Upacara Dan Makna Minum Teh Bagi Masyarakat Tionghoa

(1)

UPACARA DAN MAKNA MINUM TEH BAGI MASYARAKAT TIONGHOA

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: ASTY PERBINA GINTING NIM: 070710015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA CINA MEDAN


(2)

ABSTRACT

The title of this research is “ Upacara dan Makna Minum Teh bagi Masyarakat Tionghoa”. In this research, the writer is trying to description tradition and meaning of Tea Ceremony in ethnic Tionghoa. Due the title, there are some concepts written in chapter two, they are ceremony, kind of tea, ethnic Tionghoa.. The theory used in this paper is function of culture and ceremony theory that is used to analysis the function and meaning of tea ceremony in many Chinese tradition. The methodology used on the research to describe the data is descriptive. In the last chapter, the result of the analysis shows that the tea ceremony usually can be see on Chinese tradition, such as wedding ceremony,gong fu cha ceremony,dao cha ceremony, wu wo ceremony and ancestor veneration ceremony. All of the tea ceremony shows that tea ceremony is very important in chinese tradition and give some meaning.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi pribadi yang paling penulis yang sangat cintai di atas segalanya yaitu Allah Bapaku yang Maha Baik, Sahabat Sejatiku, Penebusku Yang Hidup, Yesus Kristus atas segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “ Upacara Dan Makna Minum Teh Bagi Masyarakat Tionghoa ”. Penulis berharap skripsi ini berguna bagi pembaca, terutama sekali bagi mahasiswa Sastra Cina yang ingin mengetahui tentang upacara dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemui kesulitan maupun hambatan, baik mengenai tentang upacara dan makna minum teh sebagai sumber acuan, maupun disebabkan terbatasnya kemampuan penulis dalam bidang yang akan dibahas, namun berkat dan penyertaan dari Allah Bapa serta dukungan moril maupun semangat yang telah diberikan oleh banyak pihak yang ada di sekitar selama penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan yang ada didalamnya, untuk itu penulis bersedia menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:


(4)

1. Yang terhormat, Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Yang terhormat , Dr. T. Thyrahaya Zein, M.A, selaku Ketua Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Yang terhormat, Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, MSi, selaku Sekretaris Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Yang terhormat, Ibu Dra. Lila Pelita Hati, MSi, selaku Pembimbing I yang telah membantu saya dalam hal tenaga, waktu dan ide pemikiran dalam memberikan masukan, serta pengarahan yang membantu pengerjaan skripsi ini. 5. Yang terhormat, Laoshi Julina, MTCSOL, selaku Pembimbing II yang telah

banyak memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.

6. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra Cina , yaitu : Kuang Xiao Rong,M.A,Ph.D; Liao Jianqi,M.A,Ph.D; Shao Chang Chao,M.A,Ph.D; Yu Xin,M.A dan seluruh staf pengajar Program Studi Sastra Cina lainnya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama masa perkuliahan.

7. Teristimewa buat orangtua saya yang saya sayangi dan saya cintai, Ayahanda Ir.Ardin Ginting dan Ibunda saya Dra.Saribakty Surbakti yang selama ini telah mengasuh, membesarkan, dan mengasihi dengan penuh rasa cinta, pengorbanan, kasih dan sayang, doa yang tulus, serta mendukung dalam segala hal dan situasi.


(5)

8. Yang saya cintai dan sayangi Adik-adikku Stefiany Sasmita Ginting Amd, dan Rendy Wijaya Ginting atas dukungan doa dan semangat yang diberikan selama ini.

9. Yang selalu memberi warna bagi hari-hariku dalam perkuliahan yaitu teman-temanku yang kusayangi: Seninaku yang paling cerewet sedunia Rindi Ginting, Yuliana si ibu guru Singosari, Veronika Brahmana si ibu konsultan, Rahmi si cuming, dan si nande Yuli Rowi. Thanks all buat masa-masa indah dalam persahabatan kita selama ini baik suka maupun duka yang telah kita lewati selama ini dan mudah-mudahan persahabatan kita ini tetap awet untuk selamanya.

10.Rekan-rekan mahasiswa/i Sastra Cina (2007) dan adik-adik ’08-12’ yang tidak bias disebutkan satu persatu, yang telah menjalin ikatan persaudaraan yang baik selama masa perkuliahan.

Atas semuanya ini penulis tidak dapat membalas segala jasa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis hanya bisa mendoakan dan memohon kepada Tuhan semoga diberikan balasan yang jauh melebihi dari bantuan yang telah diberikan, Amin.

Medan, Desember 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 ManfaatTeoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ... 6

2.1 Kajian Pustaka ... 6

2.2 Konsep ... 7

2.2.1 Tata Bahasa ... 7

2.2.2 Jenis Kata ... 9

2.2.3 Upacara Minum Teh ... 16

2.2.4 Makna………..17


(7)

2.2 Landasan Teori ... 20

2.3.1 Fungsionalisme Kebudayaan ... 21

2.3.2 Teori Upacara ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Metode Penelitian ... 24

3.2 Data dan Sumber Data ... 25

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 25

3.3.1 Wawancara………....26

3.3.2 Observasi Lapangan………..27

3.3.3 Studi Kepustakaan………28

3.4 Teknik Analisa Data………..28

BAB IV UPACARA DAN MAKNA MINUM TEH BAGI MASYARAKAT TIONGHOA ... 29

4.1. Upacara Minum Teh ... 29

4.1.1 Upacara Gong-Fu Cha... 29

4.1.2 Upacara Teh Taoist ... 37

4.1.3 Upacara Teh Wu Wo………41

4.1.4 Upacara Perkawinan……….42

4.1.5 Upacara Pemujaan Leluhur………..46

4.2. Makna Minum Teh………....50

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 52

5.1 Simpulan ... 52


(8)

DAFTAR PUSTAKA……….55 LAMPIRAN………57


(9)

ABSTRACT

The title of this research is “ Upacara dan Makna Minum Teh bagi Masyarakat Tionghoa”. In this research, the writer is trying to description tradition and meaning of Tea Ceremony in ethnic Tionghoa. Due the title, there are some concepts written in chapter two, they are ceremony, kind of tea, ethnic Tionghoa.. The theory used in this paper is function of culture and ceremony theory that is used to analysis the function and meaning of tea ceremony in many Chinese tradition. The methodology used on the research to describe the data is descriptive. In the last chapter, the result of the analysis shows that the tea ceremony usually can be see on Chinese tradition, such as wedding ceremony,gong fu cha ceremony,dao cha ceremony, wu wo ceremony and ancestor veneration ceremony. All of the tea ceremony shows that tea ceremony is very important in chinese tradition and give some meaning.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap negara mempunyai kebudayaan yang khas yang dimiliki dari negara tersebut. Kebudayaan masing-masing suku bangsa dapat berdampingan, tumbuh dan berkembang secara bersama-sama tanpa ada persaingan budaya. Istilah kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa dan cipta manusia yang semuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.

Budaya secara harafiah berasal dari bahasa latin yaitu Colere yang memiliki arti bercocok tanam (culvation) atau disebut juga mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Poerwanto, 2000:51).

Selain definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, adapun pengertian kebudayaan yang juga dipaparkan dalam Xiandai Hanyu Cidian (现代汉语词典,

2005:1427) : “ 人类在社会历史发展过程中所创造的物质财富和精神财富的总

和 , 如 文 学 、 艺 术 、 教 育 、 科 学 等 。 (Kebudayaan adalah keseluruhan kekayaan materi dan kekayaan jiwa yang diciptakan manusia dalam proses perkembangan sejarah masyarakat, misalnya sastra, seni, pendidikan, ilmu pengetahuan dan sebagainya).


(11)

Negara Cina merupakan salah satu negara yang kaya akan budaya dan tradisi, serta merupakan suatu bangsa yang memilki kebudayaan yang sangat tinggi. Kebudayaan dan peradaban Cina digolongkan sebagai salah satu dari lima yang tertua, yaitu Mesir, Babilon, Aztec, dan Yunani. Mereka telah mengenal peradaban sejak beberapa ribu tahun sebelum Masehi. Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tersebut tetap dipelihara sampai sekarang, salah satu tradisi budaya tersebut adalah minum teh.

Minuman yang sering diminum oleh masyarakat Tionghoa adalah teh dan arak. Dari kedua jenis minuman tersebut, teh adalah minuman yang paling penting dalam masyarakat Tionghoa, dan biasanya mereka menyebutnya cha (茶) (Skripsi Yuanita, 2009: 1).

Kebiasaan minum teh sudah dikenal sejak ribuan lalu, dan sangat sulit dilepaskan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Ada pepatah kuno Cina yang mengatakan bahwa “ lebih baik tanpa makanan sehari, dari pada tanpa teh sehari ”. Bagi masyarakat Tionghoa, minum teh merupakan hal yang sudah menjadi tradisi atau ritual sehari-hari yang tidak dapat terlewatkan. Mulai dari usia muda sampai orang tua, semuanya menyukai minum teh.

Budaya minum teh di Cina banyak dilakukan dalam berbagai upacara, seperti upacara keagamaan, penyembahan leluhur, upacara perkawinan, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari sekalipun tidak lepas dari budaya minum teh.

Dalam masyarakat dunia, teh merupakan salah satu minuman tertua dan paling dihormati. Penyebaran teh di dunia sangat cepat, mulai dari Cina, Jepang, Eropa, hingga ke Indonesia dan negara kawasan Asia lainnya.


(12)

Negara Cina merupakan negara yang pertama kali menemukan kegunaan teh sebagai minuman maupun obat-obatan. Propinsi Yunnan, merupakan salah satu daerah di mana teh pertama kali ditemukan.

Di Cina, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Penemuan teh ini terjadi ketika beberapa helai daun teh tersebut masuk ke dalam rebusan air Kaisar Shen Nung, ketika diminum, ia merasa bahwa air tersebut lebih sedap daripada air putih biasa. Sejak itu teh pun mulai dikenal dan disebarluaskan keseluruh penjuru Cina. Teh merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Karena berkaitan dengan pandangan hidup sebagai landasan dilakukannya budaya minum teh tersebut.

Teh bagi masyarakat tionghoa memiliki makna yang sangat penting. Teh yang digunakan dalam setiap perayaan upacara budaya masyarakat Tionghoa memiliki maknanya hingga saat ini.

Melihat aspek di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana upacara dan makna minum teh pada masyarakat Tionghoa di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalalah

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana upacara minum teh bagi masyarakat Tionghoa?

2. Bagaimana makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa?


(13)

1. Menjelaskan tentang upacara minum teh bagi masyarakat Tionghoa. 2. Menjelaskan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan penulis mengenai budaya minum teh bagi masyarakat Tionghoa.

2. Diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat mengenai budaya minum teh bagi masyarakat Tionghoa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi Sastra Cina dan bagi peneliti selanjutnya digunakan sebagai bahan referensi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Setiap pelaksanaan penulisan karya ilmiah pasti selalu bertolak dari adanya masalah yang dihadapi dan harus dipecahkan. Supaya penulisan skripsi ini dapat terarah dan pembahasannya juga tidak mengambang, dan tidak terjadi kesimpangsiuran, maka penulis akan membatasi masalah yang dipaparkan.


(14)

Sesuai dengan judul skripsi ini adalah upacara dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa, maka yang menjadi permasalahan budaya minum teh. Dalam hal ini penulis membatasi upacara dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa.


(15)

Dalam skripsi ini, penulis melakukan kajian pustaka dan penelitian lapangan melalui observasi dan wawancara. Penelitian lapangan melalui observasi dan wawancara dengan beberapa informan dilakukan untuk mendukung konsep dan teori dalam kajian pustaka.

Kajian pustaka berisi mengenai konsep dari penelitian, landasan teori yang digunakan peneliti sebagai landasan berfikir untuk dapat memahami penelitiannya, serta penelitian peneliti sebelumnya yang menjadi sumber referensi bagi peneliti sendiri.

2.1 Kajian Pustaka

Yuanita Tanuwijaya, skripsi (2009): Upacara Minum Teh sebagai Bagian Kebudayaan Masyarakat Tionghoa. aspek yang dibahas dalam skripsi ini adalah dipaparkannya bagaimana budaya minum teh di negara Cina yang mencakup asal mula, perkembangan budaya, perangkat minum teh, dan upacara minum teh itu sendiri, yang dikaji lebih mendalam mengenai refleksi kehidupan dalam masyarakat Tionghoa di Negara Cina dalam budaya minum teh di Negara Cina.

Skripsi Yuanita Tanuwijaya sangat membantu dalam pemahaman saya tentang hubungan budaya minum teh dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa.

Ratna Sumantri (2007) menulis tentang Kisah dan Khasiat Teh. Buku ini mengajak kita untuk menikmati teh . Buku ini sangat membantu sekali dalam hal skripsi peneliti, karena dalam buku ini peneliti dapat mengambil bahan-bahan yang sangat penting dan bermanfaat seperti tentang sejarah teh dan asal mula teh.


(16)

Ara Rossi (2010) menulis tentang 1001 teh dari Asal-usul, Tradisi, Khasiat, hingga Racikan Teh. Buku mengenalkan tentang jenis-jenis teh, asal-usul, tradisi, hingga racikan dari teh tersebut. Buku ini sangat membantu peneliti dalam hal penulisan skripsi, karena dalam buku ini penulis dapat mengambil bahan-bahan yang sangat penting tentang jenis-jenis teh.

2.2 Konsep

Konsep merupakan definisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan variabel-variabel mana yang kita inginkan, untuk menentukan hubungan empiris. Pengertian konsep dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Konsep yang dipakai dalam penelitian ini menyangkut hal-hal yang berkaitan upacara dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa.

2.2.1 Sejarah Teh

Menurut catatan sejarah yang ada, Negara Cina merupakan negara yang pertama kali menemukan teh sebagai minuman maupun obat-obatan. Provinsi Yunnan, merupakan salah satu daerah dimana teh pertama kali ditemukan. Kisah yang paling banyak diikuti tentang asal-usul teh, adalah cerita tentang Kaisar Shen Nung yang hidup sekitar tahun 2737 Sebelum Masehi. Kaisar Shen Nung juga disebut sebagai Bapak Tanaman Obat-obatan Tradisional Cina pada saat itu. Konon kabarnya, pada suatu hari ketika sang Kaisar sedang bekerja di salah satu sudut kebunnya, terlebih dahulu ia merebus air air dikuali di bawah rindangan pohon. Secara kebetulan, angin bertiup cukup keras dan menggugurkan beberapa


(17)

helai daun pohon tersebut dan jatuh ke dalam rebusan air dan terseduh. Sewaktu sang Kaisar meminum air rebusan tersebut, ia merasa bahwa air yang diminumnya lebih sedap dari pada. Daun air putih biasa dan menjadikan badan lebih segar. Daun yang terseduh ke dalam rebusan air sang Kaisar adalah daun teh.

Perkembangan teh di Cina cukup panjang sejak ditemukan oleh Kaisar Shen Nung. Sampai abad ketiga, teh biasa dikonsumsi sebagai minuman penguat (tonik). Kepopuleran teh di Cina mulai berkembang pesat pada abad keempat dan kelima. Perkebunan-perkebunan teh baru dibuka di sepanjang lembah sungai Yangtze yang subur. Teh yang sebelumnya hanya bisa dinikmati keluarga kerajaan atau pejabat negara mulai dapat juga dicicipi oleh masyarakt umum di kedai teh dan rumah makan.

Teh mengalami masa keemasan pada masa Dinasti Tang (618-906). Pada zaman ini, teh tidak sekedar disajikan sebagai minuman penyegar, tetapi harus melalui sebuah upacara yang kompleks dan menarik. Buku teh yang pertama juga muncul pada zaman ini. Lu Yu menulis sebuah buku yang menceritakan semua aspek tentang teh, jenis, proses produksi dan peralatan yang diperlukan dengan cara menyeduh, perangkat, khasiat, dan tradisinya (Ratna Sumantri & Tanti K, 2011: 34).

Pada zaman ini, daun teh yang masih muda dipetik, dikukus, dihancurkan, dan dicampur dengan sari buah plum untuk membuatnya menjadi pasta yang kemudian dicetak dan dibakar sampai kering, sehingga mirip balok. Untuk menyajikannya, balok teh tersebut dipanaskan sampai cukup lunak, lalu dihaluskan menjadi serbuk. Serbuk inilah yang dididihkan dengan air. Di


(18)

beberapa daerah ada yang yang menambahkan garam, jahe, kulit jeruk, cengkeh, daun minth, dan lain-lain ke dalam seduhan teh.

Pada zaman Dinasti Song (960-1279) balok teh dihaluskan sampai menjadi bubuk. Bubuk ini dikocok dengan air panas sampai berbuih. Pada zaman ini, penambahan rempah-rempah sudah tidak lagi dilakukan, digantikan minyak bunga melati atau Chrysanthemum (Ratna Sumantri & Tanti K, 2011: 35).

Pada masa Dinasti Ming (1368-1644), Bangsa Cina mulai membuat teh dengan air mendidih. Sedikit adaptasi, tempat penuangan anggur tradisional dari Cina yang menggunakan penutup menjadi teko teh yang sempurna.

Selama masa pemerintahan Dinasti Han, Tang, Song, dan Yuan, komoditas teh diperkenalkan ke dunia luar melalui pertukaran kebudayaan menyeberangi Asia Tenggara, menyelusuri benua Eropa, sambil memperdagangkan kain sutera, yang disebut dengan perdagangan Jalur Sutera ( Ara Rossi, 2010: 3).

2.2.2 Jenis Teh

Menurut Dorothy Perkins “teh adalah minuman yang terbuat dari daun kering tanaman perdu (Latin: Camellia Sinensis),(Dorothy Perkins dalam skripsi Yuanita Tanuwijaya).

Tanaman teh adalah saudara jauh dari camellia, dengan daun hijau lembut yang mengkilap dan berujung lancip. Bunganya berwarna putih dengan benang sari kuning. Tanaman asli Cina ini bisa tumbuh setinggi 1,5 meter dan bisa berumur hingga 70 tahun. Sejak peristiwa legendaries Kaisar Shen Nung, orang Tionghoa memelihara dan mengkonsumsi tanaman herbal aromatika itu dengan


(19)

sangat serius. Lalu dongeng-dongeng pun bertebaran terkait daun-daun kecil yang jatuh ke periuk Kaisar itu.

Di Cina sendiri, teh baru benar-benar menjadi minuman untuk penyegar pada 1500 tahun lalu. Sebelumnya, teh dipandang sebagai minuman jamu medis untuk tujuan kesehatan. Orang tidak meminumnya untuk mengatasi haus. Dulu, hanya kalangan aristocrat yang bisa mendapatkan rasa teh sebagai seduhan dan ini terjadi dalam era Dinasti Han.

Perkembangan kemudian yang favorit adalah teh balok yang kini masih bisa didapatkan di beberapa bagian Cina daratan. Dalam bentuk ini, daun teh dipress secara bersama dan dikeringkan menjadi bentuk-bentuk balok. Namun, kadang baloknya berbentuk bundar dengan lubang di tengahnya seperti donat, sehingga sejumlah teh balok bisa digantung barjajar dengan seutas tali agar gampang dibawa-bawa.

Teh Cina dibagi dalam enam jenis teh yang sebenarnya barasal dari tanaman yang sama. Yang membedakannya adalah cara memproses daun teh setelah dipanen. Jenis-jenis teh tersebut adalah teh putih, teh hijau, teh oolong, teh hitam, teh pu-erh, dan teh kuning.

1. Teh Putih

Teh putih merupakan jenis teh yang tumbuh di pegunungan tinggi Propinsi Fujian. Teh putih merupakan teh yang dibuat dari pucuk daun teh yang tertinggi dan tidak mengalami proses oksidasi sama sekali. Sewaktu belum dipetik pun diusahakan terlindungi dari sinar matahari untuk menghalangi pembentukan klorofil. Bagian teh yang digunakan adalah pucuk teh saja. Untuk itu, jangan


(20)

heran jika harganya memang sedikit lebih mahal dibandingkan teh jenis lainnya. Akan tetapi menurut penelitian, ekstrak teh putih dapat mencegah berkembangannya jaringan lemak sehingga menghambat potensi kegemukan dan membantu membakar lemak.

2. Teh Hijau

Teh hijau merupakan teh yang sangat populer di negara Cina dan Jepang. Teh hijau dikeringkan dengan cara yang sama, namun daunnya yang setelah dipetik sesegera mungkin dipanggang di atas arang kayu yang panas. ini bertujuan untuk membunuh semua enzim fermentasi sebelum sempat berfungsi. Proses daun-daunnya layu dan kering dengan warna masih cokelat kehijauaan.

Hasil penyeduhan dari teh hijau adalah teh berwarna hijau muda dan pucat cenderung bening. Teh yang telah berusia 3000 tahun ini mengandung nilai kesehatan yang tertinggi dan memiliki sifat mendinginkan dan mampu menghilangkan racun panas dan berkhasiat meringankan gejala-gejala panas seperti, demam, panas dalam, batuk, dan peradangan.

Ada beberapa macam teh hijau yang sangat populer dan sering diminum, antara lain adalah Longjing yang tumbuh di Xihu daerah Hangzhou, teh Biluochun dari propinsi Jiangsu, teh Maofeng yang berasal dari Huangshan di Propinzi Anhui, teh Liu’an Guapian yang berasal dari daerah Liu’an, dan teh Maojian dari daerah Douyun di pro

3. Teh Oolong

Teh oolong mengandung makna “naga hitam”. Alkisah, seorang petani teh di Fujian, China, sedang berjalan-jalan di perkebunan teh miliknya sambil


(21)

mencari inspirasi untuk mendapatkan teh dengan aroma baru. Tiba-tiba dia dikagetkan oleh munculnya seekor ular besar berwarna hitam dari serumpun pohon teh yang belum pernah dilihatnya. Ular hitam tersebut kemudian menghilang dan si petani yang penasaran kemudian memetik daun teh dari rumpun teh tempat ular tadi muncul dan mengolahnya menjadi teh oolong.

