Keragaman Makroalga di Pesisir Pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara

(1)

DAFTAR LAMPIRAN


(2)

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dihomogenkan Didiamkan

Sampel Endapan

Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dihomogenkan Didiamkan

Larutan Sampel Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum

Sampel

Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai

Hasil


(3)

Lampiran 3. Bagan Kerja Untuk Mengukur BOD5

(Suin, 2002) Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO menggunakan metode winkler

Nilai BOD5 = Nilai DO awal – Nilai DO akhir dihitung nilai DO akhir

diinkubasi selama 5 hari pada

temperatur 20°C dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air


(4)

Lampiran 4. Nilai Korelasi antara Parameter Fisik-Kimia Perairan denganKeragaman Makroalga dari Setiap Stasiun Penelitian


(5)

Lampiran 5. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air

T0C 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81

1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44

2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08

3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74

4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41

5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09

6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79

7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50

8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22

9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95

10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70

11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45

12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22

13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00

14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78

15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58

16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39

17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20

18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03

19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86

20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 8,73 8,71 8,70

21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55

22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40

23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26

24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13

25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00

26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88

27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76

28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65

29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54

30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(6)

Lampiran 6. Foto Kerja

Pembuatan Plot Pembuatan Transek


(7)

Lampiran 7. Foto Sampel

Halimeda opuntia Halimeda macroloba

Hypnea choroides

Caulerpa racemosa Gracillaria salicornia


(8)

Gelidiella acerosa Caulerpa taxifolia

Sargassum cristafolium Gracillaria canaliculata


(9)

E

Eucheuma arnoldii Dictyota ciliolata

Amphiroa fragillisima Colpomenia sinuousa


(10)

Lampiran 8. Foto Alat

Refraktometer Thermometer


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Alamsjah, M. A., Tjahjaningsih, W., dan Pratiwi, A. W. 2009. Pengaruh Kombinasi Pupuk Npk Dan Tsp Terhadap Pertumbuhan, Kadar Air Dan Klorofil A Gracilaria verrucosa, Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.1: 111-112.

Ambas, I. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab. Selayar). Makassar: Yayasan Mattirotasi.

Aslan, L. (1998). Budidaya Rumput Laut. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Asriyana & Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta.

Atmadja, W.S., Kadi., Sulistijo., dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan: USU Press. Medan.

Bold, H.C. and Wynne, M.J. 1985. Introduction to The Algae: Structure and Reproduction. 2nd ed. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Chapman, A. R. O. 1997. Biology of Seaweed. Park University Press. London.

Connel, Y.H.1974. Field Experiment in Marine Ecology. Di dalam: Richard, N. & Mariscal (eds.). New York: Academy Press.

Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta.

Dawes, C. J., and Mathieson, A. C. 2006. The Seaweeds of Florida. University Press of Florida, Gainesville. 591 pp.

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2009. Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Effendie. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius: Jogjakarta.


(12)

Gunawan, (2012). Pengaruh perbedaan pH pada pertumbuhan mikroalga kelas Chlorophyta. Bioscientiae, 2(9): p. 62-65.

Juwana, S dan Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

Kadi, A. 2008. Makroalgae di Paparan Terumbu Karang Kepulauan Anambas.

Jurnal Natur Indonesia. 12(1): 49.

Kordi, M. G. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. PT. Rikena Cipta. Jakarta.

Krebs, C.J. 1985. Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper And Rows Publication. New York.

Luning. 1990. Seaweeds, Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. John Wiley and Sons. New York.

Kawaroe, M., T. Partono. 2010. Mikrolga : Produksi dan Pemanfaatannya untuk Bio Bahan Bakar. Bogor. IPB Press.

Marianingsih, P., E. Amelia dan T. Subroto, 2013. Inventarisasi dan Identifikasi Makroalga di Perairan Pulau Untung Jawa. Prosiding Seminar FMIPA UNILA, Lampung: 219-223.

Miarni, V. 2004. Kajian Ekologi dan Ekonomi Rumput Laut di Desa Rancapinang, Taman Nasional Ujung Kulon. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mubarak, H., Ilyas S., Ismail W., Wahyuni I. S., Hartati S.T., Pratiwi E., Jangkaru Z. dan Arifuddin R. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.

Nainggolan, E. 2011. Keanekaragaman Plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nontji, A. 1998. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nybakken, A. J. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis (Terjemahan oleh Dr. Ir. Dietrich G. Bengen DEA, Dr. Ir. Koesobiono, Prof, Rd. Ir. Eidman, DEA). PT. Gramedia. Jakarta.

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(13)

Oktaviani, E., Elis, S., Harly, P., Nurfadilah, A., Purwasih., dan Rahma, S., 2013. Inventarisasi dan Identifikasi Makroalga di Teluk Lombok Sangatta. Jurnal Perikanan. 21 (1): 20-34.

Papalia, S. 2015. Struktur Komunitas Makroalgga Di Pesisir Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Ilmu Teknologi Kelautan Tropis. 7(1).129-142.

Riani, E. 2004. Pemanfaatan Kerang Hijau sebagai Biofilter Perairan Teluk Jakarta. Pemda DKI Jakarta.

Romimohtarto, S. J. 2001. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Round, F. E. 1965. The Biology of Algae. Edward Arnold Publisher Ltd. London.

Sastrawijaya, A. T. 2001. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Simanjuntak, M. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Kimia, Fisika Terhadap Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. J. Fish. Sci. XI (1): 31-45

Soegiarto, A., Sulistijo, Atmadja, W.S., Mubarak, H. 1978. Rumput Laut (Algae) Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI: Jakarta.

Sterrer, W. 1986. Marine Fauna and Flora of Bermuda. John Wiley & Sons: New York.

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang.

Suparmi dan Sahri, A 2009. Mengenal Potensi Rumput Laut: Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek Industri dan Kesehatan. Sultan Agung. 44 (188) : 95-113.

Tjitrosoepomo, G. 1986. Taksonomi Tumbuhan. Bhratara Karya Aksara : Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Telaumbanua, O. 2007. Nias Infrastructure and Services Planning, Designand Construction Supervision (Nias PDCS). Gunungsitoli: BRR – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias.

Usman. 2004. Bahan Ajar Taksonomi Tingkat Rendah. Proyek Teaching Grant TPSDP Batch III. Jurusan Biologi Fak. MIPA Universitas Andalas Padang.


(14)

Waryono., T, 2000. Keragaman Jenis Biota Laut Segara Anakan Cilacap. Seminar Sehari Pemberdayaan Potensi Sumberdaya Laut, Sebagai Salah Satu Sumber PAD. Cilacap.

Winarno, F. G.1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pusat Sinar Harapan: Jakarta.


(15)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2015-Februari 2016 di Pesisir Perairan Pantai Kecamatan Lahewa, Nias Utara dan Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Deskripsi Area

Penelitian dilakukan dengan membagi lokasi penelitian menjadi 3 stasiun. Lokasi penelitian memiliki garis pantai yang panjang dengan karakteristik pantai yang berbeda-beda.

3.2.1. Stasiun 1

Stasiun ini merupakan perairan Pantai Tureloto (Gambar 1) yang merupakan daerah pariwisata dan ditemukan aktivitas nelayan. Secara geografis terletak pada N 1˚24’58.52”’ dan E 97˚4’3.83” BT. Stasiun ini didominasi oleh karang mati, campuran lumpur dan pasir berwarna putih.


(16)

3.2.2. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan perairan Pantai Turedawela (Gambar 2) yang merupakan daerah tanpa aktivitas penduduk, jauh dari pemukiman penduduk dan ditemukan adanya perkebunan kelapa. Secara geografis terletak pada N 1˚23’56.83” dan E 97˚6’40.60”. Substrat berupa karang mati dalam jumlah banyak, batu, kerikil, dan pasir berwarna cokelat.

Gambar 2. Pantai Turedawela

3.2.3. Stasiun 3

Stasiun ini merupakan perairan Pantai Toyolawa (Gambar 3) yang merupakan daerah pariwisata dan ditemukan adanya aktivitas nelayan. Secara geografis terletak pada N 1˚24’57.01” dan E 97˚3’50.60”. Substrat berupa campuran lumpur dan pasir putih, dan jika dibandingkan dari ketiga stasiun, sebaran karang mati merupakan yang terbanyak.


(17)

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 12.00 WIB sampai dengan selesai. Pengambilan sampel menggunakan metode “Line transect”, dengan menarik garis transek tegak lurus disepanjang garis pantai sepanjang 50 m (hingga kedalaman 1 m). Jumlah transek di setiap stasiun sebanyak 5 buah dengan jarak antar transek 30 m. Pada setiap transek dibuat plot berukuran 1 m x 1 m (metode kuadrat) sebanyak 5 buah, dengan jarak antar plot 10 m (jumlah plot pada setiap stasiun adalah 25 plot). Sampel pada tiap plot dihitung perkoloni, diambil perwakilan jenis, dan diawetkan menggunakan alkohol 70%.

