Struktur Dan Makna Upacara Cheng Beng Bagi Masyarakat Tionghoa Di Berastagi

(1)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA CHENG BENG BAGI MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

印尼棉兰马达山华裔清明节的结构意义研究

(

Yìnní mianlan madashan

huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)

Skripsi

Disusun Oleh :

SYEELWEM WILTON S 080710008

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA

CHENG BENG

BAGI

MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

印尼棉฀฀达山฀裔清明฀的฀构意฀研究

(Yìnní mianlan

madashan huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)

SKRIPSI Dikerjakan oleh:

Syeelwen Wilton S NIM. 080710008

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra Nur Cahaya Bangun, M.Si. Shen Mi , M.A. NIP.

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Cina

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Cina Ketua,

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. NIP. 19630109 198803 2001


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra China pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Hari/Tanggal : Senin, 20 Januari 2014 Pukul : 09 wib s/d selesai Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. H. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 197603 1 001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan 1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A ()

2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. ( ) 3. Dr. Matius C.A Sembiring, M.A ()

4. Shen Mi, M.A ()


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 20 Januari 2014 Penulis,


(6)

ABSTRACT

The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.

Keywords: Celebration of Cheng Beng, Structure, Meaning, Berastagi City, Chinese


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Struktur dan Makna UpacaraCheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa diBerastagi”, ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S–1 pada Departemen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat diatasi dan skripsi inipun dapat diselesaikan.

Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku Ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dansebagai Dosen Pembimbing I, yang dengan tulus, ikhlas dan dengan penuh kesabaran telah membimbing, memeriksa, dan memberikan pengarahan kepada saya. Dimana beliau telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.


(8)

4. Laoshi Shen Mi, M.A, selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.

5. Dosen-dosen dari Jinan University ฀南大yang mengajar di Sastra Cina ;Yang Run ZhengM.A, Shao Zhang Chao,M.A, Dr. Zhu Xiao Hong, Ph.D, Dr. Chen Yi Hua,Ph.D, Yu Xin, M.A, Liu Jin Feng, M.A,Yu Xueling, M.A, Chen Shushu MTCSOL.(฀฀您,老฀。我肯定不忘你 ฀!!)

6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan. 7. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua, Ayah Ir. Gelora

Sembiringdan Ibu Keriahen Br Tarigan yang telah mengorbankan segala-galanya. Saya persembahkan skripsi ini sebagai tanda terima kasih kepada Ayah dan Ibu.

8. Kepada adikku Endof Pudan Sembiring yang telah memberikan semangat dan dorongan kepadaku untuk menyelesaikan studi Sastra Cina ini.

9. Kepada Ima Marweni Tarigan Tambak yang telah memberikan semangat dan dorongan serta selalu menemaniku dalam menyelesaikan studi Sastra Cina ini.

10.Kak Yosie, Kak Kori, Kak Tri, Kak Endang selaku karyawan Sastra Cina yang dengan sabar membantu dalam penyusunan dan pengurusan berkas-berkas skripsi ini.


(9)

11.Teman-teman S.China stambuk 2008, khususnya buat sahabat-sahabatku; Mateus Sitepu, Joisefrii Ginting, Set Benzen Tarigan Silangit, Dedi A Purba, Nelli Juita Sijabat, Reni Evaulina Sihaloho, dan teman-teman 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. SUKSES BUAT KITA SEMUA, SASCHIN 2008 !!!

12.Adik-adik Sastra Cina 2009-2013 yang telah menjalin tali silaturahmi yang baik selama masa perkuliahan.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Kebudayaan.

Medan, 20 Januari 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 8

1.3 Rumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 10

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Konsep ... 11

2.1.1 Struktur Upacara ... 11

2.1.2 Makna ... 12

2.1.3 Masyarakat Tionghoa ... 13

2.2 Landasan Teori ... 14

2.2.1 Strukturalisme ... 15

2.2.2 Semiotik ... 16


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Metode Penelitian ... 20

3.2 Data dan Sumber Data ... 21

3.2.1 Data ... 21

3.2.2 Sumber Data ... 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4 Teknik Analisis Data ... 24

3.5 Lokasi Penelitian ... 24

BAB IV GAMBARAN UMUM, KECAMATAN BERASTAGI DAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 25

4.1. Gambaran Umum Kecamatan Berastagi ... 22

4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi ... 22

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi ... 27

4.2 MasyarakatTionghoa di Kecamatan Berastagi ... 29

4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi... 29

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ... 30

4.2.3 Mata Pencarian ... 31

BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PERAYAAN CHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DIKOTA BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 32

5.1Struktur Upacara Perayaan Cheng Beng pada Masyarakat Tionnghoa di Kota Berastagi ... 32


(12)

5.1.1Tahap Persiapan ... 34

5.1.2 Tahap Sembahyang ... 35

5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 36

5.1.4 Tahap Penutup ... 36

5.2 Makna Upacara Perayaan Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Kota Berastagi ... 37

5.2.1 Makna Tahap Persiapan ... 37

5.2.2 Makna Tahap Sembahyang ... 38

5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 38

5.2.4 Makna Tahap Penutup ... 38

5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng ... 39

5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng ... 44

5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng ... 46

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Simpulan ... 48

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51 LAMPIRAN


(13)

ABSTRACT

The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.

Keywords: Celebration of Cheng Beng, Structure, Meaning, Berastagi City, Chinese


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulIlmu

Budaya Dasar (2004) bahwa arti kebudayaan sangat luas, yang meluputi kelakuan

dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Kebudayaan memiliki defenisi yang sangat banyak. Dua orang antropolog, yaitu Kroeber dan Kluckhohn mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin defenisi tentang kebudayaan. Pengertian kebudayaan juga didefenisikan oleh Taylor (dalam Mintargo, 1993 : 83) sebagai, “keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (custom),

dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan (habit) yang didapat

manusia sebagai anggota masyarakat”.

Ditinjau dari asal kata, kebudayaan berasal dari bahasa latin colere yang

artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai


(15)

Dari kedua defenisi tersebut di atas dapatlah disimpukan bahwa, kebudayaan memiliki arti yang sangat luas, yang meliputi kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari; kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Antropologi (2009:353) mengemukakan bahwa, Indonesia juga memiliki kebudayaan etnis yang berasal dari luar negara Indonesia itu sendiri. Misalnya seperti etnis Tionghoa, India, Arab dan lain-lain. Berdasarkan catatan sejarah, orang Tionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Para imigran Tionghoa yang terbesar masuk ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku Hokkien. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Imigran Tionghoa lain yang datang ke Indonesia adalah suku Hakka (Khek). Mereka pada umumnya berpropesi sebagai buruh ataupun “kuli” perkebunaan dan pertambangan di Indonesia. Suku-bangsa Hakka ini berasal dari pedalaman propinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus. Mereka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencarian hidup.

Etnis Tionghoa yang telah tinggal dan menetap di Indonesia tetap menjunggung tinggi kebudayaan asal. Hal ini diturunkan dari generasi ke generasi. Kebudayaan etnis Tionghoa tersebut meliputi perayaan tahun baru Cina (Imlek), upacara perkawinan, upacara kematian, perayaan Cheng Beng, tradisi


(16)

minum teh, dan masih banyak lagi. Masing-masing dari kebudayaan etnis Tionghoa tersebut memiliki makna yang penting dan sangat menarik untuk dipelajari. Dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk meneliti makna dari perayaan Cheng Beng.

Cheng Beng adalah salah satu tradisi penting yang ada pada masyarakat etnis

Tionghoa karena Cheng Beng merupakan perayaan yang dilakukan untuk

mengenang jasa-jasa para leluhur dan karena adanya kewajiban untuk menjiarahi makam leluhur. Biasanya etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung halamannya akan berusaha untuk dapat pulang kampung pada saat perayaan

Cheng Beng agar dapat melakukan sembahyang kepada para leluhur mereka.

Cheng Beng (Mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara

perayaan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa untuk menghormati para leluhur. Menurut tradisi, masyarakat pergi ke tempat pemakaman orang tua atau leluhur mereka untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (Mandarin: yinzhi/kertas perak).

Tradisi Cheng Beng (Qing Ming Jie) adalah tradisi wajib masyarakat

Tionghoa. Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan setidaknya sekali dalam setahun. Cheng Beng selalu jatuh antara tanggal 4-6 April

(kalender masehi) setiap tahun. Sebelum dan sesudah peringatan Cheng Beng


(17)

leluhur yang telah meninggal. Semasa peringatan Cheng Beng inilah,

makam-makam dibersihkan dan diperbaiki. Bagi sebagian besar orang Tionghoa, memperbaiki makam atau sekedar membersihkannya diluar masa Cheng Beng

sangat tidak dibenarkan.

