YAYASAN TRI HITA KARANA BALI DENPASAR 2009 KAJIAN PENYELENGGARAAN URUSAN SISA DAN URUSAN PILIHAN PRIORITAS PEMERINTAH PROVINSI BALI

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PENYELENGGARAAN URUSAN SISA DAN URUSAN PILIHAN PRIORITAS PEMERINTAH

PROVINSI BALI PROPOSAL KAJIAN

Oleh: TIM KAJIAN

DIVISI POLITIK DAN OTONOMI DAERAH YAYASAN TRI HITA KARANA BALI DENPASAR 2009

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kajian

Sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan (konkuren). Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan tersebut, adalah semua urusan pemerintahan selain 1) politik luar negeri, 2) pertanahan, 3) keamanan, 4) yustisi, 5) moneter dan 6) fiskal nasional, serta 7) agama.

Dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/ kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas , akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria itu ditetapkan secara akumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan untuk meminimalkan dampak negatif yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.

Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah paling berwenang untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yang mendorong akuntabilitas pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkatan pemerintahan wajib mengutamakan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria eksternalitas dan akuntabilitas serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar kebijakan desentralisasi.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah menurut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Sedangkan urusan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah.

Mengingat keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kekhasan daerah.

Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan tersebut setiap tingkatan pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Urusan ini sepanjang menjadi kewenangan daerah tetap harus diselenggarakan juga oleh pemerintahan daerah dengan tetap berupaya meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria sebagai prasyarat penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

1.2 Permasalahan

1.2.1 Fokus Kajian

Kajian ini dilaksanakan di Provinsi Bali yang difokuskan pada penyelenggaraan urusan sisa dan urusan pilihan prioritas Pemerintah Provinsi Bali

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan fokus permasalahan yang diuraikan di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

a. Apakah jenis urusan sisa yang dapat diusulkan menjadi urusan daerah ?

b. Urusan pilihan manakah yang bisa diprioritaskan untuk tercapainya proporsionalitas dalam penyelenggaran urusan sesuai kondisi riil Bali ?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dilakukannya kajian ini adalah untuk mencari dan menemukan jenis urusan sisa dan prioritas dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan Provinsi Bali.

Sedangkan tujuan kajian ini adalah:

a. Menemukan jenis urusan sisa yang dapat diusulkan menjadi urusan daerah Provinsi Bali.

b. Mangkaji urusan pilihan yang bisa dijadikan prioritas untuk tercapainya proporsionalitas dalam penyelenggaraan urusan sesuai kondisi riil Bali.

1.4 Kegunaan Kajian

Kegunaan teoritis dari kajian ini adalah untuk mengembangkan ilmu pemerintahan terutama pada aspek manajemen pemerintahan khususnya eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan daerah.

Sedangkan kegunaan praktis dari kajian ini adalah untuk memberikan gambaran jenis urusan sisa yang bisa diusulkan dan urusan pilihan yang bisa diprioritaskan dalam penyelenggaraan urusan sesuai kondisi rill Bali.

1.5 Kerangka Pemikiran

Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 adalah urusan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Di samping itu setiap tingkatan pemerintahan juga melaksanakan urusan- urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Urusan ini sepanjang menjadi kewenangan daerah tetap harus diselenggarakan juga oleh pemerintahan daerah dengan tetap berupaya meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria sebagai prasyarat penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Pemerintah Provinsi Bali dengan kekhasan daerahnya sebagai daerah tujuan wisata perlu mengkaji urusan-urusan sisa dan urusan-urusan pilihan yang menjadi prioritas mengingat keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki daerah. Kajian difokuskan pada urusan sisa dan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kekhasan daerah.

Instrumen kajian yang digunakan dikembangkan berdasarkan model kajian yang telah disepakati berdasarkan pertimbangan akademis dan praktis. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data selama pelaksanaan urusan pilihan dan sisa, dan nilai ideal tertinggi berdasarkan teori dan konvensi sebagai standar kajian. Selanjutnya Instrumen kajian yang digunakan dikembangkan berdasarkan model kajian yang telah disepakati berdasarkan pertimbangan akademis dan praktis. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data selama pelaksanaan urusan pilihan dan sisa, dan nilai ideal tertinggi berdasarkan teori dan konvensi sebagai standar kajian. Selanjutnya

Dengan demikian melalui kajian penyelenggaraan urusan sisa dan pilihan prioritas Pemerintah Provinsi Bali akan diketahui jenis urusan sisa dan pilihan yang layak dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Keserasian Hubungan Pusat dan Daerah

Keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan- urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan pusat dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah.

Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atas desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.

2.3 Penyelenggaraan Urusan Pilihan Prioritas

Terbitnya Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan membawa dampak dalam pelaksanaan otonomi di daerah. Terbitnya peraturan pemerintah tersebut juga bermakna adanya kepastian bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan yang dimaksudkan adalah hak dan kewajiban pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintahan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sebelum diterbitkannya

PP No 38/2007 ini, penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah masih mengacu pada PP No 25/2000 yang substansinya masih diatur oleh UU No 22/1999.

Sebelum terbitnya PP 38/2007 ini, pemerintah daerah belum dapat melaksanakan fungsi pemerintahan sebagaimana mestinya. Karena dalam pelaksanaan aktivitas pemerintahan masih terjadi tumpang tindih pelaksanaan urusan yang berdampak kepada tidak berjalannya mekanisme koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Carut-marutnya relasi pusat-daerah dan antardaerah di masa lalu mendorong pemerintah untuk melakukan penataan urusan pemerintahan. Sehingga dengan adanya PP 38/2007 diharapkan mampu memicu Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kinerjanya terutama dalam melayani masyarakat.

