Keragaman Alga Hijau (Chlorophyta) dan Alga Coklat (Phaeophyta) di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias

(1)

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO

KOTA GUNUNGSITOLI NIAS

SKRIPSI

ELISABETH PURBA 090805019

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 4


(2)

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO

KOTA GUNUNGSITOLI NIAS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ELISABETH PURBA 090805019

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 4


(3)

i

PERSETUJUAN

Judul : Keragaman Alga Hijau (Chlorophyta) dan Alga Coklat

(Phaeophyta) di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias

Kategori : Skripsi

Nama : Elisabeth Purba

Nomor Induk Mahasiswa : 090805019

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Januari 2014

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si

NIP. 19721126 199802 2002 NIP. 19691010 199702 1002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M. Sc NIP. 196301231990032001


(4)

ii

PERNYATAAN

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO

DESA SISARAHILI GAMO KOTA GUNUNGSITOLI NIAS SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2014

Elisabeth Purba 090805019


(5)

iii

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya yang sungguh luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

yang berjudul “KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA

COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO KOTA GUNUNGSITOLI NIAS” yang merupakan syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ing T. Alexander Barus M.Sc dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan serta saran dalam kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik, Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku sekretaris, Dr. Sutarman, M.Sc. selaku Dekan FMIPA USU dan seluruh staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU serta kepada Ibu Mizarwati, S.Si selaku Ketua Panitia Seminar Departemen Biologi FMIPA USU.

Ucapan terima kasih yang tiada ternilai harganya penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Hendrik Poltak Purba dan Ibunda tercinta Elida Hutajulu yang tak hentinya mendoakan dan memberi dukungan berupa dana, semangat maupun nasihat. Terima kasih atas pengertian dan kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan. Terima kasih juga, penulis ucapkan kepada kakak terkasih Novalina Purba dan kedua adik ku Boy Santo Purba dan Arnold Adath Purba yang menjadi inspirasi dan pelengkap hidup penulis, serta seluruh keluarga besar penulis semoga Tuhan selalu menyertai dan memberkati kita semua. Amin.

Terima kasih penulis ucapakan kepada teman seperjuangan dan senasib Julie M.T.S dan Monaria Lase sejak awal perkuliahan, penelitian, hingga skripsi ini terselesaikan. Terima kasih juga kepada Frisshy, Laura, Venny, Boy, Uba, Sahat, Hans, Reymond, Anderson, Yenny, Jesica, Ledi, Rissa, Astri, Bertua, Febri serta teman-teman 09TOPUs yang telah memberi warna dalam hidup penulis.

Terima kasih kepada B’Frans Grovy Naibaho untuk cinta, semangat dan

pengertiannya. Terimakasih kepada seluruh anggota PKBKB yang telah mendukung penulis di dalam doa serta kepada keluarga kecil ku ‘Rk Chihuyy’ yang penulis banggakan. Terima kasih juga untuk adik-adik junior biologi

stambuk 010 dan 011 terutama adik asuh ku Tities “tetap semangat yah”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(6)

iv

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO

KOTA GUNUNGSITOLI NIAS

Abstrak

Penelitian di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias telah dilakukan untuk mengetahui keragaman alga hijau dan alga coklat, hubungan faktor fisik dan kimia perairan keragaman alga hijau dan alga coklat pada bulan Juli sampai dengan Nopember 2013. Penelitian ini dilakukan menggunakan metoda transek garis pada 3 lokasi dalam 25 plot (1 x 1 m). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 2 genus alga hijau dan 2 alga coklat yang termasuk ke dalam 4 ordo dan 4 famili. Kerapatan jenis, kerapatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi yaitu Chaetomorpha crassa pada stasiun 3 sebesar 38,88 individu/m2, 74,43 % dan 100% dan terendah yaitu Turbinaria sp. pada stasiun 1 sebesar 0,6 ind/m2, 3,30 % dan 40 %. Indeks keragaman tertinggi pada stasiun 1 (0,99) dan terendah pada stasiun 3 (0,55). Indeks keseragaman (E) tertinggi sebesar 0,79 pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,65. Hasil analisis korelasi menunjukkan parameter kimia dan fisik (salinitas, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya) memiliki korelasi sangat kuat terhadap indeks keragaman alga hijau dan alga coklat.


(7)

v

THE DIVERSITY OF GREEN ALGAE (Chlorophyta) AND BROWN ALGAE (Phaeophyta) AT GAMO SEASHORE SISARAHILI

GAMO VILLAGE GUNUNGSITOLI NIAS

Abstract

An experiment in Gamo Seashore, Sisarahili Gamo Village Gunungsitoli City Nias has been conducted to know green and brown algae diversity, physical and chemical parameters of water in corrrelation with the diversity of green and brown algae. Green and brown algae diversity assessed through “ line transect method” at three locations where twenty five plots (1 x 1 m) are positioned. All plots sampled during low tide. Two genera of both green algae and brown algae classified into four ordos and four families are recorded from the study area. The highest of species density, relative density and attendant frequency observed on Chaetomorpha crassa at the third location with the number 38,88 ind/m2, 74,43 % and 100 %, respectively and the lowest observed on

Turbinaria sp. at the first location with the number 0,6 ind/m2, 3,30 % and 40 %, respectively. For the diversity index, the highest is recorded from the first location (0,99), while the lowest is found on the third location (0,55). The highest of equitability index was 0,79 at the third location and the lowest was 0,65 at the second location. Chemical and physical parameters (salinity, light penetration and light intensity) are evidently correlated with the green and brown algae diversity.


(8)

vi DAFTAR ISI Halaman Lembar Persetujuan Lembar Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract i ii iii iv v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3.Tujuan Penelitian 2

1.4. Hipotesis 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Deskripsi Makroalga 4 2.2. Chlorophyceae (Alga Hijau)

2.3. Phaeophyceae (Alga Coklat) 2.4. Ekologi Pesisir Pantai

2.4.1. Pantai Berbatu 2.4.2. Pantai Berpasir 2.4.3. Pantai Berlumpur 2.5. Pencemaran Pesisir

2.6. Faktor Fisik dan Kimia Perairan 2.6.1. Suhu

2.6.2. Salinitas

2.6.3. Intensitas Cahaya 2.6.4. Penetrasi Cahaya 2.6.5. Derajat Keasaman (pH) 2.6.6. Oksigen Terlarut 2.6.7. BOD

2.7. Substrat 2.8. Pencemaran

2.9. Kandungan dan Manfaat Chlorophyta dan Phaeophyta

dalam Kehidupan

5 7 8 9 10 10 10 11 11 12 12 13 14 14 14 15 15 15 Bab 3. Bahan dan Metode

3.1. Waktu dan Tempat 16

3.2. Deskripsi Area 3.2.1. Stasiun 1 3.2.2. Stasiun 2 3.2.3. Stasiun 3

16 16 17 17


(9)

vii

3.3. Metode Penelitian 18

3.4. Prosedur Penelitian 3.4.1. Pengamatan Sampel

3.5. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.6. Analisis Data

18 18 18 20

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan 4.1.1. Suhu

4.1.2. pH 4.1.3. Salinitas

4.1.4. Intensitas Cahaya 4.1.5. Penetrasi cahaya 4.1.6. DO (Dissolve Oxygen)

4.1.7. BOD5 (Biological Oxygen Demand)

4.1.8. Kejenuhan Oksigen

4.2. Jenis Chlorophyta dan Phaeophyta yang didapat pada Lokasi 4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%)

dan Penutupan (cm2)

4.4. Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)

4.5. Indeks Similaritas (IS)

4.6. Kerapatan Relatif (%), Frekuensi Relatif (%), Penutupan Relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP)

4.7. Analisis Korelasi Pearson

23 23 24 24 24 25 25 26 27 27 30 32 33 34 35 Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 5.2. Saran

37 37

Daftar Pustaka 38


(10)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1. Alat, Bahan, Satuan dan Metode pengukuran faktor fisik dan kimia

18

4.1. 4.2.