Perayaan Cheng Beng adalah saat yang paling ideal untuk berziarah dan

membersihkan makam karena upacara ini diadakan bertepatan pada bulan april dimana cuaca cerah dan terang. Apalagi pada zaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman. Dan bahkan bila seseorang yang tinggal jauh dari kampung halamannya, mereka akan berusaha pulang kekampung halamannya, khusus untuk melakukan upacara Cheng Beng atau upacara

penghormatan para leluhur.

Makam leluhur sangat penting artinya bagi masyarakat Tionghoa. Penentuan letak makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi

fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini dipercaya

sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota keluarga lain yang ditinggalkan.

Anggota keluarga yang meninggal dunia biasanya dimakamkan atau diperabukan. Jika diperabukan, abunya dapat dititipkan ke rumah-rumah abu, di tempatkan dirumah dengan altar khusus atau disebar kelaut. Sehingga bagi keluarga yang ditinggalkan, peringatan Cheng Beng dapat dilakukan di rumah abu

jika abunya dititipkan di sana, di rumah jika abunya disimpan di rumah (sudah jarang dilakukan), atau di pantai jika abunya disebar di laut.


(18)

Sejarah kapan awalnya perayaan Cheng Beng dilaksanakan sangat sulit untuk

dipastikan. Hal ini disebabkan oleh karena upacara perayaan Cheng Beng sudah

dilakukan oleh masyarakat Tionghoa sejak dahulu kala dan juga karena banyaknya pendapat yang menyatakan tentang awalnya upacara perayaan Cheng

Beng tersebut dilakukan. sebagai contoh yang penulis baca dari situs internet

http/www.perayaan Cheng Beng.com yang disadur oleh Maitricettena, Ekayana

Buddhist Center, sejarah awal mulanya perayaan Cheng Beng dilakukan pada

zaman dinasti Ming, pada saat itu terdapat seorang anak bernama Cu Guan Ciong

(Zhu Yuan Zhang, pendiri dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang

sangat miskin. Dalam membesarkan dan mendidik Cu Guan Ciong, orang tuanya

meminta bantuan kepada sebuah kuil. Setelah dewasa Cu Guan Ciong menjadi

seorang kaisar dan kembali ke desanya untuk menjumpai orang tuanya. Sesampainya di desa ternyata orang tuanya telah meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaan makamnya.

Untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, sebagai kaisar, Cu Guan

Ciong memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan

membersihkan makam leluhur mereka masing-masing. Selain itu diperintahkan juga untuk memberikan tanda kertas kuning di atas makam-makam tersebut. Setelah semua rakyat selesai berziarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibersihkan serta tidak diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahwa diantara makam-makam tersebut pastilah terdapat makam orang


(19)

tua, sanak keluarga dan leluhurnya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk setiap tahunnya.

Dalam penelitian ini penulis akan meneliti struktur upacara dan makna perayaan Cheng Beng pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo. Kota Berastagi adalah sebuah kecamatan di kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kota Berastagi merupakan salah satu objek wisata di dataran tinggi Karo. Penduduk di kota Berastagi terdiri dari berbagai etnis. Etnis yang dominan adalah Etnis Batak Karo. Etnis Tionghoa juga terdapat di kota Berastagi. Menurut data yang diperoleh dari Proyeksi Penduduk Berastagi Tahun 2011, jumlah etnis Tionghoa yang tinggal di berastagi berjumlah 1273 jiwa yang terdiri dari 225 rumah tangga.

Etnis Tionghoa di kota Berastagi sangat menjungjung tinggi tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat Tionghoa dalam mengikuti setiap upacara budaya, tak terkecuali tradisi perayaan Cheng

Beng. Setiap tahunnya etnis Tionghoa di kota Berastagi biasanya melakukan

upacara perayaan Cheng Beng di vihara Ksitigaraba, sebuah vihara bagi etnis

Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Biasanya mereka akan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan etnis Tioanghoa di seluruh dunia, misalnya membersihkan kuburan, sembahyang leluhur, memberikan persembahan makanan, membakar uang kertas (ginpo) dan membakar replika kertas dari

berbagai kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa replika kertas yang telah dibakar tersebut akan digunakan oleh para leluhur di akhirat.


(20)

Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap upacara perayaan ChengBeng ini karena penulis merasa bahwa tradisi perayaan Cheng

Beng ini adalah salah satu kebudayaan etnis Tionghoa yang sangat unik. Penulis

ingin mengkaji lebih dalam mengenai struktur dan makna upacara perayaan

Cheng Beng bagi masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi. Alasan pemilihan

tempat penelitian dilakukan di kota Berastagi kabupaten Karo karena etnis Tionghoa di kota Berastagi masih sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kebudayaan mereka. Penulis melihat masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi masih melakukan tradisi perayaan Cheng Beng setiap tahunnya.

Sesuai dengan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan penulis tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna upacara perayaan Cheng Beng dengan mengangkat judul “Struktur dan Makna

Upacara Cheng Bengbagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi”.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas yang dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini hanya pada struktur dan makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo. Struktur perayaan Cheng Beng meliputi tahap persiapan, upacara

dan penutupan (akhir upacara) serta akan menganalisis makna dari setiap tahapan-tahapan perayaan Cheng Beng tersebut. Penelitian ini juga memfokuskan pada


(21)

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada permasalahan yang lebih fokus. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana struktur upacaraCheng Bengmasyarakat Tionghoa

diBerastagi?

2. Bagaimana makna upacaraCheng Beng bagi masyarakat Tionghoa

diBerastagi?

3. Apa saja perlengkapan yang digunakan pada upacara perayaan Cheng

Beng dan apa makna dari perlengkapan-perlengkapan tersebut ?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan struktur upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa diBerastagi.

2. Mendeskripsikan makna upacara perayaan Cheng Beng bagi masyarakat

Tionghoa di Berastagi.

3. Mendeskripsikan peralatan-peralatan yang digunakan pada upacaraCheng


(22)

1.5 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah penulis uraikan sebelumnya maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pengembangan keilmuan serta pemahaman tentang struktur dan makna perayaan Cheng Beng bagi masyarakat luas. Penelitian ini juga diharapkan

dapat menjadi refrensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang ingin mengkaji lebih lanjut tentang makna perayaan Cheng Beng. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber dan

pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan memberi manfaat bagi kelestarian budaya etnis Tionghoa.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian struktur dan makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah


(23)

mengetahui makna dan struktur perayaan Cheng Beng sehingga diharapkan

mereka dapat lebih memahami makna dan struktur perayaan Cheng Beng secara


(24)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara konkret melalui pemahaman dan pengertian dari para ahli. Konsep merupakan rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1990 : 456).

Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti, baik merupakan gejala sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:

2.1.1 Struktur Upacara

Struktur merupakan cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun. Dalam kehidupan bermasyarakat sering dijumpai istilah struktur sosial. Stuktur sosial adalah konsep perumusan asas – asas hubungan antar individu dalam


(25)

kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.Upacara juga dapat diartikan sebagi perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Upacara ritual atau ceremony adalah sistem aktifitas atau

rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 1386).

2.1.2 Makna

Menurut Boediono dalam KBBI (2009 : 348), “Makna adalah arti atau maksud yang penting di dalamnya”. Lebih lanjut Nursyrid (2002 : 109) mengemukakan :

Ada 6 pola makna esensial yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan budaya manusia, yaitu : simbol, empirik, estetika, sinoetik (perasaan yang halus), etik dan sinoptik (hubungan agama dan filsafat). Makna Simbolik meliputi bahasa, matematika, termasuk juga isyarat-isyarat, upacara-upacara, tanda-tanda kebesaran dan sebagainya. Makna Empirik mengembangkan kemampuan teoritis, generalisasi berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang biasa diamati. Makna Estetik meliputi seni musik, tari, sastra, dan lain-lain, berkenaan dengan keindahan dan kehalusan serta keunikan berdasarkan persepsi subyektif berjiwa seni. Makna Sinoetik berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan dan kesadaran yang mendalam. Makna Etik berkenaan dengan aspek-aspek moral, akhlak, perilaku yang luhur, dan tanggung jawab. Makna Sinoptik berkenaan dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama, filsafat, pengetahuan alam yang menuntut nalar masa lampau dan hal-hal yang bernuansa spiritual.