3.3.2. Identifikasi Jenis Makroalga

Pengidentifikasian makroalga dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologi, seperti bentuk, ukuran, warna, percabangan talus, dan substrat melekatnya makroalga menggunakan buku acuan menurut Sterrer (1986) dan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2009).

3.3.3. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisika dan kimia perairan (parameter, alat dan bahan, satuan dan metode kerja dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Parameter, Alat dan Bahan, Satuan dan Metode Kerja yang digunakan

No. Parameter Alat dan bahan Satuan Metode Kerja

1. Suhu Thermometer Hg ̊C Diambil air dan diukur menggunakan

thermometer yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit, dibaca skalanya.

2. Salinitas Refraktometer ‰ Diambil setetes air sample,

diletakkan refraktometer, dibaca skalanya.

3. Intensitas cahaya

Luxmeter Candella Diletakkan luxmeter ke arah cahaya,

dibaca skalanya

4. Penetrasi

cahaya

Keping sechii M Dimasukkan keeping sechii ke dalam

air hingga terlihat samar, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke air.

5. Derajat

keasaman

pH meter - Dimasukkan pH meter ke dalam air

yang diambil hingga skala konstan, dibaca skalanya.

6. Oksigen

terlarut

Botol Winkler,

MnSO4, KOH KI,

H2SO4,

mg/L Air diambil dan dimasukkan ke

dalam botol Winkler, kemudian dilakukan pengukuran dan titrasi


(18)

Na2SO2O30,00125

N, amilum

dengan Metode Winkler.

7. BOD5 Botol Winkler,

MnSO4, KOH KI,

H2SO4,

Na2SO2O30,00125

N, amilum

mg/L Air diambil dan dimasukkan ke

dalam botol alkohol dalam kondisi

tidak ada gelembung udara.

Diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20̊C. Dihitung nilai BOD dengan cara yang sama seperti pada pengukuran Oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung

dengan mengurangkan DO awal dengan DO akhir.

8. Kejenuhan

Oksigen

Botol Winkler,

MnSO4, KOH KI,

H2SO4,

Na2SO2O30,00125

N, amilum

% Diukur dengan Metode Winkler dan

melihat tabel kejenuhan oksigen yang dihitung dengan melihat konsentrasi oksigen yang diukur. Menggunakan rumus:

Kejenuhan = [ ]

[ ] x 100% Keterangan:

O2(u) = nilai konsentrasi oksigen

yang diukur (mg/L)

O2(u) = nilai konsentrasi oksigen

sebenarnya sesuai dengan besar suhu.

9. Nitrat dan

Fosfat

mg/L Dihitung menggunakan metode

Spektrofotometer

3.4. Analisis Data

Data yang didapat di lapangan selanjutnya dianalisa menggunakan rumus menurut Fachrul (2007) sebagai berikut:

a. Kerapatan Jenis Makroalga (K) K =

dimana:

Ki = Kerapatan jenis ke-i

ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i A = Luas areal total pengambilan sampel (m2)

b. Kerapatan Relatif Jenis Makroalga (KR)

KR =

×

100 % dimana :

KR = Kerapatan Relatif ni = Jumlah individu ke-i


(19)

c. Frekuensi Kehadiran Makroalga (FK) K =

×100 % dimana:

FK = Frekuensi Kehadiran

Pi = Jumlah plot ditemukan jenis ke-i

⅀p = Jumlah total plot FK:

0-25% : sangat jarang 25-50% : jarang 50-100% : banyak

75%-100% : sangat banyak

d. Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener: S

H’ = - Σ ( pi (ln pi); pi = ni/N

dimana:

H’ = Indeks keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu jenis yang diamati pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu

S = Jumlah jenis

Jika nilai H’< 1 , maka keanekaragaman jenis pada suatu transek sedikit atau rendah, jika H’< 3, maka keanekaragaman jenis pada suatu transek sedang dan bila H’> 3, maka keanekaragaman jenis tinggi.

e. Indeks Keseragaman (E)

E =

dimana:

H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis H maks = Indeks Keanekaragaman maksimum

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0-1. Bila mendekati 0, ada satu spesies yang mendominasi. Nilai E mendekati 1 menandakan sebaran individu tiap jenis merata.


(20)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS = × 100%

dengan:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B

Apabila IS =75-100% : sangat mirip 50-75% : mirip 25-50% : tidak mirip

25 : sangat tidak mirip

g. Analisis korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara keragaman dengan faktor fisik kimia perairan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSSVer.16.00.


(21)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Klasifikasi Makroalga

Penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun penelitian di Perairan Pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara, ditemukan spesies makroalga seperti yang terlihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Klasifikasi Makroalga yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelas Ordo Famili Spesies Stasiun

1 2 3

Chlorophyceae Bryopsidales Halimedaceae Halimeda macroloba + - +

Halimeda opuntia + + +

Caulerpales Caulerpaceae Caulerpa racemosa + + -

Caulerpa taxifolia - + -

Dasycladales Dasycladaceae Neomeris annulata - + -

Phaeophyceae Dictyotales Dictyotaceae Dictyota ciliolate - + -

Padina minor + + +

Ectocarpales Scytosiphonaceae Colpomenia sinuosa - + -

Fucales Sargassaceae Sargassum cristaefolium - + -

Turbinaria conoides - + +

Rhodophyceae Corallinales Corallinaceae Amphiroa ephedraea - + -

Amphiroa fragillisima - + -

Gelidialles Gelidiellaceae Gelidiella acerosa - + -

Gigartinales Hypneaceae Hypnea choroides + - +

Solieraceae Eucheuma arnoldii - + -

Gracillariales Gracillariaceae Gracillaria canaliculata - + -

Gracillaria salicornia + - +

6 14 6

Keterangan: + : ditemukan - : tidak ditemukan

Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan jenis makroalga yang ditemukan pada ke-3 stasiun penelitian. Stasiun 2 merupakan daerah yang memiliki jumlah jenis makroalga tertinggi, yaitu 14 spesies sedangkan stasiun 1 dan 3 memiliki jumlah jenis terendah, masing-masing 6 spesies makroalga. Tingginya jumlah makroalga yang didapatkan pada stasiun 2 disebabkan karena stasiun ini memiliki nilai DO, kejenuhan oksigen, salinitas, kadar nitrat dan kuat arus yang paling tinggi, dan nilai pH yang paling rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena stasiun 2 merupakan daerah tanpa aktivitas dan jauh dari


(22)

pemukiman penduduk. Connel (1974) menjelaskan bahwa suatu lingkungan perairan dalam kondisi stabil akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari semua spesies yang ada, sebaliknya suatu lingkungan perairan yang berubah-ubah akan menyebabkan penyebaran jenis rendah dan cenderung ada individu yang dominan.

Dari hasil penelitian terdapat 2 spesies makroalga yang ditemukan pada ke-3 stasiun penelitian. Spesies tersebut adalah Halimeda opuntia dan Padina minor. Hal ini kemungkinan disebabkan karena spesies ini memiliki kisaran toleransi hidup yang cukup luas. Menurut Kadi (2008), makroalga genus

Halimeda memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kondisi perairan sehingga menyebabkan genus ini mampu bertahan hidup dan membentuk populasi yang tinggi. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2001) menjelaskan, spesies

Padina minor dapat tumbuh meluas pada kondisi perairan yang memiliki substrat karang mati, batuan dan pasir dengan menggunakan cakram pipih. Keadaan ini menyebabkan makroalga jenis ini hidup di berbagai kondisi perairan.

Pada stasiun 1 dan 3 yang merupakan daerah dengan jumlah jenis makroalga terendah ditemukan beberapa spesies makroalga yang sama. Spesies-spesies tersebut adalah Halimeda macroloba, Hypnea choroides dan Gracilaria salicornia. Menurut Mubarak (1990), tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenis-jenis alga laut Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp. dan Hypnea sp. Bila dibandingkan dengan stasiun 2, substrat pada stasiun 1 dan 3 lebih mendukung untuk pertumbuhan jenis-jenis makroalga tersebut. Adanya pengaruh faktor fisik-kimia perairan juga menyebabkan ke-3 spesies tersebut tidak dapat ditemukan pada stasiun 2. Menurut Nybakken (1992), fotosintesis bagi tumbuhan darat maupun laut seperti alga, bergantung pada adanya cahaya matahari. Laju fotosintesis tinggi apabila intensitas cahaya tinggi dan sebaliknya. Selanjutnya Dawes (1981) menjelaskan bahwa pertumbuhan rumput laut jenis Gracillaria

akan semakin baik bila perairan semakin terang, pertumbuhan maksimal

Gracillaria membutuhkan intensitas cahaya yang relatif tinggi. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada stasiun 1 dan 3 relatif sangat tinggi, dan intensitas cahaya


(23)

pada stasiun 2 cenderung rendah. Hal inilah yang memungkinkan spesies-spesies ini hanya ditemukan pada stasiun 1 dan 3.

