HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Alga Merah (Rhodophyta) Di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunung Sitoli Nias

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli diperoleh data sebagai berikut:

4.1.1. Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Hasil pengukuran faktor fisik dan kimia yang dilakukan pada saat penelitian di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Nilai Faktor Fisik dan Kimia Perairan setiap Stasiun Penelitian No. Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1. Suhu ◦C 29 30 29 2. pH 7,9 7,6 8 3. Salinitas o oo 37 33 29 4. Intensitas Cahaya Candela 492 x 200.000 395 x 200.000 360 x 200.000 5. Penetrasi cahaya m 1,12 0,83 0,61 6. Kejenuhan Oksigen 81,152 79,681 82,461 7. DO mgL 6,2 6 6,3 8. BOD mgL 1,2 1 1,3 Keterangan: Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan 01 o 20’20,7” N dan 097 o 35’13,7” E Stasiun 2 : Daerah Pemukiman warga 01 o 20’19,9” N dan 097 o 35’14,3” E Stasiun 3 : Daerah Pertanian 01 o 20’18,6” N dan 097 o 35’15,4” E a. Suhu Suhu yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 29-30 o C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 30 o C dan suhu terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 29 o C. Nilai suhu yang diperoleh pada ketiga stasiun tidak memiliki perbedaan yang jauh. Nilai suhu pada lokasi penelitian diduga karena pengaruh penetrasi cahaya ke dalam perairan. Suhu memiliki hubungan erat dengan cahaya matahari, semakin tinggi cahaya yang masuk ke dalam perairan, menyebabkan suhu di perairan semakin tinggi. Menurut Rumahlatu et al.2008, suhu air laut terus mengalami peningkatan dan kecenderungan kenaikan suhu pada daerah pasang surut dipengaruhi oleh adanya penetrasi matahari yang kuat. Universitas Sumatera Utara 23 Menurut Romimohtarto 2001, suhu merupakan faktor fisik perairan yang sangat penting bagi kehidupan di laut, perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan pada biota laut. b. pH Derajat keasaman Nilai pH yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 7,6-8. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 8 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 7,6. Tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O 2 maupun CO 2 dalam suatu perairan.Alga melakukan proses fotosintesis dengan membutuhkan karbondioksida dan menghasilkan oksigen, artinya semakin banyak alga yang ditemukan pada daerah tersebut maka semakin tinggi pula kebutuhan karbondioksida dan semakin rendah nilai pH suatu perairan. Hal ini terlihat pada stasiun 3 memiliki jenis alga merah lebih besar dibanding dengan stasiun 2 sehingga terjadi penurunan karbondioksida dalam perairan mengakibatkan nilai pH pada stasiun 3 lebih tinggi. Menurut Barus 2004, pada ekosistem air yang mengalami laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan karbondioksida yang banyak. Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi aktivitas fotosintesis dan ditambahkan pendapat Wetzel 1983 menyatakan bahwa perubahan pH ditentukan oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi dalam ekosistem. Nilai pH perairandikaitkan dengankonsentrasi karbon dioksida CO 2 dalamekosistem. Semakin tinggi konsentrasikarbon dioksida yang tidak terpakai, nilai pH perairan semakinrendah. Fotosintesismerupakan proses yang menyerap CO 2 , sehingga dapat meningkatkan nilai pH perairan. c. Salinitas Nilai salinitas yang diperoleh sekitar 29-37 o oo . Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 37 o oo dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 29 o oo. Salinitas ini dipengaruhi oleh curah hujan, aliran sungai dan pergerakan air atau sirkulasi air. Tinggi rendahnya nilai salinitas dipengaruhi oleh keberadaan muara sungai di sekitar pantai. Semakin banyak muara sungai di suatu perairan pantai, nilai salinitasnya semakin rendah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan muara sungai biasanya membawa air tawar yang salinitasnya lebih rendah sehingga air Universitas Sumatera Utara 24 laut mengalami pengenceran dan mengakibatkan salinitas pada perairan berkurang. Tingginya salinitaspada stasiun 1 disebabkan sedikitnya muara sungai dibandingkan dengan stasiun 3 yang merupakan daerah pertanian yang memiliki muara sungai. Menurut Prasetyarto dan Suhendar 2010, kadar garam salinitas sangat tergantung kepada banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan semakin rendah dan sebaliknya makin sedikit jumlah sungai yang bermuara ke laut maka salinitasnya akan tinggi. d. Intensitas Cahaya Nilai Intensitas cahaya yang diperoleh dari ketiga titik stasiun sekitar 360 x 200.000 – 492 x 200.000 Candella. Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 492 x 200.000 Candella, sedangkan intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 360 x 200.000 Candella. Tinggi rendahnya intensitas cahaya dipengaruhi oleh jumlah tumbuh-tumbuhan di sekitar perairan. Semakin banyak tumbuh-tumbuhan di sekitar pantai maka semakin rendah intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Hal ini terlihat pada stasiun 1 yang merupakan daerah aktivitas nelayan yang memiliki vegetasi tumbuhan lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun 3 yang merupakan daerah pertanian yang memiliki vegetasi tumbuhan yang lebih banyak. Menurut Barus 2004, vegetasi yang terdapat di sekitar ekosistem air mempengaruhi jumlah intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan, karena tumbuh-tumbuhan mempunyai kemampuan dalam mengabsorbsi cahaya matahari. e. Penetrasi Cahaya Nilai penetrasi cahaya diperoleh dari ketiga stasiun sekitar 0,61 - 1,12 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 1,12 m. Penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,61 m. Cahaya yang masuk dipengaruhi oleh kondisi kejernihan perairan. Semakin jernih suatu perairan semakin tinggi tingkat penetrasi cahaya pada perairan tersebut begitu juga sebaliknya, semakin tinggi tingkat kekeruhan suatu perairan semakin rendah nilai tingkat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Hal ini terlihat pada Universitas Sumatera Utara 25 stasiun 1 yang memiliki tingkat kekeruhan lebih rendah secara kasat mata dibandingkan dengan stasiun 3. MenurutAlam 2011, kekeruhan yang tinggi pada suatu perairan dapat mengakibatkan penetrasi cahaya rendah dan ditambahkan dengan pendapat Atmadja 1999 yaitu semakin jernih suatu perairan maka semakin banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya alga tumbuh pada perairan. Suin 1991 mengatakan bahwatingginya nilai kekeruhan di perairan pantai menimbulkan penetrasi cahaya akan berkurang. Kekeruhan air ini disebabkan karena adanya bahan-bahan yang melayang seperti lumpur dan partikel-partikel debu. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2009, Air yang keruh biasanya mengandung lumpur dan bahan organik sisa pembuangan limbah masyarakat. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhalangnya cahaya yang masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. f. Kejenuhan Oksigen Nilai kejenuhan oksigen tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 82,461 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 79,681 . Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 3 berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut adalah 29 o C. Hal ini menunjukkan terjadinya defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit, sedangkan rendahnya pada stasiun 2 diduga karena pengaruh limbah permukiman warga dimana pada stasiun 2 merupakan daerah pemukiman. Hal ini menyebabkan tumbuhan air terganggu untuk melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen sehingga mengakibatkan defisit oksigen meningkat. Menurut Hutagalung et al. 1997, sumber utama oksigen dalam air laut berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis tumbuhan air maupun fitoplankton pada siang hari. Faktor- faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi pada malam hari dan masuknya limbah organik. g. Oksigen Terlarut Dissolved Oksigen Nilai oksigen terlarut diperoleh dari ketiga stasiun sekitar 6 - 6,3 mgL. Oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 6,3 mgL dan terendah Universitas Sumatera Utara 26 terdapat pada stasiun 2 sebesar 6 mgL. Ketiga stasiun termasuk kategori perairan yang fluktuasi oksigennya baik. Hal ini disebabkan masuknya udara di atas laut dan terjadi proses fotosintesis di dalam air seperti jenis alga, dimana hasil dari fotosintesis berupa oksigen yang dibutuhkan oleh biota laut. Menurut Simanjuntak 2012, sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari difusi dan dari proses fotosintesis alga. Kadar oksigen terlarut menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan ditambahkan oleh Barus 2004, fluktuasi dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mgL. h. BOD5Biochemical Oksigen Demand Nilai BOD5 yang diperoleh dari ketiga stasiun berkisar antara 1-1,3 mgL. BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,3 mgL dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 1 mgL. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga stasiun termasuk kategori belum tercemar. Tingginya nilai BOD5 dipengaruhi oleh nilai oksigen terlarut di suatu perairan. Hal ini terlihat pada stasiun 3 yang memiliki nilai oksigen terlarut lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2. Menurut Armita 2011, nilai BOD5 tinggi berarti nilai DO rendah sebab dengan banyaknya oksigen yang digunakan untuk memecahkan sampah organik maka kadar oksigen yang terlarut dalam air akan menurun ditambahkan oleh Effendie 2003 menyatakan bahwa perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mgL dianggap telah mengalami pencemaran.