(26)

2.1.3 Masyarakat Tionghoa

Kata masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab syaraka, yang

artinya”ikut serta, berperan serta”. Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar

Ilmu Antropologi ( 2005 : 122) , “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Cohen dalam

Sosiologi Suatu Pengantar (1992 : 49), “masyarakat ialah sekelompok manusia

yang hidup bersama dalam suatu priode waktu tertentu, mendiami suatu daerah dan akhirnya mulai mengatur diri mereka sendiri menjadi suatu unit sosial yang berbeda dari kelompok-kelompok lain.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang

(Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Dalam bahasa mandarin mereka disebut Tang

ren (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di

Indonesia mayaritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara yang berasal dari Cina utara menyebut diri mereka sebagai

Han ren (orang Han).

Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari Cina ini mayoritas berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan provinsi Guandong. Masyarakat Tionghoa di


(27)

Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan. Ada beberapa suku bangsa Tionghoayang ada di Medan, diantaranya adalah suku

Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.

Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal di Cina dan disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat Tionghoamengambil alih perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi ladang untuk mereka mencari nafkah.

2.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.

Untuk melihat tahapan-tahapan upacara Cheng Beng yang merupakan

salah satu kegiatan budaya masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan pendekatan strukturalisme. Dalam pendekatan ini akan didapat bagaimana sebenarnya tahapan-tahapan dari upacara Cheng Beng tersebut, yang tentunya


(28)

setiap tahapan tersebut memiliki maknanya tersendiri. Untuk menganalisis makna dari setiap tahapan upacara Cheng Beng tersebut, penulis menggunakan

pendekatan semiotik seperti yang dikemukakan oleh Barthes.

2.2.1 Strukturalisme

Teori Strukturalisme (Saifuddin, 2005 : 64-65) adalah salah satu teori yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Defenisi strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur dari proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya. Strukturalisme berasumsi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan.

Bagi Strauss (dalam Kaplan dan Manners, 1999 : 239) budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau kanfigurasi sistem perlambangan. Lebih lanjut untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik. Yang ia perhatikan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan. Pengertian struktur dalam hal ini


(29)

adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagi komponen masyarakat, pola-pola yang relatif bertahan lama karena interaksi-interaksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang lebih terorganisasi.

2.2.2 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara, 2008 : 64). Menggunakan teori semiotik seseorang dapat menganalisis makna yang tersirat di balik penggunaan lambang dan simbol-simbol dalam kehidupan manusia karena melalui berbagai simbol-simbol, masyarakat bisa berkomunikasi satu sama lain, menghimpun ilmu pengetahuan dan kemudian mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Menurut Craib dalam Teori-Teori Sosial Moderen (1994 : 169), “semiotik adalah nama yang diberikan untuk “ilmu pengetahuan dalam tanda-tanda” (makna-makna umum)—tidak hanya mengenai tanda linguistik”.

Semiotik lebih berkaitan dengan bidang yang lebih luas daripada hasil budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berbicara tentang bahasa dan percakapan mengenai makanan. Unsur-unsur ataupun tanda-tandanya ialah jenis makanan itu sendiri. Pada tingkat sintagmatik terdapat aturan-aturan yang


(30)

mengatur makanan mana yang boleh atau yang tidak boleh disertai oleh makanan lain. Sebagai contoh di masyarakat barat kita tidak boleh menggabungkan makanan yang manis dengan makanan yang lezat, menuangkan puding diatas ayam goreng, atau saus diatas es krim. Jika kita memakan makanan seperti itu pada suatu perjamuan maka kesemuanya haruslah yang satu menyusul yang lain. Pertama yang lezat, baru kemudian yang manis. Aturan-aturan pradigmatik memberikan kita suatu kambinasi-kombinasi, makanan mana dengan jenis sayuran yang mana. Makanan itu sendiri dengan pilihan-pilihan makanan khususnya dan cara-cara persiapannya adalah percakapan, yang menerapkan unsur-unsur dan aturan-aturan. Pada prinsipnya karya setiap manusia bisa dianalisis dengan cara seperti itu.

Dengan pendekatan yang penulis gunakan yaitu teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes, maka penulis akan menganalisis struktur dan makna perayaan upacara Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi.

2.3 Tinjauan Pustaka

Sofiani (2011) dalam skripsinya yang berjudulFungsi dan Makna Makanan

Tradisional pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoamenjelaskan

bahwa, makanan mempunyai fungsi majemuk dalam masyarakat setiap bangsa. Fungsi tersebut bukan hanya sebagai fungsi biologis, tetapi juga sebagai fungsi sosial, budaya, dan agama. Makanan erat kaitannya dengan tradisi suatu


(31)

masyarakat setempat. Oleh karenanya makanan memiliki fenomena lokal. Seluruh aspek dari makanan tersebut merupakan bagian dari warisan tradisi suatu golongan masyarakat. Makanan tradisional dapat menjadi aset atau modal bagi suatu bangsa untuk mempertahankan nilai kebiasaan dari suatu masyarakat yang dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Melalui skripsi Sofiani tersebut penulis mengetahui dan memahami fungsi dan makna makanan pada perayaan budaya masyarakat Tionghoa karena dalam penelitian ini penulis juga meneliti tentang makanan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam melakukan sembahyang pada perayaan Cheng Beng.

Syafrida, skripsi (2012) berjudul Kajian Fungsi dan Makna Tradisi JiSi

ZuXian YanJiu (Penghormatan Leluhur) dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat

Tionghoa : Penelitian Kualitatif di Medan, menjelaskan tentang religi tradisional

masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga dihadapan abu leluhur. Skripsi ini sangat membantu penulis dalam meneliti struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada masyarakat Tionghoa di Berastagi

karena melalui skripsi Syafrida tersebut peneliti dapat mengetahui makna dari penghormatan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Persamaan penelitian yang penulis lakukan dengan skripsi tersebut adalah makna penghormatan masyarakat Tionghoa bagi leluhur. Perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan skripsi tersebut terletak pada objek yang diteliti, dimana objek yang penulis teliti dalam penulisan ini adalah perayaan Cheng Beng, sedangkan skripsi itu sendiri

membahas tentang religi tradisional masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan dihadapan abu leluhur.


(32)

Yohana, skripsi (2011) berjudul Bentuk, Makna, dan Fungsi Ornamen yang

Digunakan dalam Perayaan Tahun Baru Imlek oleh Masyarakat Tionghoa di

Kota Medan. Skripsi ini menjelaskan tentang ornament yang paling diminati

adalah lampion. Mereka memasang Chinese Lampion yang bertuliskan huruf Cina. Tulisan-tulisan itu memiliki beragam makna dan doa meminta keberkahan di tahun baru. Skripsi ini sangat membantu dalam menyelesaikan penelitian ini karena didalam skripsinya Yohana menggunakan teori semiotik untuk menganalisis makna dari ornamen-ornamen yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa dalam perayaan tahun baru Imlek. Oleh karena itu skripsi tersebut

dijadikan bahan referensi bagi penulis untuk menggunakan teori semiotik dalam menganalisis makna perayaan Cheng Beng dan juga makna dari

perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam upacara tersebut.

Ningsih (2011) dalam artikel Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa

Semakin Sederhana, menjelaskan bahwa upacara kematian Sangat erat kaitannya

dengan ajaran Konfusius, yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan tujuannya untuk menunjukkan rasa hormat kepada orangtua almarhum agar mendapatkan kehidupan yang damai. Upacara kematian memiliki hubungan erat dengan dengan perayaan Cheng Beng, karena melalui perayaa Cheng Bengtanda

bakti seorang anak kepada orang tua dan leluhurnya dapat terlihat. Artikel tersebut sangat membantu penulis menyelesaikan penelitian ini karena melalui artikel tersebut penulis dapat memahami makna penghormatan dan tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Struktur Upacara dan Makna Perayaan Cheng Beng pada Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo adalah metode penelitian deskriptif. Data dan informasi dikumpulkan selain bahan sekunder dari literature-literatur tertulis, juga data-data penelitian dilapangan mengenai ke obyek yang bersangkut paut dengan pokok pembahasan.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskriptifkan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang saat ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variable-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.

Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan dengan penamaan kualitatif. Deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat ilmiah itu sendiri (Fatimah 1993 : 16).


