Urusan Penyelesaian Konflik Adat

4.4.3 Urusan Penyelesaian Konflik Adat

Kasus-kasus adat terutama kasepekang alias pengucilan dari desa adat masih jamak terjadi di Bali. Masyarakat adat lain di Nusantara tak pernah mengenal hukum model begini. Banyak masyarakat Bali yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini. Mereka menumpahkan semuanya kepada Parisada yang sering dianggap tak berbuat untuk masyarakat sehingga muncul kasus kasepekang.

Urusan adat selama ini ditangi oleh Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari tingkat desa (Majelis Desa Pakraman), kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman), kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat provinsi (Majelis Utama Desa Pakraman). Majelis ini pada Pesamuan Agung

II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, sesungguhnya telah menghasilkan keputusan bahwa sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan lagi. Memang, banyak orang menyebutkan, adat dan agama di Bali menyatu dan sulit dipisahkan. Tetapi yang mengayomi dan membina adat dan agama itu berbeda. Parisada tak bisa mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada mengurusi agama Hindu di Nusantara yang pemeluknya terdiri atas berbagai adat, ada adat Bali, adat Jawa, adat Batak dan sebagainya. Setiap adat punya aturan yang berbeda, namun jika bicara masalah Hindu, ajarannya sama saja.

Kasus-kasus adat yang terjadi di Bali memang cukup merisaukan, apalagi hukum kasepekang. Hukum ini di luar norma hukum masyarakat modern. Di dalam masyarakat modern para terhukum menjalani tahanan. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah tidak boleh keluar rumah. Tahanan kota, tidak boleh keluar kota tetapi boleh keluar rumah. Tahanan badan dimasukkan ke dalam penjara, dan hidupnya berkutat di sana saja.

Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong keras, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong keras, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang

Orang atau masyarakat yang terkena hukum kasepekang hanya krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu. Tampak bahwa orang Bali itu sangat toleran dengan penduduk pendatang, trotoar disediakan untuk tempat berjualan para pendatang, padi-padi di sawah diserahkan kepada pendatang untuk memanennya, buruh-buruh bangunan diberikan kepada pendatang. Mereka yang berjualan jagung rebus pun pendatang, orang Bali sepertinya lebih baik menjadi penganggur. Persoalannya, para pendatang tak pernah kena kasus adat, karena mereka dibolehkan untuk tidak menjadi warga adat, sementara orang Bali harus menjadi warga adat.

Orang Bali, kalau tidak ngayah ke banjar adat kena denda. Dalam batas tertentu mendapat sanksi adat lebih keras, dan puncaknya kasepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Ada pun para pendatang tidak perlu ngayah, mereka terus bekerja. Kalau keluarga pendatang itu ada yang meninggal dunia, tetap bisa dikubur sebagaimana layaknya. Banyak ada kuburan umum yang bisa dipakai pendatang, sedangkan orang Bali tak punya kuburan umum. Kuburan di Bali milik adat.

Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, kekangan adat tak jadi masalah, karena sama-sama petani. Ketika pariwisata masuk dan budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manajer hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat, misalnya. Bagaimana bisa eksekutif di bank, atau perusahaan besar, harus pulang ke desa adat untuk ngayah membuat peti mati. Inilah salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Padahal ngayah itu bisa diatur jamnya, tak harus bersama-sama. Dari kajian ini tampak bahwa masyarakat Bali masih hanyut dalam kenangan nostalgia dan tidak menyadari bahwa hal itu justru menghambat profesionalisme. Misalnya, pulang ke desa ngayah membuat tusukan sate dengan meninggalkan pekerjaan penting.

Saatnya majelis desa pakraman membuat peta permasalahan konflik adat, dengan antisipasi zaman globalisasi. Solusi pemecahan konflik juga harus dibuat sehingga akan ada jalan keluarnya. Mencontoh adat di luar Bali, termasuk adat orang-orang Bali di rantauan juga perlu dilakukan. Orang Bali di luar Bali tak pernah punya kasus adat. Membuat kuburan Hindu (bisa dalam bentuk krematorium seperti di Jakarta) bisa jadi salah satu jalan keluar. Jalan keluar lainnya masih banyak, yang penting mau mencontoh adat yang baik dan mau menerima masukan. Ajeg Bali semestinya tidak hanya sebatas wacana tetapi dalam praktik Bali dibiarkan merana.

Tampaknya, walaupun Majelis Desa Pakraman (MDP) sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari tingkat desa (Majelis Desa Pakraman), kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman), kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat propinsi (Majelis Utama Desa Pakraman) sudah lama dibentuk tetapi belum bisa optimal. Oleh karena itu perlu kiranya urusan penyelesaian konflik adat ini diselenggarakan sebagai penjabaran secara khusus pembagian urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa sebagaimana diatur dalam PP Nomor 8 tahun 2007. Begitu pula sub bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat, dengan sub-sub bidang pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara Perda No 1 Tahun 2008 Provinsi Bali memungkinkan urusan penyelesaian konflik adat ini diselenggarakan secara khsus oleh satu lembaga, misalnya badan atau apapun bentuknya di bawah Dinas Kebudayaan Provinsi.