c kesehatan, termasuk persetujuan suami untuk melakukan strerilisasi
atau aborsi, walau keselamatan istri dalam kondisi terancam.
Sejauh mana perempuan Muslim dapat memilih aplikasi hukum publik selain dari hukum Islam yang diberlakukan padanya jika ia seorang Muslimah.
Larangan perkawinan antar agama, khususnya perempuan Muslim yang akan mendapat tentangan keras saat ia memutuskan menikahi lelaki non Muslim,
namun tidak berlaku jika lelaki muslim menikahi perempuan non Muslim, artinya telah terjadi diskriminasi ganda. Adanya norma sosial, agama dan budaya yang
memposisikan lelaki sebagai kepala rumah tangga sehingga posisi perempuan subordinat terhadap posisi suaminya. Strereotipe perempuan yang tradisional
masih melekat bahkan buku teks pun masih menganut nilai-nilai lama tentang perempuan, misalnya, ibu Budi menyapu, ayah Budi membaca koran. Angka
pengangguran perempuan yang serius, perbedaan jumlah upah, segregasi pekerjaan dimana perempuan bekerja dengan upah rendah dan menjadi pekerja
kasar. Dari beberapa poin yang diidentifikasi oleh Komite tersebut, saya
berasumsi bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi perempuan, dan juga terjadinya desparasikesenjangan jender ketika perempuan akan menikmati hak
sipilnya. Saya berpijak pada pemahaman bahwa hak sipil adalah hak yang berkenaan dengan peran individu yang bersangkutan sebagai warga negara.
Karenanya, sebagai warga negara yang terikat kontrak ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya yang berkelamin lelaki.
C. Beberapa Prinsip Dasar dari CEDAW
Universitas Sumatera Utara
Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Ia juga berhak diakui
kewarganegaraannya termasuk mendapatkan pasport, hak kepemilikan, NPWP dll. la berhak mendapat pengesahan atas perkawinan yang dilakukannya
menyangkut surat nikah dari catatan sipilKUA. Berikut ini beberapa prinsip tentang diskriminasi dan ketidakadilan jender yang dialami perempuan dalam
kaitannya dengan pemenuhan hak sipil mereka.
Prinsip 1 : perempuan dan perkawinanperceraian
Dalam beberapa kasus, banyak perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan dengan siapa ia menikah, dan juga kapan ia siap menikah. Hal ini
terjadi pada perempuan daerah, Cililin-Bandung misalnya. Angka pernikahan dini tingkat kawin muda sangat tinggi berbanding lurus dengan angka perceraian.
Poligami juga marak. Kondisi ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat 1b: Hak yang sama untuk secara bebas memilih seorang istrisuami dan untuk
mengikatkan din dalam perkawinan hanya dengan persetujuan mereka sendiri secara bebas dan penuh.
Perempuan ketika menikah, sering terabaikan hak-haknya sebagai individu. la kehilangan hak untuk menjual properti, tidak berhak memiliki NPWP
sendiri, harus ada ijin dari suami saat membuat pasport, ijin aborsi bahkan disaat nyawanya terancam dll. Kasus yang terkenal misalnya Ayam Goreng Ny.
Suharti. Sebagai perempuan pengusaha, ia mengelola modal, mengajukan kredit dan pinjaman atas persetujuan sang suami. la dalam hal ini tidak memiliki NPWP
sebab ada ketentuan dari pemerintah bahwa NPWP istri mengikuti suami.
Universitas Sumatera Utara
Ketika bercerai, sang suami dapat menuntut ini-itu dengan alasan klaim perusahaan atas surat perijinan suami lah perusahaan dapat berkembang pesat.
Pada titik ini, kita sadar bahwa terjadi pengabaian hak sipil perempuan; ia tidak memiliki hak untuk berdiri” sebagai individu ketika menikah. la tidak memiliki
hak untuk mempunyai NPWP sendiri dsb. Aturan tersebut jelas merugikan perempuan dan bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat 1g :Hak pribadi
yang sama sebagai istrisuami mengenai pemilikan dan perolehan, manajemen, administrasi, penikmatan, dan pengaturan harta kekayaan. Di satu sisi juga
bertentangan dengan CEDAW Pasal 13 butir b :Hak atas pinjaman bank, hipotek, dan bentuk kredit keuangan lain.