(34)

Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, artikel, wawancara, catatan, lapangan, foto, dokumen pribadi, dsb. Secara deskriptif peneliti dapat memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilihan data yang dilakukan pada tahap pemilihan data setelah data terkumpul. Dengan demikian penulis akan selalu mempertimbangkan data dari watak itu sendiri, dan hubungannya dengan data lainnya secara keseluruhan, peneliti tidak berpandangan bahwa sesuatu itu memang demikian adanya, akan tetapi harus diberikan berdasarkan pertimbangan ilmiah yang digunakannya sebagai alat kajiannya (Fatimah 1993 : 7).

3.2 Data dan Sumber Data

3.2.1 Data

Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji kebenarannya secara empiris, antara lain melalui analisis data (Abdurrahmat, 2005:104).

Data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan informan. Sedangkan


(35)

yang menjadi data sekunder adalah informasi isi dari beberapa buku, jurnal maupun skripsi yang berkaitan atau relevan dengan topik penelitian.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data didalam penelitian ini juga terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah informan, yaitu :

1. Nama : Ng Kim Huat

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Ketua Yayasan Sosial Go Sia Kong So

Alamat : jl. Sunggal Komp Pasar I Mas No. B27

2. Nama : Rusli

Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta/Masyarakat Tionghoa yang melakukan perayaan Cheng Beng setiap tahun di Berastagi


(36)

3. Nama : Hendrik Umur : 39 tahun

Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe Pekerjaan : Pedagang

4. Nama: Ng Ming Hua Umur: 68 tahun

Alamat: Jl. Udara No5 A

Pekerjaan: Petani & Pengetua Adat

5. Nama: Hakim Umur: 77 tahun

Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I

Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat

6. Nama : Apo Umur: 56 tahun

Alamat: Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I

Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi

Sumber data sekunder adalah beberapa buku, jurnal maupun skripsi yang berkaitan atau relavan dengan topik penelitian, baik mengenai struktur upacara maupun mengenai upacara itu sendiri, yaitu upacara Cheng Beng.


(37)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data, diantaranya observasi, wawancara, dan studi dokumentasi (studi kepustakaan). Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumentasi (studi kepustakaan) (Abdurrahmat 2005 : 104). Studi dokumentasi adalah langkah-langkah atau cara pengumpulan data atau informan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari buku, majalah atau surat kabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevannya dengan masalah yang diteliti.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Mengamati upacara cheng Beng, melakukan dokumentasi seperti

memfoto dan membuat video.

2. Menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan terkait upacara perayaan Cheng Beng

3. Melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan yang telah disusun terhadap beberapa tokoh masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan informasi tentang struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di kota Berastagi.

4. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang relavan dengan penelitian.


(38)

5. Memilah-milah data yang dianggap paling penting.

6. Data yang telah dipilah-pilah disusun secara sistematis.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau mengiterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab keseluruhan pertanyaan penelitian. Adapun proses yang dilakukan adalah :

1. Memutar ulang video dan hasil wawancara, memilah-milahhasil wawancara dan menulis ulang hasil wawancara.

2. Berdasarkan data-data yang diambil,lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya penelitian ini. 3. Menuliskan laporan dalam bentuk Diskriptif.

3.5 Lokasi Penelitian

Penelitiandilakukan dengan fokus masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Tambak Lau Mulgap II, Berastagi, Kabupaten Karo, karena di daerah ini mayoritas masyarakat Tionghoa tinggal dan menetap.


(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi

4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi

Berastagi merupakan sebuah kecamatan di kabupaten karo,yang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 1375 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500 mm(mili meter)/tahun. Kota ini memiliki suhu yang dingin, dimana suhu kesehariannya antara 17-19 derajat celcius. Jarak Kecamatan ini dengan Ibukota kabupaten yakni kota kabanjahe adalah 10 Km, jarak dengan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yakni kota Medan adalah 65 Km. Secara administratif kecamatan berastagi terdiri dari 6 desa yakni Desa Raya, Desa Rumah Berastagi, Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Lau Gumba dan Desa Guru Singa serta 4 daerah kelurahan yakni kelurahan Gundaling I, kelurahan Gundaling II, kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan kelurahan Tambak Lau Mulgap II.

Batas-batas wilayah berastagi adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat


(40)

Berastagi merupakan kota yang sangat subur karena diapit oleh dua gunung berapi aktif, yaitu Gunung Sibayak (2100 meter dpl) dan Gunung Sinabung (2400 meter dpl). Masyarakat Berastagi pada umumnya bekerja sebagai petani. Hal ini menjadikan kota Berastagi sebagai kota penghasil tanaman terbesar di tanah karo. Kota ini juga menyimpan banyak kisah sejarah masa Kolonial Hindia Belanda di awal abad ke-20. Kemunculan kota ini dipengaruhi oleh kebijakan Kolonialisme Belanda. Ketika itu, yakni sekitar tahun 1920, Berastagi merupakan sentra perkebunan di Sumatera Utara yang dikelola pihak Belanda. Dari kota inilah suplai sayur-mayur dan buah-buahan di kota Medan ataupun kota-kota lainnya di pulau Sumatera Utara dapat terpenuhi.

Selain tanaman buah dan sayur, Berastagi juga terkenal dengan berbagai ragam tanaman hias dan beberapa festival rutin yang digelar setiap tahunnya seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah. Festival tahunan ini juga digunakan sebagai ajang berkumpulnya kembali orang-orang karo dari perantauan untuk menjalin silaturahmi dengan para kerabat mereka. Selebihnya festival tersebut berfungsi untuk meningkatkan potensi kepariwisataan di Berastagi.

Berastagi juga merupakan sebuah daerah yang memiliki potensi kepariwisataan yang besar. Hal ini ditandai dengan banyaknya tempat-tempat yang menjadi tujuan wisatawan lokal maupun manca negara, seperti Taman Hutan Raya (Tahura) Gundaling, pemandian air panas lau Sidebuk-debuk, Bukit Kubu, dan lain-lain. Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi daerah berastagi. Untuk itu, pemerintah setempat juga berusaha menyeimbangkan dengan fasilitas atau sarana dan prasarana yang cukup dalam bidang


(41)

kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel, losmen, penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir/cendera mata dan keamanan serta kenyamanan di daerah tersebut khususnya di Daerah Tujuan Wisata (DTW).

Pengangkutan (sarana transportasi) juga merupakan hal yang diperhatikan oleh pemerintah setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat mempengruhi dan mendukung para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya baik dalam aktifitas ekonomi maupun sosial. Selain itu, sarana transportasi juga sangat mempengaruhi kehidupan kepariwisataan daerah tersebut sebagai alat gerak menuju daerah tujuan wisata yang hendak dituju.

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi

Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku karo dan bahasa yang digunakan dalam pergaulan seharihari adalah bahasa karo. Selain itu ada juga suku Batak Toba, Jawa, Aceh, Nias, Tionghoa dan sebagainya sebagai etnis/suku pendatang.


(42)

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Desa/Kelurahan Jumlah Rumah Tangga

Jumlah Penduduk

1 Gurusinga 989 5012

2 Raya 1272 5791

3 Rumah Berastagi 1949 8493

4 Sempajaya 1461 6566

5 Lau Gumba 349 1418

6 Doulu 500 1741

7 Tambak Lau Mulgap I 677 2895 8 Tambak Lau Mulgap II 798 2566

9 Gundaling I 1137 6461

10 Gundaling II 1828 4144

Tahun 2011 10960 90196 Tahun 2010 10730 40600

Perubahan 230 49596

Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi

Catatan : Proyeksi penduduk adalah penduduk November 2011

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dalam tiap tahunnya mengalami peningkatan yang lumayan banyak.


(43)

4.2 Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi

Masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi diperkirakan mulai sejak tahun 1870-an. Etnis Tionghoa yang pertama masuk ke Berastagi adalah suku Tioqiu, lalu disusul oleh suku-suku lainnya. Dalam proses masuknya sendiri telah melalui proses yang sangat panjang.

Pada awalnya etnis Tionghoa yang datang ke Berastagi adalah buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau pemerintah Hindia-Belanda yang terletak di Polonia (tanah ex Bandara Polonia Medan sekarang), Marindal, Bekala dan kebun-kebun sayur di Amnepura (sekarang Pancur Batu). Masuknya sendiri etnis Tionghoa ke Berastagi disebabkan oleh ketidaksanggupannya lagi menerima perlakuan yang kurang baik dari Centeng (Mandor) perkebunan dan pemerintah Hindia-Belanda yang memperlakukan secara kurang adil, sehingga pada saat habis masa kontrak kerjanya dengan perkebunan mereka memutuskan untuk berhenti (tidak memperpanjang masa ikatan kerjanya) dan memulai perkebunan sendiri (Sinar, 2010).