PP No 38/2007 yang mengatur pembagian urusan pemerintahan memiliki implikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Setidaknya terdapat dua implikasi penerbitan PP tersebut terhadap kinerja Pertama, PP tersebut telah meredefinisi hubungan antara satuan pemerintahan pusat dan daerah berbasis pelayanan publik. Spirit ini mengubah cara pandang pembagian urusan pemerintahan sebelumnya yang lebih diwarnai cara pandang politik, menjadi cara pandang pelayanan publik dengan meningkatkan kompetensi pemerintah sebagai service provider . Akibat dikeluarkannya PP tersebut, pemerintah harus menata ulang organisasi dan perangkatnya melalui PP No 41/2007 agar lebih sesuai tujuan pembagian urusan yang berbasis pelayanan publik tersebut.

Kedua, ruh dari PP No 38/2007 adalah perlunya akuntabilitas dari semua institusi publik atau perangkat organisasi pemerintahan. Kejelasan dalam wewenang antarsatuan pemerintahan diperlukan untuk memperjelas tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. PP tersebut ingin memotret kondisi senyatanya (existing condition) mengenai peta kapasitas setiap satuan pemerintahan dalam rangka mendorong terwujudnya tujuan otonomi daerah, yaitu pemenuhan hak-hak dasar masyarakat lokal.

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan masing-masing tingkatan

Pemerintah dan urusan Pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan. Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/ Kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Dan untuk urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada Pemerintahan Kabupaten/ Kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan Pemerintahan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan apabila Pemerintahan Kabupaten/Kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.

Sedangkan untuk urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan atau susunan pemerintahan yang penentuannya dengan menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang telah ditetapkan. Menteri/ kepala lembaga pemerintah non-departemen menetapkan norma, standar, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa. Dalam hal pembinaan urusan pemerintahan, Pemerintah pusat juga berkewajiban melakukan pembinaan kepada pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Untuk tolak ukur kinerja pemerintah daerah, PP 38/2 007 memberikan bingkai jelas. Bingkai tersebut terletak pada pembagian urusan pemerintahan menjadi 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Pelaksanaan urusan wajib dibingkai dalam bentuk kewajiban bagi daerah untuk melaksanakan pelayanan publik yang langsung menyangkut hajat hidup rakyat . Hal itu disebabkan urusan wajib merupakan urusan pemerintahan yang langsung terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Ruang bagi local content dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlihatkan dari hak daerah untuk melaksanakan urusan pilihan. Urusan pilihan merupakan urusan Untuk tolak ukur kinerja pemerintah daerah, PP 38/2 007 memberikan bingkai jelas. Bingkai tersebut terletak pada pembagian urusan pemerintahan menjadi 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Pelaksanaan urusan wajib dibingkai dalam bentuk kewajiban bagi daerah untuk melaksanakan pelayanan publik yang langsung menyangkut hajat hidup rakyat . Hal itu disebabkan urusan wajib merupakan urusan pemerintahan yang langsung terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Ruang bagi local content dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlihatkan dari hak daerah untuk melaksanakan urusan pilihan. Urusan pilihan merupakan urusan

Untuk menjelaskan secara konseptual hubungan antara kajian berbasis kekuatan dan peluang dengan tujuan desentralisasi atau pemberian urusan oleh pemerintah pusat kepada daerah, dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar II.1

Hubungan Penyelenggaraan Urusan Sisa dan Urusan Pilihan Prioritas Pemerintahan Daerah

Tingkat pemenuhan kriteria pembagian urusan: 1) Kriteria Eksternalitas: tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan

Kajian Kekuatan dan

Kesenjangan

Harapan

antara realitas G

dan harapan

Pemenuhan Kriteria Penyelenggaraan Urusan Sisa

Masukan untuk

dan Prioritas Urusan Pilihan

Rumusan Pelaksanaan Urusan Sisa dan Pilihan

BAB III METODE KAJIAN

3.1 Metode

Pendekatan kajian yang digunakan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Cassel dan Symon, 1994; Mantra, 2004: 32). Dengan pertimbangan Pendekatan kajian yang digunakan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Cassel dan Symon, 1994; Mantra, 2004: 32). Dengan pertimbangan

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan interaktif dan non interaktif. Pengumpulan data dengan interaktif dilakukan melalui pengamatan (observasi), sedangkan cara non interaktif dilakukan dengan pemanfaatan dokumen. Analisis data kajian yang terdiri tiga kegiatan utama, yakni penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menggabungkan cara informal (deskriptif-naratif) dengan cara formal (membuat berbagai macam bagan, tabel, gambar).

Untuk mencapai hasil yang diharapkan maka ruang lingkup kegiatan kajian ini meliputi:

1. Persiapan: pada tahapan ini dilakukan mobilisasi tim, studi literatur, pengumpulan data awal sebagai persiapan survei (pra-survey), penyusunan instrumen kajian, dan penyusunan laporan pendahuluan

2. Pengumpulan Data: baik data primer maupun sekunder ke Biro Pusat Statistik Provinsi Bali dan instansi terkait lainnya serta stakeholders.