Teh oolong sering juga disebut semi-fermented tea, yang mengalami fermentasi sebagian. Umumnya diproduksi di Taiwan dan China bagian Selatan. Untuk memproduksi teh oolong, daun teh dilayukan dengan cara dijemur atau diangin-anginkan. Kemudian, daun teh disiapkan untuk proses oksidasi, seperti pada proses pembuatan teh hitam. Perbedaanya, pada teh oolong, oksidasi hanya dilakukan sebagian. Lama proses oksidasinya tergantung pada pembuatannya dan akan menghasilkan jenis teh oolong yang berbeda-beda. Ada empat kategori besar teh oolong berdasarkan pada tingkat oksidasinya, yaitu: oolong dengan tingkat oksidasi 5-15 persen, 20-30 persen, 30-40 persen, dan 60-70 persen. Semakin tenggi tingkat oksidasinya, maka semakin gelap warna tehnya. Kemudian, daun teh dibentuk dan bentuknya yang khas adalah seperti gumpalan daun yang terpilin. Teh oolong sangat bagus untuk mengemulsikan lemak dan kolestrol.

4. Teh Hitam

Teh hitam dibuat dari daun teh yang dikeringkan oleh sinar matahari di atas nampan bambu yang sering-sering ditampi dan diputar agar panasnya dan keringnya merata. Setelah beberapa jam dijemur, daun teh kemudian digoreng tanpa minyak di dalam wajan panas membara yang disebut dengan kuo. Terakhir, daun teh yang kering itu digulung sepeti bola-bola kecil.


(22)

Proses ini mengulangi beberapa kali sehingga enzim-enzimnya keluar mengoksidasi daun teh untuk membuatnya menjadi hitam. Akhirnya, setelah proses fermentasi dianggap sudah cukup matang, teh hitam ini dikeringkan dalam keranjang di atas api arang kayu yang membara dengan tujuan memotong proses fermentasi dengan cara membunuh enzim-enzim itu. Teh hitam sangat bagus untuk membersihkan saluran pencernaan, karena dapat mengemulsikan lemak dan kolestrol.

5. Teh Kuning

Teh kuning kurang populer dibandingkan dengan jenis teh lainnya. Hanya diproduksi di China, di Provinsi Anhui dan Hunan. Jumlahnya pun sangat terbatas karena proses produksinya yang memakan waktu dan memerlukan kecermatan yang tinggi. Teh ini sekarang cukup populer di kalangan pencinta teh di luar China karena karena keunikannya.

Seperti namanya, warna daun teh keringnya dalah kuning keemasan. Proses peroduksi teh kuning mirip dengan proses produksi dari teh hijau China. Perbedaanya, pada teh kuning proses pengeringan diperlambat, dengan menambahkan proses ysng dinamakan men hua yaitu daun teh perlahan-lahan dikukus (steamed) kemudian ditutup dengan kain. Proses ini bisa dilakukan selama beberapa jam sampai beberapa hari dan selama proses ini daun teh mengalami perubahan dan menghasilkan taste dan aroma yang khas dari teh kuning ini. Proses ini membuat kadar astringency dan rasa pahit yang biasa ada pada teh hijua menjadi hilang. Teh kuning tetap memiliki banyak pengemar


(23)

karena rasanya yang khas, karena rasanya lebih manis dan lembut dari pada teh hijau.

6. Teh Pu Erh

Teh Erh termasuk teh yang langka. Nama Erh tea berasal dari Pu-Erh City, yaitu sebuah kota yang dulunya merupakan pusat perdagangan teh. Teh Pu Erh bisa dibilang wine-nya teh. Semakin lama Pu-Erh disimpan maka mutu dan harganya juga semakin melangit. Selain dipergunakan untuk pengobatan, teh ini juga memiliki pesona tersendiri karena bisa disimpan selama puluhan tahun lamanya.

Teh Pu-Erh ini memang sangat unik, jika pada teh bisa kita menghindari penyimpanan yang lama karena aroma dan rasanya sudah banyak berkurang. Akan tetapi, pada teh Pu-Erh, penyimpanan yang semakin enak. Waktu minimal masa penyimpanan yang dibutuhkan untuk bisa dikonsumsi adalah selama 2 tahun.

Proses pembuatan teh memerlukan waktu yang cukup lama hingga bertahun-tahun lamanya. Setelah melewati beberapa proses yang cukup mamakan waktu, teh ini sengaja disimpan di bawah tanah untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Mungkin karena proses penyimpanan ini, sehingga membuat teh ini sering dikenal dengan aroma tanah.

Berbeda dari teh lainnya yang tidak dikonsumsi terlalu lama dari usia produksinya, teh Pu-Erh bisa berusia puluhan tahun lamanya. Usia yang paling muda adalah 1 hingga 4 tahun dan paling lama bisa mencapai usia 50 tahun. Teh Pu-Erh dihasilkan dari pohon teh yang tinggi dan serta tua. Bagian yang dijadikan sebagai teh pun diambil dari daun yang lebih tua.


(24)

Teh Pu-Erh terdiri dari dua jenis, yaitu mentah dan matang. Teh Pu-Erh yang masih mentah bisa langsung dibuat teh atau disimpan selama beberapa waktu hingga matang. Selama masa penyimpanan, teh Pu-Erh mengalami masa oksidasi mikrobiologi tahap kedua. Teh Pu-Erh yang matang dibuat dari daun tehyang mengalami oksidasi secara artificial supaya menyerupai rasa dari teh Pu-Erh mentah yang telah lama disimpan dan mengalami masa proses penuaan yang alami. Teh Pu-Erh yang matang dibuat dengan mengontrol kelembapan dan temperatur daun teh sangat mirip dengan proses pengomposan.

Teh ini merupakan teh yang benar-benar hasil fermentasi. Sementara itu, black tea dan oolong tea sering salah sebut sebagai hasil fermentasi, padahal yang semestinya adalah hasil oksidasi. Mungkin hal ini bisa diperdebatkan karena dari beberapa sumber dikatakan bahwa Pu-Erh juga merupakan hasil dari oksidasi, seperti halnya dengan black tea dan oolong tea.

Dari bentuknya, teh Pu-Erh dibagi menjadi dua, yaitu compressed tea dan loose tea. compressed tea adalah Pu-Erh yang dipadatkan berbentuk kue atau kotak yang menyerupai tegel. Karena bentuknya itu, teh ini sering disebut sebagai Pu-Erh cake. Minuman teh Pu-Erh dibuat dengan merebus daun teh di dalam air yang mendidih selama lima menit.

2.2.3 Upacara Minum Teh

Upacara menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990-1994) adalah 1. Tanda-tanda kebesaran, 2. Peralatan menurut adat istiadat, 3. Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait kepada aturan-aturan tertentu


(25)

menurut adat atau agama, 4. Perbuatan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upacara budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut tradisi orang Tionghoa, teh adalah salah satu dari tujuh bahan pokok yang harus dimiliki setiap rumah tangga. Lainnya adalah kayu bakar, beras, minyak goreng, garam, bumbu kedelai, dan cuka (Utomo, 2010: 295).

Upacara minum teh Cina merupakan sebuah waktu yang suci dan sakral untuk orang-orang biasa berkumpul bersama dengan saling berbincang-bincang dan saling berbagi pikiran dan perasaan mereka. Upacara minum teh ini merupakan cara untuk memfokuskan energi mental, relaksasi, dan menikmati tradisi kuno. Tujuan yang ingin dicapai dalam upacara minum teh ini adalah memperlambat, menikmati saat-saat itu, dan membuka hati seseorang terhadap inspirasi dari seni dan keindahan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam upacara teh, seseorang akan memiliki waktu untuk hati dan pikiran mereka untuk menikmati pengalaman penuh pada saat-saat itu. Dengan menikmati kemurnian warna teh, mencium aroma khusus dari teh tersebut, sampai mencicipi teh dari sebuah cangkir teh yang kecil, maka pikiran kita akan terfokus pada nilai-nilai yang penuh arti.


(26)

Kebiasaan orang Tionghoa, ketika tamu yang baru datang disambut dengan jamuan minum teh. Permintaan maaf juga bisa diekspresikan dengan mengirim seduhan teh segar. Biasanya orang Tionghoa menjamu teh sebagai ungkapan ramah tamah, bukan keceriaan belaka.

Untuk mendeskripsikan upacara minum teh pada penelitian ini penulis menggunakan teori Koentjaraningrat (1981: 241) yang menyatakan bahwa setiap upacara keagamaan dapat dibagi dalam empat komponen yaitu :

1. Tempat upacara 2. Saat upacara

3. Benda-benda dan alat upacara, dan

4. Orang yang melakukan dan memimpin upacara. 2.2.4 Makna

Pemikiran-pemikiran tentang makna dan penafsiran fenomena didudukkan sebagai unsur yang memiliki peran ataupun tanda utama pada proses transformasi budaya. Dalam pemikiran hermeneurik, Paul Ricoeur yang dikenal sebagai seorang filsuf yang memiliki prepektif yang memiliki kefilsafatan, menonjolkan bakan pemikiran tentang pemaknaan (semantik). Ricoeur menjelaskan bahwa pada hakikatnya filsafat itu merupakan interprestasi, dan hidup itu sendiri sebenarnya merupakan interprestasi. Jika terjadi pluralitas dalam pemaknaaannya maka dibutuhkan interprestasi, terutama jika simbol-simbol yang dilibatkan begitu banyak sehingga mengandung pemaknaan yang berlapis-lapis.

Di sisi lain, Ricouer berpendapat bahwa setiap objek maupun teks pada hakikatnya merupakan simbol, dan simbol-simbol itu penuh dengan makna-makna


(27)

yang tersembunyi. Manusia dalam berbuat sesuatu dan membangun sesuatu, melakukan usaha untuk membentuk makna. Sebuah “rumah”, misalnya memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung konteks dan sudut pandang dari pengamatnya. Salah satu tugas utama pemaknaan adalah berjuang melawan jarak kultural, ini berarti bahwa penafsiran harus mengambil jarak supaya dapat membuat interprestasi yang objektif.

Dalam memberikan pemaknaan, seorang penafsiran terikat oleh aspek tematis, pertama, tidak ada titik nol yang absolut sebagai awal menafsirkan makna; kedua tidak ada pandangan yang bersifat total untuk memahami suatu objek dalam sekejap; ketiga, tidak ada penafsiran secara total sehingga tidak ada pula situasi yang mutlak yang membatasi; keempat, peluang memadukan antara fenomena, karena fenomena yang diamati manusia pada hakikatnya tidak bersifat tertutup.