Masuk dan berkembangnya etnis Tioanghoa ke Berastagi tidak terlepas dari kecocokan iklim, cuaca dan kondisi alam yang hampir sama dengan daerah asal mereka. Dimana pada umumnya etnis Tionghoa di Berastagi berasal dari Provinsi Guandong yang memiliki keadaan alam yang kurang lebih sama dengan Berastagi, sehingga memudahkan mereka untuk beradaptasi dan membuka ladang-ladang dan kebun-kebun sayur. Disamping itu, kecocokan antara budaya


(44)

dan tradisi antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat (suku karo) juga merupakan faktor penting lainnya yang mempengaruhi bertahannya etnis Tionghoa di Berastagi hingga saat ini. Pada awal masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi umumnya mereka berdomisili di sekitar jurang lau galuh dan jurang gundaling atau daerrah lainnya yang terdapat sumber air bersih.

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

Tabel 4.2

Jumlah Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa menurut 4 Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Kelurahan Jumlah Rumah Tanga

Jumlah Penduduk

1 Gundaling I 25 134

2 Gundaling II 58 345

3 Tambak Lau Mulgap I 69 362 4 Tambak Lau Mulgap II 103 432

Jumlah 255 1273


(45)

4.2.3 Mata Pencarian

Mata pencarian masyarakat Tionghoa di kecamatan Berastagi pada umumnya adalah bertani dan berdagang, sebagian ada juga yang bekerja sebagai guru, montir, pegawai bank dan lainya, namun demikian hanya sebagian kecil.


(46)

BAB V

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARACHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

5.1 Struktur Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi

Cheng Beng (mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara

perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di makam para leluhur mereka yang tujuannya untuk menghormati para leluhur. Hal ini dilakukan karena dalam kehidupan masyarakat Tionghoa mereka percaya bahwa roh-roh leluhur tetap bersama dan selalu mengawasi mereka. Keberuntungan serta kemalangan sebuah keluarga diawasi oleh roh-roh leluhur mereka. Ketika mereka mengingat dan selalu menyembahyangi roh-roh leluhur, maka roh-roh leluhur akan merasa senang dan keluarga pun akan menerima berkatnya, tetapi apabila roh-roh leluhur diabaikan maka mereka akan mengalami kesulitan bahkan lamanya dapat mencapai generasi berikutnya.

Roh-roh leluhur dianggap masih memiliki sifat-sifat duniawi. Mereka tetap mempunyai kebutuhan seperti layaknya ketika mereka masih hidup. Barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas yang menyerupai pakaian, sepatu, uang dan lain-lain dikirim ke dunia roh dengan cara dibakar dan disertai dengan pemanjatan doa-doa. Kesejahtraan roh-roh leluhur tergantung dari penghormatan dan persembahan yang diberikan oleh keturunan-keturunannya yang masih hidup,


(47)

sehingga adanya keturunan dianggap sangat penting guna meneruskan upacara penghormatan terhadap leluhur. Persembahan yang diberikan berbeda-beda menurut tingkat ekonami dalam masyarakat tergantung dari kemampuan keluarganya. Persembahan yang diberikan dapat dikatakan sebagai bentuk tukar- menukar dimana dengan mempersembahkan barang-barang persembahan kepada para leluhur maka diharapkan keturunan-keturunannya akan menerima berkat, kebahagiaan dan umur panjang.

Perayaan Cheng Beng dilakukan setiap bulan ketiga dalam kalender cina

atau pada tanggal 4-6 April (kalender masehi) setiap tahun. Perayaan Cheng Beng

hanya berlangsung selama satu hari tetapi lamanya masa berziarah ke makam para leluhur ialah sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Biasanya

masyarakat Tionghoa akan lebih memilih melakukan ziarah ke makam leluhur sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng karena mereka beranggapan bahwa

roh para leluhur mereka akan merasa lebih senang jika dikunjungi lebih awal. Sedangkan dihari “H” perayaan Cheng Bengitu sendirimereka hanya akan

melakukan sembahyang di rumah masing-masing.

Bagi masyarakat Tionghoa mereka akan berusaha untuk melakukan ziarah makam pada sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng, karena menurut

kepercayaan mereka jika dilakukan lebih cepat maka leluhur akan merasa lebih senang. Pada masa perayaan Cheng Beng tersebut, masyarakat tionghoa akan

membersihkan dan memperbaiki makam para leluhur, karena menurut kepercayaan mereka ziarah makam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun, dan bagi siapa yang mengunjungi makam leluhur diluar masa perayaan Cheng


(48)

Beng (terkecuali jika untuk proses pemakaman) maka akan mendapat kesialan

ataupun anak-cucu mereka tidak akan sejahtera.

Upacara perayaan Cheng Beng memiliki struktur ataupun tahapan-tahapan

dalam melaksanakannya. Adapun struktur ataupun tahapan-tahapan dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng adalah sebagai berikut :

5.1.1 Tahap Persiapan

Persiapan adalah suatu kegiatan yang dipersiapkan sebelum melaksanakan sebuah kegiatan. Dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa akan mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk melakukan upacara tersebut, seperti memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para leluhur sehari sebelum mengunjungi makam. Hal ini dilakukan karena tradisi perayaan Cheng Beng yang diajarkan oleh leluhur mereka yang mengatakan

bahwa pada saat melakukan perayaan Cheng Beng semua makanan yang

dihidangkan harus tersaji dalam kondisi dingin. Kemudian mempersiapkan barang-barang kebutuhan lainnya untuk pelaksanaan perayaan tersebut seperti lilin, dupa, tempat dupa, kertas lima warna, uang akhirat Kimcua dan Gincua,

barang-barang yang akan dipersembahankan dan lain-lain. Selanjutnya dalam mengunjungi makam leluhur masyarakat Tionghoa terlebih dahulu memenjatkan doa kepada dewa bumi, yaitu dewa yang menjaga makam. Kemudian mereka akan membersihkan makam, seperti mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam, mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar makam, menyapu makam dan lain sebagainya. Kemudian mereka akan menyusun lilin (lak


(49)

cek), tempat dupa (hiolo), dupa (hio), makanan dan minuman serta buah-buahan

untuk persembahan di depan makam leluhur. Selanjutnya menebarkan kertas lima warna dimakam leluhur. Setelah semua selesai dilakukan maka selanjutnya masuk ke tahap berikutnya, yaitu tahap sembahyang.

5.1.2 Tahap Sembahyang

Setelah tahap persiapan selesai dilakukan maka akan masuk kedalam tahap sembahyang. Dalam tahap ini masing-masing anggota keluarga akan memanjatkan doa di depan makam leluhur. Dalam memanjatkan doa mereka akan menyalakan dupa (hio) kemudian menghormat tiga kali lalu berdoa dan kembali

menghormat tiga kali lalu menancapkan dupa di tempat dupa (hiolo).

Sembahyang dilakukan berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga. Artinya sembahyang dilakukan mulai dari anggota keluarga yang lebih tua kemudian disusul oleh yang lebih muda dan seterusnya. Dalam tahap ini mereka berdoa kepada para leluhur agar diberikan kemurahan rezeki, kesejahtraan, umur yang panjang dan roh-roh leluhur tetap bersama mereka selamanya.

5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan

Dalam tahap ini barang-barang persembahan yang terbuat dari kertas seperti baju-bajuan, sepatu dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya akan dipersembahkan kepada roh leluhur dengan cara dibakar. Masyarakat Tionghoa


(50)

percaya bahwa barang-barang tersebut nantinya akan dipakai oleh para leluhur di akhirat. Dalam tahap ini juga akan dibakar uang akhirat yang disebut Kimcua

(uang emas) dan Gincua (uang perak). Uang ini dipercaya akan digunakan oleh

roh leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di akhirat selama setahun, artinya sampai perayaan Cheng Beng berikutnya.

5.1.4 Tahap Penutup

Tahap terakhir dari upacara perayaan Cheng Beng adalah tahap penutup.

Tahap penutup dalam perayaan Cheng Beng dilakukan dengan cara berpamitan di

depan makam leluhur. Sama halnya dengan tahap sembahyang, masing-masing anggota keluarga akan berpamitan secara bergantian di depan makam leluhur dengan memanjatkan doa yang mengatakan bahwa mereka telah menunaikan kewajibannya dan sekarang hendak pulang ke rumah masing-masing dan agar sudikiranya roh leluhur untuk datang mengunjungi rumah mereka masing-masing pada saat hari “H” dari perayaan Cheng Beng.