3. Pengolahan Data: data dan informasi yang telah diperoleh dan dikumpulkan diolah.

4. Analisis Data: analisis terhadap berbagai data dan temuan lapangan yang sudah didapatkan

5. Seminar/ Lokakarya: hasil kajian

6. Penyusunan Laporan Akhir

Lingkup wilayah kegiatan meliputi Provinsi Bali. Secara administratif Provinsi Bali saat ini terdiri dari delapan kabupaten dan satu kota. Kedelapan kabupaten tersebut adalah Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar.

Perkembangan administrasi pemerintahan kabupaten/ kota tidak mengalami perubahan, namun untuk pemerintahan di bawahnya terjadi perubahan khususnya pada tingkat kecamatan. Pada tahun 2004 terjadi pemekaran Kecamatan Denpasar Utara sehingga jumlah kecamatan menjadi 56 kecamatan dengan 89 kelurahan dan 593 desa.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Daerah Provinsi Bali, terdapat 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Ke-26 urusan wajib tersebut adalah 1) urusan pendidikan, 2) kesehatan, 3) lingkungan hidup, 4) pekerjaan umum, 5) penataan ruang, 6) perencanaan pembangunan, 7) perumahan, 8) kepemudaan dan olah raga, 9) penanaman modal, 10) koperasi dan UKM, 11) kependudukan dan catatan sipil, 12) tenaga kerja, 13) ketahanan pangan, 14, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, 15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera, 16) perhubungan, 17) komunikasi dan informatika, 18) pertanahan, 19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, 20) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, 21) pemberdayaan masyarakat dan desa, 22) sosial, 23) kebudayaan,

24) statistik, 25) kearsipan, 26) perpustakaan. Sedangkan delapan urusan pilihan yang diberikan adalah 1) kelautan dan perikanan, 2) pertanian, 3) kehutanan, 4) energi dan sumber daya mineral, 5) pariwisata, 6) perindustrian, 7) perdagangan, 8) transmigrasi.

Data yang disediakan oleh pengguna jasa yang dapat digunakan dan harus dipelihara oleh penyedia jasa berupa dokumen laporan dan gambar-gambar yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Penyedia jasa juga harus menyediakan dan memelihara semua fasilitas dan peralatan yang dipergunakan untuk pelaksanaan pekerjaan.

3.2 Instrumen Kajian

Instrumen Kajian yang dipergunakan adalah pedoman wawancara mendalam (depth interview guide) yang tidak terstruktur berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan setiap pertanyaan berkembang ke arah yang lebih spesifik. Disamping itu juga dilengkapi dengan alat perekam dan kamera digital, serta catatan lapangan (field notes) dan kartu ikhtisar yang mencatat apa yang dilihat, didengar, dialami dan dipikirkan pada saat proses pengumpulan data. Selain instrumen tersebut, untuk menunjang kecermatan Kajian juga dipergunakan seperangkat komputer, kalkulator, serta alat tulis lainnya. Kelengkapan instrumen Kajian itu dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya peluang kesalahan seperti kekacauan informasi, kekosongan informasi, dan distorsi informasi.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis dan sumber data yang akan dicari, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan interaktif dan non interaktif. Pengumpulan data dengan interaktif dilakukan melalui pengamatan (observasi) dan wawancara mendalam. Sedangkan cara non interaktif dilakukan dengan pemanfaatan dokumen.

3.4 Rancangan Analisis Data

Analisis data yang terdiri tiga kegiatan utama, yakni penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dalam Kajian ini penyajian data dilakukan berdasarkan kesamaan, perbedaan, keterkaitan, kategori, tema-tema pokok, konsep, ide dan analisis logika hasil awal, dan kelemahan atau gap dalam data. Setelah data disajikan selanjutnya dideskripsikan dengan membangun kategori yang menempatkan perilaku atas proses yang terjadi dengan mengorganisir data seputar topik, atau pertanyaan pokok (Cassel dan Symon, 1994:220). Langkah ini merupakan reduksi data yakni pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang diperoleh dari lapangan.

Pada tahapan selanjutnya, data tersebut dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya sehingga membantu dalam memberikan kode kepada aspek-aspek tertentu. Sebagai suatu bentuk analisis, reduksi data juga menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dengan demikian, data yang direduksi akan memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan yang dilakukan. Keseluruhan langkah-langkah tersebut akan dapat menyederhanakan seluruh data lapangan yang terkumpul, menyajikannya secara sistematik, kemudian mengolah, menafsirkan, dan memaknai data tersebut.

Indikator yang menjadi aspek pengukuran dari setiap aspek penyelenggaraan urusan sisa dan urusan pilihan prioritas diidentifikasikan melalui proses kajian lapangan. Jenis urusan sisa yang diusulkan penyelenggaraannnya berdasarkan sifat kestrategisannya tetapi belum diakomodasikan baik dalam urusan wajib maupun pilihan.

Sedangkan kedelapan urusan-urusan pilihan yang ada tersebut diprioritaskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria sebagai berikut:

Tabel III.1 Tingkat Prioritas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

B C Urusan

Kriteria

A Total

Skor Kelautan dan Perikanan Pertanian

Kehutanan Energi dan Sumber Daya

Mineral

Pariwisata Perindustrian Perdagangan Transmigrasi

Keterangan:

A. Bagaimana keterkaitan suatu urusan dengan potensi dan keunikan sumber daya daerah (local genious);

B. Keberadaan urusan dalam kaitannya dengan lingkungan strategis nasional maupun internasional keunggulan kompetitif (strategic environmental);

C. Bagaimana kontribusi suatu urusan terhadap pelaksanaan strategi dan kebijakan BALI MANDARA-maju, aman, damai dan sejahtera (eficiency and efectivity )

Untuk menentukan sebuah urusan pilihan prioritas dilakukan dengan angka skor yang menunjukkan perbandingan nilai kemampuan relatif penyelenggaraan urusan itu dengan nilai rata-rata kemampuan.

