Pengajuan Banding Faktor-faktor Penentu Nilai Jual Obyek Pajak

79 Keputusan yang diberikan Dirjen Pajak atas surat keberatan dapat berisi: 62

G. Pengajuan Banding

a. Menerima keberatan, seluruhnya atau sebagian; b. Menolak surat keberatan; c. Menambah besarnya pajak yang terhutang. Apabila dari pihak Direktur Jenderal Pajak menganggap, bahwa surat keberatan yang diajukan beralasan, maka akan diterima, berarti bahwa pengurangan hutang sesuai dengan permohonan WP. Adakalanya sering terjadi bahwa perohonan surat keberatan yang dilakukan wajib pajak tidak diterima seluruhnya, hanya sebagian, berarti juga hutang pajak dikurangi sebagian. Akan tetapi apabila alasan- alasan yang dikemukakan wajib pajak tidak dapat diterima, maka surat keberatan tersebut ditolak, berarti pajak yang dipertahankan tidak dikurangi. Dan apabila prosedur surat keberatan yang diajukan dalam 12 bulan terlewati, dan tidak diberikan keputusan, maka surat keberatan wajib pajak dianggap diterima Pasal 26 Undang- Undang Nomor 9 tahun 1994. Bagi wajib pajak yang prosedur surat keberatannya ditolak Direktur Jenderal Pajak, maka penolakan itu harus disertai alasan-alasannya. Dan apabila WP belum puas dengan keputusan tersebut maka masih ada satu upaya lagi yaitu banding. Dengan dihapuskannya dasar hukum banding dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pasal 17, maka acuan banding mengikuti Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Lembaran 62 Tim Penyuluhan Perpajakan Ditjend Pajak, Petunjuk Praktis Perpajakan, Jakarta : Penerbit Berita Pajak, 1996, hal 158. Universitas Sumatera Utara 80 Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984. Dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 menyatakan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya sebelum badan peradilan pajak dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara ayat 2. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994, maka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 terutama pada Pasal 27, ditambah dengan Pasal 27A yang menyatakan bahwa apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan di tambah imbalan bunga sebesar 2 dua persen sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan. Syarat formal pengajuan banding tersebut antara lain 63 Kemudian apabila sudah diputuskan, maka sifat putusan itu bukan merupakan putusan Tata Usaha Negara dan putusan badan peradilan pajak tersebut merupakan : a. Tertulis dalam bahasa Indonesia b. Dalam jangka tiga bulan c. Alasan-alasan yang jelas dan kuat d. Dilampiri salinan Surat Keputusan e. Tidak menunda kewajiban membayar pajak dan penagihan pajak 63 Ibid, hal 160. Universitas Sumatera Utara 81 putusan akhir dan bersifat tetap. Putusan Pengadilan Pajak atas pengajuan upaya banding yang dilakukan oleh WP dapat berupa 64 1. Menolak; : 2. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; 3. Menambah pajak yang harus dibayar; 4. tidak dapat diterima; 5. Membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung; 6. Membatalkan. Di dalam penyempurnaan-penyempurnaan mengenai ketentuan banding di atas, akan menghapuskan keragu-raguan wajib pajak yang selama ini akan mengajukan upaya banding. Ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan dalam pengenaan pajak dan memperjelas ketentuan mengenai banding ke dalam peradilan pajak. Sebagai contoh: Pada Undang-Undang lama Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 tahun 1983 Pasal 27 ayat 1 menentukan bahwa surat banding terhadap keputusan Dirjen Pajak harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan, sedangkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 menentukan bahwa jangka waktu itu adalah tiba bulan sejak diterimanya surat keputusan Dirjen Pajak. Dua ketentuan tentang hal yang sama itu ternyata berlainan. Bila kita berdasarkan asas Lex specialis deorgat lex generalis, Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 itulah merupakan ketentuan yang lebih khusus. Pada peraturan yang baru, yaitu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 64 Marihot Pahala Siahaan, Op Cit, hal 427 Universitas Sumatera Utara 82 Pasal 17 mengenai aturan banding pada undang-udang ini dihapuskan. Prosedur banding merujuk pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan adanya ketentuan baru ini, maka kepastian hukum putusan badan peradilan pajak untuk saat ini Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menurut Undang- Undang Nomor 17 tahun 1997 dapat diwujudkan, sehingga atas setiap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dapat langsung dieksekusi, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lainnya sehingga arus penerimaan pajak dapat terjamin.

C. Permohonan Pengurangan NJOP PBB