BAB III PENGATURAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MENURUT HUKUM
INDONESIA
A. Hak dan Kedudukan Perempuan Sebagai Warga Negara Dalam Melakukan Suatu Perbuatan Hukum
Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan.
UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah
berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi
manusia itu berlaku pula bagi setiap individu Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara Indonesia juga
diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945. Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi
manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu,
misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu
khusus bagi Warga Negara Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
1. Hak Dan Kedudukan Perempuan Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Jika Dipandang Dari Sudut Hak Asasi Manusia Secara Universal Hak Asasi Manusia HAM dewasa ini secara universal sudah diterima
sebagai a moral, political, legal framework as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai, sejahtera, bebas dari rasa takut, dan perlakuan yang tidak
adil. Perkembangan HAM dimulai sejak abad ke-13 ditandai dengan penandatanganan Magna Charta tahun 1215 oleh Raja John Lackland, yang
walaupun secara substansi piagam tersebut belumlah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara keseluruhan, melainkan memberikan
perlindungan kepada kaum bangsawan dan gereja. Memasuki abad ke 16, perjuangan hak asasi manusia sangat dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, salah satunya adalah pemikiran John Locke. Menurut John Locke, manusia sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan
dan hak asasi. Diantara hak asasi tersebut adalah hak kehidupan, hak kemerdekaan, kesehatan, dan hak milik yang tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun. Pemikiran inilah yang pada perkembangannya menjadi pijakan bagi perjuangan hak asasi manusia di penjuru dunia. Sebagaimana yang tertuang dalam
Declaration of Independence Amerika Serikat Tahun 1776, yang selanjutnya membidani lahirnya Declaration des droit de L’Homme et du citoyen Tahun 1789,
sehingga John Locke dikenal juga sebagai Bapak Hak Asasi Manusia. Kedua naskah deklarasi tersebut sangat berpengaruh dan menjadi dasar bagi perjuangan
hak asasi manusia di abad ke 20, dengan dirumuskannya The Universal Declaration of Human Rights DUHAM tahun 1948.
Universitas Sumatera Utara
Dalam catatan sejarah, perempuan menempati posisi yang tidak menguntungkan. Perempuan dipandang hanya sebagai kaum kelas dua yang
keberadaannya tergantung pada kehadiran laki-laki di sampingnya. Dalam arti kata lain, wanita bisa dipersamakan dengan manusia yang tidak memiliki
kedudukan dan hak untuk melakukan perbuatan hukum atau tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, terlebih ketika dia telah diperistri oleh orang lain.
Dengan tidak memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, tentunya perempuan tidak memperoleh kemerdekaan dan diperlakukan secara
diskriminasi dalam pergaulan masyarakat. Pada akhirnya, pengkondisian perempuan pada keadaan yang tidak berpihak pada hak-hak asasinya sebagai
manusia, menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan di berbagai belahan dunia, hal ini disebabkan karena masih dianutnya pemikiran
bahwa perempuan adalah manusia yang tidak bebas, sehingga dia dapat diperlakukan seperti apa pun oleh orang yang merasa memiliki hak atas dirinya.
Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari perjuangan hak asasi manusia itu sendiri, bahwa dalam penegakan hak asasi manusia prinsip non
diskriminasi menjadi elemen pentingnya. Ini terlihat pada rumusan Pasal 2 DUHAM, “setiap orang bebas atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, ...” dan Pasal 7 DUHAM, “ setiap
orang sama di depan hukum...”. Dari rumusan dua pasal tersebut, secara eksplisit diuraikan bahwa tidak terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
menikmati hak asasi mereka. Secara sederhananya, ketika seorang laki-laki
Universitas Sumatera Utara
memiliki hak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atau dipandang sebagai orang yang cakap dalam bertindak, maka hal demikian juga berlaku pada
perempuan. Melihat pada beberapa instrumen internasional tersebut, semuanya
mengandung asas non diskriminasi dan menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang setara dan sama di hadapan hukum. Banyaknya negara yang
menyetujui untuk tunduk pada kovenan-kovenan tersebut, khususnya CEDAW memberikan gambaran bahwa masyarakat internasional secara universal telah
memandang perempuan juga memiliki hak yang sama layaknya laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum dan sudah saatnya menghapuskan derita perempuan
yang selalu dimarginalkan dalam sejarah pergaulan masyarakat dan peradaban manusia yang pernah ada di muka bumi ini.
2. Hak Dan Kedudukan Perempuan Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Jika Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Positif Indonesia Dengan diakomodirnya ketentuan atau pengaturan mengenai hak asasi
manusia dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 merupakan konsekuensi logis dari dianutnya prinsip negara hukum oleh Indonesia. Hal ini tertuang secara tegas
dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Dimana, salah satu elemen terpenting yang menopang berdirinya sebuah negara hukum adalah adanya jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pada tahun 1999, Indonesia sudah mempunyai undang-undang mengenai
hak asasi manusia UU No. 39 Tahun 1999 dan sebagai bentuk keseriusan pemerintahan Indonesia dalam upaya menjamin dan melindungi hak asasi
Universitas Sumatera Utara
manusia, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Terkhusus terhadap hak perempuan dalam melakukan perbuatan hukum, pengaturan secara positif di Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
sudut pandang sejarah atau masa lalu dan sudut pandang sekarang. Dalam konteks hukum, perbuatan hukum merupakan perbuatan untuk
bersikap tindak yang membawa akibat secara hukum yang dilakukan oleh subyek hukum pengemban hak dan kewajiban yang berwenang atau cakap secara
hukum. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa hukum tidak dapat mengakibatkan kematian perdata bagi setiap manusia, sehingga dia tidak dapat menikmati segala
hak nya sebagai manusia dan menjalankan kewajiban sebagai manusia. Akan tetapi, pada kenyataan yang ada dalam lembaran sejarah adalah ada manusia yang
tidak mempunyai hak dan kewajiban, yang berarti bukan subjek hukum yaitu budak dan seorang perempuan yang telah kawin.
Pada Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum sendiri, dan harus melalui persetujuan dari
suaminya. Jika diperhatikan ketentuan pada pasal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan KUHPerdata yang merujuk pada hukum eropa kontinental kala
itu menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak cakap secara hukum, yang berarti tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Tentunya, ketentuan ini
kontradiktif dengan ketentuan yang lainnya. Pada pasal 3 KUHPerdata disebutkan bahwa hukum tidak dapat mengakibatkan manusia mati secara perdata, yang
artinya bahwa setiap manusia terlahir dengan membawa hak. Akan tetapi disisi
Universitas Sumatera Utara
lain, perempuan malah tidak diakui keberadaannya sebagai manusia yang cakap melakukan perbuatan hukum.
Selain itu, ketentuan KUHPerdata tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka.
KUHPerdata adalah produk hukum yang kental dengan nuansa penjajahan dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, yang pastinya memihak pada kaum
penjajah. Melihat hal ini, pada tahun 1963, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang menganggap KUHPerdata tidak sebagai undang-
undang, dengan konsekuensinya ada beberapa ketentuan yang sudah tidak berlaku lagi, salah satu dari ketentuan tersebut adalah Pasal 108 KUHPerdata yang
menyatakan perempuan yang sudah kawin tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan instrumen hukum nasional yang telah dijabarkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan terlebih perempuan yang telah bersuami
adalah subyek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, dan ketentuan mengenai ketidakcakapan perempuan dalam melakukan perbuatan
hukum seperti yang diatur dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia yang merdeka dan
menjunjung tinggi keadilan bagi warga negaranya laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi.
3. Hak-Hak Perempuan Dalam Budaya Dan Masyarakat Adat
Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai falsafah negara kita
Universitas Sumatera Utara
Pancasila serta penjabarannya di dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mengingat pula akan rasa keadilan umum, serta nilai-nilai hukum yang hidup serta
diindahkan berlakunya di dalam masyarakat yang bersangkutan living law, maka didalam kasus posisi ini kelompok kami sependapat dan berpedoman kepada
Yurisprudensi MA Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia tertanggal 11 Nopember 1961, No. 179 KSip1961.
Pada kebudayaan masyarakat adat Batak misalnya, konsep kesetaraan gender umumnya masih memperlihatkan suatu keadaan dimana perempuan masih menduduki
posisi yang termajinalkan, tersubordinasi yaitu dalam hal warisan karena pada asasnya dalam susunan masyarakat Batak yang mempertahankan garis keturunan laki-laki
patrilineal, anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga pemberian yang dimaksud
tergantung pada kemampuan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan
anak perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah Agung No. 179KSIP1961 dengan jelas mengatakan: bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak
perempuan. Teori kebudayaan memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya.
Identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya.
17
17
Kamla Bashin, Memahami Gender, Cetakan Kelima, Jakarta, Teplok Press, 2002, hal. 45.
Pemilihan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminim dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial budaya masyarakat, bahkan
bisa lebih khusus lagi yaitu dapat dibentuk melalui pendidikan dan latihan.
18
B. Perlindungan Hukum Terhadap Pemberdayaan Perempuan dalam Tatanan Masyarakat