4.1.2. Klasifikasi Alga Merah Rhodophyta

Klasifikasi alga merah yang diperoleh terlihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Klasifikasi Alga merah Kelas Ordo Famili Spesies Rhodophyceae Cryptonemiales Corallinaceae 1. Amphiroa sp. Gelidiales Gelidiaceae 2. Gelidium sp. Gigartinales Gracilariaceae 3. Gracilaria salicornia Solieriaceae

4. Eucheuma sp.

Nemaliaceae Galaxauraceae 5. Actinotrichia fragilis Rhodimendiales Rhodimendiaceae 6. Rhodymenia sp. Pada Tabel 4.2. di atas menunjukkan data dari kelas alga merah Rhodophyta yaitu 6 spesies dari 6 famili dan 5 ordo. Spesies yang diperoleh terdiri dari Universitas Sumatera Utara 27 Amphiroa sp., Gelidium sp., Gracilaria salicornia, Eucheuma sp., Actinotrichia fragilis dan Rhodymenia sp. Keenam spesies alga merah ini merupakan spesies yang terdapat pada lokasi penelitian dengan memiliki karateristik tiap spesies, yaitu: a. Amphiroa sp. Alga merah jenis ini memiliki warna thallus merah, merah pirang dan merah kecoklatan. Thallus berukuran kecil, halus dan licin. Panjang thallus sekitar 1-3 cm. Hidupnya melekat pada substrat batu dan membentuk rumpun. Menurut www.IPTEK.net.com, alga jenis ini tumbuh tegak, berkoloni dan berwarna merah. panjang thallus dari jenis Amphiroa sp. ini sekitar 10 cm Gambar 4.1.. Percabangan thallus thalli tipis seperti pita halus dan lebarnya sekitar 1 mm. Jenis alga merah ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Gambar 4.1. Amphiroa sp. Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com b. Gelidium sp. Jenis alga ini berwarna merah dan merah muda dan thalli tidak rapi. Ujung thallus bergerigi halus Gambar 4.2.. ThallusGelidium sp. ini lunak, licin dan melekat pada substrat batu dan karang. Menurut Aslan 1991, tanaman ini berukuran kecil dengan panjang kurang lebih 20 cm, batang utama tegak dengan percabangan yang menyirip. Thallinya berwarna merah, coklat dan hijau pirang. Hidup di sekitar perairan Indonesia dengan perairan pantai terbuka dan berbatu. Kisaran salinitasnya sekitar 13-37 o oo . Gelidium sp. dimanfaatkan sebagai bahan baku agar-agar. Universitas Sumatera Utara 28 Gambar 4.2. Gelidium sp. Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com c. Gracilaria salicornia Jenis ini memiliki ciri-ciri seperti jenis Gracilarialainnya. Warna thallusnya berwarna merah-hijau, merah kecoklatan dan bentuknya seperti tulang lunak dan licin. Thallus berbentuk silindris dan membentuk rumpun. Hidup berkelompok dan membentuk rumpun yang lebat dengan panjang thallus sekitar 1,5- 4 cm. Gracilaria salicornia Gambar 4.3. melekat pada substrat batu dan karang. Tumbuh melekat pada batu karang di daerah rataan terumbu berpasir di perairan pasang surut dan tersebar luas di perairan Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009. Menurut Susanto dan Maulana dalam Langoy et al.2011,habitat jenis alga G. salicornia pada karang, pasir dan di daerah rataan terumbu karang yang tumbuhnya menempel. G. salicornia ini biasanya ditemukan pada daerah pasang surut. Gambar 4.3. Gracilaria salicornia Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com Universitas Sumatera Utara 29 d. Eucheuma sp. Jenis alga ini berwarna merah atau merah-coklat, memiliki percabangan tidak teratur berselang-seling, memiliki benjolan-benjolan dan duri-duri atau spines, bentuk thallus silindris atau gepeng. Panjang thallusnya sekitar 7-10 cm. Umumnya terdapat di daerah pasang surut intertidal atau daerah yang selalu terendam air dan melekat pada substrat di dasar perairan Gambar 4.4.. Alga ini tumbuh berkelompok dengan berbagai jenis alga lain Aslan, 1991. Biasanya jenis alga ini digunakan sebagai bahan makanan. Gambar 4.4. Eucheuma sp. Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com e. Actinotrichia fragilis Jenis alga ini berwarna merah, memiliki thallus bercabang dengan bentuk bulat dengan membentuk rumpun. Panjang thallus sekitar 3-6 cm Gambar 4.5.. Jenis alga merah ini melekat pada substrat batu. Actinotrichia fragilis belum banyak digunakan masyarakat setempat, hanya sebagian penduduk menggunakannya sebagai pakan ternak. Gambar 4.5. Actinotrichia fragilis Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com Universitas Sumatera Utara 30 f. Rhodymenia sp. Rhodymenia sp. Gambar 4.6. berwarna merah, merah muda dan merah kekuning-kuningan. Thallus berbentuk lembaran pipih yang licin. Tepi thallus rata dan di setiap ujung thallus sedikit bergerigi. Menurut Aslan 1991, thallinya berbentuk pita atau lembaran dengan percabangan yang sederhana atau dikotomus. Alga jenis ini memiliki panjang thallus sekitar 12 cm. Percabangan tersebut sering tumbuh dari pinggir lembaran atau berbentuk telapak tangan. Jenis ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Gambar 4.6. Rhodymenia sp. Sumber: Pengamatan langsung dan www.IPTEK.net.com 4.1.3.Kerapatan Jenis, Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Frekuensi Kehadiran Alga Merah Nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif dan frekuensi kehadiran alga merah terlihatseperti Tabel 4.3. di bawah ini: Tabel 4.3. Nilai Kerapatan Jenis indm 2 , Kerapatan Relatif , Frekuensi Relatif dan Frekuensi Kehadiran Alga Merah setiap Stasiun Penelitian N o Nama Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 K KR FR FK K KR FR FK K KR FR FK 1. A. fragilis 4,16 39,39 30,77 80 14,6 55,81 38,46 100 17,6 87,3 38,46 100 2. Amphiroa sp. 5,48 51,89 38,46 100 10,4 39,76 30,77 80 1,08 5,36 15,38 40 3. Eucheuma sp. 0,16 1,52 7,69 20 - - - - 0,6 2,98 15,38 40 4. Gelidium sp. 0,6 5,68 15,38 40 - - - - 0,44 2,18 15,38 40 5. G. salicornia 0,16 1,52 7,69 20 0,88 3,36 15,38 40 - - - - 6. Rhodymenia sp. - - - - 0,28 1,07 15,38 40 0,44 2,18 15,38 40 Total 10,56 100 100 260 26,16 100 100 260 20,16 100 100 260 Universitas Sumatera Utara 31 Pada stasiun 1, diperoleh spesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi adalah Amphiroa sp. sebesar 5,48 indm 2 K, 51,89 KR, 38,46 FR dan 100 FK. Spesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif dan frekuensi kehadiran terendah adalah spesies Eucheuma sp. dan Gracilaria salicornia sebesar 0,16 indm 2 K, 1,52 KR, 7,69 FR dan 20 FK. Hal ini disebabkan Amphiroa sp. belum banyak dimanfaatkan masyarakat setempat, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya tidak terganggu. Jenis Amphiroa sp. juga tidak mudah mengalami kerusakan akibat ombak, karena membentuk rumpun-rumpun seperti lumut dan thallusnya tidak terlalu panjang sehingga tidak mudah patah sedangkan jenis alga Eucheuma sp. dan Gracilaria salicornialebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan jenis Amphiroa sp. Hal ini disebabkan kedua jenis alga merah ini tidak kuat melekat pada substrat dan thallusnya bersifat rapuh dan mudah patah sehingga kerapatan jenis dari alga ini lebih kecil dibandingkan spesies alga merah lain. Menurut Susanto dan Maulana dalam Langoy et al.2011,alga Amphiroa sp. memiliki bentuk thallus bersegmen pendek, pada bagian