Pada stasiun 1 terdapat 6 spesies yang ditemukan dari total seluruh makroalga yang ditemukan pada ke-3 stasiun penelitian. Spesies-spesies tersebut adalah : Halimeda macroloba, Halimeda opuntia, Caulerpa racemosa, Padina minor, Hypnea choroides dan Gracillaria salicornia. Rendahnya jumlah jenis yang ditemukan pada stasiun ini sangat dipengaruhi oleh faktor fisika kimia perairan. Hasil pengukuran faktor fisika kimia perairan (Tabel 6) menunjukkan stasiun 1 memiliki nilai DO, kejenuhan oksigen, BOD5, salinitas, kadar nitrat dan kuat arus yang paling rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Faktor-faktor ini sangat berhubungan satu sama lain. Rendahnya hasil pengukuran ini disebabkan karena stasiun penelitian ini merupakan daerah pariwisata dan ditemukan adanya aktivitas nelayan. Suin (2002) menjelaskan oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air, sehingga seringkali dijadikan sebagai faktor pembatas.

Pada stasiun 2 terdapat 14 spesies makroalga yang ditemukan. Spesies-spesies tersebut adalah Halimeda opuntia, Caulerpa racemosa, Caulerpa taxifolia, Neomeris annulata, Dictyota ciliolate, Padina minor, Colpomenia sinuosa, Sargassum cristaefolium, Turbinaria conoides, Amphiroa ephedraea, Amphiroa fragillisima, Gelidiella acerosa, Eucheuma arnoldii dan Gracillaria canaliculata. Tingginya jumlah jenis yang ditemukan pada stasiun ini disebabkan oleh kondisi perairan yang mendukung pertumbuhan dan penyebaran jenis makroalaga.

Pada stasiun 3 terdapat 6 spesies makroalga yang ditemukan. Spesies-spesies tersebut adalah Halimeda macroloba, Halimeda opuntia, Padina minor, Turbinaria conoides, Hypnea choroides dan Gracillaria salicornia. 5 dari 6 spesies yang ditemukan merupakan spesies yang juga ditemukan pada stasiun 1. Kondisi perairan yang merupakan daerah pariwisata dan ditemukan aktivitas nelayan serta letak perairan yang yang tidak terlalu jauh memungkinkan kondisi faktor fisika kimia perairan cenderung sama. Hasil pengukuran faktor fisika kimia perairan menunjukkan adanya pengaruh terhadap jenis makroalga yang ditemukan. Menurut Suin (2002), faktor fisika dan kimia air sangat berpengaruh


(24)

terhadap organisme air, berbeda dengan faktor iklim faktor fisika kimia tanah. Perubahan faktor fisika kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang menpengaruhi faktor fisika kimia. Waryono (2000) selanjutnya menjelaskan, selain faktor eksternal (salinitas, substrat, nutrisi, arus dan intensitas cahaya), dijumpai pula faktor internal yang menyebabkan suatu jenis alga makro laut dapat tumbuh di suatu tempat, yaitu kemampuan jenis untuk beradaptasi dengan substrat dan lingkungan baru. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya jumlah jenis makroalga yang ditemukan pada stasiun penelitian ini.

4.2. Nilai Kerapatan Makroalga (K), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makroalga

Hasil perhitungan jumlah makroalga pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makroalga, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

Taksa Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR FK K KR FK K KR FK

Halimeda macroloba 17,2 19,9 100 - - - 40,3 28,3 100

Halimeda opuntia 58,8 68,2 100 3,6 13 60 82,6 58 100

Caulerpa racemosa 1,6 1,8 40 0,2 0,7 40 - - -

Caulerpa taxifolia - - - 1,3 4,7 80 - - -

Neomeris annulata - - - 3,2 12 100 - - -

Dictyota ciliolate - - - 0,6 2,1 20 - - -

Padina minor 5 5,8 80 2,6 9,4 100 6,8 4,7 40

Colpomenia sinuosa - - - 4,4 16 80 - - -

Sargassum cristaefolium - - - 3,7 13,4 100 - - -

Turbinaria conoides - - - 1,6 5,8 60 5,5 3,8 20

Amphiroa ephedraea - - - 1,2 4,3 60 - - -

Amphiroa fragillisima - - - 2,7 9,7 100 - - -

Gelidiella acerosa - - - 0,68 2,4 40 - - -

Hypnea choroides 0,2 0,2 20 - - - 1,9 1,3 20

Eucheuma arnoldii - - - 1,2 4,3 60 - - -

Gracillaria canaliculata - - - 0,7 2,5 80 - - -

Gracillaria salicornia 3,3 3,8 40 - - - 5,3 3,7 60

Jumlah 86,1 100 27,6 100 142,4 100

Berdasarkan Tabel 3 diketahui spesies yang memiliki Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) tertinggi diantara seluruh stasiun penelitian adalah Halimeda opuntia yang didapatkan pada stasiun 3 sebesar 82,6 ind/m2 (K), 58% (KR) dan 100% (FK). Menurut Kadi (2008), keberadaan makroalga genus


(25)

Halimeda banyak dijumpai di paparan terumbu karang dengan kedalaman kurang 2 m. Spesies ini tahan terhadap kekeringan yang bersifat sementara waktu. Daya adaptasi ini menyebabkan spesies ini mampu bertahan hidup dan membentuk populasi yang tinggi.

Spesies yang memiliki Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) yang terendah diantara seluruh stasiun penelitian adalah Hypnea choroides yang didapatkan pada stasiun 1 sebesar 0,2 ind/m2 (K), 0,2% (KR) dan 20% (FK). Penelitian Papalia (2012) melaporkan makroalga jenis

Gracillaria, Hypnea, Gelidiella, Halimenia, Amphiroa, Acanthophora,

Galaxaura, Trioleokarpa (alga merah), Sargassum, Turbinaria, Padina australis, (algae coklat), Codium intricatum, Caulerpa sertularoides, Caulerpa serrulata

dan Caulerpa racemosa (alga hijau) ternyata mulai muncul pada bulan Desember (awal musim peralihan I) dengan puncak pertumbuhannya terjadi pada bulan Juli-Agustus, dan mulai menghilang pada akhir bulan Oktober (musim barat). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kepadatan dan keragaman spesies makroalga pada musim Timur hingga musim peralihan II (bulan April-September) lebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan sampel yang dilakukan pada bulan November memungkinkan jumlah kehadiran Hypnea choroides rendah.

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makroalga

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makroalga di Setiap Stasiun Penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makroalga

Stasiun

1 2 3

Keanekaragaman (H’) 0,953 2,396 1,118

Keseragaman (E) 0,158 0,171 0,186

Berdasarkan Tabel 4 diketahui Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi diantara seluruh stasiun penelitian terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 2,396, sedangkan indeks keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,953. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada stasiun penelitian tergolong sedang.


(26)

Keanekaragaman jenis makroalga ditentukan pula oleh keanekaragaman habitat (substrat). Kestabilan, kekerasan, tekstur permukaan dan porositas substrat penting artinya bagi pertumbuhan yang mendukung kelimpahannya. Keanekaragaman jenis makroalga di daerah pasang-surut (intertidal) antara lain disebabkan pula oleh heterogenitas substratnya. Di tempat-tempat yang memiliki substrat pecahan karang batu mati, karang masif dan pasir yang lebih stabil mempunyai keanekaragaman alga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat-tempat yang hanya bersubsrat pasir dan lumpur (Atmadja et al. 1996). Stasiun 2 memiliki variasi substrat yang bervariasi, yaitu karang mati dalam jumlah banyak, batu, kerikil, dan pasir berwarna cokelat.

Indeks keseragaman (E) tertinggi terdapat pada stasiun 3, sebesar 0,186, sedangkan indeks keseragaman (E) terendah terdapat pada stasiun 1, sebesar 0,158. Indeks keseragaman (E) ke-3 stasiun penelitian berkisar antara 0,158-0,186, sehingga tergolong keseragaman tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keseragaman antar spesies rendah, dimana kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.

Menurut Odum (1994), semakin kecil indeks keseragaman (E), maka semakin kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, atau dengan kata lain penyebaran jumlah individu tidak sama dan ada kemungkinan didominasi oleh jenis tertentu.

4.4. Indeks Similaritas (IS) Makroalga

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh Indeks similaritas makroalga, seperti terlihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Indeks Similaritas Makroalga

Stasiun

1 2 3

Stasiun 1 - 30% 83,3%

Stasiun 2 - - 30%

Stasiun 3 - - -

Tabel 5 menunjukkan indeks similaritas tertinggi diantara seluruh daerah penelitian terdapat pada stasiun 3, dengan nilai 83,3%, sedangkan stasiun 2 dan 3 memiliki nilai yang sama, yaitu 30 %. Hal ini menunjukkan bahwa spesies


(27)

makroalga yang ditemukan pada stasiun 1 dan 3 tergolong mirip apabila dibandingkan dengan spesies makroalga yang ditemukan pada stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan oleh letak perairan antara stasiun 1 dan 3 yang tidak begitu jauh bila dibandingkan dengan stasiun 2 yang memungkinkan kondisi faktor fisika-kimia perairan cenderung sama sehingga spesies yang ditemukan pun cenderung sama.

