Ahmad Dahlan dan Organisasi Wanita Muslim

B.2 Ahmad Dahlan dan Organisasi Wanita Muslim

Ahmad Dahlan tinggal di salah satu lingkungan di kota Kesultanan Yogyakarta, yaitu di kampung Kauman. Kompleks ini merupakan kompleks tempat tinggal dengan jalan-jalan sempit dan tembok putih tegak, sehingga sering sulit bagi orang asing untuk memasukinya. Suasana hening dan khusuk mendominasi kehidupan pemukimnya dan selalu tenang, sehingga orang menduga penduduknya menarik diri dalam kehidupan batin di kamar-kamar yang setengah gelap. Di sini di dekat masjid agung yang menjulang di balik rumah-rumah rendah, tinggal jemaat yang patuh, ummat Islam yang tetap berpegang pada keyakinannya dan khusuk dalam memenuhi kewajiban keagamaannya. Kebanyakan mereka adalah orang Jawa yang pekerjaannya berdagang. Mereka termasuk dalam kelompok kelas menengah, yang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang batik. Kegiatan perdagangan inilah yang membawa masyarakat yang tinggal di daerah itu tidak mengalami kekurangan. Di daerah ini banyak tinggal kaum ulama, imam, khatib, modin dan para pegawai masjid lainnya. Berdasarkan hak istimewa lama yang diperoleh dari Sultan, ummat Islam boleh tinggal di kampung ini, yang menyisihkan orang Cina dan Kristen dari wilayah itu. Hiburan duniawi seperti gamelan dan tari-tarian ledek dilarang masuk ke kampung ini. Pada bulan Puasa, tidak seorangpun diizinkan makan, minum atau merokok secara terbuka di tempat publik. Ketika seseorang jelas dengan sengaja mengabaikan kewajiban agama Islam, kepadanya

8 Lihat Yudi Latif, 2008. Ibid, hlm. 110-111.

[110] K .H. Ahmad Dahlan [110] K .H. Ahmad Dahlan

Jika menjelang petang orang memasuki jalan-jalan di kampung Kauman, dari setiap rumah akan terdengar lantunan pembacaan ayat Qur’an dan melalui pintu yang sedikit terbuka, yang diterangi lampu, orang bisa melihat anak-anak

Njai A. Dahlan, berpakaian adat Minangkabau

laki dan perempuan sibuk belajar

sewaktu menghadiri Mu’tamar Muhammadiyah di Bukit tinggi (duduk paling depan) - Tahun 1930

membaca kitab al Qur’an. Orang melihat kaum pria dan wanita saling berhadapan, di jalan menuju masjid untuk melaksanakan ibadahnya di kampung itu. Kaum wanita selalu terlihat memakai rukuh putih di atas pundaknya. Namun, kehidupan ini, yang tampaknya jauh dari kehidupan duniawi memiliki latar belakang sejarahnya, karena di kampung Kauman di kota Yogyakarta organisasi Muhammadiyah yang meskipun pada mulanya kecil, sekarang membentang dengan cabang-cabangnya di hampir semua pulau Hindia Belanda dan menjadi organisasi keagamaan yang terkuat dan terluas di Hindia Belanda.

Tempat paling menarik di Kauman adalah di mana di sebuah tempat sempit di belakang pagar besi tinggi, terdapat sebuah bangunan baru berwarna putih dan kecil. Ini adalah masjid perempuan, sebuah rumah ibadah yang hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Bangunan dalamnya mirip dengan masjid biasa. Melalui pintu yang agak terbuka orang bisa melihat ruang dalamnya yang seluruhnya kosong dan hanya digunakan untuk sholat. Lantai marmer sebagian tertutup dengan tikar. Di tembok belakang berwarna putih, dibangun sebuah migrab. Mengingat masjid ini

9 Lihat G.F. Pijper, Fragmenta Islamica: studien over het Islamisme in Nederlandsch Indie, hlm.1-3. Koleksi Museum Sono Budoyo, Yogyakarta.

K .H. Ahmad Dahlan [111]

menghadap ke kiblat, migrab di tembok itu diarahkan menghadap barat laut yang menunjukkan kiblat yang tepat. Tikar di lantai karena alasan yang sama sedikit bergeser. Pada tiga sisi bangunan ini sebuah beranda kecil terbuka disediakan untuk melakukan sholat apabila pengunjungnya banyak. Di beranda depan ditemukan kentongan, sebuah potongan kayu dilobangi yang terbuat dari kayu nangka, yang dipukul dengan palu yang terbuat dari kayu juga. Seorang wanita tua bertugas memukul kentongan secara rutin bila waktu sholat tiba. Di beranda selatan terdapat sebuah keranda mayat (bandosa) yang diserahkan sebagai wakaf oleh seseorang yang soleh dan digunakan untuk mengusung jenazah apabila seorang wanita meninggal dunia. Pada sisi utara masjid, yang dipisahkan melalui sebuah gang tertutup atap, terdapat bangunan tambahan. Pertama-tama terdapat sebuah ruang terbuka di sisi depan di mana sebuah sumur dan bak berlapis semen yang diisi dengan air. Di sini kaum wanita membasuh kaki mereka. Selain itu ada sebuah ruang yang tertutup dengan pintu di mana disediakan air untuk wudhu atau untuk mandi bagi kaum wanita, khususnya ketika saat sholat telah tiba. Sebelum masuk ke masjid, tanpa perlu melakukan wudhu di rumah atau karena sebab lain karena sedang berada dalam kondisi tidak suci. Pada ujung gang tertutup antara masjid dan bangunan tambahan. Pada malam hari tampak seorang wanita tua yang tuli sebagai petugas kebersihan masjid tidur. Tugas yang diembannya adalah memukul kentongan lima kali sehari pada saat tibanya waktu sholat secara rutin. Ia tidak akan jauh pergi dari masjid itu, karena baik subuh, siang, sore maupun malam harus menjalankan tugasnya. Dengan bermalam di masjid sini, biasanya beberapa wanita tua lainnya tidur di situ, atau bila ada wanita pedagang dari kota lain yang akan menginap di Yogyakarta, dapat menginap di tempat itu.

Setiap petang antara sholat magrib dan sholat ishak, di masjid perempuan ini diberikan pelajaran agama. Sampai tahun 1930 seorang kiai melaksanakan tugas itu, tetapi sejak itu dia melimpahkan tugas ini kepada dua orang perempuan yang saling bergantian. Pendengarnya

[112] K .H. Ahmad Dahlan [112] K .H. Ahmad Dahlan

Masjid perempuan di Yogyakarta ini merupakan satu-satunya di Jawa, bahkan tidak pernah ditemui di negara Islam mana pun. Rumah ibadah lain bagi kaum perempuan, yang biasa disebut dengan istilah Jawa langgar atau bahasa Arab musholla, sejak berkembangnya organisasi Muhammadiyah mulai juga dijumpai di tempat-tempat lain. Semuanya berdiri berkat cabang wanita organisasi Muhammadiyah yang disebut Aisiyah (Nama Aisiyah diambil dari salah satu istri Nabi Muhamad). Masjid di Kauman Yogyakarta adalah yang tertua, yang didirikan pada 1341 Hijriah atau 1922-1923. Aisiyah cabang Garut mengikuti jejak Aisiyah di Yogyakarta dengan mendirikan sebuah Masjid perempuan di kampung Pengkolan; sebuah masjid yang dibangun dengan menggunakan batu kecil segi empat yang berdiri di pelataran dalam sebuah kompleks rumah ibadah bagi kaum laki-laki. Masjid perempuan ini didirikan pada Februari 1926.

Sebuah masjid perempuan ketiga berdiri di Karangkajen, sebuah kampung di luar kota Yogyakarta. Masjid ini didirikan pada 1927. Biaya pembangunannya mencapai jumlah f 6.000. Bangunan masjid ini dibuat dari batu, layaknya sebuah langgar biasa. Dari luar masjid perempuan ini sangat mencolok dengan tembok tanpa jendela yang dicat warna putih tinggi di atas pagar bambu yang dianyam. Di sebuah kampung lain di Yogyakarta, yaitu di kampung Suronatan, juga didirikan masjid khusus bagi kaum perempuan. Dalam beberapa tahun berikutnya rumah ibadah serupa didirikan di kampung Plampitan Surabaya, kampung Keprabon Solo. Di kabupaten Purwakarta juga dibangun sebuah masjid untuk kaum perempuan, yang didirikan di desa Ajibarang.

Pembangunan masjid khusus perempuan ini juga disemangati oleh gerakan Islam Modern pada awal abad XX, gerakan bagi kemajuan perempuan Islam yang berjalan seiring dengan gerakan Islam Modern

K .H. Ahmad Dahlan [113] K .H. Ahmad Dahlan [113]

besar terhadap organisasi wanita muslim. 10

Secara prinsip Ahmad dahlan menghendaki kegiatan kaum wanita muslim ini diberi wadah. Pada 1917, ia membentuk organisasi yang menampung kegiatan kaum wanita terutama dalam pelaksanaan kursus pelajaran agama. Istri ketiga Ahmad Dahlan, yakni Nyai Siti Walidah

Ahmad Dahlan diangkat menjadi pemimpinnya. 11 Wadah bagi kaum wanita ini diberi nama Aisiyah seperti telah disebutkan terdahulu. Aktivitas pertama Aisiyah adalah memperluas pendidikan agama bagi kaum wanita muslim dengan membangun masjid, kelompok pembaca Qur’an, menerbitkan majalah serta jurnal keagamaan. Aisiyah mengikuti agenda organisasi induknya dengan menyebarluaskan pendidikan bagi kaum wanita dalam memperjuangkan perannya yang lebih luas.

Kegiatan Aisiyah diikuti oleh banyak wanita, dan tumbuh secara pesat. Orgaisasi ini mendorong wanita untuk terlibat dalam kegiatan umum di samping kewajiban utama untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka seperti ditegaskan dalam ajaran Islam. Aktivitas pendidikan dilakukan dalam upaya memperjuangkan kemakmuran wanita dengan mengelola taman kanak-kanak dan membuka sekolah kejuruan bagi para gadis dalam menunjang kebutuhan rumah tangganya kelak. Pada 1930, kegiatan Aisiyah meluas hingga keluar kota Yogyakarta

10 Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan segera bergabung dengan organisasi lainnya seperti Budi Oetomo dan Sarekat Islam. Muhammadiyah mendukung perjuangan organisasi-organisasi tersebut yang memperjuangkan kemerdekaan, Prinsip utama dari organisasi Muhammadiyah adalah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, dengan melakukan kegiatan bersama-sama dengan anggota masyarakat yang menerapkan prinsip Islam dalam masyarakat. Selanjutnya Lihat Kathryn Robinson. 2009. Gender, Islam and Democracy in Indonesia. Oxon: Routledge, hlm. 40-41.

11 Seorang tokoh wanita sezaman menjelaskan bahwa Siti Walidah adalah puteri seorang Kiai. Ia dididik dalam memahami Al Qur’an dan Hadits dengan ketat. (Idem, 2009, hlm. 41).

[114] K .H. Ahmad Dahlan [114] K .H. Ahmad Dahlan

75 orang guru. Jumlah siswanya mencapai 5.000 orang wanita. Dari jumlah tersebut sebanyak 137 cabang Aisiyah mengirimkan wakilnya dalam Kongres yang diselenggarakan pada 1930. Aisiyah tumbuh bagaikan organisasi sekuler yang mulai memodernkan kaum elite di antara penduduk desa, yang akhirnya menjadi basis aktivitas mereka. Dalam perjalanan kegiatan organisasinya, Aisiyah bergabung dengan organisasi wanita lain dalam serangkaian kongres wanita, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam bidang pendidikan.

Aktivitas Aisiyah membawa kaum wanita Islam yang tinggal di Kauman (Pemukiman Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Yogyakarta) keluar dari tempat tinggal mereka. Lebih radikal lagi, pendidikan Islam memberikan dasar bagi kaum wanita untuk menjadi mubaligh dan imam bagi kaum wanita lainnya. Muhammadiyah juga memperkenalkan wanita memakai kerudung dan jilbab atau sejenis cadar yang menutup kepala dan leher, dan memisahkan wanita dari pria di ruang publik termasuk di masjid. 12

Selain hal di atas, ideologi yang diterapkan oleh orgnisasi wanita Muhammadiyah Aisiyah menekankan pada kepatuhan wanita kepada suami mereka. Kaum wanita yang tergabung dalam Aisiyah menekankan bahwa kewajiban wanita yang paling utama adalah di dalam rumah. Setelah mengurus keluarganya, mereka diizinkan mengikuti kegiatan bersama dengan wanita lain di dalam masyarakat, dan yang paling cocok untuk itu adalah melalui organisasi Aisiyah. Begitu propaganda yang selalu dikumandangkan dalam propaganda baik di Muhammadiyah maupun di organisasi Aisiyah sendiri.

12 Soekarno dan isterinya dilaporkan pernah meninggalkan rapat Muhammadiyah karena sebuah tirai dipasang untuk memisahkan antara pria dan wanita yang kemudian ditegaskan oleh Soekarno sebagai simbol perbudakan. Menurut Vreede de Stuers, Aisiyah merekrut keanggotaannya dari kelas menengah, berlawanan denan dasar keanggotaan organisasi wanita lainnya. Strategi ini digunakan utnuk meningkatkan keercayaan dan jangkauan yang lebih jauh dalam memasuki kehidupan public, yang hingga saat ini masih digunakan oleh organisasi wanita pada dekade ini. Lihat Ibid, 2009, hlm. 42-43.