Tabel III. 2 Variabel, Pembobotan dan Skor

Jumlah

Nilai

Total Total

Total Skor No.

Indikato Bobot

Rata-

Skor Skor

Min Rata2 1 Potensi dan Keunikan

rata

Sumber Daya Daerah 2 Lingkungan Strategis

1 30 1 2 3 30 60 90 Nasional dan Internasional 3 Strategi dan Kebijakan

1 30 1 2 3 30 60 90 Bali Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera Jumlah

Nilai 1,2 dan 3 masing-masing indikator akan ditentukan dari beberapa kriteria berikut:

1. Ada tidaknya daya dukung alam

2. Ada tidaknya daya dukung sarana dan prasarana

3. Ada tidaknya daya dukung politik/ legislatif

4. Ada tidaknya pelaku pada tingkat masyarakat

5. Ada tidaknya lembaga pendukung di daerah/ pusat

6. Ada tidaknya kontribusi thp APBD

7. Kinerja dari badan/ lembaga yg sudah ada

Urusan pilihan diprioritaskan berdasarkan peringkat perolehan skor tertinggi, yang berada di atas skor rata-rata, yaitu 200 dan mendekati atau sama dengan skor maksimum, yaitu 300.

Urusan sisa yang diusulkan berada di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib atau pilihan. Urusan ini sepanjang menjadi kewenangan daerah Privinsi Bali tetap harus diselenggarakan juga oleh pemerintahan daerah dengan memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria sebagai prasyarat penyelenggaraan urusan sisa pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Provinsi Bali

Provinsi Bali berdiri pada tanggal 14 Agustus 1958 melalui Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958. Pada saat itu, ibukotanya adalah Singaraja. Namun, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 23 Juni 1960 Nomor 52/2/36-136 yang diambil atas dasar resolusi DPRD Tingkat I Bali, kedudukan ibukotanya dipindahkan ke Denpasar. Sampai saat ini, Denpasar tetap menjadi ibukota Provinsi Bali.

Daerah Bali terdiri atas beberapa pulau: Pulau Bali, Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Pulau Menjangan dengan luas wilayah 5.636,66 km2 atau 0,29% dari luas kepulauan Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, 56 kecamatan, 701 desa/ kelurahan. Pada awalnya, Kota Denpasar menjadi bagian dari Kabupaten Badung, tetapi sejak 27 Februari 1992 masing-masing secara resmi menjadi Kabupaten dan Kota tersendiri.

Gambar IV.1 Peta Provinsi Bali

Gambar IV.1 Peta Provinsi Bali

Masing-masing kabupaten dan kota yang ada itu menunjukkan karakteristik yang berbeda. Dalam konteks demografi, wilayah yang paling heterogen adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan yang sering disebut “Sarbagita”.

Perbedaan tersebut akibat adanya sentuhan pariwisata, baik sebagai daerah domisili, kunjungan atau daerah penunjang pariwisata.

Berdasarkan relief dan topografi, tingkat kemiringan lahan Pulau Bali terdiri atas lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki empat buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu: Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Pola penggunaan lahan daerah Bali terdiri atas pemukiman sebesar 7,70%; lahan in dustri 0,00%; lahan persawahan 14,66%; kawasan hutan 22,59%; perkebunan/ tegalan 53,33% dan penggunaan lain-lain sebesar 3,33%.

Jumlah penduduk Provinsi Bali tahun 2007 mencapai 3.480.300 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 617,44 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,42% per tahun. Sebagian besar (93,18%) penduduknya memeluk agama Hindu. Kepadatan penduduk tertinggi 3.450 jiwa/ km2 di Kota Denpasar, melebihi kepadatan Bali (617,44 jiwa/ km2). Kabupaten yang memiliki wilayah terluas dan jumlah penduduk terbesar adalah Buleleng, yaitu 588.662 jiwa atau 19,05 dari penduduk Bali. Kabupaten/ Kota dengan jumlah penduduk terendah adalah Karangasem (166.552 jiwa), dan kepadatan terendah di Kabupaten Jembrana (259 jiwa/ km2). Pertumbuhan penduduk pulau Bali periode 1990-2000 adalah 1,31%. Angka ini lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk pulau Jawa 1,19%, tetapi lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk secara nasional 1,49%. Di Bali pertumbuhan penduduk berkisar antara 0,32%-3,32% dengan tertinggi di kota Denpasar 3.32% yang dipengaruhi oleh urbanisasi dan terendah terjadi di kabupaten Klungkung 0,32%.

4.2 Perkembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Seiring dengan penguatan politik lokal muncul tuntutan otonomi khusus (otsus) bagi Bali 1 kepada pemerintah pusat sebagai solusi mengatasi berbagai dampak

ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah Bali. Wacana otsus menjadi diskusi dan perbincangan yang cukup ramai setelah bom kembali meledak kedua kalinya di Bali, tahun 2005 lalu. Berbagai kalangan kembali menyebut betapa pentingnya otsus bagi Bali sebagai kerangka perbaikan dan perubahan serta penghormatan bagi satuan adat di Bali, pemerintahannya, dan perlindungan terhadap aset pariwisata Bali termasuk didalamnya perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam sektor kepariwisataan dengan menilik tugas berat pemerintah daerah.

Otonomi khusus (otsus) tersebut oleh I Wayan Supartha selaku Koordintor Tim Ahli Panitia Khusus Otsus DPRD Provinsi Bali dipertegas bukan merupakan sikap arogan untuk memisahkan diri dari NKRI, atau sekadar menutut keadilan dari jasa pariwisata. Substansi perjuangan Otsus Bali menurutnya untuk penyelamatan aset bangsa berupa kesatuan ekosistem pulau Bali yang unik dengan beragam flora dan fauna spesifik serta bentang alam yang indah yang dihuni masyarakat Bali berikut adat istiadat dan budayanya yang khas, belum terungkap secara mantap ke permukaan.

Oleh karena itu dia mengharapkan otonomi khusus bagi Provinsi Bali harus dimaknai sebagai wujud keleluasaan dan kemandirian mengurus, menagtur, mengemabngkan dan memanfaatkan aset bangsa yang ada di Bali untuk sebesar- besarnya kemakmuran masyarakat Bali dan daya saing Bali dalam kerangka NKRI (Tokoh, 24 Desember 2006). Atas kewenangan khusus tersebut, Bali diharapkan mendapat keleluasaan untuk menentukan strategi pembangunan daerahnya sesuai dengan kekhususan, keunikan dan keunggulan talentanya yaitu sosial, budaya, ekonomi, pariwisata dan kesatuan ekosistemnya yang unik dan indah sebagai pendukung talenta pariwisata budaya.

1 Otonomi Khusus (otsus) oleh Panitia Khusus (Pansus) otsus DPRD Bali diartikan sebagai perjuangan membangun sisnergi (kebersamaan) masyarakat dalam satu kesatuan ekosistem Pulau

Bali dengan tiga talenta kekhususannya: 1) adat istiadat, budaya dan nilai agama; 2) sumber daya alam dalam satu ekosistem pulau; dan 3) pariwisata budaya. Namun unsur adat, budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu yang dapat memayungi talenta kekhususan tadi. Lihat Bali Post, Selasa, 28 Nopember 2006.

Dalam draft RUU Otsus diantaranya disebutkan, kewenangan Otsus ada di Provinsi (Pasal 4). Pemerintah Provinsi Bali nantinya terdiri dari Badan Legislatif (DPRD dan MPA atau Majelis Paruman Agung) dan Badan Eksekutif, yakni Pemerintah Bali (Pasal 6). DPRD Bali dibentuk melalui pemilu. Tugas dan wewenangnya antara lain, menyusun dan menetapkan arah kebijakan pembangunan daerah bersama Gubernur dan MPA. Membahas dan menetapkan APBD bersama Gubernur dan MPA. Mengawasi pelaksanaan peraturan daerah, pelaksanaan APBD dan pelaksanaan kerjasama internasional (Pasal 8).

Sedangkan MPA merupakan lembaga perwakilan masyarakat adat dan budaya Bali. MPA berfungsi melindungi budaya dan adat istiadat masyarakat Bali dalam pelaksanaan otsus. Tugas dan wewenangnya antara lain mengajukan Perdasus. Memberikan pertimbangan terhadap rancangan kerjasama internasional yang diadakan Pemprop Bali maupun Pusat. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Bali yang berkaitan dengan agama Hindu, budaya dan adat.

Hal lain yang menarik adalah ketentuan Pasal 14 (2) yang menyebutkan, “Syarat khusus Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah orang yang mengerti, memahami dan melaksanakan adat, dan budaya Bali”. Sedangkan ayat (3)- nya juga menyebutkan, “Calon independen dapat menjadi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

Dengan Otsus Bali diharapkan bisa membangun Bali secara utuh dan mencegah arogansi kabupaten. Sebab, ada gejala setelah perluasan otonomi daerah, muncul arogansi kabupaten. Kabupaten berlomba membangun penginapan, vila karena berwenang memberikan izin. Namun sistem konservasi air dan sumber daya alam lain terganggu. Kasus Vila Bukit Berbunga di Bedugul, misalnya, adalah bentuk-bentuk arogansi itu. Pemprov Bali tak memiliki kewenangan penuh mengawasi pembangunan di kabupaten. Padahal vila itu berada di daerah penyangga. Dengan diberlakukannya otsus, nantinya para pengambil kebijakan di kabupaten harus punya perilaku konservatif terhadap alam dan air. Jika tidak akan berimbas banjir di kabupaten lain (Bali Post, 28 Nopember 2006).

Dengan begitu, pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan secara terpadu dan merata antar kabupaten/ kota dengan tetap melakukan koordinasi dengan Dengan begitu, pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan secara terpadu dan merata antar kabupaten/ kota dengan tetap melakukan koordinasi dengan

Terkait usulan otsus Bali tersebut berbagai aspirasi masyarakat Bali muncul dan berkembang ke permukaan. Mereka umumnya menganggap dan menginginkan suara rakyat Bali lebih diperhatikan oleh pusat. Strategi besar yang dirancang tahun 2007 menurut Ketua Pansus DPRD Bali, Made Arimbawa, adalah memantapkan talenta kekhususan Bali. Untuk itu diusulkan mengadakan Kongres Adat dan Budaya tahun 2007 untuk merumuskan adat dan budaya Bali, sehingga dari kongres itu ada komitmen adat dan budaya yang mesti dibangun bersama (Bali Post, 24/ 11-2006). Hingga saat penelitian ini dilakukan RUU Otsus Bali memang masih dalam proses pengajuan. Namun, berbagai pihak, terutama para penggagas menyadari bahwa pengajuan RUU tersebut tidaklah mudah. Berbagai kajian, penelitian, dan telaah mendalam masih perlu dilakukan agar diperoleh fakta dan data bahwa “keistimewaan” dan “kekhususan” yang diperjuangkan tersebut bukan bersifat kasuistik.

4.3 Analisis Urusan Pilihan Prioritas Provinsi Bali

Pemerintah Daerah Provinsi Bali menyelenggarakan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Ke-26 urusan wajib tersebut adalah 1) urusan pendidikan, 2) kesehatan, 3) lingkungan hidup, 4) pekerjaan umum, 5) penataan ruang, 6) perencanaan pembangunan, 7) perumahan, 8) kepemudaan dan olah raga, 9) penanaman modal, 10) koperasi dan UKM, 11) kependudukan dan catatan sipil, 12) tenaga kerja, 13) ketahanan pangan, 14, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, 15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera, 16) perhubungan, 17) komunikasi dan informatika, 18) pertanahan, 19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, 20) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, 21) pemberdayaan masyarakat dan desa, 22) sosial, 23) kebudayaan, 24) statistik, 25) kearsipan, 26) perpustakaan.

Sedangkan delapan urusan pilihan yang diberikan adalah 1) kelautan dan perikanan, 2) pertanian, 3) kehutanan, 4) energi dan sumber daya mineral, 5) pariwisata, 6) perindustrian, 7) perdagangan, 8) transmigrasi. Kedelapan urusan- urusan pilihan tersebut akan dianalisis dan diprioritaskan berdasarkan beberapa pertimbangan atau kriteria yang dipergunakan dalam kajian ini. Beberapa pertimbangan atau kriteria tersebut adalah:

A. Bagaimana keterkaitan suatu urusan dengan potensi dan keunikan sumber daya daerah (local genious);

B. Keberadaan urusan dalam kaitannya dengan lingkungan strategis nasional maupun internasional keunggulan kompetitif (strategic environmental);

C. Bagaimana kontribusi suatu urusan terhadap pelaksanaan strategi dan kebijakan BALI MANDARA-maju, aman, damai dan sejahtera (eficiency and efectivity )

Untuk menentukan tingkat urusan pilihan prioritas tersebut dilakukan dengan angka skor yang menunjukkan perbandingan nilai kemampuan relatif penyelenggaraan urusan itu dengan nilai rata-rata kemampuan. Nilai 1, 2 dan 3 pada masing-masing indikator akan ditentukan dari beberapa kriteria berikut:

1) Ada tidaknya daya dukung alam

2) Ada tidaknya daya dukung sarana dan prasarana

3) Ada tidaknya daya dukung politik/ legislatif

4) Ada tidaknya pelaku pada tingkat masyarakat

5) Ada tidaknya lembaga pendukung di daerah/ pusat

6) Ada tidaknya kontribusi thp APBD

7) Kinerja dari badan/ lembaga yg sudah ada

Dengan demikian ada tiga variabel penentu prioritas serta 7 indikator yang dipergunakan untuk penentuan prioritas dengan cara pembobotan dan skor sebagai berikut:

Tabel IV. 1 Variabel, Pembobotan dan Skor

Jumlah

Nilai

Total Total

Total Skor No.

Indikato Bobot

Rata-

Skor Skor

Min Rata2 1 Potensi dan Keunikan

rata

1 40 1 2 3 40 80 120 Sumber Daya Daerah 2 Lingkungan Strategis

1 30 1 2 3 30 60 90 Nasional dan Internasional 3 Strategi dan Kebijakan

1 30 1 2 3 30 60 90 Bali Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera Jumlah

Urusan pilihan diprioritaskan berdasarkan peringkat perolehan skor tertinggi, yang berada di atas skor rata-rata, yaitu 200 dan mendekati atau sama dengan skor maksimum, yaitu 300. Analisis dan pembahasan terhadap prioritas penyelenggaraan kedelapan urusan pilihan yang ada di Provinsi Bali adalah sebagai berikut:

4.3.1 Urusan Kelautan dan Perikanan

Luas peraian umum yang terdiri dari danau sungai waduk dan rawa yang dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan lebih dari 1.771,8 hektar dengan perkiraan potensi sebesar lebih 1500 ton pertahun. Potensi sumber daya perainan umum yang sudah dimanfaatkan untuk penangkapan ikan tahun 2007 adalah 684,4 ton atau 45,62% dengan rincian: danau 205,10 ton; waduk 110,10 ton, dan sungai 368,90 ton. Tantangan yang dihadapi adalah pengelolaan dan pemeliharaan sumber daya perikanan tangkap maupun perikanan budidaya yang belum optimal dan dihadapkan pada permasalahan antara lain: struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh armada rakyat secara kecil; terbatasnya prasarana tempat pendaratan ikan, pelabuhan perikanan, naiknya harga BBM, naiknya harga pakan ikan, belum terkendalinya penyakit ikan, rendahnya ketrampilan nelayan serta modal yang terbatas.

Sektor perikanan sebagai pendukung ekonomi Bali memiliki peluang ekspor hasil perikanan sangat menjanjikan bagi devisa Bali. Jumlah produksi perikanan laut tahun 2007 mencapai 258.518 ton atau meningkat sebesar 27% dari data tahun 2003. Luas areal perikanan budidaya hanya sekitar 1.671 hektar. Luas ini sangat kecil dibandingkan dengan potensi laut dan perairan darat yang ada di Bali. Perikanan perikanan air tawar di Bali tampaknya tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan ikan air tawar dan masih harus dipasok dari luar Bali.

Produksi perikanan mengalami peningkatan 6,80% dari 246.615 ton yang terdiri atas perikanan tangkap 77.851 ton dan budidaya 178.164 ton pada tahun 2006, menjadi 263.390,50 ton terdiri atas perikanan tangkap 106.895,90 ton dan budidaya 156.494,30 ton pada tahun 2007. Peningkatan produksi perikanan diikuti juga dengan peningkatan ekspor hasil perikanan. Ekspor hasil perikanan dari 17.724,04 ton dan 476.441.785 ekor dengan total nilai USD 67.817.328, menjadi 29.843,91 ton dan 251.676.769 ekor dengan total nilai USD91.706.495,21 pada tahun 2007. Ekspor dari bukan bahan makanan mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh karena ekspor tersebut berupa ikan hias, nener dan benih ikan kerapu dimana ekspornya tidak semuanya langsung dari Bali akan tetapi ada beberapa yang melewati/melalui provinsi lain.

Analisis terhadap tiga variabel yaitu potensi dan keunikan sumber daya daerah, lingkungan strategis nasional dan internasional, serta strategi dan kebijakan BALI MANDARA memperlihatkan bahwa hanya daya dukung alam yang memungkinkan sedangkan pada dua variabel terakhir belum mendukung terutama belum optimalnya daya dukung sarana prasarana, daya dukung politik, dan peran HKTI di daerah ini. Total skor untuk urusan kelautan dan perikanan adalah 200, sebagai tampak dalam tabel berikut:

Tabel IV. 2

Skor Urusan Kelautan dan Perikanan

Jumlah

No. Variabel

Bobot

Nilai

Total Skor

Indikator

1 Potensi dan Keunikan Sumber 1 40 2 80 Daya Daerah 2 Lingkungan Strategis Nasional

1 30 1 30 dan Internasional 3 Strategi dan Kebijakan Bali

1 30 3 90 Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera Jumlah

4.3.2 Urusan Pertanian

Dalam pembangunan sektor pertanian dan kelautan diarahkan untuk mendorong kecukupan kebutuhan pangan daerah dan mendorong peningkatan produksi dalam rangka meningkatkan pandapatan masyarakat melalui pengembangan komoditi sub sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Berikut ini diuraikaan perkembangan produksi pertanian dan kelautan dari tahun 2003-2007 untuk beberapa jenis komuditas:

a) Pertanian Tanaman Pangan

Lahan pertanian yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan meliputi lahan sawah dan lahan kering (pekarangan/tegal/kebun). Luas sawah pada tahun 2007 adalah 80.125 ha, luas pekarangan 46.763 ha dan luas tegal/kebun 138.352 ha. Dari luas sawah ini, lahan yang ditanami padi 2 (dua) kali setahun seluas 64.478 ha dan sisanya 11.647 ha hanya dapat ditanami sekali setahun. Pemanfaatan lahan sawah di Bali cukup baik dengan indek pertanaman (IP) dalam setahun 235%, tetapi pemanfaatan lahan kering masih belum optimal. Lahankering umumnya dimanfaatkan untuk beberapajenis tanaman holtikultura seperti jeruk, salak, bawang merah,kentang dan sayuran dataran tinggi lainnya.

Produksikomoditas tanaman pangan berfluktuasi setiap tahun, natara lain disebabkan karena fluktuasi luas tanam/panen yang dipengaruhi oleh iklim, sedangkan produktivitasnya cendrung meningkat sebagai akibat dari peningkatan pnggunaan teknologi pertanian. Rata-rata produktivitas paditahun 2003 sebesaar 55,60 ku/hagabah kering gilingmeningkat menjadi 57, 90ku/ha tahun 2007, jagung tahun 2003 sebesar 30,00 ku/ha pipilan kering menurun menjadi 28,81 ku/ha tahun 2007, kedelai pada tahun 2003 sebesar 13,59 ku/ha biji kering meningkat menjadi 14,63 ku/ha tahun 2007.

b) Perkebunan

Komuditas perkebunan yang diusahakan mencapai dua puluh jenis lebih dan tujuh jenis diantaranya merupakan komuditas andalan yakni kopi arabika,kopi robusta, kakao, jambu mete, kelapa dalam cengkeh dan panili. Keberadaan komuditas perkebunan selain sebagai sumber pendapatan masyarakat, juga memiliki fungsi hydrologis. Luas areal kopi arabika pada tahun 2007 adalah 7.927 ha dengan produksi 3.145 ton dengan jumlah petani yang terlibat sebanyak 13.807 KK. Untuk kopi robusta luas areap pada tahun 2007 adalah 23.559 ha dengan produksi 11.813 ton dan jumlah petani yang terlibat 69.330 KK. Jenis komuditi Kelapa Dalam diusahakan apa areal seluas 69.853 ha dengan produksi 67.309 ton dan petani yang dilibatkan sebanyak 203.067 KK. Cengkeh juga dibudidayakan oleh 57.179 KKdengan luas areal total pada tahun 2007 15.559 ha dengan produksi 5.664 ton. Budidaya kakao akhir-akhir ini mendapat perhatian olen petani, terbukti sebanyak

53.036 KK petani membudidayakan kakao dengan luas areal 12.328 ha dengan produksi 8.013 ton pada tahun 2007.

Perkembangan luas areal dan produksi dari komuditas andalan tersebut dalam lima tahun terakhir cendrung mengalami penurunan, sejalan dengan perkembangan harga yang cendrung berfluktiasi, sehingga menurunkan minat petani untuk menusahakannya. Perkembangan luas areal tahun 2003-2007 mengalami penurunan yakni luas areal kopi arabika mengalami penurunan 4,21%, kopi robusta 5,45%, jambu mete 1,48%, kelapa dalam 1,42% dan cengkeh 10,31%. Komuditas kakao luas arealnya mengalami peningkatan 20,94%, dan vanili 31,23%. Sedangkan produktivitas untuk kopi arabika mengalami penurunan 5,72%, kopi robusta 6,35%, kakao 7,15%, jambu mete 2,38%, kelapa dalam 2,87%, cengkeh 4,68% dan vanili 1,72%.

c) Peternakan

Populasi sapi potong pada tahun 2007 sebanyak 633.789 ekor, meningkat sebanyak 4,11% per thaun sejak tahun 2003. Demikian pula populasi babi sebanyak 879.740 ekor dan populasi kambing 74.322 ekor. Ayam buras populasinya 4.112 ekor, ayam petelur sebanyak 3.156.476 ekor, ayam pedaging 4.846.644 ekor. Secara umum populasi unggas mengalami peningkatan tiap tahun, kecuali populasi itik mengalami penurunan sebesar 4,37% per tahun yaitu dari 974.100 ekor tahun 2003 menjadi 747.636 ekor pada tahun 2007.

Analisis terhadap tiga variabel yaitu potensi dan keunikan sumber daya daerah, lingkungan strategis nasional dan internasional, serta strategi dan kebijakan BALI MANDARA memperlihatkan bahwa dua variabel pertama dan ketiga sudah mendukung, tetapi variabel kedua belum mendukung. Kondisi yang belum mendukung seperti sarana dan prasarana, daya dukung politik, serta keberadaan (jumlah dan status) petani yang terus menurun, Total skor untuk urusan pertanian adalah 300, sebagai tampak dalam tabel berikut:

Tabel IV. 3

Skor Urusan Pertanian

Jumlah

No. Variabel

Bobot

Nilai

Total Skor

Indikator

1 Potensi dan Keunikan Sumber 1 40 3 120 Daya Daerah 2 Lingkungan Strategis Nasional

1 30 3 90 dan Internasional 3 Strategi dan Kebijakan Bali

1 30 3 90 Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera Jumlah

4.3.3 Urusan Kehutanan

Pengembangan pembangunan dibidang kehutanan diarahkan pada upaya peningkatan rehabilitasi hutan dan reboisasi lahan kritis dalam kawasan hutan untuk mencapai tutupan lahan seluas 30% dari luasan DAS disamping upaya memperbaiki sistem pengelolaan hutan termasuk pengawasan dan penegakan hukumnya. Konservasi sumberdaya hayati dan mendorong peningkatan peran serta terhadap pengembangan biodevirsitas yang dilindungi dan endemic sesuai dengan perundang- undangan. Pengelolaan sumberdaya air diarahkan kepada strategi pengelolaan DAS secara terpadu, rehabilitasi DAS yang kritis, dan pemanfaatan sumberdaya air sesuai dengan daya dukung dan kebutuhan. Mengurangi luas lahan kritis di dalam dan diluar kawasan hutan dan menurunkan tingkat bahaya erosi sampai tingkat erosi yang dapat ditoleransi.

Untuk meningkatkan kualitas dn kuantitas ruang terbuka hijau, luasan hutan pengelolaan lingkungan diarahkan kepada kebijakan pemanfaatanruang yang baik untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya termasuk kawasan pemukiman sesuai dengan rencana tata ruang, meningkatkan kinerja lembaga pengendali pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) kota sebanyak 30% dan konservasi kawasan DAS melalui peningkatan kualitas hutan sebanyak minimal 30%. Pengelolaan RTH Untuk meningkatkan kualitas dn kuantitas ruang terbuka hijau, luasan hutan pengelolaan lingkungan diarahkan kepada kebijakan pemanfaatanruang yang baik untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya termasuk kawasan pemukiman sesuai dengan rencana tata ruang, meningkatkan kinerja lembaga pengendali pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) kota sebanyak 30% dan konservasi kawasan DAS melalui peningkatan kualitas hutan sebanyak minimal 30%. Pengelolaan RTH

Kegiatan penanaman reboisasi, rehabilitasi dan Bali hijau Dinas Kehutanan Provinsi Bali Tahun 2007 dengan target 247,50 HA dengan realisasi 247,50 HA. Kegiatan pemeliharaan Tahun I danII Tanaman reboisasi, rehabilitasi dan turus jalan dinas kehutanan provinsi Bali tahun 2007 rencana 100,00 HA dan 245,00 Km, realisasi100,00 HA dan 245,00 Km. sedangkan rehabilitasi hutan bakau tahun 2003 sampai dengan 2007 seluas 143,57 HA dengan jumlah bibit 510,535 batang Program Pembinaan Produksi Kehutanan;

1. Prosentase luas hutan terhadap luas wilayah di Provinsi Bali yaitu luas hutan 130.666,01 HA, luas provinsi 563,286,00 prosentase 23,20

2. Rencana (pola) pengukuhan dan penatagunaan hutan kesepakatan di Provinsi Bali

a. Fungsi hutan lindung sebelum kesepakatan 84.058,90 HA; berdasarkan kesepakatan 122.484,90 HA; luas hutan tahun 1999/2002 yaitu 95.766,06