Menurut Krebs (1985), indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makroalga yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makroalga yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makroalga antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

4.5. Faktor Fisik Kimia Perairan

Berdasarkan pengukuran terhadap faktor fisik kimia perairan, diperoleh nilai faktor fisik kimia seperti terlihat pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada 3 Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

1. Suhu ˚C 30 26 28

2. Salinitas ‰ 27 34 35

3. Intensitas Cahaya Candella 917x200.000 729x200.000 818x200.000

4. Penetrasi Cahaya M 1,28 0,97 1,12

5. pH 8 7,2 7,9

6. Kejenuhan

Oksigen % 79,68 85,11 83,87

7. Kelarutan Oksigen

(DO) mg/L 6 6,8 6,5

8. BOD5 mg/L 1,6 1 1,2

9. Kadar Nitrat mg/L 4,6 5,2 5,0

10. Kadar Fosfat mg/L <0,03 <0,03 <0,03

11. Kuat arus cm/s 23 38 27

12. Substrat Ditemukan

karang mati dalam jumlah banyak, lumpur, pasir berwarna putih

Ditemukan karang mati dalam jumlah banyak, pasir berwarna cokelat

Ditemukan karang mati dalam jumlah sangat banyak,

lumpur dan

pasir berwarna putih

Keterangan :

Stasiun 1 : Pantai Indah Tureloto (Daerah pariwisata, ditemukan aktivitas nelayan)

Stasiun 2 : Pantai Turedawela (Daerah tanpa aktivitas penduduk, jauh dari pemukiman penduduk, daerah perkebunan kelapa)


(28)

4.5.1. Suhu

Hasil pengukuran suhu perairan pada stasiun 1 adalah 30˚C, stasiun 2 sebesar 26˚C dan pada stasiun 3 sebesar 28˚C. Tingginya suhu pada stasiun 1 berbanding lurus dengan tingginya nilai intensitas cahaya, yaitu sebesar 917x200.000, dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang dilakukan ketika panas terik. Sedangkan rendahnya suhu pada stasiun 2 juga berbanding lurus dengan rendahnya nilai intensitas cahaya, yaitu sebesar 729x200.000 candella, dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang dilakukan ketika mendung.

Suhu ekosistem akuatik secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya (Barus, 2004).

4.5.2. Salinitas

Hasil pengukuran salinitas pada stasiun 1 adalah 27‰, stasiun 2 adalah 34‰ dan stasiun 3 adalah 35‰. Adanya perbedaan salinitas pada ke 3 stasiun penelitian disebabkan oleh keberadaan aliran sungai. Rendahnya salinitas pada stasiun 1 disebabkan oleh ditemukannya beberapa aliran sungai kecil yang menyebabkan adanya pencampuran air laut dengan air tawar, tidak seperti pada stasiun 2 dan 3 dimana tidak ditemukan aliran sungai.

Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987).

4.5.3. Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya

Hasil pengukuran Intensitas cahaya yang tertinggi dari 3 stasiun penelitian adalah pada stasiun 1, yaitu sebesar 917x200.000 candella, dan terendah pada stasiun 2 yaitu sebesar 729x200.000 candella. Sedangkan penetrasi cahaya yang tertinggi juga ditemukan pada stasiun 1, yaitu sebesar 1,28 m dan terendah pada stasiun 2, yaitu sebesar 0,97 m. Tingginya intensitas cahaya pada stasiun 1 disebabkan oleh kondisi pengambilan sampel yang berbeda dibandingkan stasiun lainnya, tepat ketika matahari bersinar sangat terik. Nilai intensitas cahaya ini berbanding lurus dengan tingginya nilai penetrasi cahaya yang kemungkinan


(29)

disebabkan oleh kondisi perairan yang jernih. Sedangkan pada stasiun 2, rendahnya intensitas cahaya disebabkan oleh waktu pengambilan sampel yang cenderung mendung. Selanjutnya Suin (2002) melaporkan bahwa penetrasi cahaya akan berkurang jika kondisi perairannya keruh.

4.5.4. pH

Hasil pengukuran pH pada stasiun 1 sebesar 8, stasiun 2 sebesar 7,2 dan stasiun 3 sebesar 7,9. pH tertinggi ditemukan pada stasiun 1, yaitu sebesar 8, sedangkan nilai pH terendah adalah pada stasiun 2, yaitu sebesar 7,2. Tingginya pH air pada stasiun 1 disebabkan oleh kandungan kelarutan oksigen. Semakin meningkat nilai kelarutan oksigen pada suatu perairan, maka nilai pH semakin menurun (Barus, 2004). Namun demikian, kisaran pH pada seluruh lokasi penelitian secara umum masih mendukung kehidupan makroalga. Chapman (1997) menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6,8-9,6 untuk hidup.

4.5.5. Kejenuhan Oksigen

Hasil pengukuran kejenuhan oksigen tertinggi pada stasiun 2 sebesar 85,11%, dan terendah pada stasiun 1, sebesar 79,68%. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 1 dapat disebabkan oleh nilai kelarutan oksigen (DO) pada lokasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.

Menurut Odum (1994), nilai kejenuhan oksigen menggambarkan keadaan oksigen pada suatu perairan. Semakin tinggi nilai kelarutan oksigen maka semakin besar pula nilai kejenuhannya. Semakin tinggi nilai kejenuhan oksigen maka semakin kecil defisit oksigen yang terdapat pada suatu perairan, demikian pula sebaliknya.

4.5.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Hasil pengukuran DO pada stasiun peneitian 1 sebesar 6 mg/L, stasiun 2 sebesar 6,8 mg/L, dan stasiun 3 sebesar 6,5mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, bahwa DO perairan untuk mendukung kehidupan biota laut adalah >5 mg/L. Hal ini


(30)

menunjukkan bahwa DO perairan pantai Kecamatan Lahewa masih bagus untuk kehidupan biota laut, dalam hal ini adalah makroalga. Tingginya nilai DO pada stasiun 2 kemungkinan disebabkan oleh karena lokasi ini merupakan daerah tanpa aktivitas penduduk, misalnya tidak ditemukan aktifitas pariwisata dan aktivitas nelayan, tidak seperti pada stasiun penelitian 1 dan 3.

4.5.7. BOD5

Hasil pengukuran BOD5 pada 3 lokasi penelitian berkisar antara 1-1,6 mg/L. Stasiun dengan nilai BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 1,6 mg/L dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai 1 mg/L. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 2 kemungkinan disebabkan oleh nilai kuat arus yang tinggi. Kuat arus yang tinggi menyebabkan pencampuran massa air dan mengakibatkan kandungan senyawa organik naik ke permukaan sehingga diperlukan jumlah oksigen yang tinggi untuk menguraikannya.

Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, batas BOD5 perairan laut untuk mendukung biota laut adalah 20 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran BOD5 di perairan pantai di Kecamatan Pantai Lahewa mendukung untuk kehidupan biota laut.

Menurut Wirosarjono (1974), nilai BOD dengan kisaran 0-10 termasuk dalam kategori pencemaran rendah, nilai 10-20 termasuk dalam kategori pencemaran sedang dan nilai 25 termasuk dalam kategori pencemaran tinggi. Hasil pengukuran nilai BOD5 menunjukkan bahwa ke 3 stasiun termasuk dalam kategori pencemaran rendah.

4.5.8. Kadar Nitrat dan Fosfat

Hasil pengukuran kadar nitrat pada stasiun penelitian 1, 2 dan 3 secara berturut-turut adalah 4,6 mg/L, 5,2mg/L dan 5,0 mg/L. Menurut Riani (1994), kandungan nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh setiap jenis alga untuk keperluan pertumbuhannya.

Sedangkan kadar fosfat pada ketiga stasiun penelitian adalah <0,03. Barus (2004) menyatakan, fosfat merupakan unsur hara yang sangat penting dalam


(31)

pertukaran energi dari organisme yang sangat dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikronutrien), sehingga fosfat berfungsi sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisme. Menurut Aslan (1998), kisaran optimum kandungan fosfat yang sesuai dengan keberadaan makroalga berkisar antara 0,01 mg/L–2,0 mg/L. Artinya jika kadar fosfat pada suatu perairan melewati batasan optimum akan mengganggu keberadaan makroalga pada suatu perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan mendukung pertumbuhan makroalga.

