memberikan informasi dan data akurat mengenai efek samping berKB. Tentunya hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 12 ayat 1: Para negara anggota
akan melaksanakan kewajiban yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan agar dapat menjamin, atas dasar
kesetaraan antara lelaki dan perempuan, akses ke jasa pelayanan termasuk keluarga berencana.
Prinsip 4: Perempuan dan aspirasi politik
Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak sipil dan hak politik untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Tetapi, sebagai perempuan yang bersuamikan
pegawai negeriABRI, maka hak tersebut terkungkung. la acap tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti aspirasi politik sang suami. Hal ini sangat
bertentangan dengan CEDAW Pasal 7: Para negara anggota akan melaksanakan kebijakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
kehidupan politik dan pemerintahan suatu negara dan, terutama, harus menjamin perempuan secara setara dengan laki-laki, hak untuk: memberikan suaranya dalam
semua pemilihan umum atau referendum dan memenuhi persyaratan pemilihan untuk semua badan yang dipilih secara publik...
D. CEDAW dan Hukum Nasional Indonesia
UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga
negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga
Universitas Sumatera Utara
negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusional sama
dengan Warga Negara Indonesia yang laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan karena statusnya
sebagai perempuan, ataupun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional
setiap perempuan Warga Negara Indonesia. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia diatur dalam
pembukaan dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak kemerdekaan. Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Bab X tentang Hak
Asasi Manusia, sebagai berikut: Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B 1
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2 Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan beberapa hak sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
Pasal 28 I 1
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. 2
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu. 3
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
4 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 5
Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan- undangan.
Sesuai Pasal 28I ayat 5, dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh
Universitas Sumatera Utara
undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal,
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia.
Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan. Adapun ruang lingkup hak asasi manusia adalah sebagai berikut:
1 setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya; 2
setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Universitas Sumatera Utara
3 setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; 4
setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya;
5 setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-
undang; 6
setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan
penghilangan nyawa; 7
setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang;
8 setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan
yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut,
dapat dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, amat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di dalam Tap MPR
No. IVMPR1999, Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN tahun 1999-2004 halaman enam belas, diungkapkan bahwa peningkatan pemahaman dan
penyadaran, serta peningkatan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak
Universitas Sumatera Utara
asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, dan penyelesaian berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum
ditangani secara tuntas. Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Hak Asasi Manusia HAM, yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia, harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, serta
menghargai hubungan gender. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan,
persamaan antara muslim dan non-muslim. Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara
Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD’45 dan dijabarkan melalui UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KOMNAS HAM. Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ruang lingkup kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu:
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 delapan belas tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia HAM,
dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi UUD 1945, karena HAM ialah hak-hak yang melekat
pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi UUD 1945 telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai
berikut: a.
Personal Right pasal 28 dan pasal 29 b.
Property Right pasal 33
Universitas Sumatera Utara
c. Right of Legal Equality pasal 27 ayat 1
d. Political Right pasal 27 ayat 1 dan pasal 28
e. Sosial and Culture Right pasal 31, pasal 32, pasal 34
f. Procedural Right pasal 27 ayat 1
Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan
HAM dalam UUD 1945 diatur secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di
dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia.
Dalam alinea kedua dari Declaration of Independence of the united state of America yang dideklarasikan oleh The Representative of The United State of
America dalam general kongres assembly pada tanggal 4 Juli 1776 tertulis antara lain sebagai berikut :
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equel; that there are endowed by their creater with certain unalianable rights; that
among these are life, liberty ang the pursuit of happiness” Kalau kita menyimak kutipan di atas, di antara berbagai hak-hak dasar
atau hak asasi manusia diantaranya yang disebut secara tegas yakni persamaan hak, hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar atau mencari kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain :
a. Hak untuk hidup
b. Hak mengembangkan diri
c. Hak memperoleh keadilan
d. Hak atas kebebasan pribadi
e. Hak atas rasa aman
f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak urut serta dalam pemerintahan
Kemudian pada tahun 1946, Commition on Human Right PBB menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-
hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia Universal Declaration of Human Right
pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam diskursus penegakkan HAM Internasional, ada konvensi
internasional tentang HAM yang menjadi panutan negara di dunia, yaitu International Convenant on Civil and Political Right-ICCPR Perjanjian
Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right-ICESCR Konvenan Internasional tentang
Hak Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ICCPR telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convenant on Civil and Political Right, dan ICESCR juga telah
Universitas Sumatera Utara
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right.