Kasus pernikahan antarnegara yang terkait dengan jejaringan narkoba internasional banyak melibatkan perempuan sebagai korban. Mereka diiming-
imingi dengan janji kehidupan mewah, traveling, dll. Tetapi kenyataannya mereka hanyalah alat untuk memuluskan jalannya perdagangan. Kasus hukuman mati pun
acap menimpa kaum perempuan, sedangkan penjahatnya raib entah kemana. Kasus perdagangan perempuan yang berbungkus pernikahan antarnegara,
misalnya perempuan etnis Tionghoa di Kalimantan dengan pria Korea atau pria Taiwan. Setelah menikah, sebagai istri mereka diperbudak, dilacurkan atau
ditempatkan di daerah pertanian dengan kedudukan terhormat sebagai isteri tetapi menjadi budak di tanah asing. Sampai sekarang kasus ini masih marak, dan
negara belum bertindak tegas. Ini tentu bertentangan dengan CEDAW Pasal 6 : Negara anggota akan melaksanakan kebijakan yang tepat, termasuk membuat
Universitas Sumatera Utara
perangkat perundang-undangan, untuk menghapus segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi.
Perempuan juga acap menjadi korban dalam kasus nikah di bawah tangan. Secara hukum ia tidak terlindungi, terutama bila terjadi kasus kekerasan
domestik. Dari beberapa kasus yang saya tangani, pernikahan tersebut dilakukan secara sirri dengan memakai klaim hukum Islam. Namun, pada kenyataan jauh
dari syariat Islam sebab terjadi kekerasan domestik. Hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat 2: ...wajib mengisi pendaftaran perkawinan pada kantor
pendaftaran resmi. Berikut ini peraturan perundangan-undangan yang bias jender dan
diskriminatif terhadap perempuan. a
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 4 ayat 1: Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh
izin lebih dulu dari pejabat. b
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 ayat 4 : Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian
penghasilan dari bekas suaminya. Dua contoh pasal di atas menurut pendapat saya merupakan bias jender,
sebab meniadakan suara perempuan. Sebagai isteri, ia tidak diminta persetujuannya pada saat suami hendak memadunya. Sebagai istri ia juga akan
kehilangan hak tunjangan pada saat ia menuntut cerai; padahal bisa jadi keinginannya itu didorong oleh alasan terjadinya kekerasan domestik yang
Universitas Sumatera Utara
menahun. Istri tak tahan dan meminta cerai, tapi akibatnya ia tidak mendapat tunjangan.
Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa posisi perempuan adalah subordinat, sehingga ia tidak boleh memiliki inisiatif. Jika ia melanggamya,
hukuman akan jatuh : ia tidak memperoleh tunjangan. Karenanya UU No 11974 Pasal 8 ayat 4 tersebut bertentangan dengan CEDAW Pasal 16 ayat 1c
: Hak dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan pada waktu perceraian.
Prinsip 2 : perempuan dan pekerjaan
Tindakan diskriminatif terhadap perempuan di sektor pekerjaan masih tetap berlangsung. Perempuan dibayar lebih rendah dari laki-laki sekalipun pada
bidang dan kapasitas kemampuan yang sama. Pada persoalan promosi, perempuan menempati posisi rendah atau menengah dan jarang ada yang mencapai posisi
eksekutif. Inti masalahnya oleh karena adanya bias budaya yang memasung posisi perempuan sebagai pekerja domestik dan dianggap bukan sebagai pencari nafkah
utama. Hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 11 ayat ld: Hak atas jumlah upah yang sama, termasuk manfaat dan perlakuan yang sama dalam
pekerjaan yang nilainya sama, seperti juga kesetaraan perlakuan dalammenilai kualitas pekerjaan.
Di beberapa perusahan seperti perbankan dan media massa, hak-hak reproduksi perempuan dipasung. Ada satu contoh yang dekat dengan saya.
Seorang teman memutuskan untuk melanjutkan S2 pascasarjana tanpa sepengetahuan atasan, dan juga sedang hamil. Ia dihadapkan dengan pilihan
Universitas Sumatera Utara
dilematis, yaitu memilih untuk tetap sekolah atau berhenti bekerja. Anda ini serakah sekali, bekerja kemudian sekolah dan hamil... Begitulah kalimat
melecehkan dari sang atasan. Perempuan ini kemudian mengajukan keberatan kepada pemimpin perusahaan dan kasusnya diakhiri dengan damai. Selain itu, ia
diberi cuti hamil sedangkan tindakan diskriminatif sang atasan dipeti-eskan. Kasus ini terjadi di sebuah perusahaan media nomor satu di Indonesia. Beberapa
perusahaan dalam realitanya meminta kesediaan para pekerja perempuannya untuk menunda perkawinan dan kehamilan selama beberapa tahun oleh karena
dianggap mengganggu produktivitas. Ini tentu bertentangan dengan CEDAW Pasal 11 ayat 2 : Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan
berdasarkan perkawinan dan fungsi keibuan dan untuk menjamin hak mereka atas pekerjaan, maka negara anggota harus melaksanakan kebijakan yang tepat untuk :
a melarang pemecatan atas alasan seperti kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemecatan atas dasar status perkawinan..
Ketidakadilan jender dialami oleh perempuan berkeluarga yang tetap dikategorikan sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat tunjangan.
Lain halnya dengan lelaki yang dianggap sebagai kepala keluarga, sehingga ia berhak mendapat tunjangan. Dalam beberapa kasus, banyak perempuan yang
berstatus sebagai single parent, baik dengan alasan perceraian maupun pilihan hidup. Dengan demikian, ia menjadi kepala rumah tangga. Tapi aturan formal
menempatkannya sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat hak tunjangan anak.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip 3 : perempuan dan kesehatan reproduksi.
Ketika program Keluarga Berencana KB digembar-gemborkan, terjadi pelanggaran hak atas fungsi reproduksi perempuan. Negara memandang
perempuan sebagai indikator penentu tercapainya program membatasi laju pertumbuhan penduduk. Maka tanpa penyuluhan yang memadai, alat KB
dijejalkan pada tubuh perempuan, bahkan acap melalui tindakan pemaksaan. Kasus ini penah dialami oleh seorang perempuan. Dokter—tanpa meminta
persetujuan sang ibu—kemudian memasangkan spiral, dan akibatnya hingga kini ia belum dikaruniai anak kedua meskipun ia sudah menghentikan program
KBnya. Tentu saja ini melanggar hak reproduksi perempuan. Ada lagi kasus unik yang terjadi di Garut paruh waktu 1995 berdasarkan penetitian Anita Rahayu, M.
Hum bahwa perempuan Garut ”dipaksa” untuk berKB dengan cara IUD spiral. Pada subuh hari, mereka berbondong-bondong berendam di sungai hingga siang
hari. Akibatnya alat KB tsb hanyut...Artinya mereka melakukan perlawanan dan bersikap anti pati terhadap alat KB. Pemerintah tidak pernah mengantisipasi hal
demikian. Mereka hanya menggalakkan KB secara sepihak, bahkan KB lanang laki-laki yang relatif aman tidak gencar digaungkan. Dalam beberapa kasus,
berKB memang berakibat negatif bagi perempuan. Banyak efek samping yang dikeluhkan perempuan akibat berKB, misalnya
saja pendarahan tak henti. Penyuluh KB juga hanya melakukan propanganda tanpa memberikan penyuluhan mendalam mengenai KB dan kesehatan
reproduksi. Mereka biasanya hanya menawarkan satu jenis alat KB, juga minim
Universitas Sumatera Utara
memberikan informasi dan data akurat mengenai efek samping berKB. Tentunya hal ini bertentangan dengan CEDAW Pasal 12 ayat 1: Para negara anggota
akan melaksanakan kewajiban yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan agar dapat menjamin, atas dasar
kesetaraan antara lelaki dan perempuan, akses ke jasa pelayanan termasuk keluarga berencana.
Prinsip 4: Perempuan dan aspirasi politik
Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak sipil dan hak politik untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Tetapi, sebagai perempuan yang bersuamikan
pegawai negeriABRI, maka hak tersebut terkungkung. la acap tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti aspirasi politik sang suami. Hal ini sangat
bertentangan dengan CEDAW Pasal 7: Para negara anggota akan melaksanakan kebijakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
kehidupan politik dan pemerintahan suatu negara dan, terutama, harus menjamin perempuan secara setara dengan laki-laki, hak untuk: memberikan suaranya dalam
semua pemilihan umum atau referendum dan memenuhi persyaratan pemilihan untuk semua badan yang dipilih secara publik...
D. CEDAW dan Hukum Nasional Indonesia