4.5.9. Kuat Arus

Hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun penelitian 1 sebesar 23 cm/s, stasiun 2 sebesar 38 cm/s dan stasiun 3 sebesar 27 cm/s. Menurut Marianingsih et al. (2013), kuat arus ideal untuk pertumbuhan makroalga adalah sebesar 20-40 m/s. Jadi, kecepatan kuat arus di perairan pantai di Kecamatan Lahewa mendukung pertumbuhan dan penyebaran makroalga.

4.5.10. Substrat

Parameter fisik yang diamati dalam penelitian ini adalah substrat. Jenis substrat pada ketiga stasiun penelitian relatif sama. Pada stasiun penelitian 1 ditemukan karang mati dalam jumlah banyak, campuran lumpur dan pasir berwarna putih. Pada stasiun penelitian 2 ditemukan karang mati dalam jumlah banyak, kerikil dan pasir berwarna coklat. Pada stasiun penelitian 3 substrat berupa karang mati dalam jumlah sangat banyak, campuran lumpur dan pasir berwarna putih. Kehadiran makroalga alami sangat ditentukan oleh habitatnya, terutama tipe substrat tempat menempel atau melekat. Bold (1985) menyatakan bahwa makrolaga hidup sebagai makrobentos dengan melekatkan diri pada substrat yang bervariasi seperti batu-batuan, karang, pasir, dan lumpur. Dengan demikian, substrat-substrat yang terdapat pada masing-masing stasiun sesuai untuk tempat hidup makroalga.

4.6. Analisis Korelasi

Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan Indeks Keragaman makroalga dengan metode komputerisasi SPSS ver.16.00 dapat dilihat pada Tabel 7:


(32)

Tabel 7. Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan Indeks Keragaman makroalga

Parameter Fisik-Kimia H

Suhu -0.914

Salinitas +0.491

DO +0.846

BOD5 -0.820

pH -1000

Penetrasi cahaya -0.906

Kejenuhan Oksigen +0.750

Nitrat +0.820

Fosfat -0.104

Intensitas cahaya -0.901

Kuat arus +0.988

Keterangan :- = korelasi negatif (berlawanan) += korelasi positif (searah)

Hasil analisis yang didapat menunjukkan bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi sangat kuat terhadap keragaman makroalga adalah suhu, DO, BOD5, pH, penetrasi cahaya, nitrat, intensitas cahaya dan kuat arus.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa suhu dan keanekaragaman memiliki korelasi tidak searah. Meskipun suhu mampu mempercepat metabolisme makroalga, namun jika melebihi batas optimum mampu mengganggu pertumbuhan dan distribusi makroalga. Menurut Suin (2002), berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Dawes (2006) menyatakan suhu normal untuk pertumbuhan makroalga adalah 25–35˚C. Suhu optimum yang sesuai untuk pertumbuhan makroalga di perairan laut tropis adalah 25 ̊C. Terdapat beberapa jenis makroalga memiliki suhu optimum yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kisaran tersebut.

Hasil korelasi DO dan keanekaragaman makroalga menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai DO maka semakin tinggi indeks keragaman. Menurut Simanjuntak (2009), Dissolved Oxygen (DO) digunakan untuk respirasi. Penurunan kadar oksigen terlarut dalam jumlah yang sedang akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup dalam air. Demikian pula sebaliknya, semakin


(33)

meningkat kadar oksigen terlarut dalam jumlah sedang dalam air, maka akan meningkat pula kegiatan fisiologisnya.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin rendah nilai BOD5 maka semakin bertambah nilai keanekaragaman. Menurut Nybakken (1992), kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh proses sedimentasi zat- zat yang terdiri atas lumpur serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya zat-zat tersuspensi ini ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya produktivitas primer perairan.

Pengukuran pH di lapangan menunjukkan bahwa semakin tinggi pH, semakin rendah indeks keanekaragaman. Kondisi pH perairan yang semakin tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan distribusi makroalga. Menurut Gunawan (2012), berdasarkan nilai rerata laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan makroalga paling baik terjadi pada kondisi pH 9. Hal tersebut sesuai dengan kisaran pH optimum untuk pertumbuhan alga yaitu pH 7–9. Kondisi pH asam dalam sel dapat mengakibatkan gangguan pada proses biokimia sel yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makroalga tersebut.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil semakin tinggi penetrasi cahaya,, semakin berkurang indeks keanekaragaman. Penetrasi cahaya akan berkurang jika kondisi perairannya keruh, dan akan bertambah jika kondisi perairannya jernih. Nybakken (2002) menjelaskan bahwa kedalaman yang lebih dangkal mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kedalaman yang cukup dalam (Suin, 2002). Menurut Sastrawijaya (2001), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari yang masuk pada suatu perairan disebabkan karena banyaknya faktor, antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.

Korelasi kadar nitrat terhadap keanekaragaman makroalga menunjukkan hasil; semakin tinggi kadar nitrat maka semakin tinggi indeks keanekaragaman. Ketersediaan nitrat yang cukup di perairan mampu meningkatkan metabolisme makroalga. Menurut Effendie (2003), nitrat (NO3) adalah bentuk senyawa


(34)

nitrogen yang merupakan senyawa yang stabil. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan.

Hasil korelasi intensitas cahaya terhadap keanekaragaman menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas cahaya, maka semakin rendah indeks keanekaragaman. Menurut Kawaroe et al. (2010), intensitas cahaya memegang peranan yang penting dalam pertumbuhan organisme air. Cahaya dibutuhkan sebagai energi untuk melakukan fotosintesis. Namun intensitas cahaya yang diperlukan alga untuk tumbuh secara maksimum berbeda-beda. Misalnya pada alga hijau biru yang akan melimpah pada intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kuat arus dan keanekaragaman makroalga berbanding searah. Semakin tinggi kuat arus, maka semakin tinggi indeks keanekaragaman, dan sebaliknya. Kuat arus berperan penting dalam pertumbuhan dan penyebaran makroalga di perairan. Kecepatan arus air menyebabkan pencampuran massa air yang dapat menghantar zat-zat makanan serta nutrien yang sangat diperlukan oleh makroalga dalam melangsungkan hidupnya (Aslan, 1998).


(35)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap keragaman makroalga di pesisir perairan pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Makroalga yang ditemukan 17 spesies, terdiri dari 3 kelas, 10 ordo dan 11 famili.

b. Spesies yang memiliki Nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makroalga tertinggi diantara seluruh stasiun penelitian adalah spesies Halimeda opuntia.

c. Keanekaragaman jenis makroalga tergolong sedang dan keseragaman jenis tergolong keseragaman tidak merata.

d. Indeks similaritas tertinggi terdapat antara stasiun 1 dan 3

e. Suhu, DO, BOD5, pH, penetrasi cahaya, nitrat, intensitas cahaya dan kuat arus berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman makroalga.

5.2. Saran

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi makroalga yang ditemukan berkaitan dengan kegiatan budidaya sumber daya perairan laut.


(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Makroalga

Alga merupakan salah satu sumber daya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut (Bold and Wyne, 1985). Alga adalah organisme holoplankton yang hidup bebas terapung dalam air dan selama hidupnya merupakan plankton. Alga (ganggang) memiliki pigmen hijau daun yang disebut klorofil sehingga dapat melakukan fotosintesis. Selain itu juga memiliki pigmen-pigmen tambahan lain yang dominan. Dalam perairan alga merupakan penyusun fitoplankton yang hidup melayang-layang di dalam air, tetapi juga dapat hidup melekat di dasar perairan (Odum, 1994).

Makroalga adalah kelompok alga multiseluler yang tubuhnya berupa talus yang tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini hidup di perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari dengan menempel pada substrat yang keras (Asriyana dan Yuliana, 2012). Secara ekologi, komunitas makroalga mempunyai peranan dan manfaat terhadap lingkungan sekitarnya, yaitu sebagai tempat asuhan dan perlindungan bagi jenis-jenis ikan tertentu (nursery ground), sebagai tempat mencari makanan alami ikan-ikan dan hewan herbivor (feeding grounds) (Bold and Wayne, 1985).

2.2. Habitat Hidup Makroalga

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena ditemukan berbagai ekosistem mulai dari daerah pasang surut, estuari, hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dan sebagainya. Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara darat dan laut yang meliputi wilayah sekitar 8% permukaan bumi (Fachrul, 2007).

Pada perairan dangkal hingga kedalaman 40 m terdapat salah satu ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan laut, baik perairan dangkal maupun


(37)

laut dalam. Ekosistem terumbu karang (coral reef), yang merupakan nama ekosistem tersebut merupakan perairan paling produktif di perairan laut tropis. Luas ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 85.707 km2, yang berarti menyimpan kekayaan alam yang sangat besar. Terumbu karang merupakan sumber kehidupan bagi jutaan nelayan dan masyarakat, serta sumber devisa bagi negara. Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi yang selama ini ditangkap di daerah terumbu karang antara lain kerapu, kakap, napoleon dan lain sebagainya. Sementara biota nonikan yang ditangkap/diambil di daerah terumbu karang diantaranya; kima, kerang, kerang mutiara, susu bundar, teripang, bulu babi, lobster, sotong dan rumput laut. Beberapa spesies rumput laut tersebut adalah Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Hypnea (Kordi, 2010).