4.3.

4.4. 4.5. 4.6.

4.7.

Faktor Fisik Kimia Perairan Tiap Stasiun Penelitian

Klasifikasi Chlorophyta dan Phaeophyta yang didapat pada Lokasi Penelitian

Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (cm2)

Nilai Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)

Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun

Nilai Kerapatan Relatif (%), Frekuensi Relatif (%), dan Penutupan Relatif, Indeks Nilai Penting (INP)

Nilai Analisis Korelasi Keragaman Chlorophyta dan

Phaeophyta dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

23 27

30

32 33 34


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

3.1. Stasiun 1 (Daerah aktivitas nelayan) 16

3.2. Stasiun 2 (Daerah pemukiman warga) 17

3.3. Stasiun 3 (Daerah pertanian) 17

4.1. H. Macroloba 28

4.2. C. crassa 28

4.3. Padina sp. 29


(12)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1. Peta Lokasi 41

2. Bagan Kerja DO 42

3. Bagan Kerja BOD5 43

4. Tabel Kelarutan O2 44

5. Contoh Perhitungan Chlorophyta dan Phaeophyta 45

6. Foto Kerja di Lapangan 48


(13)

iv

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO

KOTA GUNUNGSITOLI NIAS

Abstrak

Penelitian di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias telah dilakukan untuk mengetahui keragaman alga hijau dan alga coklat, hubungan faktor fisik dan kimia perairan keragaman alga hijau dan alga coklat pada bulan Juli sampai dengan Nopember 2013. Penelitian ini dilakukan menggunakan metoda transek garis pada 3 lokasi dalam 25 plot (1 x 1 m). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 2 genus alga hijau dan 2 alga coklat yang termasuk ke dalam 4 ordo dan 4 famili. Kerapatan jenis, kerapatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi yaitu Chaetomorpha crassa pada stasiun 3 sebesar 38,88 individu/m2, 74,43 % dan 100% dan terendah yaitu Turbinaria sp. pada stasiun 1 sebesar 0,6 ind/m2, 3,30 % dan 40 %. Indeks keragaman tertinggi pada stasiun 1 (0,99) dan terendah pada stasiun 3 (0,55). Indeks keseragaman (E) tertinggi sebesar 0,79 pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,65. Hasil analisis korelasi menunjukkan parameter kimia dan fisik (salinitas, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya) memiliki korelasi sangat kuat terhadap indeks keragaman alga hijau dan alga coklat.


(14)

v

THE DIVERSITY OF GREEN ALGAE (Chlorophyta) AND BROWN ALGAE (Phaeophyta) AT GAMO SEASHORE SISARAHILI

GAMO VILLAGE GUNUNGSITOLI NIAS

Abstract

An experiment in Gamo Seashore, Sisarahili Gamo Village Gunungsitoli City Nias has been conducted to know green and brown algae diversity, physical and chemical parameters of water in corrrelation with the diversity of green and brown algae. Green and brown algae diversity assessed through “ line transect method” at three locations where twenty five plots (1 x 1 m) are positioned. All plots sampled during low tide. Two genera of both green algae and brown algae classified into four ordos and four families are recorded from the study area. The highest of species density, relative density and attendant frequency observed on Chaetomorpha crassa at the third location with the number 38,88 ind/m2, 74,43 % and 100 %, respectively and the lowest observed on

Turbinaria sp. at the first location with the number 0,6 ind/m2, 3,30 % and 40 %, respectively. For the diversity index, the highest is recorded from the first location (0,99), while the lowest is found on the third location (0,55). The highest of equitability index was 0,79 at the third location and the lowest was 0,65 at the second location. Chemical and physical parameters (salinity, light penetration and light intensity) are evidently correlated with the green and brown algae diversity.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai suatu negara kepulauan, Indonesia terdiri dari sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai sekitar 81.000 km yang memiliki sumberdaya laut sangat besar potensinya dalam menyediakan sumber pangan, kehidupan, dan mineral, bahkan sebagai kawasan pariwisata maupun rekreasi (Yudha, 2004). Salah satu dari pulau di Indonesia yang dikenal dengan kekayaan laut dan keindahan pantainya adalah pulau Nias.

Pulau Nias terletak di sebelah barat pulau Sumatera dengan luas wilayah sekitar 5.625 km2, merupakan salah satu lokasi yang saat ini sedang mengalami

pemekaran wilayah menjadi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Barat, dan Nias Utara, serta Kota Gunungsitoli. Pantai Gamo adalah salah satu pantai yang secara geografis terletak di Desa Sisarahili Kecamatan Gunungsitoli Nias. Pantai Gamo memiliki kekayaan sumberdaya laut yang sangat beranekaragam dan berlimpah, diantaranya makroalga (Telaumbanua, 2007).

Alga merupakan tanaman laut yang dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yakni makroalga dan mikroalga. Mikroalga tidak dapat dilihat secara kasat mata tetapi hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop, sebaliknya makroalga dapat dilihat langsung dengan mata. Makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah

yang tidak berpembuluh dan termasuk dalam kelompok Thallophyta atau dikenal

dengan tumbuhan bertalus. Tidak memiliki akar, batang dan daun sejati, hidupnya menempel pada substrat dengan menggunakan holdfast, memiliki klorofil untuk proses fotosintesis dan juga mengandung pigmen lainnya (Yulianto, 1996).

Makroalga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelompok besar, yaitu Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat) dan Rhodophyta (alga merah). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).


(16)

2

Chlorophyceae (alga hijau) memiliki vegetasi terbesar diantara kelas lainnya mengandung klorofil a dan b, serta karotenoid. Pada umumnya,tumbuh secara bergerombol atau berumpun. Keberadaannya dapat dijumpai di paparan terumbu karang dan hidup menancap atau menempel pada substrat dasar perairan laut seperti karang mati, fragment karang, dan pasir. Namun pemanfaatannya saat ini belum dilakukan secara optimal. Sedangkan kelompok alga coklat memiliki bentuk yang bervariasi dan sebagian besar jenis-jenisnya berwarna coklat atau pirang karena mengandung klorofil a, karotin, xantofil, dan fikosantin. Warna tersebut tidak berubah walaupun alga ini mati atau kekeringan.

Perairan Pantai Gamo menjadi tempat terkonsentrasinya aktivitas masyarakat setempat, karena dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman, pertanian, dan kegiatan nelayan. Hal ini mengakibatkan faktor fisik kimia perairan mengalami penurunan kualitas dan habitat Chlorophyta (alga hijau) dan

Phaeophyta (alga coklat) mengalami kerusakan karena aktivitas seperti mencari ikan dan memanfaatkan perairan tersebut sebagai tempat pemberhentian kapal-kapal nelayan, aktivitas warga setempat yang membuang limbah domestik langsung ke badan air serta limbah pertanian dan sisa penggunaan pestisida. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di perairan pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias.