Derrida beranggapan bahwa benda adalah wakil dari bendanya. Sedangan “makna” juga seperti “tanda”, merupakan fenomena yang tidak mudah dimengerti. Untuk memahami makna, kita harus menunda dulu sampai ada yang pantas untuk menyandangnya, jika belum jelas siapa yang menyandangnya, maka pengamat akan menunda dulu proses pemaknaannya, yang oleh Derrida disebut sebagai temporisasi. Ketertundaan makna akibat bergeraknya waktu antara masa lalu dan masa yang akan datang., oleh Derrida disebut sebagai Difference , yang berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang. Oleh karena itu Derrida mengungkapkan bahwa Difference itu tidak statis tetapi genetis.

Dalam lingkup kesejarahan, suatu objek kebudayaan dinilai tidak memiliki makna dalam percaturan peradaban, jika tidak terjadi proses permaknaan dalam


(28)

perjalanan transformasinya. Capra menyatakan bahwa budayaan dunia yang besar akhirnya akan lenyap takkala tidak terjadi proses pemaknaan lebih lanjut oleh masyarakatnya.

Kebudayaan-kebudayaan itu kehilangan daya adaptasinya menghadapi dinamika peradaban yang kompleks dan kuat. Hal tersebut dapat diamati pada pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban besar di sekitar Laut Tengah. Diantara peradaban yang penting itu terdapat kebudayaan yang lenyap dan tidak berbekas, karena generasi berikutnya tak mampu memberikan pemaknaan, seperti terjadi pada kebudayaan minum teh pada masyarakat Tionghoa.

Berdasarkan pendapat dari dua pemikiran yang diatas, pemaknaan merupakan suatu objek budaya sangat penting, baik secara subjektif maupun secara lebih luas. Tanpa upaya memberi makna pada objek-objek budaya yang akan dihasilkan oleh suatu generasi sebelumnya, maka karya-karya yang dihasilkan akan hilang dalam peradaban umat manusia di kemudiaan hari.

2.2.5 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan pada abad ke-19. Para imigran dari Tionghoa ini berasal dari beberapa suku bangsa dan daerah yang berbeda. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian Selatan dari Kwantung.

Masyarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kusukuan mereka adalah bangsa pergaulan yang mereka gunakan sedikitnya empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, dan Kwong


(29)

Fu. Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat.

Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat-istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari tradisi dan mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. kesenian seperti barongsai biasanya disaksikan pada saat perayaan tahun baru Imlek.

Perayaan tahun baru Imlek adalah dunia simbolis. Cassier (Sartika, 2006) mengatakan bahwa dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni dan religi atau agama. Imlek beserta wacana ritualnya dikaji dengan penelusuran melalui interprestasi masyarakatnya terhadap symbol-simbol warna yang digunakannya.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang dipergunakan peneliti adalah teori yang dipergunakan sebagai berikut:


(30)

2.3.1 Fungsionalisme Kebudayaan

Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara instusi-instusi (perantara-perantara) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara,agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Di Cina sendiri, teh baru benar-benar menjadi minuman untuk penyegaran pada 1.500 tahun lalu. Sebelumnya, teh dipandang sebagai minuman medis untuk tujuan kesehatan. Cina sebagai tempat asal mula tanaman teh telah menjadikan kebiasaan minum teh menjadi sebuah fenomena yang membudaya di kalangan masyarakat. Pada mulanya, teh hanya dipandang sebagai tanaman penawar racun dan tanaman obat-obatan yang dipakai dalam ilmu pengobatan Cina (中 医) (Skripsi Yuanita, 2009: 38-39).

Pada masa itu orang meminum teh dengan cara yang masih sederhana. Seiring dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat Cina, budaya minum teh memiliki tata cara yang mengandung nilai estetika tersendiri disamping nilai-nilai pengobatan. Budaya minum teh dilakukan setiap hari oleh segala golongan masyarakat, tua-muda, miskin-kaya.

Dalam tradisi masyarakat Tionghoa, teh biasanya disajikan khusus pada upacara pernikahan (婚礼). Dalam upacara perkawinan tersebut, upacara minum teh memiliki nilai fungsional yaitu untuk menunjukkan rasa hormat terhadap kedua pihak keluarga mempelai pria dan wanita, sekaligus meminta izin untuk


(31)

masuk ke dalam keluarga mempelai pria, dan juga meminta doa restu dari keluarga agar pernikahannya bahagia dan sejahtera.

2.3.2 Teori Upacara

Dalam rangka mendeskripsikan upacara minum teh bagi masyarakat Tionghoa penulis menggunakan teori upacara. Pelaksanaan upacara minum teh bermaksud untuk menjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya untuk memenuhi kebutuhan untuk tujuan bersama agar upacara minum teh ini lestari menurut waktu dan zaman di mana berada.

Hal ini sesuai dengan pendapat Melalatoa (1989:260) bahwa dalam ekspresi jiwa manusia dapat dilakukan melalui upacara yang menjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan, atau mencapai tujuan bersama, seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman yang berhubungan dengan dunia gaib (supernatural), dan lain-lain.

Upacara minum teh (Chinese Tea Ceremony) adalah sebuah waktu yang suci dan sakral untuk orang-orang bisa berkumpul bersama saling berbincang dan saling membagi pikiran dan perasaan. Dalam Chadao (茶 道) terdapat empat prinsip yang dikemukakan oleh ahli teh abad ke-16, Lu Yu, yaitu keharmonisan (和), penghormatan (敬), kesucian (纯), dan ketenangan (安). Setelah melakukan Chadao (茶道), seseorang akan dapat menemukan kedamaian hati dan berjalan menuju dunia yang penuh kedamaian pikiran dan suasana hati yang menenangkan. Upacara minum teh bagi masyarakat Tionghoa dapat terlihat melalui upacara perkawinan, upacara pemujaan leluhur, upacara teh taois dan upacara teh


(32)

wu wo. Dalam upacara tersebut tercermin cara untuk relaksasi dan menikmati tradisi kuno. Sehingga teh telah membentuk suatu gejala budaya yang unik.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Menurut Djajasudarma (1993:3), metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksankan penelitian (dalam menggunakan data). Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian deskripsi upacara minum teh dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif artinya suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusi, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koentjraningrat, 1991:29).

Penelitan ini menggunakan Metode Kepustakaan (library research), yaitu studi kepustakaan atau pengumpulan data-data dan informasi yang bersumber dari buku-buku kepustakaan yang ada kaitannya dengan budaya minum teh.


(34)

3.2 Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini yang menjadi data adalah teh, sedangkan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Menurut Kailan jenis sumber data dapat dibedakan atas data primer dan data sekunder.

Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian masa lalu. Data sekunder merupakan catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber original. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah teh dalam buku Kisah dan Khasiat Teh dan 1001 Teh dari Asal-usul, Tradisi, Khasiat, hingga Racikan Teh.

Judul Buku : Kisah dan Khasiat Teh Pengarang : Ratna Soemantri & Tanti K Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah beberapa referensi buku yang berkaitan dengan objek yang diteliti, melalui jurnal-jurnal, situs-situs internet, skripsi yang berkaitan dengan penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Agar diperoleh informasi-informasi dan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan pada skripsi ini maka diperlukan suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang secara akurat. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi lapangan dan studi kepustakaan.


(35)

3.3.1 Wawancara

Dalam peneliti menggunakan teknik wawancara sebagai salah satu teknik pengumpulan data, yaitu mendapatkan informasi dengan brtanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, ”…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Wawancara yaitu suatu cara untuk mendapatkan data dan informasi secara lisan yang berupa pertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yaitu, upacara minum teh yang ditujukan kepada para responden yaitu masyarakat Tionghoa di Pancur Batu.

Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka penulis juga mengacu pada pendapat Soehartono (1995:67) yang mengatakan,“...wawancara adalah tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).”

Koentjaraningrat (1981:139) juga menemukakan bahwa wawancara itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu,

“...Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Wawancara terfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi langsung dari suatu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi langsung yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.”


(36)

Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat dan Soehartono mengenai kegiatan wawancara maka penulis sebelum wawancara telah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat tulis, daftar pertanyaan.

Tehnik bertanya penulis dikemukakan berdasarkan dari daftar pertanyaan dan pencatatan hasil wawancara penulis lakukan begitu mendapat jawaban dan yang tidak sempat dicatat masih bisa didengar ulang dari hasil rekaman.

Pada saat proses wawancara berlangsung penulis menerapkan metode wawancara bebas. Dimana pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan kepada informan berlangsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tidak keluar dari topik permasalahan.

3.3.2 Observasi Lapangan

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1995:69). Dalam mengumpulkan data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung atau observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Observasi (pengamatan) yaitu suatu cara untuk mendapatkan data dengan cara melihat dan mencatat objek yang diteliti yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, yaitu upacara dan makna minum teh pada masyarakat Tionghoa di Indonesia.


(37)

3.3.3 Studi Kepustakaan

Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian yaitu tentang upacara minum teh.

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, penulis melakukan studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi.

Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, aritkel dan berita-berita dari situs internet.

3.4 Teknik Analisis Data

Dalam penyusunan skripsi ini, teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis deskriptif, yaitu menjelaskan secara rinci dan jelas mengenai segala sesuatu yang berhubungan upacara dan makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa.


(38)

BAB IV

UPACARA DAN MAKNA MINUM TEH BAGI MASYARAKAT

TIONGHOA

4.1 Upacara Minum Teh

Upacara minum teh bagi masyarakat Tionghoa merupakan suatu upacara yang suci dan sakral dan menjadi bagian dari budaya masyrakat Tionghoa itu sendiri. Dalam upacara perkawinan dan pemujaan leluhur, upacara minum teh wajib untuk dilakukan dan dijalankan. Dalam masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, tradisi minum teh ini juga sangat lazim dilakukan.

Penulis akan memaparkan tentang upacara minum teh dalam upacara Gong Fu Cha, upacara teh Taois, upacara teh Wu Wo, upacara perkawinan dan upacara pemujaan leluhur.

4.1.1 Upacara Gong-fu Cha

Gong-fu Cha adalah upacara minum teh yang paling populer. Upacara ini lebih menekankan cara menyeduh teh, agar bisa diperoleh karakter terbaik daun teh yang diseduh. Itu berarti orang yang melakukannya harus menguasai pengetahuan mengenai daun teh, peralatan yang digunakan, dan juga karakter air yang digunakan untuk menyeduh teh. Dalam upacara Gongfucha biasanya digunakan untuk teh oolong, bisa juga diterapkan untuk teh hitam.

Metode khusus ini tidak cocok digunakan untuk teh hijau. Gong-fu Cha juga dikenal sebagai upacara minum teh Fujian, kerena metode ini memang


(39)

berasal dari daerah tersebut. Tahap-tahap dalam upacara teh ini darancang memeras rasa yang terbaik yang bisa dihasilkan oleh teh tersebut.

