Kerangka Teori Analisa Yuridis Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Dibawah Tangan Terhadap Hal-Hal Yang Tidak Diperjanjikan Secara Tegas

11 bagaimanakah pembatalan perjanjian sewa menyewa rumah secara sepihak sebelum jangka waktu sewa berakhir dan bagaimanakah akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi. 2. Rika Fitri, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2008, dengan judul “Analisa Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah yang Dibuat Dihadapan Notaris Studi Kantor Notaris Kota Medan”, dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu : bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa menyewa yang dibuat di hadapan notaris, bagaimana pengaturan mengenai pengosongan dalam akta sewa menyewa rumah, dan perlindungan apakah yang diberikan dalam perjanjian sewa menyewa terhadap penyewa dan yang menyewakan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”. 13 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. 14 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta : UI Press, 1986, hlm. 6 14 J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Jakarta : Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia, 1996, hlm. 203. Universitas Sumatera Utara 12 Menurut Soerjono Soekanto, teori 15 adalah “suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu”. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis dibidang hukum. 16 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. 17 Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian. 18 Sehubungan dengan itu dalam meneliti tentang analisa yuridis perjanjian sewa menyewa gedung dibawah tangan terhadap hal-hal yang tidak diperjanjikan secara tegas, teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori perjanjian tentang kebebasan berkontrak. Pendekatan berdasarkan hukum terhadap asas kebebasan berkontrak sebagai suatu kebebasan manusia yang fundamental juga dikemukakan oleh Thomas Hobbes. “Kontrak menurut Hobbes adalah metode dimana hak-hak fundamental dari manusia 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2008, hlm.6. 16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm. 27. 17 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1998, hlm. 23. 18 M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 23. Universitas Sumatera Utara 13 dapat dialihkan, sebagaimana halnya dengan hukum alam yang menekankan tentang perlunya ada kebebasan bagi manusia, maka hal itu berlaku juga berkaitan dengan kontrak-kontrak”. 19 Thomas Hobbes berpendapat bahwa alam telah membuat manusia sama, yaitu sama dalam panca indranya dan sama dalam pikirannya, sekali pun dapat dijumpai bahwa kadang-kadang ada manusia yang lebih kuat raganya dari manusia yang lain. Dari kesamaan ini timbul kesamaan harapan untuk memperoleh tujuan-tujuan akhirnya. “Apabila ada dua manusia yang menginginkan hal yang sama, yang untuk hal tersebut tidak mungkin dapat dinikmati bersama oleh mereka, maka mereka akan saling bermusuhan. Untuk mencapai apa yang diinginkan oleh mereka itu, mereka akan berusaha untuk menghancurkan atau menaklukkan yang lain”. 20 Setelah memahami pemikiran Thomas Hobbes tersebut, maka apabila perkembangan dari berfungsinya asas kebebasan berkontrak dalam pembuatan- pembuatan kontrak ternyata telah menimbulkan penindasan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, sebagaimana hal yang demikian itu, menurut teori Thomas Hobbes pasti akan terjadi apabila manusia dibiarkan bebas tanpa kendali oleh suatu yang berkuasa dan berwenang, “maka seandainya Thomas Hobbes masih hidup dan sempat menyaksikan akses dari bekerjanya asas kebebasan berkontrak yang demikian 19 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 20. 20 Ibid., hlm. 55 Universitas Sumatera Utara 14 itu, Ia akan menganjurkan agar negara campur tangan”. Ia akan mengemukakan pendapat bahwa karena manusia mempunyai ketakutan akan mati, berkeinginan untuk memperoleh sesuatu hal demi untuk dapat menikmati hidup secara leluasa dan mempunyai harapan untuk memperoleh hal-hal tersebut, maka nalar yang dipunyainya, yang cenderung mencari kedamaian, “sehingga akan berupaya untuk menemukan jalan ke arah yang dapat menghindarkan bentrokan dengan sesamanya dalam pembuatan suatu perjanjian”. 21 Jadi didalam perjanjian sewa menyewa ini menganut azas kebebasan berkontrak, dimana para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan. Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistim hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan atara pengertian “contract” dan “overeenkomst”. Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat. Kata Perikatan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kata “Perjanjian”. Dimana kata Perikatan dapat diartikan sebagai “suatu hubungan hukum 21 Ibid. Universitas Sumatera Utara 15 antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”. 22 Sedangkan perjanjian dapat diartikan “sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 23 Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih ”. Berdasarkan pengertian diatas dapat diartikan hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan, sebab perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan selain undang-undang. Jadi Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan Perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. 24 Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, tetapi mencakup sampai kepada lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, namun memiliki sifat yang berbeda dengan 22 Subekti, Op Cit, hlm.1. 23 Ibid. 24 Subekti, Op Cit, hlm. 122. Universitas Sumatera Utara 16 perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Ke-III kriterianya dapat dinilai secara materiil atau uang. 25 Dari pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas, agar suatu perjanjian mempunyai kekuatan maka harus dipenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu : a. Syarat Subyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan yang meliputi : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. b. Syarat Obyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum yang meliputi : 1. Suatu hal obyek tertentu. 2. Sebab yang halal. Kesepakatan diantara para pihak diatur dalam Pasal 1321-1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan diatur dalam Pasal 1329-1331 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Syarat tersebut merupakan syarat subyektif yaitu syarat mengenai subyek hukum atau orangnya. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan syarat obyektif diatur dalam Pasal 1332-1334 Kitab Undang- 25 Mariam Darus Badrulzaman, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara 17 undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian dan Pasal 1335-1337 mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak . Syarat tersebut merupakan syarat obyektif, apabila tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Secara garis besar KUH Perdata mengklasifikasikan jenis‐jenis perjanjian adalah 26 : a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya, misalnya hibah. b. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum. c. Perjanjian bernama dan tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian‐perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas, misalnya perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. d. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan. e. Perjanjian konsensual dan perjanjian real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak‐pihak. Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian di samping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan. 26 Abdul Kadir Muhamad, Op.Cit, hlm. 86‐88. Universitas Sumatera Utara 18 Suatu perjanjian dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau mungkin tidak dapat dilaksanakan karena adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi berupa wanprestasi dan keadaan memaksa force majeur 27 . Wanprestasi menurut Abdul Kadir Muhamad mempunyai arti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian 28 . Sedangkan menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa “debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepdanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi “ 29 . Dari dua pengertian di atas, maka secara umum wanprestasi berarti pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Misalnya seorang disebutkan dalam keadaan wanprestasi maka dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang sepatutnya. Seseorang dikatakan telah melakukan wanprestasi baik karena lalai maupun karena kesengajaan, apabila 30 : a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan. 27 J. Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung : Alumni, 1999, hlm.83 28 Abdul Kadir Muhamad, Op Cit, hlm.20. 29 J. Satrio, Op Cit, hlm.122 30 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Prenada Media Group, 2010, hlm. 122. Universitas Sumatera Utara 19 b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. c. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tetapi sudah terlambat. d. Melakukan suatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk menentukan dan menyatakan apakah seseorang melakukan wanprestasi, tidaklah mudah karena seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Sebelum dinyatakan wanprestasi, seorang debitur harus lebih dahulu ditagih atau diberi teguran atau somasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyebutkan : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan terus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Apabila si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia “ Wanprestasi “ bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitur harus : a. Mengganti kerugian. b. Benda yang dijadikan obyek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur. c. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan pemutusan perjanjian. Universitas Sumatera Utara 20 Pernyataan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak diperlukan mengingat adanya bentuk wanprestasi. a. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian. b. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan, karena debitur dianggap masih dapat berprestasi. c. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu, tetapi Meijers berpendapat lain apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif positive contrackbreuk, pernyataan lalai tidak perlu. 31 Keadaan memaksa force majeur adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada diluar kekuasaan dan keberadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Keadaan memaksa berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata adalah : a. Tidak memenuhi prestasi. b. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur. c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur. Pihak yang harus membuktikan adanya force majeur adalah pihak debitur yang tidak dapat berprestasi dan yang harus dibuktikan adalah : a. Bahwa debitur tidak mempunyai kesalahan atas timbulnya halangan prestasi. 31 Agus Yudha Hernoko, Ibid., hlm. 137. Universitas Sumatera Utara 21 b. Tidak memiliki pilihan. c. Halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya. d. Debitur tidak menanggung resiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian. Ciri-Ciri dari Force Majeur adalah : a. Suatu hal yang tidak terduga Pasal 1244 KUHPerdata. b. Keadaan memaksa Pasal 1245 KHUPerdata. c. Diluar salahnya si berutang Pasal 1444 KHUPerdata. Dengan demikian debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian karena sesuatu kejadian atau keadaan yang terjadi setelah perjanjian yang dibuat yang berada diluar daya atau menghindari atau kemampuan debitur untuk dapat menghentikan, menghindari atau mengendalikan kejadian atau keadaan yang menyebabkan tidak mungkin dilaksanakannya kewajiban tersebut. Dengan kejadian atau keadaan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata 32 . Force Majeur dikenal juga dengan istilah-istilah lain yaitu overmacht atau keadaan memaksa 33 . 32 Overmacht adalah suatu keadaan memaksa yaitu suatu keadaan diluar kekuasaan pihak debitur, yang menjadi dasar hukum untuk “memaafkan” kesalahan pihak debitur. Jadi suatu overmacht mengandung dua unsur yaitu keadaan diluar kekuasaannya pihak debitur dan bersifat memaksa dan keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat, sehingga pihak debitur akan luput dari perhukuman untuk menanggung resiko suatu perjanjian. Dengan kata lain overmacht merintangi pihak debitur untuk memenuhi prestasi, Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesi, Yogyakarta, Pustaka Fak.Hukum Universitas Islam Indonesia 1989, hal.63. 33 Beberapa unsur yang harus dipenuhi, sehingga suatu keadaan digolongkan sebagai keadaan memaksa yaitu peristiwa itu terjadi diluar kehendak debitur, terjadinya peristiwa itu tidak Universitas Sumatera Utara 22

2. Konsepsi