1.1. Permasalahan

Perairan Pantai Gamo merupakan perairan yang cukup luas dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas seperti aktivitas nelayan, pemukiman penduduk, dan juga daerah pertanian. Berbagai aktivitas tersebut

memberi pengaruh buruk terhadap faktor fisik kimia dan keragaman Chlorophyta

(alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di perairan tersebut, sehingga perlu

dilakukan penelitian mengenai keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan


(17)

3

1.2. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli.

b. Mengetahui kerapatan relatif, frekuensi relatif, penutupan relatif, dan indeks nilai penting tertinggi pada stasiun penelitian.

c. Mengetahui hubungan keragaman Chlorophyta dan Phaeophyta dengan

kondisi fisik kimia perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli.

1.3. Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) pada tiga stasiun pengamatan di Perairan Pantai Gamo.

b. Terdapat hubungan antara keragaman alga hijau dan alga coklat dengan faktor fisik kimia di Perairan Pantai Gamo.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Sebagai sumber informasi mengenai keragaman Chlorophyta dan Phaeophyta

yang dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya.

b. Sebagai informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai keragaman Chlorophyta dan Phaeophyta serta kondisi lingkungan Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Kota Gunungsitoli.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Makroalga

Alga (tumbuhan ganggang) merupakan tumbuhan thallus yang hidup di air, baik air tawar maupun air laut, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab atau basah. Alga yang hidup di air ada yang bergerak aktif, ada yang tidak. Jenis-jenis yang hidup di air, terutama yang tubuhnya ber sel tunggal dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun plankton, tepatnya fitoplankton. Walaupun tubuh ganggang menunjukkan keanekaragaman yang sangat besar, tetapi semua selnya selalu jelas mempunyai inti dan plastida, dan dalam plastidnya terdapat zat-zat warna derivat klorofil, yaitu klorofil-a atau klorofil-b atau kedua-duanya selain derivat klorofil terdapat pula zat warna lain inilah yang justru kadang-kadang lebih menonjol dan menyebabkan kelompok ganggang tertentu diberi nama menurut warna tersebut. Zat warna tersebut berupa fikosianin (berwarna biru),

fikosantin (berwarna pirang), fikoeritrin (berwarna merah). Di samping itu juga dapat ditemukan zat-zat warna santofil, dan karoten (Tjitrosoepomo, 2005).

Perkembangbiakan makroalga dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara setek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja et al., 2009).

Pada thallophyta spora benar-benar merupakan alat reproduksi, yaitu sebagai calon-calon individu baru. Sifat gamet yang beranekaragam, demikian pula gametangiumnya, menyebabkan perbedaan-perbedaan pula dalam terjadinya peleburan sel-sel kelamin itu. Istilah-istilah yang bertalian dengan cara perkembangbiakan seksual pada tumbuhan thallus seperti misalnya: isogami,


(19)

5

anisogami, gametangiogami, dan oogami, mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan tersebut (Tjitrosoepomo, 2005).

Alga dimasukkan ke dalam divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) karena mempunyai kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang, dan berakar, semuanya terdiri dari thallus (batang) saja. Sampai kini Thallophyta memiliki 7 fila yaitu Euglenophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta,

Phaeophyta, Rhodophyta, dan Cryptophyta. Untuk menentukan divisi dan mencirikan kemungkinan hubungan filogenetik di antara kelas secara khas dipakai komposisi plastida pigmen, persediaan karbohidrat, dan komposisi dinding sel (Aslan, 1991).

Makroalga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelompok besar, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae

(alga merah). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).

2.2. Chlorophyceae (Alga Hijau)

Kelompok ini merupakan kelompok dengan vegetasi terbesar dibanding kelompok lainnya. Chlorophyceae disebut juga alga hijau yang tergolong ke dalam divisi

Chlorophyta. Sel-selnya memiliki kloroplas yang berwarna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b, karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung dan lemak. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual dengan membentuk zoospora, sedangkan secara seksual dengan anisogami.

Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang bercabang-cabang atau tidak, dan menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1994).

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga hijau atau kelas

Chlorophyceae terdapat berlimpah di perairan hangat (trofik) dan tercatat sedikitnya 12 genus alga hijau yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan pantai Indonesia diantaranya adalah:


(20)

6

a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut yang terdiri dari 15 jenis dan lima varietas.

b. Ulva mempunyai thallus berbentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya dinamakan sla laut. Ada tiga jenis yang tercatat, satu diantaranya, U. reticulata. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram pada batu atau pada substrat lain.

c. Valonia (V. ventricosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang atau karang mati.

d. Dictyosphaera (D. caversona) dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat dinamakan bulung dan dimanfatkan sebagai sayuran.

e. Halimeda terdiri dari 18 jenis. Marga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. H. tuna terdiri dari rantai bercabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Alga ini terdapat di bawah air surut, pada pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai.

f. Chaetomorpha mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang mengumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering terjadi gulma bagi budidaya laut.

g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang, tercatat ada enam jenis. h. Dari marga Udotea tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan

Sulawesi, seperti di Kepulauan Spermonde dan Selat Makasar. Alga ini tumbuh di pasir dan terumbu karang.

i. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kedalaman 5 – 30 m di perairan jernih.

j. Burnetella (B. nitida) menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan terumbu.

k. Burgenesia (B. forbisii) mempunyai thallus membentuk kantung silindris berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.

l. Neomeris (N. annulata), tumbuh menempel pada substrat pada karang mati di dasar laut. N. annulata hidup di daerah pasut di seluruh perairan Indonesia.


(21)

7

2.3. Phaeophyceae (Alga Coklat)

Phaeophyceae adalah ganggang yang berwarna coklat/pirang. Dalam kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Sel-selnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Di laut dan samudera di daerah iklim sedang dan dingin, thallusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan sangat berbeda-beda bentuknya (Tjitrosoepomo, 1994).

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga coklat berukuran besar, alga ini sangat berkembang di perairan yang sangat dingin karena alga ini adalah khas tumbuh-tumbuhan pantai berbatu. Terdapat beberapa kelompok alga coklat ini yang hidupnya bersifat epifit yakni menempel pada makroalga lainnya. Terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga coklat adalah:

a. Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama dengan komunitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thallus.

b. Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda dan Bali.

c. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu dan karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih, lebarnya 2 mm.


(22)

8

d. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan

Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.

e. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.

f. Padina (P. australis), tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat terbuka, di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5 – 8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih. g. Sargassum terdapat teramat melimpah mulai dari air surut pada pasang-surut bulan setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terlepas dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat pelekatnnya terdiri dari cakram pipih. Di perairan Indonesia tercatat tujuh jenis, yakni:

S. polycystum, S. plagiophyllum, S. duplicatum, S. crassifolium, S. binderi, S. echinocarpum, dan S. cinereum.

h. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni T. conoides, T. decurrens,

dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silindris dengan diameter 2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.

2.4. Ekologi Pesisir Pantai

Kawasan pesisir pantai merupakan tempat peralihan antara daratan dan laut, kawasan pesisir pantai ini ditandai oleh kelandaian (gradient) perubahan ekologi yang tajam. Menurut Pariwono (1996 ), dalam Fachrul (2007), Kawasan ini juga berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) bagi banyak hewan bermigrasi (ikan, udang, ataupun burung) untuk tempat mencari makan, berkembangbiak, dan membesarkan anaknya. Wilayah pesisir mencakup berbagai jenis habitat dan menjadi tempat berkumpulnya beranekaragam genetik dan spesies, menyimpan


(23)

9

dan mengedarkan nutrien, menyaring bahan pencemar dari daratan dan melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir menjadi daya tarik bagi manusia untuk menghuninya dan menggunakannya sebagai area rekreasi dan pariwisata (Tahir, 2012).

Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang dan angin laut. Sebagai ekosistem yang unik wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai daya dukung yang tinggi, sehingga wilayah ini menjadi tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan manusia. Akibat aktivitas manusia yang tinggi dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh besar pada wilayah lainya (Fachrul, 2007).

Ekosistem pesisir menyediakan pilihan yang sangat beragam terhadap barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi pelabuhan niaga, penghasil ikan, kerang-kerangan, krustase dan makroalga. Wilayah pesisir didefenisikan mencakup area pasang surut, berada tepat di atas atau pada paparan benua (continental shelf) hingga kedalaman 200 meter, yang selalu mendapat aliran air laut dan merupakan daerah setelah daratan ke arah laut (Tahir, 2012).

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal (Nybakken, 1992). Dalam wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya. Kisaran tentang geografis intertidal seperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) adalah: pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai berlumpur.

2.4.1.Pantai berbatu

Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mengandung keragaman flora dan fauna serta organisma monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dan kekhasannya tergantung pada geografis. Tumbuhan vertikal dan zona intertidal saling berkaitan bentuk dan sifatnya. Fenomena pesisir dan proses terjadinya zona ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan komponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang ekstrim dan kekeringan.


(24)

10

Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan pemangsa.

2.4.2.Pantai berpasir

Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zona pesisir. Pantai pasir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.

2.4.3.Pantai berlumpur

Pantai berlumpur terbatas pada zona pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara dominan terdiri dari mollusca dan crustacea diantaranya adalah udang. Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Guguran daun dan ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihuni hewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yang di lakukan oleh aktivitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut pada kawasan pesisir.

2.5. Pencemaran Pesisir

Perairan pesisir adalah zona daratan yang paling akhir dan zona lautan paling awal (transisi). Seperti sebuah keranjang sampah, setiap limbah yang diangkut oleh sungai dari daratan dimuntahkan di kawasan ini. Pencemaran pesisir mempunyai dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amanities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Estetika dan kualitas biotik pasti menurun dan terancam sebagai akibat pencemaran dan aktivitas (ekploitasi) yang tidak terkontrol. Kerugian besar sesungguhnya mengancam kehidupan manusia jika kelestarian dan keseimbangan dalam keseluruhan zona diabaikan. Bentuk dampak dari pencemaran adalah berupa sedimentasi, eutrofikasi, anoxia (kekurangan oksigen), masalah kesehatan umum, kontaminasi elemen berbahaya dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing, dan kerusakan fisik habitat (Dahuri, et al., 2004).


(25)

11

Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri, et al.,(2004), sebagian besar (± 80%) pencemaran darat oleh aktivitas manusia berpengaruh besar terhadap pencemaran di pesisir dan lautan. Limbah dan pencemaran oleh aktivitas penduduk dan limbah rumah tangga yang terdistribusi secara sembarangan ternyata mengandung mikroorganisme, diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang bersifat patogen. Mikroorganisme patogen ini menyebar dengan cepat dapat bertahan pada perubahan faktor kimia dan fisik yang ekstrim.

Menurut Eisherth (1990), mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu: (1) pencemaran limbah industri, (2) limbah sampah domestik (swage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran sedimentasi (sedimentation pollution) akibat erosi di daerah hulu sungai, (4) pencemaran oleh aktivitas pertanian yakni oleh penggunaan pestisida.

2.6. Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut baik secara tersendiri maupun berkombinasi terhadap vegetasi tumbuhan alga makro akan tercermin dari kondisi keanekaragaman dan kelimpahan jenis, produktivitas dan reproduksitivitas pertumbuhannya. Faktor-faktor pencahayaan (kecerahan) , suhu, substrat (kondisi dasar perairan), arus (gerakan air), salinitas dan pencemaran merupakan faktor penting dalam penentuan diversitas dan kualitas pertumbuhan alga makro (Atmadja, 1999).

Pada suatu perairan hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air. Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor fisik-kimia tanah. Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002).


(26)

12

2.6.1. Suhu

Menurut Nybakken (1988), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru. Menurut Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa suhu perairan dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembuangan limbah panas yang berasal dari mesin suatu pabrik yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air langsung terkena cahaya matahari secara langsung. Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya (2009) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan alga berkisar 20 - 300 C. Semakin naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).

2.6.2. Salinitas

Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo.

Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi, sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah (Nybakken, 1988). Halimeda macroloba adalah salah satu jenis alga yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik terhadap kehidupan makroalga berkisar antara 28-35 ppt (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).

Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga yang mempunyai toleransi yang besar terhadap salinitas (eurihalin) akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan alga makro yang mempunyai toleransi yang kecil terhadap salinitas (stenohalin) (Alam, 2011).


(27)

13

2.6.3. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004).

Mutu dan kuantitas cahaya dapat berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Spora gelidium dapat dirangsang oleh cahaya hijau, sedangkan cahaya biru menghambat pembentukan zoospora, misalnya pada protosiphon. Pembentukan zoospora dan pembelahan sel dapat terangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi. Intensitas cahaya tinggi misalnya merangsang persporaan

Eucheuma. Kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibanding alga

coklat. Persporaan Gracilaria verrucosa misalnya berkembang biak pada

intensitas cahaya 400 lux, sedangkan Ectocarpus tumbuh cepat pada intensitas cahaya antara 6500-7500 lux (Aslan, 1991).

2.6.4. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, cahaya matahari mencapai nilai minimum menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan (Barus, 2004).

Penetrasi cahaya matahari yang terbatas akan membatasi kemampuan makro alga dalam melakukan fotosintesis. Kecerahan mempengaruhi tingkat produktifitas perairan, semakin rendah tingkat kecerahan semakin kecil proses fotosintesis yang terjadi pada organisme produsen. Kehadiran dan kelimpahan alga akan berkurang pada tempat-tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah yang lebih dangkal. Kehadiran dan kelimpahan alga makro di daerah terumbu karang, tampaknya berkurang pada tempat-tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut (Atmadja, 1999).


(28)

14

2.6.5. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat dan melepaskan sejumlah ion hydrogen akan menunjukkan apakah larutan bersifat asam atau basa (Wibisono, 2005).

Derajat keasaman perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat digunakan makro alga untuk fotosintesis. pH yang baik untuk pertumbuhan alga hijau dan alga coklat berkisar antara 6 hingga 9. Beberapa jenis alga toleran terhadap kondisi pH yang demikian (Bold et al., 1985).

2.6.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme (Suin, 2002).

Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman yang dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen (Barus, 2004).

2.6.7. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka dapat dikatakan bahwa kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi (Kristanto, 2002 ).

Bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti limbah rumah tangga yang dapat diuraikan secara biologis dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal


(29)

15

dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya (Agusnar, 2007).

2.7. Substrat

Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk kehidupan alga makro. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis substrat dapat dijadikan sebagai indikator gerakan air laut. Dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gerakan air yang besar sebaliknya bila substratnya lumpur menunjukkan gerakan air yang kurang (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).

2.8. Pencemaran

Pencemaran wilayah pesisir mempunyai dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga , industri, maupun limbah kapal laut dapat menghambat pertumbuhan makro alga (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).

2.9. Kandungan Dan Manfaat Alga Hijau dan Alga Coklat Dalam Kehidupan Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai bahan makanan, alga ini dapat dikonsumsi dalam bentuk lalapan (dimakan mentah), dibuat acar dengan bumbu cuka. Sebagai sumber gizi alga hijau dan alga coklat memiliki kandungan karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, makroalga mengandung vitamin-vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan

C; betakaroten, serta mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan yodium. Beberapa diantaranya mengandung lebih banyak vitamin dan mineral penting dibandingkan sayuran dan buah-buahan (Anggadiredja et al., 2009).


(30)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2013 di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias.

3.2. Deskripsi Area

Lokasi penelitian berada di perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli yang memiliki garis pantai ± 2 km. Pada perairan ini terdapat beberapa aktivitas masyarakat yakni aktivitas nelayan, pemukiman penduduk dan pertanian. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 titik stasiun, yaitu:

3.2.1. Stasiun 1

Stasiun ini merupakan daerah aktivitas nelayan. Secara Geografis terletak pada 01o20’18,1” N dan 097o35’15,9” E dan memiliki substrat pasir, batu, dan karang (gambar 3.1.).


(31)

17

3.2.2. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan daerah pemukiman penduduk. Secara Geografis terletak pada 01o20’16,75” N dan 097o35’20,6” E dan memiliki substrat berbatu (gambar 3.2.).

Gambar 3.2. Stasiun 2 (Daerah pemukiman warga)

3.2.3. Stasiun 3

Stasiun ini merupakan daerah pertanian. Secara geografis terletak pada 01o20’16,76” N dan 097o35’25,50” E dan memiliki substrat pasir dan karang

(gambar 3.3.).


(32)

18

3.3. Metode Penelitian

Penentuan stasiun didasarkan atas jenis aktivitas yang terdapat pada perairan pantai tersebut, stasiun 1 merupakan daerah aktivitas nelayan, stasiun 2 merupakan daerah pemukiman penduduk, dan stasiun 3 merupakan daerah pertanian. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode transek garis yang dibuat tegak lurus garis pantai sepanjang 50 m (sampai kedalaman 1 m). Pada Lokasi penelitian ditentukan 3 stasiun dengan tiap stasiun terdiri dari 5 garis transek, dengan jarak antar transek 30 m. Pada tiap transek dibuat plot ukuran 1 m x 1 m (metode kuadrat) sebanyak 5 buah, dengan jarak antar plot 10 m (jumlah plot pada tiap stasiun adalah 25 plot) sehingga total seluruh plot pada 3 stasiun tersebut adalah 75 plot.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1.Pengamatan JenisAlga Hijau dan Alga Coklat

Pengambilan sampel alga hijau dan alga coklat dilakukan saat surut. Diamati jenis alga hijau dan alga coklat yang terdapat pada setiap plot dan diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Chapman (1973), Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya (2009), dan media ipteknet.com selanjutnya diambil juga sampel alga hijau dan alga coklat yang mewakili setiap jenis dan diawetkan menggunakan alkohol 70 % untuk herbarium.

3.5. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan diukur menggunakan alat dan bahan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 3.1. Alat, Bahan, Satuan dan Metode pengukuran faktor fisik dan kimia

No. Parameter Alat dan bahan Satuan Metode Kerja

1. Suhu Termometer Hg oC Diambil air dan diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.

2. Salinitas Refraktometer o/

oo Diambil setetes air sampel lalu diteteskan pada refraktometer dan dibaca skalanya.

3. Intensitas cahaya

Lux meter candella diukur intensitas cahaya dengan cara mengarahkan lux meter ke arah cahaya,


(33)

19

kemudian dibaca angka yang tertera pada alat tersebut.

4. Penetrasi cahaya

Keping sechi m keping sechii dimasukkan ke dalam air sampai terlihat samar, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air.

5. Derajat keasaman

pH meter - dimasukkan pH meter ke dalam air yang diambil sampai terlihat skala angka yang konstan pada alat dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

6. Oksigen terlarut Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125N, amilum,

mg/L Air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut dan dititrasi dengan metoda winkler.

7. BOD5 Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum

mg/L Air yang diambil dan dimasukkan ke dalam botol putih dalam kondisi tidak ada gelembung udara. Diinkubasi selama 5 hari pada suhu 200C. Dihitung nilai BOD dengan cara sama seperti pada pengukuran Oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan mengurangkan DO awal dengan DO akhir.

8. Kejenuhan Oksigen

Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum

% Diukur dengan metode winkler dan melihat tabel kejenuhan oksigen yang dihitung dengan melihat konsentrasi oksigen yang diukur. Menggunakan rumus:

Kejenuhan = ₂ [ ]₂ [ ] x 100% Keterangan:

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan besarnya suhu.


(34)

20

3.6. Analisis data

Data yang didapat dari lapangan dianalisa menggunakan rumus menurut Fachrul, 2007 sebagai berikut:

a. Kerapatan jenis (ind/m2) (K) = � � dengan:

K = Kerapatan jenis ke-i ni = Jumlah individu jenis ke-i

A = Luas areal total pengambilan sampel

b. Kerapatan relatif jenis (%) (KR) = �

∑ ― X 100 % dengan:

KR = Kerapatan relatif ni = nilai kerapatan ke-i

∑n = total kerapatan seluruh jenis

c. Frekuensi Kehadiran (%) (FK) = ��

∑ X 100 %

dengan:

FK = Frekuensi kehadiran

Pi = Jumlah plot ditemukan jenis ke-i ∑ P = Jumlah total plot

FK : < 25% : sangat jarang

25% - < 50% : jarang 50% - < 75% : banyak

> 75% : sangat banyak

d. Frekuensi Relatif (%) (FR) = ��

∑ � X 100 % dengan:

FR = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i

∑ F = Total frekuensi seluruh jenis

e. Indeks Keragaman Shannon-Wiener

S

H’ = - ∑ ( pi ln pi) ) dengan pi = ni/N i=1


(35)

21

dengan:

H’ = Indeks keragamanjenis

ni = Jumlah individu untuk jenis yang diamati pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu

S = Jumlah jenis

Jika nilai H’< 1, keragaman jenis sedikit atau rendah, jika 1< H’< 3, keragaman jenis sedang dan bila H’ > 3 maka keragaman jenis tinggi.

f. Indeks Keseragaman (E) (E) =

max '

H H

dimana :

H’ = indeks keragamanShannon – Wienner

H max = ln S (S = banyaknya spesies)

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasinya artinya penyebaran individu tiap jenis sama. Bila mendekati 0, ada satu spesies yang mendominasi. Nilai E mendekati 1 sebaran individu tiap jenis merata.

g. Indeks Similaritas (IS) (%)

IS = X100%

b a

2c

dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

Bila IS = > 75 % sangat mirip 50 - < 75% mirip 25 - < 50% tidak mirip ≤ 25 % sangat tidak mirip h. Penutupan Jenis (ind/cm2)

(P) = Luas total penutupan ke-i


(36)

22

dengan: P = Penutupan

i. Penutupan Relatif Jenis (%)

(PR) = Penutupan jenis ke-i ×100 %

Penutupan Seluruh jenis

j. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting menggambarkan peran suatu jenis terhadap komunitas jenis lain, semakin tinggi nilai Indeks nilai penting suatu jenis maka semakin tinggi peranan jenis tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung INP adalah:

INP = KR+ FR + PR dengan:

INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif PR = Penutupan Relatif

k. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara keragaman alga hijau dan alga coklat dengan faktor fisik kimia perairan di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.16.00.

Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat


(37)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun seperti pada Tabel 4.1. berikut:

Tabel 4.1. Faktor Fisik-Kimia Perairan tiap Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1. Suhu ◦C 29 30 29

2. pH 7,9 7,6 8

3. Salinitas o/oo 37 33 29

4. Intensitas Cahaya Candella 492 x 200.000 395 x 200.000 360 x 200.000

5. Penetrasi cahaya m 1,12 0,83 0,61

6. Kejenuhan Oksigen % 81,152 79,681 82,461

7. DO mg/l 6,2 6 6,3

8. BOD5 mg/l 1,2 1 1,3

Keterangan:

a. Stasiun 1 : aktivitas nelayan (01o20’18,1” N dan 097o35’15,9” E) b. Stasiun 2 : Pemukiman penduduk (01o20’16,75” N dan 097o35’20,6” E) c. Stasiun 3 : pertanian (01o20’16,76” N dan 097o35’25,50” E)

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa faktor fisik kimia setiap stasiun dapat mempengaruhi suatu perairan. Berdasarkan data tersebut juga terlihat jumlah setiap faktor fisik kimia cukup bervariasi. Faktor fisik dan kimia sangat dibutuhkan dalam suatu ekosistem dan akan mempengaruhi kehidupan alga hijau dan alga coklat.

4.1.1. Suhu

Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 29-30 oC. Kisaran

suhu pada ketiga stasiun penelitian ini tidak jauh berbeda, suhu tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 30oC dan pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 29 oC.

Perbedaan suhu pada lokasi penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke air. Menurut Welch dalam Basmi (1999), tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan, karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun.


(38)

24

4.1.2. pH

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH yang tertinggi sebesar 8,0 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 7,6. Tingginya pH pada stasiun 3 ini disebabkan banyaknya alga yang melakukan fotosintesis pada stasiun ini sehingga diduga bahwa laju fotosintesis pada stasiun ini juga tinggi dimana proses fotosintesis bergantung pada ketersediaan karbondioksida pada perairan dan juga cahaya matahari yang masuk. Menurut Barus (2004), pada proses fotosintesis, karbondioksida bersamaan dengan air dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil akan menghasilkan bahan organik dan oksigen sehingga pada perairan yang memiliki laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan sejumlah karbondioksida yang banyak. Peningkatan laju fotosintesis ini akan mengakibatkan pH air juga meningkat, karena nilai pH pada suatu perairan akan berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi. Menurut Nana dan Putra (2011), nilai pH yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga yang tinggi juga dimana proses fotosintesis

membutuhkan banyak CO2. Oleh sebab itu, pH pada stasiun 2 rendah disebabkan

rendahnya proses fotosintesis yang terjadi karena alga yang melakukan fotosintesis pada stasiun ini hanya sedikit dibandingkan dengan stasiun 3.

4.1.3. Salinitas

Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 29-370/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 37 0/00, sedangkan

nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 3 sebesar 29 0/00. Tingginya salinitas

pada stasiun 1 ini dikarenakan stasiun ini berada jauh dari muara sungai dan sedikitnya sungai yang bermuara pada perairan ini. Rendahnya salinitas pada stasiun 3 ini disebabkan stasiun ini berada dekat dengan muara sungai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nontji (1993), salinitas akan menurun (rendah) di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai.


(39)

25

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat pada stasiun 1 (aktivitas nelayan) yaitu 492 Candela dan yang terendah di temukan pada stasiun 3 sebesar 360 Candella. Tingginya intensitas cahaya pada stasiun 1 ini dikarenakan lokasi ini merupakan daerah aktifitas nelayan sehingga lebih terbuka dan cahaya yang masuk ke badan air tidak terhalang sedangkan stasiun 3 memiliki nilai intensitas cahaya yang rendah dikarenakan stasiun ini terdapat pepohonan yang menyebabkan cahaya terhalang masuk ke air.

Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari.

4.1.5. Penetrasi Cahaya

Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,61-1,12 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 (daerah aktivitas nelayan) sebesar 1,12 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,61 m. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun 3 ini dikarenakan stasiun ini terlihat lebih keruh dibanding stasiun 1 yang terlihat lebih jernih sehingga cahaya tidak terhalang masuk ke dalam air. Menurut Agusnar (2007), padatan tersuspensi menyebabkan tingkat kejernihan menurun sehingga akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air kemudian Menurut Sutika (1989), kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan–bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.

Menurut Atmadja (1999), semakin jernih suatu perairan maka semakin lebih banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya tanaman fotosintetik yang tumbuh pada perairan tersebut.


(40)

26

Berdasarkan hasil pengukuran DO yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 6,0-6,3 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6,3 mg/l. Nilai oksigen yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 6 mg/l. Hal ini disebabkan oleh suhu yang tidak terlalu tinggi pada stasiun 3 sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991), suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida.

Menurut Asmara (2005), Jika nilai pH di laut bersifat asam berarti kandungan oksigen terlarut rendah. Hal ini akan mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Limbah dari kegiatan domestik dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila memasuki perairan dapat mempengaruhi nilai kelarutan oksigen dalam air tersebut. Kelebihan nitrogen dan fosfor dalam air yang berasal dari limbah rumah tangga menyebabkan suatu keadaan yang tidak seimbang di lapisan permukaan laut, konsentrasi gas oksigen sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen.

4.1.7. BOD5(Biological Oxygen Demand)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai BOD yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 1,3 mg/l, dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1 mg/l. Hal ini disebabkan karena stasiun 3 ini merupakan daerah pertanian sehingga oksigen yang terlarut dalam air banyak digunakan untuk menguraikan senyawa organik yang berasal dari pertanian tersebut maka jumlah oksigen yang terlarut dalam air akan mengalami penurunan, dimana nilai BOD sangat dipengaruhi oleh nilai DO.


(41)

27

Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar (2007), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.

4.1.8. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 3 sebesar 82,461% dan terendah pada stasiun 2 sebesar 79,681%. Tingginya nilai kejenuhan oksigen pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh tingginya nilai DO pada stasiun tersebut sedangkan pada stasiun 2 nilai kejenuhan oksigennya rendah yang dikarenakan oleh suhu yang tinggi pada stasiun tersebut. Menurut Barus (2004), Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu perairan, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu perairan yang diukur. Kualitas dari suatu perairan dapat dikatakan cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik disebabkan karena pada perairan tersebut tidak terjadi defisit oksigen.

4.2. Jenis Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta(alga coklat) yang didapat pada Lokasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun penelitian ditemukan 2 jenis alga hijau dan 2 jenis alga coklat, yang termasuk ke dalam 2 kelas, 4 ordo, 4 famili, dan 4 genus seperti pada Tabel 4.2.


(42)

28

Tabel 4.2. Klasifikasi Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) yang ditemukan pada Setiap Stasiun

Kelas Ordo Famili Genus Jenis

Chlorophyceae Caulerpales Cladophorales

Udoteaceae Cladophoraceae

Halimeda Chaetomorpha

1. H. Macroloba

2. C. crassa Phaeophyceae Dictyotales

Fucales

Dictyotaceae Sargassaceae

Padina Turbinaria

3. Padina sp. 4. Turbinaria sp. Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian

Tabel 4.2. menunjukkan bahwa Chlorophyta dan Phaeophyta yang ditemukan adalah dari kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae masing-masing sebanyak 2 ordo, 2 famili, 2 genus, dan 2 jenis yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. H. Macroloba

Jenis ini memiliki thallus seperti segmen bentuk silinder, percabangan thallus dichotomus yakni bercabang dua terus-menerus, berwarna hijau. Hidupnya menempel pada substrat batu, dan karang seperti terlihat pada Gambar 4.1. berikut

Gambar 4.1. H. Macroloba (Pengamatan langsung)

b. C. crassa

Jenis ini memiliki thallus silindris menyerupai rambut dan tidak bercabang, membentuk gumpalan seperti benang kusut, berwarna hijau, membentuk koloni, sebagian besar tumbuh menempel pada makroalga lain (epifit) namun ada juga yang ditemukan tumbuh pada substrat seperti kayu, batu, maupun karang seperti terlihat pada Gambar 4.2. berikut:


(43)

29

Gambar 4.2. C. crassa (Pengamatan langsung )

c. Padina sp.

Jenis ini memiliki thallus berbentuk seperti kipas, berwarna coklat kekuning-kuningan dan kadang memutih karena mengandung kapur. Tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu seperti terlihat pada Gambar 4.3. berikut:

Gambar 4.3. Padina sp. (Pengamatan langsung)

d. Turbinaria sp.

Jenis ini memiliki thallus berupa lembaran dimana helaian thallus berbentuk bulat yang pinggirnya bergerigi, kasar, dan terdapat berkas percabangan. Berwarna coklat, dan hidup menempel pada batu-batuan dan karang seperti terlihat pada Gambar 4.4. berikut:


(44)

30

Gambar 4.4. Turbinaria sp. (Pengamatan langsung )

4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (m2)

Nilai Kerapatan (K), Frekuensi Kehadiran (FK), dan Penutupan (P) Chlorophyta

(alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (m2)

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai kerapatan, frekuensi kehadiran dan penutupan tertinggi adalah pada stasiun 3 dari spesies Chaetomorpha crassa dengan nilai K adalah 38,88 individu/cm2, FK adalah 100 %, dan P adalah 0,0620 m2 dan terendah dari ketiga stasiun penelitian terdapat pada stasiun 2 dari jenis

Turbinaria sp. dengan nilai K sebesar 0,6 individu/m2, FK adalah 20 %, dan P

adalah 0,0008 m2. Hal ini disebabkan C. crassa tidak mudah mengalami

No Taksa

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K FK P K FK P K FK P

I A.

Chlorophyceae Udoteaceae

1 B.

H. macroloba Cladophoraceae

3,72 60 0,0021 3,68 60 0,0025 - - - 2 C. crassa 11,28 100 0,0165 16,2 100 0,0348 38,88 100 0,0620 II

C.

Phaeophyceae Dictyotaceae

3 D.

Padina sp.

Sargassaceae

2,6 80 0,0020 3,72 100 0,0031 13,36 100 0,0270 4 Turbinaria sp. 0,6 40 0,0013 0,6 20 0,0008 - - -


(45)

31

kerusakan akibat adanya aktivitas nelayan yang mencari ikan dan memberhentikan kapal pada stasiun penelitian. Thallus C. crassa ini berbentuk silindris menyerupai rambut sehingga tidak mudah patah dan hidup bergerombol membentuk rumpun mirip gumpalan seperti benang kusut dan sifatnya yang efifit juga mengakibatkan kerapatan jenis alga ini tinggi. Berbeda dengan jenis

Turbinaria sp. yang memiliki thallus berbentuk lembaran dan holdfastnya tidak kuat menempel pada substrat sehingga lebih mudah mengalami kerusakan akibat terpaan ombak maupun aktivitas di tempat tumbuhnya sehingga kerapatan jenis alga ini kecil.

Menurut Susanto dalam Langoy et al. (2011), Turbinaria sp. ini memiliki bentuk thallus yang menyerupai lembaran tegak, kasar dan terdapat bekas-bekas percabangan, sedangkan bentuk helaiannyanya yang menyerupai kerucut segitiga dengan pinggir bergerigi dan bagian tengah lembaran atau daun melengkung ke dalam. percabangannya ferticillate atau cabang-cabang thallus tumbuh dengan melingkari thallus sebagai sumbu utama. Holdfastnya berbentuk cakram kecil sehingga tidak kuat menempel pada substrat.

Alga jenis H. macroloba dan Turbinaria sp. tidak ditemukan pada stasiun 2 dan stasiun 3. Hal ini disebabkan alga tersebut tidak mampu hidup pada perairan yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi akibat limbah pertanian dan pemukiman warga yang masuk ke perairan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), limbah dalam suatu perairan menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus akan membusuk dan mati.

Menurut Barus (2004), setiap jenis mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Ada jenis tertentu yang toleran terhadap perubahan faktor lingkungan abiotik yang sangat besar, sementara jenis lainnya sangat sensitif. Artinya bahwa bagi yang toleran, maka perubahan faktor lingkungan yang sangat besar dan drastis tidak akan menyebabkan kematian atau berkurangnya jenis tersebut. Sebaliknya jenis yang sensitif, maka terjadinya perubahan faktor lingkungan akan mempengaruhi kelangsungan hidup jenis tersebut.

Menurut Atmadja dan Sulistijo (1980), faktor pencahayaan, suhu, substrat, DO, salinitas, merupakan faktor penting dalam penentuan keragaman dan kualitas


(46)

32

pertumbuhan alga hijau dan alga coklat. Perubahan faktor fisik kimia misalnya penurunan atau kenaikan yang tinggi akan menurunkan keragaman jenis

Chlorophyta dan Phaeophyta sehingga perlu memperhatikan faktor fisik kimia perairan dalam menentukan keberadaan jenis yang dominan dalam suatu perairan. Menurut Luning (1990), mengatakan bahwa keberadaan suatu jenis alga tertentu dipengaruhi oleh penetrasi cahaya matahari. Kelas Chlorophyceae lebih efisien dalam memanfaatkan cahaya merah (650 μm) sehingga melimpah di tempat yang dangkal dimana penetrasi cahaya merah mencapai batas maksimum pada kedalaman tersebut., kelas Phaeophyceae mengandung pigmen fukosantin yang

menyerap cahaya hijau (500 μm -550 μm) dan juga memiliki klorofil-c yang

menyerap cahaya merah (630 μm-638 μm) sehingga lebih cenderung melimpah di kedalaman yang sedang.

Menurut Atmadja (1999), menyatakan bahwa semakin tinggi nilai frekuensi kehadiran suatu jenis, maka kemungkinan peranan jenis tersebut juga tinggi. Namun hal demikian tidak mampu membuktikan bahwa jenis tersebut benar berperan penting dalam perairan, karena kemungkinan jenis tersebut hanya melimpah pada lokasi tertentu. Sehingga perlu memperhatikan kualitas dari perairan pada lokasi penelitian.

4.4. Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)

Indeks keragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) yang diperoleh pada masing -masing stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Nilai Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)

Indeks STASIUN

1 2 3

H’ 0,99 0,91 0,55

E 0,71 0,65 0,79

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian

Tabel 4.4. menunjukkan bahwa nilai indeks keragaman (H’) dan indeks

Keseragaman (E) alga hijau dan alga coklat pada ketiga stasiun penelitian. Nilai indeks keragaman yang tertinggi terdapat pada pada stasiun 1 yaitu sebesar 0,99. Keragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,55. Nilai E yang tertinggi


(47)

33

terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,79 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar

0,65. Tingginya nilai indeks keragaman (H’) jenis pada stasiun 1 ini disebabkan

selain kondisi fisik kimia perairan yang mendukung juga substrat dasar perairan pada stasiun ini berupa karang, batu, dan pasir sehingga Chlorophyceae dan

Phaeophyceae lebih mampu beradaptasi.

Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Atmadja (1999), bahwa keragaman

Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) juga ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi dengan substrat. Di tempat yang memiliki substrat pecahan karang, batuan, dan karang mati lebih stabil dan akan mempunyai keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki substrat dasar berupa pasir. Kondisi lingkungan seperti substrat dan kualitas air di tempat tumbuhnya, perlu dipelihara dan dijaga sehingga tidak mengalami kerusakan dan bahkan kepunahan jenis. Tetapi berdasarkan rumus Menurut Fachrul (2007), Jika

nilai H’< 1, keragaman jenis sedikit atau rendah, jika 1< H’< 3, keragaman jenis sedang dan bila H’ > 3 maka keragaman jenis tinggi. Jadi pada stasiun 1

keragaman Chlorophyceae dan Phaeophyceae sebesar 0,99 ini termasuk dalam kategori keragaman rendah. Sama halnya dengan nilai indeks keseragaman (E) yang berkisar 0,65 sampai 0,79 berarti penyebaran individu merata. Apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap jenis tidak sama, serta ada kecenderungan suatu jenis mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1

maka populasi Chlorophyceae dan Phaeophyceae menunjukkan keseragaman

jumlah individunya merata, sehingga dari ketiga stasiun penelitian dikategorikan penyebaran individu merata.

Menurut Fachrul (2007), Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasinya artinya penyebaran individu tiap jenis sama. Bila mendekati 0, ada satu jenis yang mendominasi. Nilai E mendekati 1 sebaran individu tiap jenis merata. Menurut Barus (2004), suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis yang tinggi apabila terdapat banyak jenis dengan jumlah individu masing-masing jenis yang relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit jenis dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut


(48)

34

mempunyai keragaman yang rendah. Dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah jenis, jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing jenis.

4.5. Indeks Similaritas (IS)

Nilai indeks similaritas pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1 - 100% 66 %

Stasiun 2 - - 66%

Stasiun 3 - - -

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian

Tabel 4.5. menunjukkan nilai indeks similaritas yang cukup bervariasi. Perbandingan Stasiun 1 dan 2 memiliki indeks similaritas sebesar 100 %, stasiun 1 dan 3 sebesar 66 % , dan stasiun 2 dan 3 sebesar 66 % dari data tersebut diketahui bahwa nilai indeks similaritas tertinggi terdapat pada perbandingan antara stasiun 1 dan 2 yaitu 100 % yang temasuk dalam kategori sangat mirip sementara indeks similaritas antara stasiun 1 dan 3 serta 2 dan 3 sama yaitu sebesar 66 %. Hal ini disebabkan kondisi ekologis perairan seperti intensitas cahaya, penetrasi cahaya, pH, dan salinitas berbeda. Adanya aktivitas masyarakat juga juga memberi pengaruh terhadap kemiripan jenis pada tiap tiap lokasi penelitian. Pada stasiun 3 hanya sedikit spesies yang muncul dibandingkan dengan stasiun 1. Hal ini disebabkan sebagian besar limbah sisa pertanian yang masuk ke perairan mengganggu pertumbuhan dan keberadaan alga.

Menurut Krebs (1985), indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan Chlorophyta dan Phaeophyta yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis

Chlorophyta dan Phaeophyta yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makroalga antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor fisik-kimia dan biologi lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.


(1)

Lampiran 3. Bagan Kerja BOD5

(Michael, 1984 dan Suin, 2002)

dihitung nilai

DO akhir

diinkubasi selama 5 hari

pada temperatur 20°C

dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air

Sampel Air

DO Akhir

DO Awal

Keterangan :

 Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO


(2)

Lampiran 4. Tabel Kelarutan O2

T˚C 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81

1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44

2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08

3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74

4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41

5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09

6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79

7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50

8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22

9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95

10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70

11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45

12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22

13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00

14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78

15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58

16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39

17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20

18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03

19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86

20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70

21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55

22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40

23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26

24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13

25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00

26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88

27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76

28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65

29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54


(3)

Lampiran 5. Contoh Perhitungan alga hijau dan alga coklat

a. Kerapatan jenis H.

macroloba

K =

H.

K =

= 3,72 ind/m

2

b. Kerapatan Relatif H.

macroloba

KR =

H.

x 100 %

=

,

,

x 100%

= 20,44%

c. Frekuensi Kehadiran H.

macroloba

FK =

H.

x 100 %

=

x 100 %

= 60 %

d. Frekuensi Relatif H.

macroloba

FR =

H.

x 100 %

=

,

,

x 100 %

= 21,43 %

e. Indeks Keanekaragaman (H’)

H.

macroloba

H’ = −∑ pi ln pi

= −∑ (

282/445 ln 282/445) + (93/445 ln 93/445) + (65/445 ln 93/445) +

(15/445 ln 15/445 )

= 0,29 + 0,32 + 0,27 + 0,11


(4)

f. Indeks keseragaman (E) H.

macroloba

E =

E Makroalga Stasiun 1 =

,

= 0,71

g. Indeks Similaritas (IS) H.

macroloba

IS =

.

+

x 100%

IS

(1,2)

=

.

x 100%

= 100 %

h. Penutupan Jenis H.

macroloba

P =

H.

=

,

= 21,12 ind/cm

2

i. Penutupan Relatif Jenis H.

macroloba

PR =

H.

x 100 %

=

,

,

x 100 %

= 9,57 %

j. Indeks Nilai Penting H.

macroloba

INP = KR+ FR + PR

INP = 20,44 + 21,43 + 9,57

= 51,44%

k. Analisis Korelasi


(5)

Lampiran 6. Foto Kerja di Lapangan

Pengambilan Sampel Makroalga

Pengukuran DO metode Winkler

Pengukuran pH

Penentuan koordinat dengan GPS


(6)

Lampiran 7. Hasil Analisi Korelasi Pearson

Suhu pH Salinitas I.Cahaya P.Cahaya K.Oksigen DO BOD H’

Suhu Pearson

Correlation 1 -.971 .000 -.262 -.079 -.882 -.945 -.945 .345

Sig. (2-tailed) .154 1.000 .831 .950 .312 .212 .212 .776

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

pH Pearson

Correlation -.971 1 -.240 .022 -.163 .970 .996 .996 -.560

Sig. (2-tailed) .154 .846 .986 .896 .158 .058 .058 .621

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Salinitas Pearson

Correlation .000 -.240 1 .965 .997 -.471 -.327 -.327 .939

Sig. (2-tailed) 1.000 .846 .169 .050 .688 .788 .788 .224

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

I.Cahaya Pearson

Correlation -.262 .022 .965 1 .983 -.223 -.069 -.069 .816

Sig. (2-tailed) .831 .986 .169 .118 .857 .956 .956 .393

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

P.Cahaya Pearson

Correlation -.079 -.163 .997 .983 1 -.399 -.252 -.252 .908

Sig. (2-tailed) .950 .896 .050 .118 .738 .838 .838 .274

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

K.Oksigen Pearson

Correlation -.882 .970 -.471 -.223 -.399 1 .988 .988 -.746

Sig. (2-tailed) .312 .158 .688 .857 .738 .100 .100 .464

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

DO Pearson

Correlation -.945 .996 -.327 -.069 -.252 .988 1 1.000

** -.633

Sig. (2-tailed) .212 .058 .788 .956 .838 .100 .000 .564

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

BOD Pearson

Correlation -.945 .996 -.327 -.069 -.252 .988 1.000

** 1 -.633

Sig. (2-tailed) .212 .058 .788 .956 .838 .100 .000 .564

N 3 3 3 3 3 3 3 3 3

H’ Pearson

Correlation .345 -.560 .939 .816 .908 -.746 -.633 -.633 1

Sig. (2-tailed) .776 .621 .224 .393 .274 .464 .564 .564