2.3. Jenis-jenis Makroalga

Rumput laut atau seaweed merupakan salah satu tumbuhan laut yang tergolong dalam makroalga benthik yang banyak hidup melekat di dasar perairan. Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisi

Thallophyta. Klasifikasi rumput laut berdasarkan kandungan pigmen terdiri dari 4 kelas, yaitu rumput laut hijau (Chlorophyta), rumput laut merah (Rhodophyta), rumput laut coklat (Phaeophyta) dan rumput laut pirang (Chrysophyta) (Suparmi & Sahri, 2009).

2.3.1. Alga Hijau (Chlorophyta)

Chlorophyta atau alga hijau merupakan salah satu kelompok alga terbesar dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Alga hijau ditemui hidup dalam perairan dengan berbagai ragam kondisi, mulai dari perairan tawar sampai perairan laut. Bentuk hidupnya juga bervariasi, mulai dari bentuk yang uniseluler, berkoloni, berfilamen, berbentuk lembaran ataupun berupa tabung (Usman, 2004). Sel-sel Ganggang hijau mempunyai kloroplas yang berwarna hijau, mengandung klorofil a dan b serta karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung dan lemak. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dengan membentuk zoospora dan secara seksual dengan anisogami. Chlorophpyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang yang bercabang-cabang atau


(38)

tidak, ada pula yang membentuk koloni yang menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1986).

Chlorophyceae terdiri dari 12 ordo dan ordo yang umum sebagai alga epilitik adalah ordo Volvocales dan Ulotrichales. Volvocales hidup berupa sel tunggal motil atau berkoloni, memiliki flagel 2, 4 atau 6. Dinding sel dibangun oleh selulosa, khloroplas seperti cawan, berbentuk bintang atau benang dan memiliki pirenoid. Mengandung khloropil a dan b, reproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel dan secara seksual dengan isogami, anisogami atau oogami. Habitat di air tawar, payau dan laut serta tempat yang lembab. Contoh spesiesnya adalah Volvox sp. dengan ciri-ciri koloni besar lebih dari 1 mm terdiri dari ribuan sel. Ulotrichales berbentuk filamen tidak bercabang, sel uninukleat atau multinukleat, memiliki holdfast, kloroplas seperti pita, berkelompok di pinggir sel. Memiliki klorofil a dan b karoten serta santofil. Reproduksi secara aseksual dengan fragmentasi talus, pembentukan zoospora dan secara seksual dengan isogami, anisogami atau oogami. Hidup sebagai epilitik atau planktonik di perairan tawar, laut dan payau. Contoh spesiesnya adalah Ulothrix sp. (Usman, 2004).

2.3.2. Alga merah (Rhodophyta)

Rhodophyceae memiliki warna merah sampai ungu. Kadang-kadang juga lembayung atau pirang kemerah-merahan. Kromatoforanya berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna itu tertutup oleh zat warna merah yang mengadakan fluoresensi, yaitu fikoeritrin. Pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Sebagian asimilasi terdapat sejenis karbohidrat yang disebut tepung florid, yang juga merupakan hasil polimerasi glukosa, berbentuk bulat, tidak larut dalam air, seringkali berlapis-lapis jika dibubuhi yodium berwarna kemerah-merahan. Tepung ini sifatnya dekat dengan glikogen dan tidak terdapat dalam kromatoforanya, melainkan pada permukaannya. Selain itu juga terdapat floridosida (senyawa gliserin dan galaktosa) dan tetes-tetes minyak. Kadang-kadang juga terdapat pirenoid.

Rhodophyceae kebanyakan hidup di dalam air laut, terutama dalam lapisan lapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya bergelombang pendek.


(39)

Hidupnya bentos, melekat pada suatu substrat dengan benang-benang pelekat atau cakram pelekat (Tjitrosoepomo, 1994).

Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat 17 marga terdiri dari 34 jenis. Berikut ini marga-marga alga merah yang ditemukan di Indonesia diantaranya adalah:

1) Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicifera, dan A. muscoides. Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya. 2) Actinotrichia (A. fragilis) terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang

mati. Sebarannya luas dan terdapat pula di padang lamun.

3) Anansia (A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat hidup melimpah di padang lamun.

4) Amphiroa (A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir atau menempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun. Sebarannya luas. 5) Chondrococcus (C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di ujung

luar rataan terumbu karang yang senantiasa terendam air.

6) Corallina belum diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu yang biasanya terkena ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas terdapat antaranya di pantai selatan Jawa.

7) Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasang-surut bulan setengah. Alga ini mempunyai talus yang silindris, berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa jenis. Talusnya licin. Warna alganya ada yang tidak merah, tetapi coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah. Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni E. denticulatum (E. spinosum), E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii), dan E. serra.

8) Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G. subverticillata, dan G. rugosa. Alga ini melekat pada substrat batu di rataan terumbu.

9) Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu. Alga ini muncul di permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini digunakan sebagai sumber agar yang diperdagangkan.


(40)

10) Gigartina (G. affinis) tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu, terutama di tempat-tempat yang masih tergenang air pada saat air surut terendah.

11) Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronopifolia, G. foliifera, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.

12) Halymenia terdiri dari dua jenis, yakni H.durvillaei, dan H. harveyana. Alga ini hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu yang selalu tergenang air.

13) Hypnea terdiri dari dua jenis, yakni H. asperi, dan H. servicornis. Alga ini hidup di habitat berpasir atau berbatu, adapula yang bersifat epifit. Sebarannya luas.

14) Laurencia terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni L. intricate, L. nidifica,

dan L.obtusa. Alga ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang. 15) Rhodymenia (R. palmata) hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu. 16) Titanophora (T.pulchra) jarang dijumpai, jenis ini terdapat di perairan

Sulawesi.

17) Porphyra adalah alga kosmopolitan. Marga alga ini terdapat mulai dari perairan subtropik sampai daerah tropik. Alga ini dijumpai di daerah pasut (litoral), tepatnya di atas daerah litoral. Alga ini hidup di atas batuan karang ada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi.

2.3.3. Alga coklat (Phaeophyta)

Phaeophyta (Alga coklat) sebagian besar dalam bentuk filamen atau thalloid, umumnya ditemukan di laut, hanya beberapa jenis yang dapat ditemukan di air tawar. Jenis yang ditemukan pada air tawar hidup dengan cara menempel pada substrat seperti batu, tidak ada satu pun yang bersifat plantonik (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga coklat diantaranya adalah:

1) Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama


(41)

dengan komonitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thalus.

2) Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda dan Bali.

3) Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai talus bercabang yang terbagi dua. Talus yang pipih, lebarnya 2 mm.

4) Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan

Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.

5) Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.

6) Padina (P. australis), tumbuh menempel batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5–8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih. 7) Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat yakni T. conoides, T. decurrens,

dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silindris dengan diameter 2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.

2.4. Faktor Fisik-Kimia Perairan

Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisika dan kimia air. Peubah faktor fisika-kimia air yang berpengaruh terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan fisika-kimia tanah yang berpengaruh terhadap organisme daratan. Untuk organisme darat, oksigen tidak merupakan faktor pembatas, tetapi di air oksigen bisa merupakan faktor pembatas. Perubahan faktor fisika dan kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan


(42)

yang terjadi karena limbah pabrik dan industri biasanya dapat menyebabkan kematian organisme air (Suin, 2002).

2.4.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal). Beberapa penelitian membuktikan bahwa seiring dengan meningkatnya suhu air, maka metabolisme organisme akan meningkat, dan akan berbanding lurus dengan pertumbuhan dan penyebaran makroalga (Odum, 1994).

2.4.2. Penetrasi Cahaya

Adanya unsur hara yang cukup dan tingkat kecerahan air yang tinggi serta keadaan perairan yang cukup dangkal menyebabkan intensitas cahaya matahari sampai ke dasar perairan sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh alga dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kecerahan air berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula. Tingkat kekeruhan suatu perairan dapat menentukan dalam atau dangkalnya penetrasi cahaya. Alga hanya produktif pada lapisan teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis (Fachrul, 2007).

2.4.3. Intensitas Cahaya

Banyaknya cahaya yang menembus permukaan laut dan menerangi lapisan permukaan laut setiap hari dan perubahan intensitas dengan bertambahnya kejelukan memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Cahaya yang menerangi daratan atau lautan biasanya diukur dalam lux atau meter-lilin (1 meter-lilin = 1 lux). Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan. Cahaya juga merupakan faktor penting dalam


(43)

hubungannya dengan perpindahan populasi hewan laut (Juwana & Romimohtarto, 2001).

