126
C. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi terhadap
konflik berdarah Islam-Kristen di Ambon
Hubungan Pela Gandong pada masa konflik dalam praktiknya merupakan serangkaian aktifitas bersama yang tidak hanya terlaksana dalam peristiwa-
peristiwa ritual adat yang eksklusif sebagaimana yang terjadi sebelum konflik. Akan tetapi, cenderung terarah pada bagaimana mengupayakan penyelesaian
konflik. Beberapa praktek hubungan Pela Gandong Batumerah Passo yang terkait
dengan itu yakni: pertama, orang Batumerah-Passo saling melindungi dan menyelamatkan ketika masing-masing pihak secara individu-komunitas terbekuk
dalam kondisi krisis. Kedua, para tokoh adat saling berkomunikasi, bertukar informasi. Ketiga, saling mengkondisikan suasana kedamaian dan ketentraman
pada wilayah-wilayah kedua negeri. Keempat, saling berdialog, berkompromi untuk mendudukan pemaknaan tentang konflk dengan muatan-muatan
penyebabnya. Keputusan bersama yang dilaksanakan yakni, bahwa hanyalah orang Ambon yang bisa menyelesaikan konflik. Kelima, Pada konteks yang luas,
praktek hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo yang berhasil terbangun dalam konflik kemudian menjadikan negeri Batumerah-Passo sebagai sampel
perdamaian. Beberapa upaya mediasi perdamian yang dilakukan oleh pemerintah: perjanjian Malino 2 juga telah mengakomodir keterwakilan komponen masyarakat
Adat berpela Batumerah-Passo. Keseluruhan praktek Pela gandong Batumerah-Passo seperti yang telah
diuraikan diatas sejalan dengan pemikiran Galtung
18
tentang proses penyelesaian konflik: resolusi konflik, yang meliputi: peacekeeping, peacemaking, dan
peacebuilding. Dikatakan sejalan karena secara sosio-kultur hubungan Pela Gandong secara substansial telah menyumbangkan alternatif penyelesaian konflik
dan kekerasan di aras internal konflik horisontal sekutu Pela Gandong yang dalam praksisnya semua orang Maluku terhususnya di Ambon termediasi melalui
mekanisme hubungan kerjasama komunal pada tingkat warga hingga tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjalankan peran sebagai
penjaga perdamaian yang netral, yang membatasi masuknya milisi-milisi sipil dari
18
Yulius Hermawan, Transformasi dalam S tudi Hubungan Internasional… 2007, 93
127
luar kota ambon: Leihitu dan menolak kekerasan dalam wilayahnya; kedua belah pihak terlibat dalam serangkaian upaya penyelesaian konflik pihak ketiga diaras
nasional: pemerintah maupun di aras lokal; dan yang paling mendasar yakni telah berupaya membuka ruang pemberdayaan potensi dan kapasitas personal, yang
mana terkait dengan hasil keputusan Malino yang mengakomodir keterlaksanaan sistem rekruitmen pejabatan akademis dalam upaya rehabilitasi Universitas
Pattimura yang mesti berlandaskan pada prinsip keterbukaan, keadilan dan profesosionalitas.
Pengkajian terhadap praktek hubungan Pela Gandong diatas mengartikan bahwasalah satu fungsi pela yang penting pada saat konflik adalah fungsi
pemersatu, antara masyarakat berpela menyikapi konflik yang mengakibatkan perpecahan sosial. Hubungan pela merupakan suatu yang unik, ia berkembang
menjadi satu identitas kultural yang mengusung nilai inti kemanusiaan yang universal lewat saling mengamanakan dan menyelamatkan antar sesama
masyarakat yang berpela. Hal mana pada akhirnya melahirkan pemahaman bahwa budaya Pela Gandong tetap bertahan, dan terus mengalami kebangkitan
yang menjadi institusi yang batasan dan peraturannya paling dipatuhi. Dengan demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebagai
proses resolusi konflik telah nampak sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan bersama melalui kerjasama yang terbangun antara pihak-pihak yang berkonflik
dalam hal ini Islam-Kristen di Batumerah-Passo sebagai bagian internal dari komunitas dua agama yang berkonflik. Prosedur resolusi konflik berawal dari
penguraian masalah menentukan penyebab konflik untuk dipecahkan dan dihilangkan secara bersama-sama. Olehnya itu, resolusi konflik melalui
intervensi pihak ketiga dalam hal ini masyarakat adat dua negeri Batumerah- Islam-Kristen-Passo dapat dilihat sebagai bentuk upaya penanganan konflik
dalam rangka membangun hubungan baru diantara kelompok-kelompok yang berkonflik yang berseteru.
Secara khusus berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo di Ambon, maka metode
resolusi konflik yang dilakukan pun mengarah pada dua sisi pengaturan secara bersamaan. Pada satu sisi, penyelsaian konflik diatur sendiri oleh pihak-pihak
128
yang terlibat konflik Islam-Kristen di Batumerah-Passo. Dan pada sisi yang lain, komponen masyarakat adat Batumerah-Passo juga terlibatan pada proses
penyelesaian konflik yang diatur melalui intervensi pihak ketiga: pemerintah melalui Malino 2. Hanya saja, pengaturan intervensi pihak ketiga unsich melalui
pendekatan perselisihan alternatif. Yang mana kedua belah pihak, serta pihak ketiga terlibat dalam proses negosiasi dan atau mediasi bersama yang
menghasilkan suatu kerjasama atau konsensus. Secara metodik, hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi konflik menegaskan kembali gagasan
Wirawan
19
tentang metode resolusi konflik dapat dikelompokan menjadi: pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan
konflik, dan atau pengaturan intervensi pihak ketiga, dalam hal ini melalui perselisihan alternatif.
Selain itu, pengalaman Islam-Kristen khususnya di Batumerah-Passo, mengungkapkan bahwa ada upaya masyarakat adat untuk mengembalikan
komunitas Katolik di Ahuru Batumerah, dan menjaga eksistensi keIslaman, melalui pemerilaharaan salah satu Mesjid yang ada di Larier Passo hingga
sekarang. Mesjid tersebut memang belum dapat digunakan secara maksimal. Akan tetapi, bagi orang Passo, berdirinya Mesjid tersebut merupakan wujud
kehendak masyarakat untuk merajut kembali hubungan kehamonisan antar agama-agama yang bertikai Islam-Kristen.
Upaya penyelesaian konflik melalui pendekatan kultural yang telah nampak diatas melahirkan satu pemahaman bahwasannya, masyarakat adat Batumerah-
Passo dalam Pela Gandong yang menjamin ketentraman dan hak kebebasan individu dan komunitas agama-agama yang berbedatelah sampai pada upaya
menghargai eksistensi keberagamaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Bahkan Hubungan tersebut muncul sebagai salah satu metode resolusi konflik.
Praktik penyelesaian konflik dengan metode rekonsiliatif hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo seperti demikian telah mampu mengobati derita psikologis,
yakni rasa takut dan kehilangan yang dialami oleh kedua belah pihak. Olehnya itu, masyarakat adat Batumerah-Passo dapat dikatan memiliki mekanisme
penyelesaian konflik yang berdimensi pemulihan, yang mana hubungan tersebut
19
Wirawan, Konflik dan Manajemen. . . 2010, 177
129
telah mampu mengubah keadaan dari yang tadi-tadinya konflik kembali kepada keadaan yang semula, yaitu keadaan kehidupan yang harmonis dan damai.
D. Hubungan Islam-Kristen Dalam Pela Gandong Dari Prespektif