyerahan yang diawasi controlled delivery terkait narkotika atau psikotropika. Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini, para pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi controlled delivery pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya.Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetujuan Para Pihak yang bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan narkotika atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian. Menyadari kejahatan narkotika dilakukan secara terorganisir maka Konvensi ini mengharuskan para pihak untuk saling bekerjasama dalam memberantas kejahatan narkotika. Kerjasama bertujuan untuk meningkatkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum termasuk penerapan hukum pidana untuk memberantas kejahatan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini. Kerjasama tersebut meliputi : 1. membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masing- masing yang berwenang, untuk memudahkan pertukaran informasi; Universitas Sumatera Utara 2. saling kerjasama dalam melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini; 3. membentuk tim gabungan; 4. menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; 5. mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini; dan 6. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.

B. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009) Dengan Tujuan Pemidanaan

3 64 108

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

3 29 81

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

1 4 81

SKRIPSI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 11

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

0 0 14

BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahu

0 0 61