Tionghoa di Kota Medan Bahasa

32

4.1.2 Tionghoa di Kota Medan

Orang-orang Cina di Medan lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang lebih menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan sebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Umumnya orang-orang Tionghoa di Medan bekerja sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik antar sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Universitas Sumatera Utara 33 4.1.3 Sistem Kekerabatan 4.1.3.1 Perkawinan Perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu member perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu. Koentjaraningrat,1998:93. Masyarakat Tionghoa dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah, oleh karena itulah upacara pernikahan harus mahal, rumit dan agung, hai ini bertujuan agar sebuah perkawinan itu menjadi suatu kejadian yang terpenting dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Upacara pernikahan masyarakat Tionghoa di Indonesia dilaksanakan tergantung pada agama atau religinya yang dianut. Karena itu upacara pernikahan masyarakat Tionghoa di Indonesia berbeda satu dengan lainnya. Sampai pada awal abad ini pernikahan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak saling mengenal satu sama lain, mereka baru saling mengenal pada saat pernikahan dilaksanakan, tetapi pada masa sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi, orangtua telah memberikan kebebasan untuk memilih. Universitas Sumatera Utara 34

4.1.3.2 Pemilihan Jodoh

Pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan, tetapi wanita tersebut dari generasi yang lebih tua dilarang misalnya, seorang laki-laki menikah dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya. Sebaliknya pernikahan seorang wanita dengan seorang pria dari generasi yang lebih tua , dapat diterima. Hal ini dikarenakan seorang suami tidak bisa lebih muda atau lebih rendah tingkatnya dari isterinya. Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak bisa mendahului kakak perempuannya untuk menikah. Sama halnya bagi saudara sekandung laki-laki, tetapi adik perempuan bisa mendahului kakak laki- lakinya untuk menikah, demikian juga adik laki-laki bisa mendahului kakak perempuannya menikah. Sering juga terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu kepada kakaknya yang telah didahului menikah.

4.1.3.3 Mas Kawin

Menjelang hari pernikahan keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim suatu utusan ke rumah keluarga wanita untuk memberikan sebungkus angpao amplop merah, beberapa potong pakaian dan perhiasan. Jika keluarga wanita yang kaya biasanya akan menolak pemberian tersebut dengan halus, tetapi jika keluarga wanita yang kurang mampu, biasanya akan menerima sebagian saja. Karena dengan menerima amplop tersebut, seolah-olah orang tua si wanita menjual anaknya. Universitas Sumatera Utara 35

4.1.3.4 Kedudukan Wanita

Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah menikah, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian di dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah dan di dalam kehidupan ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting. Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak- anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki- laki.

4.1.3.5 Sistem Kemasyarakatan

Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah sangat menyolok karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan. Universitas Sumatera Utara 36 Tionghoa Peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran. Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti pendidikan Cina berorientasi ke negara Cina dan sebagian lagi yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat Belanda, maka telah timbul pemisahan antara golongan yang berpendidikan berlainan itu. Masing-masmg menganggap lawannya sebagai golongan yang lebih rendah. Orang-orang yang kaya dalam masyarakat Tionghoa umumnya tidak akan bekerjasama dengan orang yang miskin dan sebagainya. Demikian stratifikasi sosial orang Tionghoa di Indonesia berdasarkan orientasinya perbedaan pendidikannya dan tingkat kekayaannya.

4.1.4 Bahasa

Bahasa adalah percakapan, alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman. alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Sebagian besar ahli antroplopogi dan sosiologi mengemukakan kebudayaan ditandai oleh bahasa. Kebudayaan tanpa bahasa adalah kebudayaan tidak beradab. Bahasa sangat menentukan ciri budaya, dari Universitas Sumatera Utara 37 bahasa bahasa diketahui derajat kebudayaa dan suatu suku bangsa. Pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah simbol dan tanda sign. Kita berbicara tentang sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi. Bahasa tidak saja digunakan dalam komunikasi, bahasa yang penuh dengan makna, nilai dan persepsi juga terdapat pada teks atau wacana. Dalam wacana bahasa juga penuh dengan interpretasi yang mengandung nilai -nilai dan konsep-konsep kehidupan. Hal demikian terutama terdapat pada wacana-wacana ritual yang sarat dengan simbolisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tionghoa menggunakan bahasa hokkien. Bahasa hokkien kebanyakan digunakan di kota Medan, hampir seluruh penduduk masyarakat Tionghoa di kota Medan memakai bahasa tersebut, walaupun jaman sekarang masyarakat mulai mempelajari bahasa Mandarin yang merupakan bahasa Internasional di Cina, masyarakat Tionghoa tidak pernah meninggalkan bahasa hokkien yang dipakai sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 38 4.1.5 Agama dan Kepercayaan 4.1.5.1 Aliran Kepercayaan Tao