5.2 Makna Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi

Setiap upacara tentu saja makna bagi masyarakat pemiliknya. Begitu juga dengan upacara perayaan Cheng Beng. Secara umum, perayaan Cheng Beng

merupakan perayaan penghormatan kepada leluhur. Dalam penelitian ini penulis juga akan mendeskripsikan bukan hanya makna perayaan Cheng Beng tersebut


(51)

tetapi juga makna dari setiap rangkaian acara dan atribut yang digunakan karena setiap tahap dan setiap atribut memiliki keterkaitan makna satu dan lainnya. Berikut penulis akan mendeskripsikan makna dari setiap tahapan upacara perayaan Cheng Beng.

5.2.1 Makna Tahap Persiapan

Makna dari tahap persiapan dalam melakukan upacara perayaan Cheng

Beng adalah mempersiapkan segala kebutuhan yang akan digunakan untuk

melaksanakan perayaan Cheng Beng tersebut. Bukan hanya mempersiapkan

barang-barang kebutuhan untuk perayaan tersebut tetapi juga mempersiapkan jiwa dan raga untuk menghormati para leluhur. Karena tanpa jiwa dan raga yang ikhlas untuk melaksanakan perayaan Cheng Beng, perayaan tersebut tidak akan

bermakna.

5.2.2 Makna Tahap Sembahyang

Makna tahap sembahyang dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah

mengucap syukur dan terima kasih kepada para leluhur karena telah menjaga, memberikan berkat serta kemurahan rezeki dan tetap bersama dalam keluarga mereka. Ucapan syukur dan terima kasih tersebut dilakukan dengan cara memanjatkan doa kepada para leluhur dengan melakukan sembahyang.


(52)

5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan

Pembakaran barang-barang persembahan ini mempunyai makna yang sama dengan tahap sembahyang, yaitu mengucap syukur dan menyampaikan rasa terima kasih kepada para leluhur. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan yang beranggapan bahwa leluhur mereka yang telah meninggal dunia akan tetap hidup dan tetap menjaga dan mengawasi mereka. Oleh sebab itu, roh para leluhur juga dianggap membutuhkan kebutuhan seperti layaknya mereka masih hidup. Maka dari itu mereka memberikan persembahan barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas yang dipersembahkan kepada roh para leluhur dengan cara dibakar.

5.2.4 Makna Tahap Penutup

Makna dari tahap penutup dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah

berpamitan kepada roh para leluhur dan mengatakan bahwa mereka telah menunaikan kewajiban mereka untuk menghormati dan tetap mengingat jasa-jasa para leluhur. Oleh karena itu mereka berharap agar roh para leluhur tetap menjaga dan bersama mereka selamanya.


(53)

5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng

Didalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa memakai perlengkapan-perlengkapan,seperti :

1. Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek)

Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek) adalah media

penghubung antara dunia dan akhirat. Fungsinya adalah sebagai alat untuk memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu juga sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia. Lilin (lak cek)

berfungsi sebagai alat penerang guna menerangi jalan roh para leluhur menuju dunia akhirat.

Gambar 5.1

Dupa (hio), lilin (lak cek) dan tepat hio (hiolo).

2. Kertas Lima Warna (go sek cua)

Kertas lima warna (go sek cua) adalah kertas berwarna-warni yang di

sebar di seluruh makam para leluhur masyarakat Tionghoa pada masa perayaan Cheng Beng. Menurut masyarakat Tionghoa perayaan Cheng


(54)

Beng bermula dari kertas lima warna, dimana pada zaman dinasti Ming

yang dipimpin oleh kaisar Cu Guan Ciong memerintahkan seluruh

rakyatnya untuk melakukan ziarah ke makam para leluhur mereka masing-masing seraya memberi tanda dengan menebarkan kertas lima warna disetiap makam yang telah di kunjungi. Hal ini bertujuan untuk menemukan makam sanak-keluarga serta para leluhur dari kaisar. Setelah semua rakyatnya melakukan ziarah maka kaisar mengunjungi makam dan ditemukan makam-makam yang tidak dikunjungi dan tidak terawat. Maka kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan beranggapan bahwa diantara makam-makam tersebut pastilah terdapat makam sanak-keluarga serta para leluhurnya. Hal ini kemudian terus dilakukan setiap tahunnya hingga saat ini.

Gambar 5.2


(55)

3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan

Makanan, minuman dan buah-buahan digunakan sebagai persembahan dalam sembahyang Cheng Beng. Makanan yang dipersembahkan adalah

makanan yang disukai oleh leluhur sewaktu mereka masih hidup. Biasanya makanan yang dipersembahkan berupa nasi, mie, daging, dan kue apem. Minuman yang dipersembahkan berupa teh dan arak (arak merah/arak putih). Biasanya jika makanan yang dipersembahkan adalah daging maka minumannya harus arak. Buah-buahan yang dipersembahkan biasanya berupa jeruk, anggur, pir, apel dan nenas.

Gambar 5.3 Makanan persembahan


(56)

4. Uang Akhirat

Uang akhirat ataupun yang lebih dikenal dengan nama Gincua (uang

perak) dan Kimcua (uang emas) adalah uang yang akan dipergunakan oleh

para leluhur di akhirat. Fungsi dari uang akhirat ini adalah dipergunakan untuk membiayai keperluan/kebutuhan para leluhur di akhirat.

Gambar 5.3

Gincua (kiri) dan Kimcua (kanan).

5. Barang-Barang Persembahan

Barang-barang persembahan adalah barang-barang berupa pakaian, sepatu dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas dan biasanya telah di taruh di dalam sebuah kotak layaknya seperti barang yang akan di kirim yang terdapat alamat yang dituju beserta dengan nama pengirimnya, dimana barang-barang ini nantinya akan dibakar. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa di akhirat barang-barang tersebut akan menjadi barang yang nyata dan dapat dipergunakan oleh para leluhur. Persembahan yang


(57)

diberikan kepada roh-roh leluhur berbeda-beda menurut tingkat ekonomi dalam masyarakat, tergantung dari kemampuan keluarganya.

Gambar 5.4

Barang persembahan (kiri) dan barang persembahan yang dibakar (kanan)

5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng

Perlengkapan-perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng memiliki makna tersendiri. Adapun makna dari perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam melaksanakan upacara tersebut adalah sebagai berikut :


(58)

1. Dupa (hio), Tempat Dupa (hiolo) dan Lilin (lak cek)

Makna dari dupa (hio) adalah sebagai alat untuk sembahyang bagi

masyarakat Tionghoa. Dupa yang dibakar dalam sembahyang masyarakat Tionghoa melambangkan keharuman dan keharuman tersebut diharapkan tersebar ke seluruh penjuru alam. Sedangkan tempat dupa (hiolo)

berfungsi sebagai tempat penancapan dupa setelah selesai melakukan sembahyang. Lilin (lak cek) memiliki makna sebagai lambang dari

penerangan. Lilin yang digunakan dalam perayaan Cheng Beng dipercaya

akan menerangi roh para leluhur di dunia akhirat.

2. Kertas Lima Warna (go sek cua)

Makna dari kertas lima warna (go sek cua) adalah sebagai tanda

bahwasanya makam para leluhur tersebut telah dikunjungi oleh keturunannya. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwasanya perayaan Cheng Beng bermula dari kertas lima warna. Tradisi ini terus

dilakukan oleh masyarakat Tionghoa hingga saat ini.

3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan

Makna dari makanan, minuman dan buah-buahan adalah sebagai lambang penghormatan kepada roh leluhur. Masyarakat Tionghoa tetap menghormati leluhur mereka walaupun telah meninggal dunia. Oleh sebab itu makanan, minuman dan buah-buahan yang disukai oleh para leluhur


(59)

sewaktu mereka masih hidup dipersembahkan sebagai bentuk tanda hormat mereka kepada para leluhur.

4. Uang Akhirat

Makna dari uang akhirat adalah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup roh para leluhur di akhirat. Sama halnya dengan uang yang kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita hanya saja uang akhirat tersebut berbentuk emas dan perak yang dikenal dengan nama

Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak).

5. Barang-Barang persembahan

Sama halnya dengan makanan persembahan, makna dari barang-barang persembahan juga adalah sebagai lambang penghormatan terhadap roh para leluhur. Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa kesejahteraan para leluhurnya di dunia akhirat ditentukan oleh penghormatan dan persembahan para keturunannya yang masih hidup. Oleh karena itu, jika keturunannya tidak menghormati dan memberikan persembahan kepada roh leluhurnya maka roh leluhur akan hidup menderita dan sengsara di dunia akhirat. Begitu juga yang terjadi sebaliknya dengan kehidupan keturunannya di dunia, mereka juga akan hidup menderita dan sengsara jika tidak menghormati roh para leluhur. Bahkan dipercaya bahwa penderitaan dan kesengsaraan tersebut dapat terus berlanjut kepada keturunan berikutnya.


(60)

5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng

Bagi masyarakat Tionghoa, jika seorang anggota keluarga meninggal dunia maka biasanya akan dimakamkan atau diperabukan. Jika diperabukan maka abunya akan ditempatkan dirumah abu, disimpan di rumah dengan altar khusus, atau disebar dilaut. Sekarang ini abu dari anggota keluarga yang telah diperabukan sudah jarang disimpan di rumah dengan altar khusus ataupun disebar kelaut, sekarang lebih banyak disimpan di rumah abu. Oleh karena itu masyarakat tionghoa akan memperingati perayaan Cheng Beng dimakam bila anggota

keluarga yang telah meninggal dunia dimakamkan, di rumah abu jika anggota keluarga yang telah meninggal dunia diperabukan dan abunya ditempatkan di rumah abu, di rumah jika abunya ditempatkan di rumah dengan altar khusus dan di laut jika abunya ditebar ke laut.

Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi melaksanakan perayaan Cheng

Beng di makam yang terletak di Vihara Ksitigabara yang merupakan sebuah

vihara bagi etnis Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Hal ini disebabkan karena di kota Berastagi tidak terdapat tempat untuk memperabukan jenazah sehingga pada umumnya masyarakat Tionghoa yang meninggal dunia akan dimakamkan.


(61)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Upacara perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan dengan melakukan ritual sembahyang ke makam para leluhur. Tujuannya adalah untuk menghormati para leluhur.

Tradisi perayaan Cheng Beng diturunkan secara turun-temurun dari

generasi ke generasi. Upacara perayaan Cheng Beng dilaksanakan pada bulan

ketiga kalender cina atau pada tanggal 4-6 april kalender masehi setiap tahunnya. Masyarakat Tionghoa akan melakukan sembahyang ke makam para leluhur mereka sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Sedangkan pada

tanggal perayaan Cheng Beng sendiri (pada hari “H” perayaan Cheng Beng)

mereka akan melakukan sembahyang dirumah masing-masing.

Hasil penelitian yang penulis peroleh dari perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah sebagai berikut :

I. Struktur ataupun tahapan-tahapan dalam perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di kota berastagi adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan, dalam tahap ini akan dipersiapkan semua perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan perayaan


(62)

Cheng Beng seperti, membersihkan makam, menyusun letak dupa

(hio), tempat hio, lilin serta makanan dan minuman persembahan.

2. Tahap sembahyang, pada tahap ini satu persatu anggota keluarga akan melakukan sembahyang di depan makam leluhur dimulai dari yang umurnya lebih tua kemudian disusul oleh orang yang lebih muda dan seterusnya. Mereka akan berdoa kepada para leluhur agar senantiasa diberikan kesejahteraan, kemurahan rezeki, serta umur yang panjang.

3. Tahap pembakaran barang-barang persembahan, dalam tahap ini barang-barang persembahan yang telah dipersiapkan seperti uang akhirat (kimcua/kertas emas dan gincua/kertas perak) serta

barang-barang lainnya yang terbuat dari kertas akan dibakar sebagai bentuk persembahan kepada para leluhur. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa barang-barang persembahan tersebut nantinya akan digunakan oleh para leluhur di dunia akhirat.

4. Tahap penutup, dalam tahap ini masing-masing anggota keluarga akan berpamitan di depan makam leluhurdimana mereka akan berdoa kepada para leluhur agar sudi kiranya mengunjungi rumah mereka masing-masing ketika hari “H” perayaan Cheng Beng.

Kemudian semua makanan yang tadinya telah dipersembahkan akan dibawa pulang ke rumah dan akan dimakan oleh semua anggota keluarga sampai habis, kecuali minuman dan semua


(63)

persembahan yang mengandung unsur air akan tetap ditinggalkan di makam.

II. Makna dari tahapan-tahapan dalam perayaan Cheng Beng tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Makna tahap persiapan adalah mempersiapkan segala kebutuhan yang akan digunakan dalam melaksanakan perayaan Cheng Beng.

2. Makna dari tahap sembahyang adalah mengucap syukur dan terima kasih kepada para leluhur karena telah menjaga, memberi berkat serta kemurahan rezeki dan tetap bersama dalam keluarga mereka. 3. Makna dari tahap pembakaran barang-barang persembahan adalah

bukti tanda ucapan syukur dan terima kasih masyarakat Tionghoa kepada leluhur mereka.

4. Makan dari tahap penutup adalah berpamitan kepada roh para leluhur dengan mengatakan bahwasanya mereka telah menunaikan kewajibannya.

III. Perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan perayaan Cheng Beng adalah sebagai berikut :

1. Dupa(Hio), tempat dupa(Hiolo) dan Lilin(Lakcek)

Dupa(Hio), tempat dupa(Hiolo) dan Lilin(lakcek) adalah media

penghubung antara dunia dan akhirat. Fungsinya adalah sebagai alat untuk memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu dan


(64)

juga sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia.

2. Kertas Lima Warna (Go Sek Cua)

Kertas Lima Warna (Go Sek Cua) adalah kertas warna-warni yang

disebar di seluruh makam para leluhur masyarakat Tionghoa pada saat perayaan Cheng Beng.

3. Makanan, Minuman dan Buah-buahan

Makanan, minuman dan buah-buahan digunakan sebagai persembahan dalam sembahyang Cheng Beng. Makanan yang

dipersembahkan adalah makanan yang disukai oleh leluhur sewaktu masih hidup.

4. Uang Akhirat

Uang akhirat terdiri dari 2 jenis yaitu Kimcua (uang emas) dan

Gincua (uang perak). Masyarakat Tionghoa percaya bahwa uang

tersebut nantinya akan dipergunakan oleh roh leluhur di akhirat. 5. Barang-barang persembahan

Barang-barang persembahan adalah barang-barang berupa kebutuhan hidup seperti pakaian, baju-bajuan, sepatu dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas. Barang-barang tersebut akan dibakar sebagai persembahan kepada leluhur.


(65)

IV. Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Pelaksanaan Perayaan

Cheng Beng

1. Dupa (hio), tempat dupa (hiolo) dan lilin (Lakcek)

Dupa (hio) adalah sebuah alat yang digunakan dalam sembahyang

masyarakat Tionghoa. Tempat dupa (hiolo) adalah tempat untuk

menancapkan dupa setelah selesai melakukan sembahyang. Lilin (lakcek) memiliki makna sebagai lambang dari penerangan dan

dipercaya dapat menerangi roh para leluhur di akhirat. 2. Kertas Lima Warna (go sek cua)

Makna dari kertas lima warna adalah sebagai tanda bahwasanya makam para leluhur tersebut telah dikunjungi oleh para keturunannya.

3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan

Makna dari makanan, minuman dan buah-buahan adalah sebagai lambang penghormatan terhadap para leluhur.

4. Uang Akhirat

Makna dari uang akhirat adalah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup roh para leluhur di akhirat.

5. Barang-Barang Persembahan

Makna dari barang-barang persembahan ini adalah sebagai lambang penghormatan kepada roh para leluhur.


(66)

6.2Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh peneliti barikutnya yang berkenaan dengan upacara perayaan Cheng Beng

2. Penulis berharap agar penelitian khususnya tentang kebudayaan masyarakat Tionghoa lebih banyak di kembangkan dan lebih bermanfaat, sehingga kita dapat mempelajari tentang kebudayaan masyarakat tionghoa, tidak hanya pada upacara perayaan Cheng Beng saja.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima dengan tangan terbuka segala kritikan maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.