Sebelum memulai Gong-fu Cha ada terdapat tujuh komponen yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Poci Teh

Poci teh yang paling sesuai digunakan dalam Gong-fu Cha adalahsebuah poci Yixing yang tidak berglasir. Alasan digunakannya poci tersebut karena poci Yixing diketahui dapat memperbaiki dan meningkatkan rasa, tekstur, dan aroma teh tersebut. Umumnya diperlukan dua buah poci, satu buah poci besar yang digunakan untuk mendidihkan air, dan satu buah lagi digunakan untuk menyeduh. Uniknya, semakin sering poci itu digunakan maka semakin mengkilap pocinya.

2. Gelas untuk Menyajikan sebuah Teh

Gelas untuk menyajikan sebuah teh ini biasanya berbentuk hampir menyerupai cangkir, namun memiliki ukuran yang lebih besar. Biasanya teh yang telah diseduh di poci teh kemudian dituangkan ke dalam gelas untuk menyajikan teh, supaya rasa yang didapat pada saat dituangkan ke dalam cangkir yang satu ke cangkir yang lainnya sama. Tetapi apabila air seduhan teh langsung dituangkan dari poci tempat penyeduhan teh ke dalam cangkir-cangkir yang terakhir pasti manghasilkan rasa dan kentalan yang berbeda, cangkir yang terakhir adalah yang memiliki rasa yang paling pahit di antara cangkr lainnya.


(40)

3. Cangkir Teh

Cangkir teh yang digunakan dalam Gong-fu Cha pada umumnya berukuran kecil dan tanpa kuping. Cangkir tersebut memang khusus dirancang seperti itu agar teh dapat dihabiskan dalam satu sampai dua teguk.

4. Gelas Kecil

Gelas yang berukuran kecil tetapi memiliki tinggi sekitar 5 cm juga digunakan sebagai pelengkap. Gelas ini sangat berfungsi untuk mencium aroma air dalam seduhan teh. Gelas ini juga memiliki daya tampung air yang sama persis dengan cangkir teh, sehingga tidak perlu takut air teh yang dituangkan dari gelas kecil ke cangkir teh akan lebih atau kurang.

5. Air

Air yang digunakan untuk Gong-fu Cha haruslah air yang baru saja mendidih. Air tersebut tidak boleh melalui penyaringan atau penyulingan terlebih dahulu, karena akan menghasilkan rasa teh yang tawar. Air yang berasal dari sumber mata air adalah air yang sangat disarankan dalam Gong-fu Cha. Air sangat berfungsi untuk menghangatkan perangkat yang akan digunakan dalam Gong-gu Cha.

6. Baki Penampung Air Teh

Baki penampung air teh memiliki fungsi sebagai untuk menampung air yang tertumpah pada saat proses penyeduhan dan penyajian teh. Selain itu, baki ini juga digunakan menjadi tempat pembuangan air panas yang digunakan untuk mensterilkan perangkat minum teh. Baki penampungan air teh memiliki bentuk yang sangat beragam, seperti: bentuk persegi panjang, lingkaran, dan ada juga


(41)

yang berbentuk oval dengan garis yang bergelombang. Bahan pembuat baki penampungan air teh ini juga sangat beragam, separti: ada yang terbuat dari kayu jati, tanah liat, maupun stainlessteel. Pada umumnya baki penampung air teh disambung dengan selang berdiamater kecil untuk menyalurkan air yang tertampung menuju ke sebuah baskom kecil.

7. Perlengkapan Tambahan

Selain enam komponen penting diatas, ada beberapa peralatan tambahan yang berperan cukup penting yang sifatnya melengkapi peralatan Gong-fu Cha lainnya. Peralatan-peralatan tambahan tersebut adalah sendok teh, penjepit gelas, sendok pembuangan daun teh, dan penyaring teh. Ketiga alat tersebut biasanya terbuat dari bambu, kecuali penyaring teh. Tiap-tiap alat memiliki fungsi yang berbeda yaitu:

a. Sendok teh yang berbentuk cekung pada bagian depan yang digunakan untuk memasukkan daun teh ke dalam poci.

b. Penjepit cangkir digunakan pada saat mensterilkan cangkir-cangkir teh yang akan dipakai. Selain untuk memegang cangkir yang sedang dalam keadaan panas.

c. Sendok pembuang daun teh memang dibuat untuk mengeluarkan daun teh telah dipakai dari dalam poci. Selain itu, dilihat dari bentuknya yang unik, sendok ini juga digunakan ketika corong teko tersumbat oleh daun teh dengan memasukkan unjung sendok yang berbentuk runcing.


(42)

d. Penyaringan teh sangat dibutuhkan dalam menyeduh teh agar air teh yang akan diminum jernih dan tanpa kotoram. Sesuai dengan kebiasaan minum teh pada masyarakat Tionghoa yang menginginkan air teh yang akan diminum bebas dari kotoran dari daun teh tersebut. Setelah mengetahui ketujuh peralatan menyeduh dan menyajikan teh, hal yang paling penting adalah pada proses persiapan, penyeduhan, penyajian, dan cara meminum teh. Dalam pelaksanaan Gong-fu Cha memerlukan ruangan yang mencukupi. Menurut prosedur dari Gong-fu Cha dibutuhkan meja yang cukup untuk meletakkan seluruh perangkat teh yang akan digunkan. Pada umumnya digunakan meja yang berbentuk lingkaran, karena bentuk lingkaran memiliki bentuk nilai filosofis yang melambangkan siklus kehidupan yang terus berputar tanpa terputus, sehingga diharapkan hubungan baik diantara peminum teh tetap tersambung. Idelanya suasana disekitar raung tersebut tenang dan santai. Suasana seperti itu biasanya diciptakan dengan menggunakan menyan, bunga, music yang lembut, dan nyanyian burung.

Hal yang pertama dilakukan untuk memulai Gong-fu Cha adalah mendidihkan air yang akan digunakan untuk menyeduh teh, setelah air mendidih, air tersebut disiramkan pada bagian dalam dan luar poci untuk menyamakan suhu dan suhu dalam poci serta untuk mensterilkan poci sebelum digunakan. Air tersebut juga disiramkan pada poci untuk menyajikan teh dan cangkir-cangkir teh, serta gelas-gelas kecil untuk menghangatkan perangkat minum teh dan juga untuk membersihkan perangkat tersebut dari debu.


(43)

Selain itu, penyiraman air mendidih ini juga dimaksudkan agar semua perangkat yang dipakai untuk menyeduh dan minum teh siap dalam keadaan suhu yang sama.

Air mendidih yang dimasukkan dalam cangkir-cangkir dibuang dengan menggunakan bantuan penjepit cangkir, air bekas mensterilkan cangkir-cangkir tersebut dapat dibuang begitu saja atau bisa disiramkan lagi pada poci penyeduhan teh. Setelah proses sterilisasi, daun teh dimasukkan hingga 1/3 bagian dari teko dengan menggunakan sedok teh.

Kemudian daun teh tersebut diseduh dengan air mendidih, poci agak sedikit digerakkan dengan arah berputar horizontal. Setelah 10-15 detik, air dalam poci itu dibuang. Proses tersebut dinamakan proses pencucian dari daun teh tersebut. Air mendidih dimasukkan kembali ke dalam poci penyeduhan untuk menyeduh daun teh. Tunggu sekitar 20-25 detik baru kemudian air teh diuangkan ke poci untuk menyajikan teh. Air teh dari poci untuk menyajikan teh kemudian dituangkan ke gelas-gelas kecil. Lalu 3-5 detik kemudian air teh dari gelas dituangkan ke dalam cangkir-cangkir teh tersebut. Tetapi sebelum meminum teh biasanya masyarakat Tionghoa mencium aroma dari teh yang tertinggal di gelas kecil dan menggenggam sambil memutar gelas kecil dengan kedua tangan supaya panasnya dari gelas itu dapat menghangatkan telapak tangan. Segera setelah dituangkan ke cangkir, sebaiknya teh diminum dengan takaran sedikit-sedikit dan bukan dihabiskan dalam satu tegukan tetapi dalam dua sampai tiga kali tegukan. Air teh sebaiknya tidak langsung ditelan.


(44)

Hampir sama dengan minum anggur, air teh ditahan sebentar di mulut agar dapat diserap oleh gigi-gigi dan lidah. Kemudian rasakan ketika air teh yang diminum tadi melewati tenggorokan hingga sampai di ginjal, sehingga membuat tubuh menjadi hangat dan segar. Penyeduhan daun teh yang sama dapat dilakukan secara berulang-ulang hingga 5-7 kali. Pada waktu untuk penyeduhan berikutnya ditambah 5 detik setipa kali diseduh, jadi pada waktu seduhan kedua ampai 25-30 detik, seduhan ketiga ditambah 5 detik lagi dan begitu juga dengan pada seduhan berikutnya.

Ibu Suwarni salah seorang pemilik kedai teh Siang Ming Tea dan Tea House yang terletak di kawasan Jakarta Pusat, memberikan penjelasan bahwa upacara Kung Fu Cha itu ada di Indonesia, yang dikenal dengan sebutan Kung Fu Cha.(Sumber:http://wisataseru.com/2010/05/kung-fu-cha-seni-menyeduh-teh china/). Cara penyajian teh dilakukan dengan menyiapkan poci berisi air panas yang kemudian diletakkan di atas tungku kecil yang berada di sisi kanannya. Lalu membilas poci dan cucing (cangkir kecil untuk minum teh Cina) dengan air panas. Pembilasan ini memiliki tujuan, yakni supaya teko dan cucing memiliki suhu yang sama dengan air, sehingga teh tidak cepat dingin. Kemudian, diambil beberapa daun teh yang dimasukkan dalam poci (Perbandingan antara air dan daun teh adalah 3:1), dituang air panas dan langsung dibuang. Usai seduhan pertama di buang, poci langsung diisi dengan air panas dan ditunggu selama 20 detik. Dan suhunya berbeda-beda untuk setiap jenis teh. Sebaiknya untuk teh merah dan hitam, air yang digunakan adalah bersuhu 100 derajat celcius, untuk Oolong Tea air dengan suhu 90 derajat celcius dan teh hijau atau teh bunga cukup dengan air


(45)

bersuhu 70 derajat celcius. Kesalahan dalam penggunaan panas air, dapat mengakibatkan rasa dan aroma juga kualitas daun teh berubah.

Setelah itu langsung di tuang ke pot serve dan dibagi ke cucing masing masing tamu. Penuangan terlebih dahulu ke pot serve juga memiliki arti, keadilan. Karena warna dan rasa teh dapat berubah hanya dalam hitungan detik saat ia terendam air, jadi jika tidak diletakkan dalam pot serve, sudah tentu tamu pertama dan tamu terakhir akan mendapatkan rasa teh yang berbeda. Karena waktu perendaman teh bagi tamu terakhir otomatis berbeda waktu dengan tamu terakhir.

Seduhan kedua membutuhkan waktu lebih lama dari seduhan pertama, sekitar 30 – 40 detik. Begitu pula seduhan ketiga, kira kira 50 detik dan begitu seterusnya. Teh cina sendiri dapat diseduh antara 7 – 12 kali dengan rasa dan aroma yang tetap sama, dan Kung Fu Cha merupakan suatu seni menyeduh teh Cina yang benar.

Penggunaan poci untuk teh juga tidak bisa sembarangan. Salah memilih poci, akan mengakibatkan rasa yang tidak maksimal pada teh, bahkan terkadang dapat membuat teh yang seharusnya manis, menjadi pahit. Sutejo (wawancara: yang dilakukan pada tanggal 11 Desember 2011), menjelaskan untuk menyeduh teh berfermentasi seperti teh hitam dan teh merah, sebaiknya menggunakan poci gerabah atau tanah liat yang mampu menyimpan panas. Sedangkan teh yang tak berfermentasi seperti teh hijau dan teh bunga, cukup memakai teko keramik. Dan untuk teh setengah fermentasi seperti oolong tea, dapat menggunakan teko keramik maupun teko gerabah.


(46)

Namun, khusus untuk penggunaan teko tanah liat, ada syarat wajib yang tak boleh dilanggar, yakni satu teko atau satu poci hanya boleh untuk 1 jenis teh. Misalnya, poci A pertama beli langsung digunakan untuk menyeduh oolong tea, maka jangan gunakan poci tersebut untuk menyeduh teh merah di lain waktu. Hal ini akan merubah rasa dan jika diteruskan maka bisa dipastikan teh yang anda seduh akan menghasilkan rasa yang aneh. Hal ini terjadi, karena sifat tanah liat yang mampu menyerap aroma. Keuntungannya, jika kita selalu menggunakan poci yang sama untuk 1 macam jenis teh, maka di kemudian tahun, tanpa diberi teh, hanya diberi air panas, ketika di tuang ke cucing, maka air putih itu akan berasa teh dengan sendirinya.

Perlengkapan yang digunakan dalam upacara Kung Fu Cha adalah satu set alat mulai dari poci, cucing, alas poci (untuk membuang air – ada yang dari kayu besar ada pula dari keramik atau gerabah dalam ukuran yang lebih kecil), pot serve, sendok teh, penusuk lubang poci (dipakai ketika lubang poci tersumpal daun teh), penjapit untuk meletakkan gelas ke tamu dan lap.

Proses dan perlengkapan upacara Kung Fu Cha, baik di Cina maupun di Indonesia adalah sama. Sebagian besar perlengkapan Kung Fu Cha di Indonesia juga berasal langsung dari Negara Cina.


(47)

Laozi merupakan orang pertama kali membentuk konsep tao, yang kemudian berfungsi sebagai batu landasan dari taoisme sebagai filsafat (http://budayaleluhur.blogspot.com/2010/08/etika-taoisme-memperkenalknan filsafat.html). Dalam bahasa Cina, tao secara literal berarti cara atau jalan. Berdasarkan makna primer ini diamsumsikan pada zaman kuno pengertian metaforis, seperti jalan manusia yang menandakan moralitas, kode etik atau esensi kehidupan dan sebagainya. Namun dalam terminologi Laozi, makna Tao melampaui ranah sosial dan etnis. Selanjutnya hal itu dianggap berasal dari implikasi yang diperpanjang secara metafisik yang berkaitan dengan awal semesta, akar dari semua hal, hukum perubahan alam dan perkembangan sosial, prinsip politik dan militer, dan di atas segalanya, kebenaran eksitensi manusia.

Dalam upacara minum teh di Cina, selain Gong-fu Cha juga ada upacara minum teh yang disebut dengan upacara teh Taois. Dari namanya upacara minum teh itu yaitu taois, upacara ini mengacu kepada ajaran Dao (道). Dao merupakan salah satu konsep dalam filsafat Cina yang sangat penting dan menonjol (Skripsi Yuanita Tanuwijaya, 2009:55).

Dalam upacara minum teh ini lebih menekankan pada upacara dan kesakralan. Hal ini dapat dilihat pada persiapan upacara, aturan-aturan teknis, dekorasi dan benda-benda yang digunakan dalam upacara, serta langkah-langkah menyajikan dan cara meminum teh.dalam artikel yang berjudul The Daoist Tea Ceremony (skripsi Yuanita Tanuwijaya, 2009:56), dipaparkan proses persiapan dan serta upacara tersebut. Awalnya para peserta dan ahli teh menempati tempat duduk berupa sebuah bantalan yang diletakkan di lantai dan juga sebuah meja


(48)

kecil, sebuah termos air panas, sebuah kain, sebuah canggkir teh kecil, dan cangkir teh vertikal dengan sebuah piring kecil dan sebuah tutup. Pada tembok bagian tengah depan ruangan tergantung sebuah tutup. Pada tembok bagian tengah depan ruangan tergantung sebuah tempat pembakaran dupa. Sedangkan pada bagian depan sebelah kanan terdapat guzheng (alat musik tradisional Cina). Pada tembok sebelah kiri ruangan itu terdapat lima panel dan setiap masing-masing panel tersebut terukir beberapa karakter dan sebuah ukiran seseorang yang mengambil bagian dalam lima langkah upacara teh Taoist tersebut.

Beberapa karakter tersebut menggambarkan sari dari latihan dari minum teh. Pada langit-langit di tempat yang beragam dapat dilihat gambar Yin Yang (asas yang berlawanan dengan alam) dengan bagua (sistem dalam Taoisme) yang mengelilinginya.

Acara teh Taoist mengintegrasikan semua indera dan pikiran ke dalam proses meminum teh. Perubahan terus-menerus dari suara Guzheng, suara dari bagian-bagian cangkir teh, suara dari bagian-bagian cangkir teh vertikal yang saling bersentuhan, suara piring kecil, cangkir teh, termos yang menyentuh meja dan suara ahli teh, semua mengelilingi dasar eksitensi seseorang. Perubahan terus-menerus dari wangi dupa dan kemudian teh membawa peserta pada kondisi di saat itu. Indera perasa pengecap digoda oleh air panas dan air teh yang berubah-ubah. Indera perasa diperluas oleh air yang berubah-ubah. Indera persas diperluas oleh air yang menyentuh kulit, kasarnya kain, halusnya cangkir teh, posisi tubuh yang duduk di atas bantalan, dan tangan yang menyentuh tubuh sendiri. Untuk melihat keseluruhan dari tarian ini secara langsung memang merupakan sebuah bentuk


(49)

kenikmatan, namun di tengah berbagai prosesi yang terus berganti, kensunyian tetap menghembus aula.

Untuk benar-benar minum teh, atau pengenyataannya untuk benar-benar berinteraksi dengan berbagai aspek dari kehidupan, mengharuskan seseorang untuk menenangkan hati dan pikiran, bukan berarti mengubah lingkungan seseorang atau lari dari tantangan hidup. Anda tidak bisa menenangkan hati dan pikiran, seseorang harus melupakan batasan-batasan dan dakwaan-dakwaan yang dibuat diri sendiri dan yang dibuat oleh masyarakat yang membatasi diri dari proses Tao. Hal tersebut juga berarti melupakan kepalsuan, yaitu wewangian yang mengotori hati dan juga pikiran dan juga yang menggerakkan hasratnya. Dengan demikian, kita tidak lagi dibatasi dengan pikiran kotor dan dikendalikan oleh hasrat yang direncanakan oleh langit, bumi dan manusia yang disatukan dalam satu prosesi. Pada saat itu, secara tulus kita berhubungan dalam lingkungan dan orang-orang yang diam di dalamnya melalui indera pikiran kita. Interaksi ini adalah proses berkelanjutan yang dikenal sebagai Tao.

Bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia upacara Teh Taoist tidak dikenal. Upacara ini merupakan upacara asli yang dimiliki oleh Negara Cina sendiri. Karena tidak diperkenalkan, maka upacara teh Taois sudah lama hilang dalam kehidupan masyarakat di Tionghoa di Indonesia. Upacara teh Taoist diperkenalkan oleh ajaran agama Taoisme. Di Indonesia ajaran agama Tao sempat hilang. Pada zaman orde baru, ajaran Tao tidak boleh ada yang berbau tradisi agama Tao, seperti Tahun Baru Imlek serta upacara-upacara ritual keagamaan. Akibatnya, generasi muda masyarakat kehilangan identitas dan tidak mengerti


(50)

tentang ajaran Tao lagi

4.1.3 Upacara Teh Wu Wo

Menurut asal katanya pengertian dari upacara teh Wu Wo yaitu Wu (无) yang berarti suatu ketiadaan, sedangkan Wo (我) yang berarti kepemilikan dan perwujudan sesuatu. Dilihat dari dua arti kata tersebut memiliki arti yang bertentangan. Sehingga perpaduan akasara Wu-Wo (无 我) dapat diartikan mengosongkan pikiran dan perasaan; hanya ‘wujud’ tanpa ikatan fisik dan mental. Dalam upacara teh Wu-Wo memiliki arti filosofis yang dapat tergambar pada saat para peserta harus melupakan status sosial masing-masing tidak memandang kekayaan seseorang, ataupun penampilan seseorang (Yuanita Tanuwijaya, 2009: 65-66).

Menurut HP. Melati (2009: 18-19), upacara teh Wu-Wo (无 我 茶 会) memiliki keunikan, salah satunya karena setiap peserta harus membawa perangkat teh miliknya sendiri. Ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan dan yang paling sederhana adalah: sebuah poci teh, sebuah pitcher, temos, tikar (brewing mat) sebagai alas menyeduh, tikar alas yang lebih besar, tea tray (茶盘), dan sebuah kain (tea cloth) diletakkan antara poci dan pitcher.

Pada saat upacara dimulai setiap peserta mulai menyeduh teh yang mereka bawa. Jikalau dalam satu kali seduhan menghasilkan empat cangkir teh, maka tiga cangkir teh itu akan diberikan kepada tiga peserta yang duduk disebelah kiri. Sedangkan cangkir yang keempat diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Kalau


(51)

seduhan pertama telah habis, selanjutnya dilanjutkan dengan seduhan yang kedua, ketiga hingga usai.

Semua peserta dalam upacara teh Wu-Wo saling menyuguhkan dan menikmati teh. Pengaturan tempat duduk juga disusun secara acak, supaya tidak seorang pun dapat memilih siapa yang menerima teh persembahannya dan siapa yang akan memberi persembahan teh. Ada tujuh prinsip yang terkandung dalam upacara teh Wu-Wo, yaitu :

1. Tidak ada perbedaan tingkat social 2. Tidak mengharapkan imbalan apapun 3. Membuka pikiran

4. Menyerap perilaku positif dan terus berusaha mengembangkannya 5. Patuh pada peraturan dan jadwal yang telah ditentukan

6. Memperkuat kerjasama 7. Tidak ada perbedaan wilayah

Para peserta duduk membentuk lingkaran. Para peserta upacara teh Wu-Wo tidak diperkenankan untuk dating terlambat. Kalau ada peserta yang datang terlambat, maka mereka tidak diperbolehkan untuk mengikuti upacara teh ini. Sama halnya dengan upacara Teh Taois, upacara Teh Wu Wo juga tidak dikenal oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia.( Melati, HP. 2009. The Magic of Tea: Sejuta Khasiat dan Kisah di Balik Secangkir Teh. Jakarta: Penerbit Hikmah). 4.1.4 Upacara Perkawinan

Penjamuan teh di negeri Cina juga sering dilakukan dalam ritual pernikahan. Pada hari pernikahan, mempelai wanita harus melayani orangtuanya


(52)

untuk minum teh sebelum mempelai pria tiba di rumahnya. Ini dilakukan sebagai tanda rasa hormat dan terimakasih si pengantin wanita kepada kedua orangtua yang telah membesarkannya.

Setelah upacara pernikahan, kedua pengantin kemudian menyajikan teh dengan memegang cangkir teh mereka sambil mengundang saudara mempelai pria yang lebih tua untuk meminum teh. Orang yang dilayani itu duduk di kursi, sedangkan kedua pengantin berlutut. Misalnya, ketika pengantin ingin melayani orang tua mempelai pria, maka mempelai wanita harus berlutut di depan ayah mertuanya, sedangkan si mempelai pria berlutut di depan ibunya.

Pengantin menyajikan teh secara berurutan, dimulai dari orangtua mempelai pria dan berlanjut ke anggota keluarga, mulai dari yang paling tua sampai ke yang paling muda. Misalnya, urutan pertama kedua orangtua, selanjutnya kakek, nenek, lalu paman dan bibi tertua, lalu seluruh abang dan kakaknya. Lalu sebagai imbalan, pengantin akan menerima amplop keberuntungan berwarna merah, (lai see, yang berarti keberuntungan), yang berisi uang atau perhiasan sebagai hadiah.

Tea pai merupakan acara minum teh yang dilakukan untuk memperkenalkan keluarga masing-masing dan menghormati orang yang dituakan. Sesuai tradisi Cina, beberapa hari sebelum resepsi biasanya diadakan acara tea pai di rumah keluarga pengantin pria dan di rumah keluarga pengantin wanita. Saat ini tea paidilakukan sore hari sebelum resepsi perkawinan. Biasanya pengantin langsung memakai baju pengantin internasional.


(53)

Tapi jika diadakan beberapa hari sebelum resepsi, pengantin bisa memakai baju cheongsam (pakaian tradisional Cina) khas Cina. Tradisi Cina lainnya, ada yang menambahkan angco (kurma merah, bisa diganti dengan manisan ceremai warna merah) dan gula batu pada teh yang akan diberikan pada pihak keluarga. Bersamaan dengan pemberian teh dan pengantin, pihak keluarga memberikan angpau (kertas berwarna merah diisi dengan uang) pada pengantin. Untuk perkawinan Cina yang lebih modern, acara tea pai dilakukan pada hari yang sama dengan resepsi dan tidak lagi dilakukan temon (acara penjemputan ke tempat mempelai wanita). Pengantin langsung bertemu di gereja saat acara pemberkatan. Keseluruhan prosesi perkawinan Cina saat ini sudah lebih singkat dan dibuat lebih modern. Sanjit merupakan seserahan dari pihak laki-laki pada pihak perempuan yang antara lain berisi koin emas, jamur, telur dan makanan khas Cina.

Menurut tradisi Cina, setiap barang yang dibawa untuk sanjit mempunyai arti tersendiri. Upacara sanjit misalnya, tak selalu dilakukan, begitupun ritual perkawinan bisa dipersingkat menjadi hanya sehari saja.

Pada masyarakat Tionghoa di Indonesia upacara minum teh dalam upacara perkawinan biasa disebut dengan tepay. Upacara minum teh dalam upacara perkawinan sangat lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.

Menurut responden, pada upacara perkawinan, di rumah mempelai perempuan, dimulailah upacara minum teh. Dalam upacara minum tepay tersebut, pengantin perempuan dan laki-laki memberikan teh kepada orang tua dan sanak


(54)

saudara dimulai dari anggota yang lebih tua. Pengantin perempuan dan laki-laki bergantian yang memegang baki yang berisi cangkir-cangkir teh.

Pertama-tama mempelai wanita memberikan teh kepada orang tuanya, mempelai pria memegang baki. Lalu orang tua dari mempelai wanita memberikan hadiah berupa cincin. Kemudian mempelai laki-laki memberikan teh kepada orang tuanya, lalu orang tua mempelai laki-laki juga memberikan hadiah berupa cincin.

Maksud dari upacara ini adalah untuk menghormati anggota keluarga yang lebih tua dan agar kedua pengantin baru ini diterima keluarga. Upacara ini juga member arti telah hidup dengan lengkap sebagai manusia. Setelah mereka memberikan teh. Mereka akan menerima angpao atau perhiasan dari anggota keluarga yang lebih tua tersebut.

Angpao yang diterima biasanya berjumlah genap kecuali angka 4 karena dianggap angka kematian. Setelah upacara minum teh, kedua mempelai sembahyang di hadapan altar leluhur dan Tian Gong. Dalam upacara ini mempelai perempuan berkenalan secara resmi kepada keluarga mempelai laki-laki dan nenek moyang.

Dalam upacara perkawinan, di tengah-tengah jamuan makan, biasanya setelah dua atau tiga jenis makanan telah dihidangkan, pasangan pengantin akan pergi ke meja-meja para tamu. Biasanya di setiap meja bundar duduk sepuluh orang tamu dan meja-meja bundar itu ditutupi dengan taplak merah. Ketika pasangan pengantin itu tiba di salah satu meja, para tamu akan mengangkat gelas


(55)

mereka yang berisi teh dan minum untuk kebahagiaan dan kesuksesan sang mempelai. Pesta perkawinan selesai setelah hidangan terakhir selesai disantap.

4.1.5 Upacara Pemujaan Leluhur

Upacara pemujaan leluhur atau ibadah khusus yang ditujukan kepada leluhur yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa sangat banyak. Diantaranya adalah sembahyang Ce It Cap Go, sembahyang Tahun Baru, sembahyang Ceng Beng, sembahyang Qiang Guo dan Cia Gwe Cwe Kaw.

Kesemua upacara sembahyang untuk pemujaan leluhur tersebut selalu menyertakan dalam upacaranya yang merupakan peralatan yang harus dipersiapkan sebelum memulai sembahyang.

Peneliti akan menjelaskan salah satu dari upacara tersebut yaitu sembahyang Cia Gwe Cwe Kaw. Pada masyarakat Tionghoa di Propinsi Fu Jian, Cina, memiliki istilah yang sangat sangat populer pada Sembahyang Cia Gwe Cwe Kaw , yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng ( 初九天公聖 ), yaitu hari ulang tahun King Thi Kong. Sembahyang Cia Gwe Cwe Kaw dilakukan di setiap tanggal 9 bulan pertama Imlek. Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.


(56)

Pada tanggal 9 bulan pertama Imlek ini, upacara sembahyang King Thi Kong dilakukan mulai dari kalangan atas sampai orang-orang miskin sekalipun. Seperti kita ketahui istilah Shang Di (Tuhan Yang Maha Esa) di kalangan penganut agama Tionghoa (Buddha, Taoisme dan Khong Hu Cu) disebut Tian (Thian), yang kemudian secara lebih akrab disebut Tian Gong (Hok Kian atau Thi Kong). Sembahyang kepada Thi Kong ini telah meluas sampai ke golongan masyarakat yang paling bawah, seperti petani, pedagang dan lain-lain.

Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara menyeluruh.

Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan khidmat. Sebuah meja besar dengan empat kakinya diletakkan di atas 2 buah bangku panjang. Lalu di atas meja tersebut diatur 3 buah Shen Wei ( Tempat Dewa) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan.

Kemudian di depan Shen Wei dijajarkan 3 buah cawan kecil yang berisi teh dan 3 buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Juga dengan meletakkan 2 batang tebu di sisi meja altar.

Setelah itu Wu Guo Liu Cai (Go Ko Lak Chai) diatur di bagian depan. Wu Guo Liu Cai berarti 5 macam buah-buahan dan 6 macam masakan vegetarian, ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan (sebelah kiri dan kanan) dipasang 2 batang lilin. Sehari sebelum upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe), tanggal 8 bulan 1 Imlek, seluruh penghuni rumah harus melakukan mandi keramas dan ganti baju.


(57)

Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam (Yang berarti sudah masuk Cia Gwe Cwe Kaw) yang dimulai dengan yang tertua atau Ayah dalam suatu keluarga akan membakar lilin besar di depan altar dan kemudian mengambil 3 batang gaharu terbakar dan melakukan sebuah ritual kuno berdoa kepada Tian Gong (Thi Kong) Sang Penguasa untuk nasib baik dan keberuntungan.

Setelah yang tertua dari keluarga melakukan doa, biasanya ibu dan kemudian anak-anak melakukan ritual yang sama. Setelah berdoa di altar meja besar di luar rumah, biasanya doa untuk altar rumah kecil di luar dan dalam rumah akan dilakukan juga. Semua melakukan San Gui Jiu Kou (Sam Kwi Kiu Kho) yaitu 3 kali berlutut dan 9 kali menyentuhkan kepala ke tanah.

Setelah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni. Ini melambangkan membakar uang. Kemudian dinyalakan petasan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Upacara sembahyang King Thi Kong ini di kalangan Hoa Qiao Indonesia dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan.

Pada masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia, sembahyang Cia Gwe Cwe

,

dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan atau sembahyang Tebu yang

dilakukan dengan penuh kekhidmatan.

Hubungan antara sembahyang Tuhan dengan sembahyang Tebu adalah karena selama terjadinya peperangan dan kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam dan hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka


(58)

berbondong-bondong keluar dan kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian,

sedikitpun tidak salah.

Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut Tahun Baru Imlek (Perayaan Musim Semi) yang berlangsung selama 15 hari dari tanggal 1 sampai 15 bulan 1 penanggalan Imlek.

Pada Ritual sembahyang Cia Gwe Cwe yang ada di Indonesia, umumnya dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Tanggal 9 bulan 1 imlek juga bermakna bahwa angka 1 berarti Esa dan angka 9 adalah yang tertinggi.

Saat ini tradisi sembahyang tebu ini tidak lagi hanya dilakukan oleh masyarakat suku Hokkian, tetapi juga sudah dilakukan oleh seluruh masyarakat tionghoa. Sebab tradisi ini sangat baik untuk beribadah kepada Tuhan dan tentunya tidak merugikan bagi suku yang lain untuk mengikutinya.


(59)

Budaya minum teh merupakan suatu ritual yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pada masyarakat Tionghoa. Teh bukan hanya dilakukan sebagai kegiatan untuk menyeduh dan menikmatinya secara rutinitas dalam kehidupan sehari-hari, melainkan minum teh memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Makna minum teh bagi masyarakat Tionghoa, antara lain: 1. Sebagai bentuk penghormatan : dalam masyarakat Tionghoa, menyajikan teh kepada tamu dianggap sebagai bentuk penghormatan. Ada sebuah kebiasan yang unik, yaitu ketika cangkir diisi teh, tamu akan mengetukkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang diketuk ke meja. Ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan terima kasih kepada tuan rumah yang menyajikan teh tersebut.

2. Untuk minta maaf : dalam budaya Tionghoa, bila seseorang serius minta maaf kepada orang lain dengan menuangkan teh untuk mereka. Contohnya, seorang anak melayani orang tua meraka dengan menuangkan teh, hal tersebut merupakan tanda penyesalan.

3. Untuk proses pernikahan : dalam tradisi pernikahan Tionghoa, ada upacara minum teh yang wajib dilakukan oleh kedua mempelai. Mereka diminta menyajikan teh kepada pihak keluarga yang lebih tua sebagai simbol penghormatan dan ungkapan terima kasih dan juga untuk menghubungkan keluarga besar pada hari pernikahan. 4. Sebagai lambang kesetiaan : dalam pernikahan atau pertunangan


(60)

pernikahan berarti memberikan doa dan pengharapan kepada kedua mempelai agar kesetiaan satu sama lain kuat dan tetap terjaga.

5. Proses pemujaan leluhur : dalam pemujaan leluhur teh dijadikan sebagai persembahan bagi leluhur, untuk mengucapkan rasa syukur dan hormat kepada leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal. 6. Makna ritual : minum teh adalah salah satu ritual yang harus dilakukan oleh masyarakat Tionghoa karena merupakan tradisi dalam kehidupan masyarakat Tionghoa sehari-hari. karena kebutuhan akan teh menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Tionghoa sehari-hari selain bahan bakar, beras, minyak, garam, kecap, dan cuka.

Di Indonesia, Makna minum teh tercipta dengan sendirinya dan tanpa mengalami proses perubahan. Di sini mereka tidak pernah menuangkan teh untuk dirinya sendiri. Masing-masing harus menawarkan diri menuangkan teh untuk orang-orang yang duduk di dekatnya. Sebab bagi mereka, momen ini menjadi salah satu ajang mengikat tali persaudaraan, simbol permintaan maaf, penghormatan atau juga sekadar relaksasi. Bersamaan saat menyeduh dan menikmati teh itulah kemudian perbincangan bisa dimulai, baik yang topiknya ringan sampai permasalahan berat sekalipun.

Selain perubahan makna diatas, di Indonesia yang sangat berubah adalah makna ekonomi yang berkaitan dengan perubahan pendapatan. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat Tionghoa yang membuka kedai teh. Pada zaman sekarang teh sudah didapat dengan mudah tanpa ada upacara minum teh, karena sudah


(61)

diperjualbelika dan pembelinya bukan dari kalangan masyarat Tionghoa saja tetapi juga pada kalangan masyarakat pribumi yang menyukai minum teh tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan


(1)

中国是茶的故乡,只茶饮茶有几千年的历史。主要茶类有录茶。红茶。 乌龙茶、花茶、白茶、黄茶、黑茶。中国作为茶的原产地,有着丰富多采和 悠久历史的茶文化。茶文化的定义:茶叶是劳动生产物,是一种饮料。茶文 化是以茶为载体,并通过这个载体来传播各种文化,是茶与文化的有机融合, 这包含和体现一定时期的物质文明和精神文明。

茶文化是人类在社会历史发展过程中所创造的有关茶的物质 财富和 精神财富的总和。茶文化有关饮茶的文化,即对各种差的欣赏、泡茶技艺、 饮茶的精神感受以及通过饮茶创作出的文学艺术作品等。

茶文化以物质为载体,反映出明确的精神内容,是物质文明与精神文 明高度和谐统一的产物。茶文化的物质形态表现为茶的历史文物、贵迹、茶 书、茶画、各种名优茶、茶馆、茶具、茶歌舞、饮茶技艺和茶艺表演等。精 神形态表现为茶德、茶道精神、以茶待客、以茶养康、以茶养性、茶禅一味 等。还有介于中间状态的表现形式,如茶政,茶法、礼规、习俗等属制度文 化范围的内容。因此茶文化的结构体系包括有关茶的物质文化、制度文化和 精神文化。

2.1.3中国茶文化的历史

茶作为饮料被发现大概在古老的采集和渔猎时期,在东汉时期的《神 农尝百草》中记述了神农尝百草,日遇七十二毒,得茶解之之说。民间传说 有位被后人称为“神农氏”的人。他为民解除病痛,尝遍百草,他前后共尝 试过72种毒草,在他奄奄一息躺在一棵树下的时候,有片落叶掉进他的口 中,清香甘甜,使他精神,他将树上的叶子采下继续尝试,顿时毒气消散, 精神气爽。于是他认定此叶可以救治疾病。并称之为“茶”。自神农尝百草 发现茶至今已有四五千陆羽年的历史了。在茶的历史演变中,相传在公元 775年(天宝十四年),二十四、五岁的随着流亡的难民离开故乡,流落湖 州(今浙江州市)。湖州较北方相对安宁。陆羽自幼随积公大师在寺院采茶、 煮茶,对茶学早就发生浓厚兴趣。湖州又是名茶产地,在这一带搜集了不少


(2)

有关茶的生产、制作的材料。这一时期他结识了著名诗僧皎然。皎然既是侍 僧,又是茶僧,对茶有浓厚兴趣。陆羽又与诗人皇甫、皇甫曾兄弟过往甚密, 皇甫兄弟同样对茶有特俗爱好。陆羽在茶乡生活,所交有多诗人,艺术熏陶 的和江南明丽的山水,使自然地把茶与艺术结为一体,构成他后来《茶经》 中幽深清丽的思想与格调。把深刻的学术原理溶茶这种物质生活之中,从而 创造了茶文化。

2.1.4 茶的分类

茶的分类有很多种,在本文中只是描述六种茶的分类,就是绿茶、白 茶、黑茶、黄茶、乌龙茶、和普洱茶。

2.1.4.1 绿茶

绿茶类属不发酵茶。这类茶的茶叶颜色是翠绿色,泡出来的茶汤是绿 黄色,因此称为“绿茶”。例如,雨花茶、龙井、碧螺春、黄山毛峰、太平 猴魁等。颜色:碧绿、翠绿或黄绿,久置或与热空气接触易变色。

原料:嫩芽、嫩叶,不适合久置。

香味:清新的绿豆香,味清淡微苦。

性质:富含叶绿素、维生素C(一般每100 克绿茶中含量可高达IO0 毫克~ 250

毫克,高级龙井茶含量可达360 毫克以上,比柠檬、柑橘等水果含量还高。 茶性较寒凉,咖啡碱、茶碱含量较多,较易刺激神经。


(3)

茶肴:可泡汤、或轻炒入菜。

2.1.4.2 白茶

白茶类属部分发酵茶(发酵度:10%)。白茶是成条状的白色茶叶, 泡出来的茶汤成象牙色;因白茶是采自茶树的嫩芽制成,细嫩的芽叶上面盖 满了细小的白毫,白茶的名称就因此而来。例如,银针白毫、白牡丹、寿眉 等。

颜色:色白隐绿,干茶外表满披白色茸毛。

原料:福鼎大白茶种的壮芽或嫩芽制造,大多是针形或长片形。

香味:汤色浅淡,味清鲜爽口、甘醇、香气弱。

性质:寒凉,有退热祛暑作用。

茶肴:可添加在汤或凉拌菜中,以示名贵。

2.1.4.3 黑茶

黑茶类属后发酵茶(随时间的不同,其发酵程度会变化)。这类茶多 半销往俄罗斯或我国边疆地区为主;大部分内销,少部分销往海外。因此, 习惯上把黑茶制成的紧压茶称为边销茶。例如,普洱茶、湖南黑茶、老青茶、 六堡散茶等。

颜色:青褐色,汤色橙黄或褐色,虽是黑茶,但泡出来的茶汤未必是黑色。

原料:花色、品种丰富,大叶种等茶树的粗老梗叶或鲜叶经后发酵制成。

香味:具陈香,滋味醇厚回甘。

性质:温和。属后发酵,可存放较久,耐泡耐煮。


(4)

2.1.4.4 黄茶

黄茶类属部分发酵茶(发酵度:10%)。黄茶是一种发酵不高的茶类, 制造工

艺似绿茶,过程中加以闷黄。因此,具有黄汤黄叶的特点。例如,君山银针、 蒙顶黄芽、霍山黄芽等。

颜色:黄叶黄汤。

原料:带有茸毛的芽头,芽或芽叶制成。制茶工艺类似绿茶,在过程中加以

闷黄。

香味:香气清纯,滋味甜爽。

性质:凉性,因产量少,是珍贵的茶叶。

茶肴:佐汤、佐菜,提高菜肴的珍贵。

2.1.4.5 乌龙茶

青茶类属半发酵茶(发酵度:10%~70%),俗称乌龙茶。种类繁多, 这种茶呈深绿色或青褐色,泡出来的茶汤则是蜜绿色或蜜黄色。例如,冻顶 乌龙茶、闽北水仙、铁观音茶、武夷岩茶等。

颜色:青绿、暗绿。

原料:两叶一芽,枝叶连理,大都是对口叶,芽叶已成熟。

香味:花香果味,从清新的花香、果香到熟果香都有,滋味醇厚回甘,略带 微

苦亦能回甘,是最能吸引人的茶叶。


(5)

茶肴:煎、炒或研粉,或直接人菜均可,以茶人菜这类茶应用较广。

2.1.4.6 普洱茶

颜色:大都是暗色,视何种茶类为原料而有所不同。泡出来的茶汤颜 色也属

于深色。

原料:各种茶类的毛茶都可为原料,是属于再加工茶类。

香味:沉稳、厚重。

性质:现代紧压茶与古代的团茶、饼茶在原料上有所不同。古代是采摘茶树

鲜叶经蒸青、磨碎、压模成型后干燥制成。现代普洱茶是以毛茶再加工,蒸

压成型而成。

茶肴:适用炖补类及卤味的菜肴;加配料可做成可口的茶点、食品。

2.2 理论

理论是一个科学的最重要的工具。没有理论,只有单纯的事实的知识, 但就没有科学。理论是的基础的知识为了分析各种现象。理论是主要参考要 解决研究问题的。在本文中用两个理论就功能主义理论和仪式理论。


(6)

功能主义理论是一个理论使用在社会科学,它强调在某些社区 的中和社会的习惯有的相互依存关系。在华裔社会中,茶经常在婚礼上要提 交,婚礼仪式上,茶道有功能的价值,是为了表达尊重的对新郎的家人,以 便他们的婚姻幸福。

2.2.2 仪式理论

为了描述中国茶文化对华裔社会,本文中使用仪式理论.进行茶 仪式是为了回答和解释社会生活中的问题要满足的需求和大家目标,以便茶 仪式可以可持续发展.茶文化对华裔社会可以看出在婚姻仪式上,祖先崇拜 仪式,道家茶礼,和无我茶会。