Dalam Konsep hak asasi manusia ini terdapat dua dimensi dimensi ganda, yaitu: 1
Dimensi universalitas, yakni substansi hak-hak asasi manusia itu pada hakekatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Hak
asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun itu berada, entah itu dalam kebudayaan barat
maupun timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk
mengekspresikan secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi itu ada karena yang memiliki hak-hak itu
adalah manusia sebagai manusia. 2
Dimensi kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut.
Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide hak asasi manusia itu memberikan
suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam
pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu di barat ataupun di timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya
hak individu yang ada di dalamnya. Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-
ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan
Universitas Sumatera Utara
negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang diletakkan dalam konteks budaya,
suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dengan wacana publik masyarakat modern.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat
Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan
kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya akan
mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat
dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara.
Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat 2
menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan
tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh
struktur masyarakat patriarkis.Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan
diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan. Dengan memperhatikan bahwa pentingnya menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan juga telah diakui
secara internasional. Bahkan hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
CEDAW. Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju
kesetaraan jender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam Millenium Development Goals MDGs. Hal itu diwujudkan
dalam delapan area upaya pencapaian MDGs yang diantaranya adalah; mempromosikan kesetaraan jender dan meningkatkan keberdayaan perempuan,
dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia serta penduduk
miskin dunia adalah perempuan. Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan dan mencapai kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada
Universitas Sumatera Utara
tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984.
31
Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan jender juga telah dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik
berupa prinsip-prinsip umum
32
, maupun dengan menentukan kuota tertentu
33
. Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering
menjadi korban kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
34
Ketentuan konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu
. Tantangan penegakan hak konstitusional warga negara dengan sendirinya
juga merupakan tantangan bagi penegakan hak konstitusional perempuan. Di sisi lain, karena perbedaan yang ada dalam masyarakat, tantangan penegakan hak
konstitusional bagi perempuan tentunya lebih berat dan memerlukan perlakuan- perlakuan khusus. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin
dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa, baik lembaga dan pejabat negara maupun warga negara, baik perempuan maupun laki-laki.
31
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277.
32
Misalnya Pasal 13 Ayat 3 UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menyatakan “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum
musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.
33
Misalnya Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30”. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.
34
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419.
Universitas Sumatera Utara
upaya penegakan hak konstitusional harus dilakukan baik dari sisi aturan, struktur, maupun dari sisi budaya.
Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perermpuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif
kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum
sensitif jender. Apalagi hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk itu upaya identifikasi dan inventarisasi harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan.
1. Kesetaraan Gender Terhadap Perempuan Secara Universal
Sebelum membahas lebih lanjut tentang upaya dalam mewujudka n tercitanya kesetaraan gender terhadap kaum prempuan, maka terlebih dahulu
dapat dijelaskan mengenai beberapa hal yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam konteks perlakuan terhadap kaum perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan masih terjadi pada beberapa negara karena adanya paham bahwa perempuan selalu berada di kelas bawah dan berada dalam kontrol dan
kemauan laki-laki. Dianggap suatu hal yang sah bagi laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan mengatasnamakan agama.
Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban domestik lebih banyak dan lebih lama
dibanding laki-laki. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara rumah tangga telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi
Universitas Sumatera Utara
dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi
kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut bukan salah satu dari tanggung jawabnya bahkan dibanyak tradisi, mereka dilarang untuk terlibat dalam
pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut secara logis akan bertambah, jika perempuan yang juga bekerja dan menghasilkan nafkah di luar, karena mereka
masih tetap harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik. Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara
dialektika dan saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki secara perlahan namun pasti, yang lambat
laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun
terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak dirasakan lagi adanya sesuatu yang salah.