(67)

Daftar Pustaka

Buku

Azwar, Saifuddin. 2005. Metode penelitia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Basarshah-H, Luckman Sinar. 2010. Kedatangan Imigran-Imigran China Ke Pantai Timur Sumatera Pada AbadKe-19.Forkala Sumut

Boedicker Martia. 2011. The Philosophy of Thai Chi Chua. Jakarta: PT Alex MediaKomputindo

Cohen, Bruce. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Rineka Cipta: Jakarta

Craib, Ian. 1994. Teori-Teori Sosial Modern. PT Raja Grafindo : Jakarta

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1 Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco

Erlina. 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press

Fathoni, Abdurrahmat. 2005. Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Garut: Rineka Cipta

Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Koentjaraningrat. 2005.PengantarIlmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta

Koentjaraningrat. 2009. Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta

Masinambow. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mintargo. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Sofiani, W.2011. Fungsi dan Makna Makanan Tradisonal Pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa, Medan: Universitas Sumatera Utara

Suwardi, Endaswara . 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Jogjakarta:


(68)

Syafrida. 2012. Kajian Fungsi dan Makna Tradisi JiSi ZuXian YanJiu (Penghormatan Leluhur) dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa, Medan:Universitas Sumatera Utara

Tarigan, Set Benzen. 2012. Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, Medan: Universitas Sumatera Utara

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Tri, Prasetya . 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Rineka Cipta

Veronica Agatha. 2010. I Ching. Tangerang: Karisma

Wiener, Paul L dan Walizer, Michael H. 1991. Metode dan analisis penelitian mencari hubungan. Jakarta: Erlangga

Yohana. 2011. Bentuk, Makna, dan Fungsi Ornamen yang di Gunakan Pada Perayaan Tahun Baru Imlek Masyarakat Tionghoa di Kota Medan,

Medan: Universitas Sumatera Utara

Artikel

Ningsih. 2011. Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa Semakin Sederhana

Afrizal, Rony. 2012. Cheng Beng Berawal Petunjuk Kertas Lima Warna. Analisa,


(69)

Publikasi Elektronik

http/www.perayaan Cheng Beng.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian_kebudayaandiakses pada tanggal

24 April 2012

http://web.budayationghoa.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1


(70)

LAMPIRAN

1. Daftar Informan

1. Nama : Ng Kim Huat Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Ketua Yayasan Sosial Go Sia Kong So

Alamat : jl. Sunggal Komp Pasar I Mas No. B27

2. Nama : Rusli Umur : 55 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Medan

3. Nama: Ng Ming Hua Umur : 68 tahun

Alamat : Jl. Udara No5 A


(71)

4. Nama : Hendrik Umur : 39 tahun

Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe Pekerjaan : Pedagang

5. Nama: Hakim Umur: 77 tahun

Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau MulgapI

Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat

6. Nama : Apo Umur : 56 tahun

Alamat : Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi


(72)

2. Peta Wilayah Lokasi Penelitian


(73)

中文系本科生฀฀฀文开฀฀告฀

学生姓名

฀而文

学号

080710008

指฀教฀ 沈咪

院 文学院

系 中文系

฀฀฀฀

2014

2


(74)

第一章฀฀

1.1

研究背景和目的

印尼是属于多民族的国家,因此就฀生了各种各฀、丰富多彩的印尼文化和 民俗,其中一个是清明฀฀个฀日。在印尼,有两个最主要的种族,就是印尼 的本地人和印尼的฀฀。每个种族都฀清明฀,只不฀日子、称呼和活฀不 一฀。而且有的฀候在不同的地方、不同的城市,或不同的฀,也有不一฀的 方式和活฀来祭拜祖先。比如:在印尼,฀฀฀的清明฀,就是去自己祖先的 ฀墓祭拜祖先,฀供献一些食物,如水果、面条等,฀把那些用฀做的衣服、 汽฀、冰箱、房子、黄金、฀、฀฀机等都฀฀祖先。我฀相信฀些฀西฀ 了后,祖先就会在天堂使用฀些฀西。印尼本地人的清明฀比฀朴素一些,他 ฀去祭拜祖先฀,一般只฀花和水,他฀把水倒在฀墓,有把฀墓洗干฀的含 ฀,然后再把花洒฀฀墓。另外,不同地方,不同฀的民族,฀清明฀฀,也各 有自己独特的方式。

1.2

研究฀状

[1]฀洪海的《印尼的清明฀》(2009) ฀篇文章写了在印尼,฀฀฀的

清明฀,就是去自己祖先的฀墓祭拜祖先,฀供献一些食物,如水果、面条等, ฀把那些用฀做的衣服、汽฀、冰箱、房子、黄金、฀、฀฀机等都฀฀祖 先。我฀相信฀些฀西฀了以后,祖先就会在天堂使用฀些฀西。印尼本地 人的清明฀比฀朴素一些,他฀去祭拜祖先฀,一般只฀花和水,他฀把水倒 在฀墓,有把฀墓洗干฀的含฀,然后再把花洒฀฀墓。另外,不同地方,不同 ฀的民族,฀清明฀฀,也各有自己独特的方式。比如:在印尼的首都雅加达, 因฀建筑多,空地比฀少,所以一般如果人死工他฀就会把死人的尸体฀掉,


(1)

2。฀五色

฀五种฀色丰富多彩的฀฀在整个中国人的祖先的฀墓฀祝清 明期฀฀播。据清明中国社区฀祝活฀始于五种฀色的฀,฀在明代的฀฀ 下,皇帝朱元璋฀下令所有公民朝圣先人的฀墓,同฀฀志着฀文蔓延五种 ฀色在每个墓参฀。它的目的是找฀戚皇帝祖先的฀墓。฀竟人฀朝圣参฀ 皇帝的陵墓,฀฀฀墓也没有฀฀฀并没有得到很好的฀฀。那么皇帝的宗 教฀฀฀些墓葬通฀假定฀些墓葬中是墓葬必฀有฀属和祖先。然后,它฀ ฀每年直到฀在。

5.2画 ฀五色

3。食品,฀料和水果

食品,฀料和水果作฀供品祈祷清明。提供的食物是首฀食品 用的祖先,而他฀฀活着。在米,面,肉的形式通常是食物提供。฀料中的


(2)

5.2画 食品,฀料和水果

4。此后฀

此后฀将用于在来世祖先的฀。此后฀฀的功能,用于฀助在 来世祖先的目的/需求。


(3)

5。商品奉献

提供฀物的商品,如衣服,鞋子和฀做的其他฀฀,并通常一 直存在在一个盒子一฀的物品将被送到随着฀件人,而฀些฀目的名称列出 的地址将被฀฀。中国社会在后世฀฀,฀些฀目将是一个有形的物品,可 用于由祖先。฀฀品是฀祖灵取决于社会的฀฀水平,฀取决于家庭的能力 。

5.2画 商品奉献


(4)

第五章 印尼฀裔清明฀的意฀在฀达山

在中国社会中฀达山฀ 清明 ฀典฀式是开展฀行祈祷฀式,以祖墓 的฀฀。我฀的目฀是履行฀祖先。在฀฀研究中,作者฀描述了฀典程明 不฀含฀,而且每一个用于每个฀段和每个属性具有฀一的含฀和其他฀的 事件和属性的含฀。下面笔者将介฀清明฀典฀式每个฀段的意฀。

5.2.1

含฀准฀฀段

在准฀฀段的含฀清明฀典฀式是准฀全部将用于开展฀祝清明的需求。

不฀准฀฀物的฀祝活฀,฀要准฀的฀฀和身体尊敬祖先。因฀没有一个真฀的 心฀和灵魂,以携程崩฀,฀祝活฀将没有意฀。

5.2.2

祈祷฀段的含฀

祈祷฀式舞台清明฀日的意思是感恩和感฀祖先฀养,฀予祝福和怜 ฀的寄托,并保持在一起在他฀的家庭。感恩和感激的祷告方式通฀฀行祷 告做的祖先。

5.2.3฀意味着燃฀冥商品


(5)

5.2.4

含฀截止期

฀式的最后฀段的意฀是฀祝清明再฀฀了祖先的精神,并฀自己已 ฀履行฀฀,尊重并牢฀祖先的服฀。因此,他฀希望祖先的灵魂,并与他 ฀保持永฀。


(6)

参考文献

[1]฀洪海.印尼的清明฀.2009.(J)

[2] 江玉祥.清明฀的来฀及文化意฀.2009. (J)

[3]฀益฀少.广฀清明฀及相关民俗述析.2008. (J)

Azwar, Saifuddin. Metode penelitia【M】. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1998

Billy, Graham. Facing Death And The Life After【M】. Waco Texas: Word Publishing.1987

Boedicker Martia. The Philosophy of Thai Chi ChuaM. Jakarta: PT Alex

Media Komputindo.2011

Bruce, Milne.Knowing The TruthA Hand Book Of Christian BeliefM.

England: Inter-Varsity Press.1982

Cohen, Bruce. Sosiologi Suatu PengantarM. Rineka Cipta: Jakarta.1992

Erlina. Metodologi PenelitianM. Medan: USU Press.2011

Koentjaraningrat. Ilmu AntropologiM】. Rineka Cipta. Jakarta.2009

Masinambow.Koentjaraningrat dan Antropologi di IndonesiaM. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia .1997