2.4.4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat digunakan makroalga untuk fotosintesis. pH yang baik untuk pertumbuhan alga hijau dan alga coklat berkisar antara 6 hingga 9. Beberapa jenis alga toleran terhadap kondisi pH yang demikian (Bold et al. 1985).

2.4.5. Salinitas

Untuk mengukur asinnya air laut maka digunakan istilah salinitas. Salinitas merupakan takaran bagi keasinan air laut. Satuannya pro mil (‰) dan simbol yang dipakai adalah S ‰. Salinitas didefenisikan sebagai berat zat padat terlarut dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan sampai beratnya tetap pada 480 ˚C, dan jumlah klorida dan bromida yang hilang diganti dengan sejumlah klor yang ekuivalen dengan berat kedua halida yang hilang. Singkatnya salinitas ditentukan dengan mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas, dengan rumus: S‰ = 0,03 + 1, 805 C1‰ (Odum, 1994).

2.4.6. Oksigen Terlarut ( Dissolved Oxygen)

Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Semua tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut untuk fotosintesis. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam air. Oksigen dari udara terlarut masuk dalam air karena adanya difusi langsung dan agitasi permukaan air oleh aksi angin dan arus turbulen. Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu dan salinitas air. Oksigen yang berasal dari proses fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya yang sampai ke badan air tersebut (Suin, 2002).


(44)

2.4.7. Substrat

Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981), jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang. Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenis-jenis alga laut Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp.

2.4.8. Kandungan Nitrat dan Fosfat

Makroalga sebagai tanaman yang hidup di perairan membutuhkan nutrien dalam jumlah yang cukup dan seimbang guna mencapai produksi yang optimal. Makroalga memerlukan unsur hara yang cukup untuk bertumbuh dan berkembang, baik itu unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Jika salah satu unsur hara tidak tersedia, maka dapat menyebabkan pertumbuhan, perkembangan serta produksi rumput laut terhambat. Unsur utama yang banyak dibutuhkan adalah nitrat dan fosfat (Alamsjah, 2009).

2.4.9. Gerakan Air

Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan makroalga adalah pergerakan air, karena akan mempengaruhi ketersediaan makanan, pertumbuhan epifit dan pengendapan. Tanpa pergerakan air kehidupan di bawah air akan terhambat karena rata-rata difusi gas dan ion di air lebih rendah dibandingkan dengan di udara (Luning, 1990). Arus dan pergerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut. Peranan yang lain yaitu untuk menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada talus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat besar karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979).

2.5. Peranan dan Manfaat Makroalga

Menurut Atmadja et al. (1996) pada awal 1980 perkembangan permintaan rumput laut di dunia meningkat seiring dengan peningkatan pemakaian rumput laut untuk


(45)

berbagai keperluan antara lain di bidang industri, makanan, tekstil, kertas, cat, kosmetika, dan farmasi (obat-obatan). Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut untuk industri dimulai untuk industri agar-agar (Gelidium dan Gracilaria) kemudian untuk industri kerajinan (Eucheuma) serta untuk industri alginat (Sargassum).

Makroalga merupakan salah satu sumber kekayaan laut di Indonesia yang tumbuh dan menyebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Diperkirakan sepanjang garis pantai sekitar 81.000 km diyakini memiliki potensi makroalga yang sangat tinggi. Dari segi ekonomis rumput laut merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya. Menurut kandungan zat yang terdapat pada rumput, maka rumput laut dapat dijadikan bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue dan menghasilkan bahan algin, karaginan dan furcelaran yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, tekstil dan lain-lain (Miarni, 2004).

Keberadaan makroalga di rataan terumbu merupakan sadiaan bahan makanan, obat-obatan bagi manusia juga sebagai ladang pakan bagi biota herbivor. Makroalga yang dapat dikonsumsi banyak diperoleh dari marga

Caulerpa, Gracilaria, Gelidiella, Eucheuma, dan Gelidium. Kehadiran, pertumbuhan sampai perkembangbiakan makroalga lebih banyak dijumpai pada substrat yang stabil dan keras, sehingga tidak mudah terkikis oleh arus dan ombak (Kadi, 2008).

Khusus mengenai vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya merupakan komponen dari ekosistem terumbu karang. Keberadaannya sebagai makroalga juga berperan dalam upaya pemulihan kualitas air, akibat pencemaran ekosistem perairan payau, khususnya di perairan budidaya, yang dapat dilakukan dengan berbagai jenis teknologi, baik dengan teknologi sederhana maupun teknologi yang kompleks (Atmadja et al. 1996).

Keberadaan makroalga sebagai organisme produser memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama organisme-organisme herbivora di perairan laut. Dari segi ekologi makroalga juga berfungsi sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang (Oktaviani, 2013).


(46)

1.1.Latar Belakang

Pulau Nias adalah pulau di luar pulau Sumatera yang terletak di rangkaian kepulauan yang kurang lebih sejajar dengan Pulau Sumatera. Pulau ini dipisahkan oleh Selat Mentawai; termasuk pulau Simeuleu yang terletak di sekitar 140 km di sebelah barat laut, dan Pulau Batu yang terletak sekitar 80 km di sebelah tenggara. Pulau Nias terletak diantara 1̊30’ LU dan 97̊ - 98̊ BT, dan mencakup area seluas 4.771 km2 (Telaumbanua, 2007).

Lahewa merupakan salah satu kecamatan yang ada di Pulau Nias, tepatnya di Kabupaten Nias Utara yang terletak pada posisi 1̊-32̊ LU, 97̊-98̊ BT. Kecamatan Lahewa terdiri dari 26 desa dan 1 kelurahan dengan luas wilayah 57.460 km2 yang tersebar di wilayah pantai maupun daratan. Daerah ini memiliki banyak keindahan alam. Beberapa yang terkenal diantaranya adalah Pantai Tureloto, Pantai Turedawela, dan Pantai Toyolawa. Pantai Tureloto dan Pantai Toyolawa berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang terkenal mempunyai ombak besar. Tetapi di pantai ini tidak ditemukan ombak besar, hal itu dikarenakan terdapatnya gugusan karang yang berada beberapa ratus meter dari bibir pantai yang berjajar menyerupai sebuah benteng sebagai pemecah ombak. Berbeda halnya seperti Pantai Tureloto dan Pantai Toyolawa, kepopuleran Pantai Turedawela terletak pada ombaknya yang mencapai belasan meter, dan banyak bebatuan karang yang ukurannya sangat luas dan menghiasi bibir pantai. Selanjutnya melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa ditemukan berbagai spesies makroalga di perairan Pulau Nias, khususnya di Kabupaten Nias Utara.

Makroalga merupakan salah satu sumber daya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia yaitu sekitar 8,6 % dari total biota di laut (Dahuri,

et al. 1996). Potensi makroalga perlu terus digali, mengingat tingginya keanekaragaman makroalga di perairan Indomesia. Van Bosse (melalui ekspedisi Laut Sibolga pada tahun 1899-1900) melaporkan bahwa Indonesia memiliki


(47)

kurang lebih 555 jenis dari 8.642 spesies makroalga yang terdapat di dunia. Dengan kata lain, perairan Indonesia sebagai wilayah tropis memiliki sumber daya plasma nutfah makroalga sebesar 6,42% dari total biodiversitas makroalga dunia. Makroalga dari kelas alga merah (Rhodophyceae) menempati urutan terbanyak dari jumlah jenis yang tumbuh di perairan laut Indonesia yaitu sekitar 452 jenis, setelah itu alga hijau (Chlorophyceae) sekitar 196 jenis dan alga coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 (Winarno, 1996).

1.2.Permasalahan

Perairan Pulau Nias memiliki potensi sumber daya hayati yang tinggi. Salah satu kelompok organisme laut yang berpotensi untuk dibudidayakan di perairan Pulau Nias adalah makroalga. Namun keragaman makroalga belum diketahui secara spesifik sehingga dianggap perlu dilakukan penelitian, khususnya di pesisir pantai Kecamatan Lahewa, Nias Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keragaman makroalga di pesisir pantai Lahewa, Nias Utara.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisika-kimia perairan terhadap keragaman makroalga di pesisir pantai Lahewa, Nias Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Dapat memberikan informasi awal bagi pihak yang membutuhkan mengenai keragaman jenis makroalga yang selanjutnya berguna dalam pengelolaan dan pemanfaatannya secara ekologis.