Persoalan ini yang mewarnai keterlibatan perempuan di banyak negara yakni yang akhirnya menjadi kepentingan kelas, dimana banyak pihak yang
akhirnya berupaya untuk mempertahankan sistem dan struktur tersebut dan teradopsi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat khusunya dibidang politik.
Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi gender khususnya kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil
memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
Universitas Sumatera Utara
yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan untuk memperoleh hak-hak politik
mereka, perempuan dan politik dan hukum merupakan sebuah perpaduan kontras yang menurut sebagian besar masyarakat adalah tidak mungkin.
Keterwakilan kaum perempuan di dalam institusi-institusi politik dan hukum juga masih sangat minim. Berbagai tantangan dan kendala menghadang
para perempuan yang masuk ke dalam panggung politik. Selain itu banyak laki- laki semakin enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan. Kehadiran kaum
perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih jauh dari cukup. Banyak pemuka perempuan yang membicarakan kesetaraan gender dalam konteks ini.
Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan hukum dan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan
keanggotaan DPR dan DPRD misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30 yang diajukan oleh setiap partai politik.
Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah anggota
DPR perempuan baru 11 persen, di DPD 21. Bahkan jumlah pegawai negeri sipil eselon I yang perempuan hanya 12,8. Untuk itu, perlu dirumuskan
mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang.
Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai
korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat
Universitas Sumatera Utara
memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu
yang dialami perempuan. Misalnya saat dilakukan penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika kekerasan tersebut
adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan
jaminan keamanan baik fisik maupun psikis. Dalam upaya menegakan hak konstitusional perempuan, adalah
menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendala yang dihadapi
selama ini memiliki akar budaya dalam masyarakat Indonesia. Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan, pertama, adalah dari sisi perempuan itu
sendiri; dan kedua, dari masyarakat secara umum. Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan mempertimbangkan prinsip kesetaraan jender
dalam pimpinan partai politik misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah satunya karena sedikitnya perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan
pemenuhan kuota 30 dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Sebaliknya, sering pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau
diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk
memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan
Universitas Sumatera Utara
harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif jender serta yang tidak kalah pentinganya adalah perubahan budaya yang cenderung diskriminatif
terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih
tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima
oleh masyarakat. 2.
Pemberdayaan Perempuan Sebagai Wujud Partisipasi Aktif Dalam Hukum Internasional.
Dalam banyak kasus, perempuan memang paling banyak mengalami problema dalam kasak-kusuk politik atau ekonomi, atau dalam lingkungan yang
lebih sempit, rumah tangga. Masalah ini seolah sudah menjadi aksioma yang tidak lagi memerlukan pembuktian. Dengan kata lain, perempuan, sebagaimana halnya
dengan anak-anak dan kelompok lanjut usia Lansia, lebih rentan terhadap terjadinya gejolak yang memproduk ketidakstabilan pada ranah publik. Itulah
sebabnya, pledoi-pledoi yang diajukan oleh kaum aktivif atau para pembela kaum ini sering pula diberi label “pembebasan” atau “pemberdayaan”. Maka, lahirlah
istilah pemberdayaan perempuan sebagai antiklimaks dari gagasan peberdayaan masyarakat people empowerment.
Munculnya kesadaran untuk membebaskan perempuan dari nestapa sangat dipengaruhi pula oleh kesadaran universal tentang perlunya perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia HAM tanpa pandang bulu. Dalam hal ini, dasawarsa 1970 adalah masa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan
Universitas Sumatera Utara
hak asasi manusia perempuan.