bawah berbentuk silindris sedangkan bagian atas berbentuk runcing. Jenis alga ini memiliki rimbun dengan percabangan thallusdichotomus atau bercabang dua dan dapat mencapai tinggi sekitar 5-10 cm. Substansi thallus keras dan mengandung zat kapur. Sedangkan jenis makroalga G. salicornia memiliki bentuk thallus bulat, licin, berbuku-buku atau bersegmen-segmen. Alga ini biasanya membentuk rumpun. Bentuk holdfast alga ini melekat pada substrat yaitu rhizoid. Sering terdampar ke pantai karena tidak kuat menempel pada substrat sehingga mudah terbawa oleh ombak. Habitatnya yaitu pada substrat berkarang dan umumnya di daerah rataan terumbu karang. Sebarannya tidak begitu luas dan warna dari alga ini merah dan merah muda. Pada stasiun 2, diperoleh spesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif dan Frekuensi kehadiran tertinggi adalah A. fragilis sebesar 14,6 indm 2 K, 56,41 KR, 45,45 FR dan 100 FK. Hal ini disebabkan A. fragilisberbentuk rumpun yang memiliki holdfast yang kuat melekat pada substrat batu sehingga tidak mudah patah dan jenis alga ini belum Universitas Sumatera Utara 32 banyak dimanfaatkan masyarakatsetempat sehingga perkembangannya tidak terganggusedangkanspesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif dan frekuensi kehadiran terendah adalah spesies Rhodymenia sp. sebesar 0,28 indm 2 K, 1,07 KR, 15,38 FR dan 40 FK. Hal ini disebabkanRhodymenia sp.merupakan jenis alga merah yang lunak dan sangat rapuh sehingga pada kondisi buruk dapat menjadikannya cepat busuk sehingga jenis alga ini tidak dapat berkembang di stasiun 2 dimana stasiun 2 merupakan daerah pemukiman penduduk yang memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan Rhodymenia sp. MenurutLangoy et al. 2011, makroalga jenis A. fragilismemiliki bentuk thallus bulat, keras dengan permukaan kasar, membentuk rumpun dan rimbun denganpercabangan thallus dichotomus. Jenis alga ini biasanya melekat kuat pada substrat dengan holdfast yang kecil berbentuk cakram. Pada stasiun 3, diperoleh spesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, Frekuensi relatif dan Frekuensi kehadiran tertinggi adalah A. fragilis sebesar 17,6 indm 2 K, 87,30 KR, 38,46 FR dan 100 FK. Spesies yang memiliki kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi relatif dan frekuensi kehadiran terendah adalah spesies Amphiroa sp., Eucheuma sp., Gelidium sp. dan Rhodymenia sp. sebesar 0,44 indm 2 K, 2,18 KR, 15,38 FR dan 40 FK. Hal ini disebabkan faktor fisik dan kimia yang mendukung pertumbuhan alga merah tersebut dan A. fragilisbiasanya hidup berkoloni dan lebih cepat berkembang dibanding jenis lain, sehingga jenis alga ini lebih mendominasi daerah stasiun 3 yaitu daerah pertanian. Menurut Atmadja et al. 1996, A. fragilis tersebar luas dibandingkan dengan jenis lain di perairan tropis dengan substrat berkarang, pasir, batu dan rataan terumbu yang pada umumnya selalu terendam oleh air laut. Menurut Langoy et al. 2011,holdfastA. fragilisbiasanya lebih kuat melekat pada batu sehingga thallusnya tidak mudah patah. Kehidupan alga merah dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik perairan. Menurut Atmadja 1999, pengaruh faktor-faktor lingkungan baik secara tersendiri maupun berkombinasi akan terlihat dari keragaman, kelimpahan jenis dan produktivitas pertumbuhannya. Faktor-faktor pencahayaan, suhu, substrat dan Universitas Sumatera Utara 33 kadar garam merupakan faktor penting dalam melihat kualitas pertumbuhan alga merah.

4.1.4. Indeks Keragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Alga Merah

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh indeks keragaman dan indeks keseragaman alga merah seperti pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Nilai Indeks Keragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Alga Merah H E Stasiun 1 0,98 0,61 Stasiun 2 0,83 0,60 Stasiun 3 0,52 0,32 Keterangan: Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman warga Stasiun 3 : Daerah Pertanian Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa nilai indeks keragaman terbesar terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,98 dan terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,32. Hal ini disebabkan pada stasiun 3 merupakan daerah pertanian yang berdekatan dengan muara sungai dan memiliki pencemaran lebih besar dibandingkan dengan stasiun 1 yang merupakan daerah aktivitas nelayan. Terlihat pada lokasi stasiun 3yang melangsungkan kegiatan masyarakat berupa pembuangan limbah pertanian seperti tanah dan sisa pertanian sehingga menyebabkan kualitas perairan berkurang dan pertumbuhan alga merah pada stasiun 3 terganggu dan tingkat keragamannya lebih rendah dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 2. Pencemaran mampu mengurangi kualitas perairan yaitu faktor fisik dan kimia dari suatu perairan sehingga memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan alga merah. Contohnya adalah cahaya matahari akan sangat sulit masuk ke dalam suatu perairan apabila perairan mengalami kekeruhan karena limbah dari masyarakat. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2009, limbah dalam suatu perairan dapat menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus tersebut membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan alga merah. Pada lokasi penelitian diperoleh data bahwa indeks nilai keseragaman E terbesar pada stasiun 1 sebesar 0,61 dan terendah pada stasiun 3 yaitu 0,32. Pada Universitas Sumatera Utara 34 stasiun 1 menunjukkan bahwa keseragaman populasi alga merah besar artinya penyebaran individu tiap jenis merata, sedangkan pada stasiun 3 menunjukkan keseragaman penyebaran individu tiap jenis sama. Hal disebabkan karena nilai E dipengaruhi oleh besarnya n ilai Indeks keragaman H’. Menurut Odum 1994, keragaman jenis suatu perairan dipengaruhi oleh adanya penyebaran individu dalam tiap jenisnya.Apabila suatu komunitas terdiri dari jenis-jenis dengan jumlah banyak tetapi penyebaran individunya tidak merata maka keragaman jenis dinilai rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Indeks Keragaman Shannon- Wiener H’ merupakan suatu indeks keragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keragamannya dan begitu juga sebaliknya. Nilai indeks keragaman rendah maka tingkat keragamannya rendah.

4.1.5. Indeks Similaritas IS pada Stasiun Penelitian

Nilai indeks similaritas terlihat seperti pada Tabel 4.5. sebagai berikut: Tabel 4.5. Nilai Indeks Similaritas atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 - 66,7 80 Stasiun 2 - - 66,7 Stasiun 3 - - - Tabel 4.5. di atas menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas yang menunjukkan kemiripan yang tinggi antara stasiun 1 dan 3 yaitu 80 . Kemiripan ini disebabkan beberapa jenis alga merah ditemukan sama sedangkan antara stasiun 1 dan stasiun 2 dan antara stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki kemiripan yaitu sebesar 66,7 . Hal ini dikarenakan karena faktor ekologis seperti kondisi kualitas perairan, intensitas cahaya, pH, salinitas dan penetrasi cahaya berbeda antara stasiun 2 dan stasiun 3 terlihat pada nilai pH pada stasiun 2 sebesar 7,6 dan stasiun 3 sebesar 8, salinitas pada stasiun 2 yaitu 33 o oo dan stasiun 3 yaitu 29 o oo dan faktor lainnya, sehingga terlihat perbedaan jenis antara kedua stasiun, sama halnya dengan stasiun 1 dan stasiun 2. Pengaruh dari aktivitas masyarakat juga mempengaruhi kemiripan jenis pada tiap lokasi dimana pada stasiun 2 merupakan daerah permukiman yang sebagian besar aktivitasnya berada di sepanjang pantai Universitas Sumatera Utara 35 yang mengganggu keberadaan alga merah sehingga memungkinkan spesies tidak banyak muncul dibandingkan dengan stasiun 1 dan stasiun 3 yang merupakan daerah aktivitas nelayan yang memiliki jenis alga merah lebih banyak.

4.1.6. Penutupan jenis, Penutupan Relatif dan Indeks Nilai Penting Jenis Alga Merah

Berdasarkan hasil pengukuran luasan diperoleh data penutupan jenis dan penutupan relatif sehingga diperoleh indeks nilai penting seperti pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Penutupan Jenis P, Penutupan Relatif PR dan Indeks Nilai Penting INP Jenis Alga Merah tiap Stasiun Penelitian No. Nama Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 P cm 2 PR INP P cm 2 PR INP P cm 2 PR INP 1. A. fragilis 15,52 5,21 75,37 158 42,68 136,96 467,8 88,03 213,79 2. Amphiroa sp. 278,12 93,37 183,72 206,72 55,85 126,37 55 10,35 31,09 3. Eucheuma sp. 0,6 0,20 9,41 - - - 3,4 0,64 19 4. Gelidium sp. 1,64 0,55 21,62 - - - 1,96 0,37 17,94 5. G. salicornia 2 0,67 9,88 2,96 0,80 19,55 - - - 6. Rhodymenia sp. - - - 2,48 0,67 17,12 3,24 0,61 18,18 Total 297,88 100 300 370,16 100 300 531,4 100 300 Tabel 4.6. menunjukkan bahwa pada stasiun 1 diperoleh luas penutupan jenis dan penutupan relatif tertinggi pada spesies Amphiroa sp. sebesar 278,12 cm 2 P, 93,37 PR dan 183,72 INP. Penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting terendah pada spesies Eucheuma sp. sebesar 0,6 cm 2 P, 0,20 PR dan 9,41 INP. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Amphiroa sp. merupakan jenis yang lebih mendominasi pertumbuhannya dibandingkan jenis yang lain dan mudah untuk bertahan hidup daripada jenis lain seperti Eucheuma sp. Menurut Aslan 1991, jenis Eucheuma sp. sedikit berbeda dengan jenis lain dalam hal pertumbuhannya yaitu perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih, suhu air laut berkisar antara 27-30 o C dan bersalinitas antara 30-37 promil. Pada stasiun 2 diperoleh luas penutupan jenis dan penutupan relatif tertinggi pada spesies Amphiroa sp. sebesar 206,72 cm 2 P dan 56,22 PR. Penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting terendah pada spesies Rhodymenia sp. sebesar 2,48 cm 2 P, 0,67 PR dan 17,12 INP, sedangkan INP tertinggi terdapat pada jenis Actinotrichia fragilis sebesar 144,48 . Hal ini Universitas Sumatera Utara 36 disebabkan jenis Actinotrichia fragilis memiliki sifat tumbuh berkoloni dan membentuk suatu rumpun sehingga melekat pada substrat dengan kuat dalam situasi perairan yang merupakan adanya pengaruh aktivitas penduduk. Menurut Langoy et al. 2011,holdfastA. fragilisbiasanya melekat dengan kuat pada substratnya sehingga thallusnya yang berbentuk bulat dan permukaannya keras tidak mudah patah oleh ombak. Hidupnya membentuk rumpun dan percabangan thallusnya berbentuk dichotomus. Pada stasiun 3 diperoleh luas penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting tertinggi pada spesies Actinotrichia fragilis sebesar 467,8 cm 2 P, 88,03 PR dan 213,79 INP. Penutupan jenis dan penutupan relatif terendah pada spesies Gelidium sp. sebesar 1,96 cm 2 P dan 0,37 PR sedangkan indeks nilai penting terendah pada Gelidium sp. sebesar 17,94 INP. Ini menunjukkan bahwa Actinotrichia fragilismendominasi pada stasiun 3 dan memiliki peran penting terhadap komunitas jenis alga merah yang lain sedangkan jenis yang tidak memiliki peranan penting adalah jenis Gelidium sp. karena jumlah alga ini lebih sedikit dan luasan dalam suatu lokasi penelitian juga sempit. Jumlah yang sedikit ini merupakan adanya pengaruh aktivitas penduduk sehingga mendegradasi tingkat pertumbuhan alga merah tersebut, khususnya Gelidium sp. 4.1.7. Hubungan dan Korelasi Pearson Indeks keragaman dengan Faktor Fisik dan Kimia Perairan Nilai hubungan indeks keragaman alga merah dengan faktor fisik dan kimia perairan setiap stasiun penelitian diperoleh seperti pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Tingkat Korelasi Indeks Keragaman dengan Faktor Fisik dan Kimia Perairan Setiap Stasiun Penelitian Suhu pH Salinitas Intensitas cahaya Penetrasi cahaya Kejenuhan Oksigen DO BOD H’ +0,197 -0,427 +0,980 +0,895 +0,962 -0,635 -0,507 -0,507 Keterangan: + = Arah korelasi searah - = Arah korelasi berlawanan Berdasarkan hasil Korelasi Pearson, dapat dilihat bahwa tingkat hubungan yang sangat kuat dengan keragaman alga merah adalah salinitas, penetrasi cahaya dan Universitas Sumatera Utara 37 intensitas cahaya sebesar 0,962 salinitas, 0,962 penetrasi cahaya dan 0,895 intensitas cahaya dan arah korelasinya searah. Semakin tinggi nilai salinitas maka semakin tinggi tingkat keragaman alga merah tersebut. Begitu juga dengan sebaliknya, semakin rendah salinitas maka semakin rendah pula tingkat keragaman alga merah. Menurut Syafruddin 1993 dalam Triastuti 2010, perubahan salinitas yaitu penurunan dan peningkatan salinitas di atas batas optimum yaitu 32 o oo tidak menyebabkan kematian pada alga, tetapi elastisitas alga akan menjadi berkurang, mudah patah dan pertumbuhan akan terhambat. Perkembangan alga merah di suatu perairan juga dipengaruhi oleh penetrasi cahaya. Semakin tinggi penetrasi cahaya semakin tinggi keragaman alga merah karena masuknya cahaya matahari mempengaruhi pertumbuhan alga merah dalam proses fotosintesis. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2009, cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi pembentukan senyawa organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan normal.Kecerahan perairan ini berhubungan dengan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Cahaya yang masuk mempengaruhi intensitas cahaya dalam suatu perairan dimana intensitas cahaya dibutuhkan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya yang tinggi mempengaruhi keberadaan alga merah, semakin tinggi intensitas cahaya dalam suatu perairan semakin tinggi pula proses fotosintesis yang dilakukan oleh alga merah tersebutdan mengalami perkembangan dalam memperbanyak rumpun. Menurut Nugraha dan Santoso 2008, dalam pertumbuhannya, alga memerlukan sinar matahari yang berguna untuk proses fotosintesis sehingga akan hidup lebih baik di perairan laut dalam karena penetrasi cahaya matahari dapat mencapai ke dasar perairan sebagai tempat hidup dan ditambahkan oleh Armita 2011 yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang diterima oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan rumput laut. Menurut Romimohtarto 2001, bagi biota laut cahaya mempunyai pengaruh besar secara tidak langsung, yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN