118
besar keagamaan masing-masing. Dengan demikian maka, interaksi Pela Batumerah-Passo memiliki dampak yang luas terhadap hubungan antar agama. di
dalam relasi komunitas berPela, semua orang warga yang berbeda keyakinan, tanpa membedakan latar budaya, suku, asal usulnya mengalami dinamika
hubungan layaknya orang basudara bersaudara yang saling tolong-menolong atau membantu dalam memenuhi kebutuhan fisik individual, dan spiritual
komunal. Dinamika hubungan antar agama dalam pengalaman Islam-Kristen di Kota
Ambon menyiratkan kedudukan dan peran Pela Batumerah-Passo dengan kandungan nilai persaudaraan orang Maluku, khususnya di Kota Ambon sangat
tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Coley
7
tentang fungsi sosial Pela. Dikatakan sejalan karena secara sosiologis adat Pela menghubungkan anak negeri
Maluku dengan anak negeri yang lain sebagai satu persekutuan masyarakat adat. Pada titik ini, nilai dasar Pela Gandong: persaudaraan seperti yang telah
diungkapkan Ruhulessin
8
terimplementasi secara praksis dalam aktivitas-aktivitas kerjasama lintas masyarakat berPela, lintas masyarakat agama, Islam-Kristen
membawa kesejahteraan bersama. Praksis tersebut tidak saja berguna bagi hubungan berpela tetapi bagi masyarakat Islam-Kristen secara keseluruhan.
Dengan demikian maka, kajian terhadap dampak hubungan Pela Islam- Kristen Batumerah-Passo melahirkan satu pemahaman akan adanya dimensi
pemberdayaan yang mewujud dalam dinamika relasional mutual lintas masyarakat dan agama di Ambon.
B. Hubungan Pela Gandong Pada Saat Konflik
1. Faktor Pemicu, Penyebab dan dampak Konflik Islam Kristen di Ambon
Hubungan Islam-Kristen pada negeri Batumerah-Passo sebelum pecahnya konflik secara internal sangat rukun, tetapi pada sisi lain terdapat fenomena
konflik antar warga individual desa tetangga seperti yang terjadi antar pemuda Batumerah Islam - Mardika Kristen, dan konflik antar penduduk asli Islam-
Kristen dengan para pendatang. Konflik di luar hubungan Pela Gandong atau bukan konflik antar warga berpela komunal terjadi karena faktor kecemburuan
7
Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987, 238
8
John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…. 2007, 257-258
119
sosial, atau orang asli merasa ingin menguasai dan tidak ingin dikuasai pendatang. Konflik berlatar kecemburuan ekonomi ini sejalan dengan penjelasan Wirawan
tentang konflik ekonomi
9
, atau konflik karena perebutan wilayah pasar oleh para pedagang pada satu daerah. Keadaan ini sesuai dengan fakta demografi,
kependudukan di negeri Batumerah sebelum konflik yang tidak hanya warga asli tetapi juga terdapat penduduk dari berbagai suku, yakni orang bugis, buton,
makasar, cina, arab, dan jawa yang yang mendominasi aktifitas perdagangan. Konflik tahun 1999 yang awalnya terjadi di Batumerah bertepatan dengan
moment perayaan hari besar keagamaan umat Muslim, yakni hari Idul Fitri. Ketika itu, masyarakat Ambon saling bersilaturahmi, mengunjungi kediaman
masing-masing untuk berjabat tangan. Konflik yang terjadi bertepatan dengan momentum Gerejawi protestan, ketika, para pemimpin umat Protestan sementara
melangsungkan persidangan Klasis di jemaat GPM Bethara di wilayah Batumerah Dalam. Pada saat konflik pecah, orang Kristen di Batumerah tiba-tiba dikagetkan
dengan huru hara dan sejumlah penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Muslim.
Konflik berkepanjangan di Ambon yang berlangsung hampir seabad akhirnya telah memposisikan orang Ambon, individu dua komunitas agama yang dominan
jumlah pemeluknya Islam-Kristen sebagai yang saling berlawanan satu dengan yang lain. Pihak Islam maupun Kristen berkepentingan untuk saling
mengalahkan, saling menyerang memperebutkan kantong-kantong minoritas pada kedua
wilayah. Kenyataannya
di Batumerah,
pihak Islam
berhasil mengkosongkan penghuni Kristen wilayah Batumerah dengan menghancurkan
perumahan dan gedung ibadah Gereja Kristen, Gereja Bethara Batumerah Dalam, Gereja Petra GPM dan Yakobus Katolik Ahuru. Sementara itu, di
Passo, pihak Kristen mengkosongkan penghuni Islam wilayah Larier dan menghancurkan salah satu mesjid Batu Gong.
Perilaku ekspresif yang diperlihatkan kedua pemeluk agama Islam-Kristen dalam situasi konflik diatassejalan dengan gagasan Thomas Kilmann dan
Rahim
10
tentang gaya manajemen konflik, secara khusus Kompetisi atau dominasi. Dikatakan sejalan karena secara politis baik pihak Islam maupun
9
Wirawan, Konflik dan Manajemen … 2010, 62-105
10
Wirawan, Konflik dan Manajemen… 2010, 138-144
120
Kristen pada wilayah-wilayah mayoritas berkeinginan untuk membangun basis- basis kekuatan yang dengannya dapat digunakan untuk memenangkan konflik. Di
satu sisi, penyerangan dan pengrusakan harta milik pribadi apalagi sarana peribadahan sebagai simbol eksistensi keagamaan memupuk amarah reaktif
masing-masing komunitas. Konflik yang melibatkan warga Islam-Kristen hendak menjelaskan tentang
bagaimana kekerasan dapat terjadi karena warga terpicu oleh merebaknya isu-isu, simbolisasi keagamaan yang berakar pada fanatisme keagamaan yang kuat baik di
pihak Islam maupun Kristen. Isu-isu agama yang muncul dalam konflik, yakni seruan “…tolong. . tolong tolong orang Kriten mau potong beta…. ”; orang Islam
telah dibunuh di wilayah Kristen; ketika orang Kristen menyerang komunitas muslim, seorang wanita Islam dipaksa untuk membuka jilbabnya. Sedangkan
simbol-simbol agama yang digunakan ketika konflik yaitu, Islam dengan kain atau jubah putih dan orang Kristen yang berikatkan kain merah. Ada juga
teriakan atau yel- yel: Allah huakbar…. dan tagbir oleh komunitas Islam yang
akhirnya membakar semangat juang individu untuk berperang melawan orang Kristen.
Konflik dan kekerasan komunal Islam-Kristen yang terjadi karena dipicu oleh adanya isu-isu simbolisasi keagamaan sekiranya sejalan dengan pemikiran
Aritonang
11
tentang fenomena konflik dalam perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia. Gejala-gejala yang nampak sama yakni, kerusuhan dipicu oleh
peristiwa yang sepele dan tidak punya hubungan dengan masalah agama, konflik semakin meluas ketika ada muatan keagamaanya. Konflik 1999 yang melibatkan
warga Islam-Kristen di Ambon tak lepas dari gejolak politik: transisi kepemimpinan negara, jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Dikatakan demikian
karena faktanya, konflik pada dasarnya hanya bermula pada perseteruan atau perkelahian antar pribadi. Persoalan individu ini kemudian menjadi persoalan
komunitas ketika tersusupi dengan isu-isu identitas komunal. Selanjuntya, konflik juga dilatari oleh keterlibatan pihak TNI, Laskar Jihat
pihak Islam dan Kelompok Agas pihak Kristen yang “bermain” langsung dalam aksi kekerasan dan penyerangan terhadap masing-masing komunitas. Pada
11
Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. Jakarta:BPK. G. Mulia. 2006,2006,532
121
beberapa momentum, digambarkan tentang indikasi konspirasi antara TNI dengan kelompok-kelompok militan. Keberadaan dan keterlibatan TNI pada satu sisi telah
menyadarkan kedua belah pihak Islam Kristen tentang adanya unsur “permainan” atau konflik telah diskenariokan oleh pihak-pihak tertentu.
Menanggapi situasi yang demikian, individu-komunitas GPM dan Katolik di Ahuru memilih untuk mempertahankan wilayah huniannya, dan tidak melakukan
penyerangan. Perilaku seperti demikian sejalan dengan gagasan Thomas Kilmann dan Rahim
12
tentang gaya manajemen konflik menarik diri atau menghindar. Mengapa demikian, karena bagi masyarakat yang tidak memiliki
kepentingan, konflik hanya dipahami sebagai kondisi yang jelas-jelas mengancam dan merugikan dirinya. Pengetahuan tentang adanya faktor-faktor eksternal yang
melatarbelakangi konflik ini telah berpengaruh pada pola perilaku masyarakat. Pada lain sisi, keberadaan dan keterlibatan TNI yang seperti demikian
menunjukan ketidakefektifan pemerintah dalam mengupayakan penyelasaian konflik. Kenyataan ini apabila dikaji dari pemikiran Galtung
13
, perihal pendekatan peacekeeping, dalam hal ini intervensi militer yang jelasnya tidak bisa
menghentikan konflik horisontal. Secara faktual, pendekatan penyelesaian konflik: kekerasan oleh pihak pemerintah melalui TNI sebagai aparatur negara
sebaliknya justru melanggengkan konflik, manakala pihak militer tidak netral dan bahkan terlibat menjadi aktor kekerasan yang tidak memihak terhadap salah satu
pihak tetapi malah menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dari pihak Islam maupun Kristen. Akhirnya tidak dapat dipungkiri jika ada pandangan bahwa
konflik adalah bisnis kerusuhan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,bahwa konflik di Ambon terjadi karena kepentingan pihak-pihak tertentu pemerintah
dan kelompok-kelompok tertentu yang dengan kekuasaanya ingin meraup keuntungan dari peristiwa konflik.
Selanjutnya, tentang keberadaan dan keterlibatan kelompok-kelompok radikal Laskar Jihad Islam dan Pasukan Agas Kristen dalam arena konflik
sebagai aktor kekerasan semakin memperuncing pemahaman tentang konflik Ambon sebagai sebuah konflik yang berwatak agama, manakala agama
bertumbuh menjadi identitas kelompok, dan karena itu memicu sentimen-
12
Wirawan, Konflik dan Manajemen … 2010, 138-144.
13
Jhon. Galtung. Three Approaches to Peace… 1976, 284-288,
122
sentimen keagamaan para pemeluknya. Individu dan kelompok keagamaan masing-masing berkonflik untuk mempertahankan identitas agamanya yang
terancam. Hal tersebut sejalan dengan tinjauan Goddard
14
tentang fenomena konflik yang melibatkan komunitas agam-agama Islam-Kristen dalam konteks
sejarah timur tengah-eropa. Secara historis, konflik yang nampak langsung melalui sikap dan perilaku kekerasan saling berperang yang dilakukan dan
dialami kedua belah pihak pada akhirnya menjadi ladang bagi bangkitnya gerakan-gerakan berbasis keagamaan. Masing-masing gerakan keagamaan
merepresentasikan sudut pandang kedua komunitas sebagai pihak-pihak yang harus dilawan, diperangi demi mempertahankan identitas keagamaannya.
Lebih lagi, konflik antar pemeluk agama yang terjadi di Ambon dilatari oleh beberapa faktor, antara lain: kecemburuan sosial-ekonomi; terkait pembagian
kuasa dan jabatan struktur: birokrasi dan akademisi. Bagi pihak Islam, minimnya keterwakilan mereka dalam menduduki posisi-posisi kunci dalam birokratif
dibandingkan dengan pihak Kristen mengindikasikan hegemoni politik Kristen yang ingin menguasai Maluku Ambon. Karena itu, dalam proses mediasi yang
dilakukan oleh pemerintah Malino II tahun 2002, kepentingan pihak Islam mengusung satu point mengenai pemerataan dan penyeimbangan proporsi Islam-
Kristen dalam jabatan-jabatan struktur pemerintahan. Jadi, bagi mereka, kepemimpinan publik harus dipilih sesuai dengan jumlah orang atau penduduk
berdasarkan agama, bukan berdasarkan kemampuan intelektual, professional dan manajerial. Se
bagaimana yang terungkap dalam penelitian: “orang menjadi pimpinan bukan karena kualitas, tetapi semata-mata karena alasan keadilan:
seimbang atau sama rata”. Konflik dalam hubungan antar agama dengan latar belakang kecemburuan
ekonomi antar penduduk asli versus pendatang yang terjadi sebelum konflik bergeser keranah politik kepentingan pihak-pihak tertentu dalam hal ini Islam
kelas menegah pegawai negeri sipil yang merasa dinomor duakan, terdiskriminasi dalam kebersamaan ditengah-tengah masyarakat. Indikator
kecemburuan sosial-ekonomi yang melatarbelakangi konflik antar agama di Ambon tersebut sejalan dengan gagasan Wirawan dan Liliweri tentang penyebab
14
Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terebesar di Dunia. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013,164.
123
konflik.
15
Secara sosiologis, konflik dan kekerasaan dalam sebuah organisasi: masyarakat dapat terjadi
karena adanya “kondisi objektif” atau objek konflik. Keduanya sama-sama melihat konflik dengan dimensi ekonomi dilatari oleh
adanya pertentangan terhadap sumberdaya yang terbatas. Bagi Liliweri, konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak merasa tidak puas atas ketidakadilan
distribusi sumberdaya tersebut. Dengan demikian, konflik antar agama di Ambon tidak disebabkan karena
persoalan kepentingan agama, melainkan agama hanya dikambing hitamkan menjadi alat untuk tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau
individu tertentubaca: elite lokal . Dimensi “politik kepentingan” sebagai faktor
primer yang melatarbelakangi konflik sebagaimana yang telah dipaparkan diatas sekiranya sejalan dengan gagasan Wirawan
16
tentang jenis-jenis konflik dalam kehidupan terkhusus dalam konteks Indonesia. Konflik antar agama sebagaimana
yang terjadi di Maluku adalah konflik yang tidak dilatarbelakangi oleh satu fator tunggal, tetapi bermulti dimensional, diantaranya yakni politik-ekonomi-sosial.
Karena itu, konflik Ambon dapat dipahami sebagai konflik antar agama yang bermuatan politik yang berkepentingan menguasai Ambon. Dengan demikian
maka dapat dipahami bahwa Agama hanya dipakai sebagai sumbu yang dinyalakan, karena faktanya ketika sentimen keagamaan disinggung, dan atau
secara sengaja dilibatkan sebagai faktor yang memicu ketegangan, maka konflik itu akan terjadi lebih cepat dan dengan eskalasi tinggi.
Kajian diatas hendak menjelaskan tentang bagaimana konflik dan kekerasan yang terjadi di Ambon dengan isu-isu pemicu SARA yang telah mengiring kedua
pemeluk agama Islam-Kristen untuk saling bertindak keras, saling berkompetisi dan mendominasi. Konflik tidak hanya bersifat horizontal-primordial masyarakat
vs masyarakat: individu-kelompok ekstrimis berlabel keagamaan tetapi juga vertikal-nasional masyarakat-negara: aparatur penegak Hukum atau TNI.
Kondisi demikian melahirkan pemahaman dan reaksi sikap masyarakat untuk menghindar. Konflik dilatar belakangi oleh faktor-faktor eksternal yang multi
15
Wirawan, Konflik dan Manajemen... 7-14. Lht. juga Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik …. .
2005, 256-261
16
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik … 2010,55-93
124
dimensional, diantaranya: ekonomi, dalam hal ini kecemburuan sosial antar orang asli dan pendatang, kepentingan politik dan kekuasaan aras lokal.
2. Dampak Konflik terhadap hubungan Islam-Kristen Di Kota Ambon