35
Dari uraian di atas tampak bahwa cara atau strategi yang paling rasional untuk membebaskan kaum perempuan dari kungkungan kebodohan, kemiskinan,
dan keterbelakangan adalah memberdayakan mereka, baik dari dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia pada dasarnya
sudah memperlihatkan kesungguhan dalam memajukan kaum perempuan melalui tujuan-tujuan pembangunan umumnya dan melalui program-program khusus.
Namun demikian, berbagai kalangan menilai bahwa banyak kebijakan tetap saja Itulah sebabnya, satu-satunya cara yang rasional
untuk membebaskan mereka dari keestapaan itu adalah memberdayakan perempuan-perempuan tadi, tidak saja dari kemiskinan, tetapi juga dari
kebodohan, dan keterbelakangan yang merupakan sejumlah faktor menghambat mereka dalam mengembangkan diri.
Membebaskan perempuan Indonesia dari problema tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena sesungguhnya,
pemberdayaan perempuan adalah suatu proses yang memungkinkan setiap perempuan Indonesia mampu memenuhi pilihannya sendiri secara bijaksana.
Dengan demikian, pemberdayaan perempuan haruslah diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki fungsi dan kemampuan kaum perempuan sebagai mitra
sejajar kaum laki-laki. Hanya dengan begitu, proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berlangsung secara seimbang karena di dalamnya tercakup
pula elemen pemberdayaan kelompok yang selama ini dinilai paling lemah, yakni perempuan.
35
Liza Hadiz editor, “Partisipasi dan Kesetaraan Politik Gender dalam Pembangunan, dalam Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta, LP3ES, 2004, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
menyisakan persoalan lama bahkan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Untuk menerangkan alasan-alasannya, kebijakan makro secara terpisah dari
kebijakan-kebijakan yang ditujukan khusus bagi perempuan dijadikan sebagai titik tolak analisis. Ini penting ditegaskan karena kebijakan-kebijakan makro
cenderung “buta gender” dalam pengertian bahwa kebijakan-kebijakan itu dirancang dan dilaksanakan tanpa memperhatikan lebih dahulu dampaknya bagi
perempuan sebagai pekerja, anggota masyarakat dan keluarga, dan warga negara. Sementara itu, kebijakan-kebijakan khusus bukannya tanpa persoalan juga,
dan daya kemanjurannya dihambat oleh dua rintangan pokok: pertama, kebijakan- kebijakan itu bersifat “fungsionalis” karena ia lebih memberi prioritas pada fungsi
perempuan untuk dapat berperan dalam pembangunan, bukannya sebaliknya. Kedua, kebijakan-kebijakan itu menyimpan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi,
kebijakan tersebut dibuat dalam konsepsi dominan tentang pembangunan, berpusat pada nilai kemajuan dan modernitas. Pada sisi lain, kebijakan-kebijakan
ini menghasilkan ideologi gender yang mengagungkan paham-paham tradisional tentang tempat perempuan di masyarakat.
36
Oleh sebab itu, meskipun terdapat kemajuan umum semacam itu, tatap saja ada persoalan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Lihatlah kenyataan,
antara lain, bahwa perempuan sebagai sebuah kelompok ditinggal kaum laki-laki dalam pendidikan. Pada 1985 misalnya, data UNICEFESCAP menunjukkan,
sepertiga penduduk perempuan yang aktif secara ekonomi tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan laki-laki yang besarnya
36
2Ines Smyth, “Pandangan Kritis tentang Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Indonesia bagi Perempuan”, dalam Frans Husken et.al editor, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial
Indonesia di Bawah Orde Baru, Jakarta, Grasindo, 1997, 135-136.
Universitas Sumatera Utara
hanya 15. Persoalan utama lain adalah bahwa meskipun tingkat pendaftaran masuk sekolah tinggi sekitar 91 anak-anak masuk sekolah dasar baik laki-laki
maupun perempuan, jumlah untuk perempuan terus-menerus menurun di tingkat pendidikan lebih tinggi. Selain itu, yang lebih banyak drop out atau putus sekolah
adalah perempuan. Tampaknya, kaum perempuan, dan terutama kaum perempuan miskin, masih tidak beruntung, sebagian karena kondisi ekonomi dan sebagian
yang lain karena jumlah anggota keluarga yang besar.
37
Pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara, dan tata dunia dalam
kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud di berbagai kehidupan: politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya.
Pemberdayaan itu sendiri mengandung tiga kekuatan power di dalam dirinya, yakni power to, yaitu kekuatan untuk berbuat; power with, yaitu kekuatan untuk
membangun kerjasama; dan power-within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia.
38
37
Ibid, 138.
38
M. Sastrapratedja, dalam Tonny D. Widiastono editor, Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hal. 19-20.
Sebagaimana diketahui, strategi dan upaya pemberdayaan perempuan pada khususnya dan pemberdayaan manusia pada umumnya, adalah salah satu
topik yang paling banyak mendapat perhatian berbagai kalangan akhir-akhir ini. Pemberdayaan perempuan sering pula disebut sebagai “peningkatan kualitas
hidup personal perempuan”, yakni suatu upaya untuk memberdayakan kehidupan perempuan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, edukasi atau pendidikan,
sosial, komunikasi, informasi, dan lain sebagainya agar mereka terbebas dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan itu, langkah strategis yang perlu dilancarkan dalam kerja pemberdayaan perempuan adalah memberikan dukungan yang menjadikan setiap
perempuan sebagai fokus perhatian dan arena pengabdian. Khusus kepada kaum ibu, yang mendesak untuk segera dilakukan adalah meningkatkan kemampuan
mereka secara bertahap dan berkesinmbungan agar bisa mengolah dan bergelut dengan kesempatan yang terbuka di dalam lingkungannya sendiri. Secara konkret,
ini dapat dilakukan dalam bentuk memberikan pelatihan atau praktik usaha kecil- kecilan kepada mereka.
Dalam rangka melaksanakan ikhtiar pemberdayaan tersebut, kelompok perempuan tadi kemudian diberikan dukungan pembinaan dan kredit untuk
mengolah usaha-usaha yang dapat menjadi batu loncatan sebagai sarana dan titik tolak untuk mengolah bahan baku dan segala yang bisa dimanfaatkan dari
lingkungan sekitarnya. Misalnya, bahan baku untuk usaha itu diolah dari lingkungannya sendiri sampai habis. Apabila tidak mencukupi barulah dicarikan
dukungan untuk mendapatkan bahan baku dari daerah lain yang lebih luas. Proses pembangunan bertahap ini, dalam praktiknya, memberikan
dukungan pendidikan yang sangat praktis kepada para keluarga yang mendapat dukungan dan bantuan pendampingan.
39
39
Haryono Suyono, Ekonomi Keluarga Pilar Utama Keluarga Sejahtera, Jakarta, Yayasan Damandiri, 2003, hal. 47.
Mencermati paparan di atas, jelaslah bahwa upaya pemberdayaan perempuan mau tidak mau harus dilakukan dengan
cara membangkitkan kemampuan mereka agar mampu melihat lebih jauh ke depan, misalnya dalam bentuk meningkatkan kesadaran mereka untuk menabung.
Hal ini mutlak harus dilakukan karena mereka adalah tulang punggung dalam
Universitas Sumatera Utara
keluarga yang harus mampu menghidupi anak-anaknya kelak dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Meskipun ikhtiar pemberdayaan perempuan perlu mendapat perhatian khusus, pemberdayaan itu sendiri bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri atau
terlepas dari grand strategy pembangunan nasional secara umum. Karena itu, yang diperlukan adalah strategi yang menjadikan ikhtiar pemberdayaan
perempuan tersebut sebagai salah satu inti spirit pembangunan nasional. Inilah yang disebut dengan pemberdayaan perempuan berdimensi gender, yakni upaya
mengembangkan kemampuan kaum perempuan agar mereka dapat menjadi mitra sejajar kaum laki-laki dalam membangun Indonesia ke depan bahkan sebagai
delegasi dalam hubungan antar bangsa secara universal. Pemberdayaan adalah sebuah strategi yang pertama kali diusulkan secara
internasional pada tahun 1980 oleh sekelompok aktivis dari Selatan untuk menantang hegemoni feminis utara dalam wacana internasional tentang
perempuan. Hal ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan negara-negara di dunia terhadap praktek diskriminasi terhadap perempuan jauh sebelumnya, yang
diwujudkan dalam deklarasi dan konvensi internasional. Salah satu deklarasi yang melandasi perlawanan terhadap diskriminasi
perempuan adalah The Universal Declaration of Human Rights Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948. Dalam
perkembangannya, konvensi yang menjadi landasan hukum tentang hak perempuan adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Universitas Sumatera Utara
Perempuan, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979. Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi Perempuan atau Konvensi
CEDAW Committee on the Elimination of Discrimination Against Women. Selanjutnya, Hak Asasi Perempuan yang merupakan Hak Asasi Manusia kembali
dideklarasikan dalam Konferensi Dunia ke-IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB menyepakati
Millennium Declaration untuk melaksanakan MDG’s Millennium Development Goals. Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam
MDGs, salah satunya tertulis dalam Tujuan 3 MDG’s yaitu mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan.
Pemberdayaan perempuan sebagai proses peningkatan kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan hidup
strategis, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seseorang, otonomi dan kesejahteraan pada saat mencari untuk mencapai hasil
hidup yang diinginkan. Inti dari konsep pemberdayaan perempuan adalah membangun kekuatan batin mereka dari bawah ke atas, bukan oleh proses top-
down yang dipaksakan kepada mereka dari luar. Pemberdayaan ini memiliki dua dimensi pokok yaitu dimensi diri sendiri
untuk individu perempuan dan dimensi kolektif dengan yang lain dalam rangka mobilisasi dan aksi. Tujuan utama pemberdayaan perempuan adalah transformasi
ketika perempuan, secara individual maupun kolektif, terlibat dalam introspeksi diri, menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka, dan menjadi agen yang
aktif untuk mengubah kekuatan hubungan dan ketimpangan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Konteks hukum negara kita sebenarnya telah mengakomodir kesetaraan gender terutama seperti yang terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Sayangnya
masih banyak UU juga yang memperlihatkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak hanya itu, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2012,
telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan
gender yang telah dijamin oleh UUD. Langkah-langkah dalam perbaikan tatanan hukum tentu harus dilaksanakan secara terintegrasi.
Langkah-langkah hukum kemudian tidak begitu saja bisa menjawabi persoalan diskriminasi terhadap perempuan sebab bisa jadi langkah-langkah
tersebut justru melemahkan bahkan menghapuskan dimensi budaya tertentu yang sangat tinggi nilainya terhadap jati diri bangsa Indonesia yang tergambar dalam
semboyan kebinekaan. Apalagi kita menyadari bahwa ragam kultur di Indonesia sangat bervariasi dan begitu banyak jumlahnya yang tidak dapat didekati oleh satu
tataran hukum yang universal. Itulah sebabnya ada banyak UU dan PP yang masih diperdebatkan dan belum dilaksanakan secara optimal.
Dalam kondisi semacam ini maka kita butuh pendekatan yang lain yaitu pendekatan kultural dalam upaya pemberdayaan terhadap kaum perempuan di
Indonesia. Alasan mendasarnya adalah bahwa pendekatan ini lebih mungkin diterima masyarakat dimana bias gender ini cenderung lebih dominan pada
masyarakat yang masih tradisional seperti masyarakat di wilayah pedesaan dan di wilayah-wilayah tertinggal. Yang harus dilakukan dengan pendekatan budaya ini
adalah menafsirkan dan menjelaskan representasi budaya. Dalam antropologi,
Universitas Sumatera Utara
yang perlu ditafsirkan adalah representasi budaya yang bersifat kolektif yang dikaitkan dengan sebuah kelompok sosial secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP