Kampung Kauman Tempat Kelahiran Kyai Haji Ahmad Dahlan

B. Kampung Kauman Tempat Kelahiran Kyai Haji Ahmad Dahlan

Sejarah Kampung Kauman tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kesultanan Yogyakarta yang lahir karena adanya Perjanjian Giyanti pada 13 Pebruari 1755. Perjanjian yang ditandatangani oleh Gubernur Nicollas Hartigh ini menjadi salah satu bentuk politik pecah belah pemerintah kolonial untuk melemahkan pengaruh dan wewenang pemimpin lokal. Perjanjian Giyanti membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Abdurakhman Sayyidin Panatagama Khalifatullah.

Pembangunan Kesultanan Yogyakarta dirancang oleh Sultan Hamengku Buwono I, karena ia seorang arsitek yang menguasai cara merancang dan membangun sistem tata kota. Pada 7 Oktober 1756 Sultan Hamengku Buwono I mulai menempati keraton dan menjadikannya sebagai pusat aktivitas kegiatan masyarakat.

[176] K .H. Ahmad Dahlan

Pinggiran tembok benteng keraton dikelilingi oleh kampung-kampung yang diberi nama unik sesuai dengan profesi mayoritas warganya. Berdasarkan letaknya kampung- kampung tersebut dibagi menjadi dua wilayah, yaitu njeron benteng atau kawasan dalam kompleks keraton Yogyakarta dan njaban benteng atau kawasan di luar kompleks keraton (Jatmika, 2010 : 15). Kampung di wilayah njeron benteng merupakan tempat tinggal abdi dalem atau orang yang sehari-hari menangani

urusan rumah tangga keraton. Kampung njaban benteng tersebar dari Tugu sampai dengan Panggung Krapyak yang ditinggali oleh komunitas lain.

Kampung Kauman masuk dalam kategori kampung njeron benteng karena masyarakat yang tinggal dalam kampung tersebut adalah abdi dalem yang ditugaskan oleh sultan untuk mengurusi urusan agama (Darban, 2010: 2). Kampung Kauman memiliki ciri sangat khas berupa jalan sempit yang lurus dengan tembok putih di kanan-kirinya. Jarak antarrumah hampir tidak ada, karena antartembok rumah saling menempel.

Nama Kauman berasal dari bahasa Arab, qoimmuddin yang berarti penegak agama. Masyarakat yang tinggal di Kauman adalah keluarga ulama yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup luas, sehingga semua anggota masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai dan ajaran agama islam. Mereka taat dan rajin melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

Pelanggaran terhadap ajaran agama dianggap sebagai penyimpangan yang harus mendapatkan peringatan, karena jika didiamkan merusak

K .H. Ahmad Dahlan [177] K .H. Ahmad Dahlan [177]

Sejarah Kampung Kauman berkaitan erat dengan keberadaan Masjid Gedhe Kesultanan yang dibangun pada 29 Mei 1773 (Jatmika, 2010: 19). Masjid Gedhe memiliki arsitektur budaya Islam Jawa yang unik. Dinding masjid menggunakan batu kali putih tanpa perekat, sedangkan penopang bangunan masjid menggunakan kayu jati utuh yang berusia ratusan tahun. Ornamen-ornamen yang ada di dalam masjid terlihat indah dan megah, karena dilapisi dengan warna-warna emas yang sangat mencolok.

Masjid Gedhe memiliki bentuk atap tumpang tiga dengan mustaka membentuk daun kluwih dan gadha. Makna yang terkandung didalamnya adalah usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup harus melalui tiga tahapan yang terdiri dari hakikat, syariat, dan ma’rifat. Usaha tersebut harus dilaksanakan secara berurutan mengikuti alur tahapan yang sudah digariskan.

Kompleks Masjid Gedhe terdiri dari masjid induk dengan satu ruang inti yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Ruang ini dilengkapi dengan mihrab atau tempat imam memimpin sholat berjamaah. Pada bagian belakang sebelah

kiri mihrab terdapat maksura 1 berbentuk bujur sangkar dengan bahan dasar

dari kayu jati dan lantai berbahan marmer serta dilengkapi dengan tombak.

Bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengangkat abdi dalem untuk menghidupkan aktivitas dalam masjid. Abdi dalem ini memegang jabatan keagamaan dan akan mendapatkan tanah gaduh dari sultan (Pijper, 1987: 1). Berdasarkan latar belakang tersebut maka masyarakat yang tinggal di Kauman harus beragama Islam.

Abdi dalem yang mengurus Masjid Gede tidak semuanya tinggal di 1. Tempat pengaman sultan pada saat shalat berjamaah

[178] K .H. Ahmad Dahlan

Masjid Kauman - 1888

Kauman, hanya mereka yang setiap hari bertugas memakmurkan masjid saja yang menetap di wilayah tersebut. Abdi dalem yang mendapatkan tanah di Kauman akan mendirikan rumah sebagai tempat tinggal bersama keluarganya.

Mereka juga mendirikan langgar 2 didekat rumah yang difungsikan sebagai tempat anak-anak belajar ilmu agama.

Kegiatan belajar di langgar dilaksanakan setelah sholat mahgrib berjamaah sampai dengan waktu sholat Isya. Menjelang malam setiap sudut ruang di Kauman dipenuhi dengan suara anak membaca al qur’an. Mereka

berusaha memperbaiki bacaannya agar sesuai dengan ilmu tajwid. 3 Guru memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk praktek membaca al qur’an, sehingga perkembangan masing-masing anak bisa terpantau.

2. Tempat ibadah yang dimanfaatkan untuk sholat fardu berjamaah dan belajar ilmu agama, tetapi tidak digunakan untuk ibadah sholat Jumat. 3. Ilmu yang mempelajari aturan-aturan dalam membaca al qur’an.

K .H. Ahmad Dahlan [179]

Kebiasaan yang sudah berlangsung lama tersebut menjadi norma yang sangat dipatuhi oleh semua warga Kauman. Orang tua melarang keras anaknya bermain saat berlangsungnya waktu mengaji, jika ada yang melanggar akan mendapatkan hukuman. Kehidupan anak Kauman yang selalu berdasar pada nilai-nilai agama, menjadikan wilayah tersebut berhasil melahirkan ulama.

Masyarakat Kauman sering menikahkan anaknya dengan warga yang tinggal di wilayah tersebut. Tradisi pernikahan tersebut melahirkan sistem kekerabatan unik, karena masyarakat Kauman menjadi saling terikat oleh pertalian keluarga. Masyarakat merasa dirinya sebagai satu kerabat besar yang dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian pernikahan. Sistem kekerabatan yang demikian ini menjadikan masyarakat luar menilai Kauman sebagai wilayah yang tertutup dan menutup diri dari pengaruh masyarakat lain.

Masyarakat Kauman umumnya memiliki jiwa bebas, demokratis, dan tidak menyukai adat istiadat yang feodal (Kutoyo, 1983 : 31). Kebebasan jiwa diwujudkan dengan banyaknya penduduk di Kauman yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa merantau ke daerah-daerah yang cukup jauh selama beberapa hari untuk menawarkan dagangan batiknya.

Profesi sebagai pengrajin batik dan pedagang di Kauman muncul karena penghasilan sebagai abdi dalem kesultanan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Usaha sendiri yang dirintis oleh keluarga abdi dalem mendatangkan untung yang cukup berlimpah, sehingga secara ekonomi mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Rumah-rumah indah yang cukup mewah untuk ukuran masa itu berderet sepanjang jalan di Kauman, sehingga Kauman dianggap sebagai tempat tinggal masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi.

Anak-anak muda Kauman juga menggemari olahraga, khususnya sepak bola dan pencak silat. Halaman Masjid Gede Kauman yang cukup luas menjadi tempat melakukan olahraga, setiap sore anak-anak muda berkumpul di situ berlatih sepak bola dan pencak silat. Latihan yang intensif ini menghasilkan anak-anak muda yang mahir bermain pencak silat.

[180] K .H. Ahmad Dahlan