(48)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul : Keragaman Makroalga di Pesisir Pantai Kecamatan Lahewa, dengan tujuan untuk mengetahui keragaman makroalga dan hubungan faktor fisika-kimia perairan terhadap keragaman makroalga di pesisir pantai Lahewa, Nias Utara. Penelitian dilakukan di pesisir pantai dengan kedalaman 1 m dengan metode “Line transect”, dimana lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun, dengan melakukan 25 kali ulangan di setiap stasiunnya. Dari hasil penelitian ditemukan 17 spesies makroalga yang terbagi dalam 3 kelas, 10 ordo dan 11 famili. Spesies yang memiliki Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi diantara seluruh stasiun penelitian adalah

Halimeda opuntia yang terdapat pada stasiun 3, sedangkan spesies terendah adalah Hypnea choroides yang didapatkan pada stasiun 1.Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 2,396 dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai 0,953. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3, yaitu 0,186 dan terendah pada stasiun 1, yaitu 0,158. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa suhu, DO, BOD5, pH, penetrasi cahaya, nitrat, intensitas cahaya dan kuat arus berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman makroalga.


(49)

ABSTRACT

The present study describe The diversity of macroalgae along the beach of Lahewa, the regency of North Nias to observe the diversity of macroalgae species and its correlation with marine physical-chemical factors. The research was conducted Line Transect method, took about 1 m of deepth along the beach, which determined into 3 station and did 3 times of sampling on each station. The result recorded 17 species of macroalgae were found, consist of 3 classes, 10 ordos and 11 families. The highest density of macroalgae among of all the research station was Halimeda opuntia, found in station 3 and the lowest one was

Hypnea choroides found in station 1. The highest diversity index found in station 2 which 2,396 on point and the lowest one in station 1 which 0,953 on point. The highest similarity index found in station 3 which 0,186 on point and and the lowest one on station 1 which 0,158 on point. Temperature, DO, BOD5, pH, light penetration, nitrat, light intensity and current sea were strongly corellated with the diversity of macroalgae.


(50)

SKRIPSI

OLEH:

NELLYANDRIES ROZALIA ZEBUA 110805057

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017


(51)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH:

NELLYANDRIES ROZALIA ZEBUA 110805057

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017


(52)

Judul : Keragaman Makroalga Di Pesisir Pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Nellyandries Rozalia Zebua Nomor Induk Mahasiswa : 110805057

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Januari 2017

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si

NIP. 197221126 199802 2 002 NIP.19691010 199702 1 002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M. Sc. NIP. 196301231990032001


(53)

KERAGAMAN MAKROALGA DI PESISIR PANTAI KECAMATAN LAHEWA, KABUPATEN NIAS UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2017

Nellyandries Rozalia Zebua 110805057


(54)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan PenyertaanNya yang sempurna sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Keragaman Makroalga di Pesisir Pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada orangtua tercinta, Jeffri Usdekia Zebua dan Loina Frida Simanjuntak atas cinta, pengorbanan, semangat, dan doa yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada adik-adik tersayang, Rekalia Charlotta Zebua, Ricky Anugerah Zebua dan Suryanto Zebua atas doa dan semangat yang diberikan selama pengerjaan skripsi. Juga kepada Mama Is, Om Erwin, Mama Indah, Kakak Indah, Bung Tano, Kakak Nita, Bung A’un, dan Yolanda Yosephine dan seluruh keluarga besar atas dukungan dan doa yang tiada henti diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku dosen pembimbing 1 dan Pembimbing Akademik dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing 2 atas waktu, tenaga dan pikiran yang diberikan selama bimbingan hingga skripsi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Hesty Wahyuningsih, M.Si dan Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan bimbingan demi kesempurnaan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M.Sc. selaku ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, serta Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk, Kak Siti, Ibu Roslina Ginting dan Bang Ewin selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada “Partner 10”, Famela Cisillia Sipayung, Grace Lumbantoruan, Grace Sonia, Siska Renata Sembiring, Rani Artha Munthe, Rinda Febriananda, Ribka Oktaviani Zebua, Putri Febriani dan Arisa Haloho atas kasih persaudaraan yang tercipta selama masa perkuliahan. Kepada “Paradisa”, Abang Samuel Situmorang, Kak Delisma, Johannes Tampubolon, Reza Fahlevi Siregar dan Erika Tambunan, penulis mengucapkan terima kasih untuk semangat, kebersamaan dan cinta kasih yang diberikan selama perkuliahan. Kepada ”Tim Nias” Bang Tonis, Bang Edu, dan Bang Jor , terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama di lapangan. Kepada sahabat terbaik, Geni dan Ifo, terima kasih atas kehadiran kalian di hidup penulis dan selalu ada dalam keadaan apapun. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak Monaria Lase yang telah membantu penulis selama pengerjaan skripsi. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan kakak. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik asuh tersayang, Deasy Tobing atas kasih dan semangat yang diberikan. Kiranya tetap bersemangat dalam pengerjaan proposal penelitian dan skripsi nantinya. Kepada teman-teman seperjuangan, Biologi USU stambuk 2011 (Rasmin, Junaydy, Natanail, Sera, Venitha, Taufik, Yentiti, Desmun, dkk) terima kasih untuk canda tawa yang telah diberikan selama


(55)

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skiripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skiripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan kita semua. Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2017


(1)

vi

THE DIVERSITY OF MACROALGAE ALONG THE BEACH OF LAHEWA, THE REGENCY OF NORTH NIAS

ABSTRACT

The present study describe The diversity of macroalgae along the beach of Lahewa, the regency of North Nias to observe the diversity of macroalgae species and its correlation with marine physical-chemical factors. The research was conducted Line Transect method, took about 1 m of deepth along the beach, which determined into 3 station and did 3 times of sampling on each station. The result recorded 17 species of macroalgae were found, consist of 3 classes, 10 ordos and 11 families. The highest density of macroalgae among of all the research station was Halimeda opuntia, found in station 3 and the lowest one was Hypnea choroides found in station 1. The highest diversity index found in station 2 which 2,396 on point and the lowest one in station 1 which 0,953 on point. The highest similarity index found in station 3 which 0,186 on point and and the lowest one on station 1 which 0,158 on point. Temperature, DO, BOD5, pH, light penetration, nitrat, light intensity and current sea were strongly corellated with the diversity of macroalgae.


(2)

vii DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Manfaat Penelitian 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1. Pengertian Makroalga 3

2.2. Habitat Hidup Makroalga 3

2.3. Jenis-jenis Makroalga 4

2.3.1. Alga Hijau (Chlorophyta) 5

2.3.2. Alga Merah (Rhodophyta) 7

2.3.3. Alga Cokelat (Phaeophyta) 7

2.4. Faktor Fisik-Kimia Perairan 8

2.4.1. Suhu 9

2.4.2. Penetrasi Cahaya 9

2.4.3. Intensitas Cahaya 9

2.4.4. Derajat Keasaman 10

2.4.5. Salinitas 10

2.4.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) 10

2.4.7. Substrat 11

2.4.8. Kandungan Nitrat dan Fosfat 11

2.4.9. Gerakan Air 11

2.5. Peranan dan Manfaat Makroalga 12

BAB 3 METODE PENELITIAN 13

3.1. Waktu dan Tempat 13

3.2. Deskripsi Area 13

3.2.1. Stasiun 1 13

3.2.2. Stasiun 2 14


(3)

viii

3.3. Metode Penelitian 14

3.3.1. Pengambilan Sampel 15

3.3.2. Identifikasi Jenis Makroalga 15

3.3.3. Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 15

3.4. Analisis Data 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

4.1. Klasifikasi Makroalga 19

4.2. Nilai Kerapatan Makroalga (K), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makroalga

22 4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman

(E) Makroalga

23

4.4. Indeks Similaritas 24

4.5. Faktor Fisik Kimia Perairan 25

4.5.1. Suhu 26

4.5.2. Salinitas 26

4.5.3. Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya 26

4.5.4. pH 27

4.5.5. Kejenuhan Oksigen 27

4.5.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) 27

4.5.7. BOD5 28

4.5.8. Kadar Nitrat dan Fosfat 28

4.5.9. Kuat Arus 29

4.5.10. Substrat 29

4.6. Analisis Korelasi 29

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 33

5.1. Kesimpulan 33

5.2. Saran 33


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1 Parameter, Alat dan Bahan, Satuan Metode Kerja yang Digunakan

15 2 Klasifikasi makroalga yang ditemukan pada setiap

stasiun penelitian

19 3 Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif dan Frekuensi

Kehadiran Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian

22 4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman

(E) Makroalga

23

5 Indeks Similaritas Makroalga 24

6 Nilai Faktor Fisika-Kimia Perairan Pada 3 Stasiun Penelitian

25 7 Nilai Korelasi Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan

dengan Kenekaragaman Makroalga dari Setiap Stasiun Penelitian


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Stasiun 1 Pantai Tureloto 13

2 Stasiun 2 Pantai Turedawela 14


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Peta Lokasi 38

2 Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 39

3 Bagan Kerja Untuk Mengukur BOD5 40

4 Nilai Korelasi antara Parameter Fisik-Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Makroalga Dari Setiap Stasiun Penelitian

41

5 Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/L) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air

42

6 Foto Kerja 43

7 Foto Sampel 44