Urusan Pekerja Sektor Informal

4.4.2 Urusan Pekerja Sektor Informal

Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kotemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja.

Gelombang ketidakpuasan kelompok miskin dan para penganggur terhadap ketidakmampuan pembangunan menyediakan peluang kerja, untuk sementara dapat diredam lantaran tersedia peluang kerja di sektor informal.

Begitupun ketika kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan usaha skala besar, sektor informal kendati tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara, dapat memberikan subsidi sebagai penyedia barang dan jasa murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Bahkan, tatkala perekonomian nasional mengalami kemunduran akibat resesi, sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi nasional, sehingga roda perekonomian masyarakat tetap bertahan. Peran sektor informal ini telah berlangsung sejak lama dalam pasang surut perkembangan masyarakat dan dinamika perkembangan ekonomi.

Secara umum minat orang Bali untuk bekerja di sektor informal belum bagus, karena adanya pengaruh nilai-nilai modern yang lebih mementingkan status dan materi. Orang mulai memilih-milih pekerjaan, yang berpendidikan tak mau lagi turun ke sawah. Pengejaran status itu kemudian memunculkan mental priyayi. Bahkan, sekarang sudah mulai ada ‘status’ pekerjaan kasar dan pekerjaan halus. Kerja kasar dan kerja halus ini merupakan pengaruh dari kategori barat, di mana di situ memang dikenal adanya pekerja kerah biru (kerja kasar) dan pekerja kerah putih (kerja orang- orang berdasi). Dengan mental priyayi yang menginginkan pekerjaan kerah putih ini menyebabkan banyak peluang kerja lain yang tidak dipedulikan lagi oleh orang Bali. Pekerjaan di sektor informal, seperti buruh bangunan, pedagang kecil pinggir jalan, petani atau buruh tani yang ditinggalkan orang Bali mulai diisi oleh orang dari luar Bali.

Orang Bali hanya bisa mengeluh tak pernah mendapatkan pekerjaan karena mereka selalu memilih pekerjaan yang dianggap cocok dan mempunyai status. Padahal, kalau dilihat secara ekonomi, pekerjaan di sektor informal penghasilannya bisa jauh lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor formal. Umumnya mereka tetap punya keinginan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri yang statusnya dianggap lebih “priyayi''. Fenomena ini, memang menjadi tantangan bagi orang Bali sendiri. Di zaman globalisasi yang tanpa sekat dan pagar ini orang Bali tidak seharusnya menyalahkan orang luar Bali. Etos kerja seharusnya mulai ditumbuhkan dengan keyakinan yang tinggi bahwa kerja itu adalah karma. Semua pekerjaan luhur, Orang Bali hanya bisa mengeluh tak pernah mendapatkan pekerjaan karena mereka selalu memilih pekerjaan yang dianggap cocok dan mempunyai status. Padahal, kalau dilihat secara ekonomi, pekerjaan di sektor informal penghasilannya bisa jauh lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor formal. Umumnya mereka tetap punya keinginan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri yang statusnya dianggap lebih “priyayi''. Fenomena ini, memang menjadi tantangan bagi orang Bali sendiri. Di zaman globalisasi yang tanpa sekat dan pagar ini orang Bali tidak seharusnya menyalahkan orang luar Bali. Etos kerja seharusnya mulai ditumbuhkan dengan keyakinan yang tinggi bahwa kerja itu adalah karma. Semua pekerjaan luhur,

Data BPS yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mencatat bahwa penduduk Bali yang merupakan penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) pada tahun 2002 adalah 2.654.395 jiwa dimana angkatan kerja sebesar 66,98 persen yang sudah bekerja 64,63 persen dan mencari perkerjaan 2,35 persen serta pengangguran terbuka 3,51 persen, sedangkan pada tahun 2006 penduduk usia kerja adalah 2.607.821 jiwa, dimana 76,33 persen diantaranya merupakan angkatan kerja, yang terdiri dari penduduk yang sudah bekerja 71,72 persen, dan yang sedang mencari pekerjaan 4,61 persen dengan tingkat pengangguran terbuka 6,04 persen.

Penduduk Bali yang bekerja di sektor formal pada tahun 2004 sebanyak 622.935 jiwa yang bekerja di sektor informal pada tahun yang sama sebesar 1.212.230 dan di tahun 2006 penduduk yang bekerja di sektor formal meningkat menjadi 801.818 jiwa, sedang sektor informal menurun menjadi 1.068.470 jiwa, ini berarti sektor informal masih memberikan peluang yang cukup besar dibandingkan sektor formal, di sektor informal mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 67 persen, sedangkan angkatan muda kurang berminat bekerja disektor informal.

Sampai saat ini, pengertian sektor informal sering dikaitkan dengan ciri- ciri utama pengusaha dan pelaku sektor informal, antara lain: kegiatan usaha bermodal utama pada kemandirian rakyat, memanfaatkan teknologi sederhana, pekerjanya terutama berasal dari tenaga kerja keluarga tanpa upah, bahan baku usaha kebanyakan memanfaatkan sumber daya lokal, sebagian besar melayani kebutuhan rakyat kelas menengah ke bawah, kurang memmberikan jaminan kelangsungan masa depan, pengasilan yang rendah, lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung, pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku tergolong rendah.

Persoalan yang muncul selama ini adalah pada upaya penertiban pekerja sektor informal ini. Belum ada satu lembaga yang bertugas secara khusus untuk mengurus dan membina mereka. Padahal urusan sektor informal ini merupakan sektor antar bidang dan lintas kabupaten sehingga perlu adanya satu badan, atau apapun namanya di tingkat provinsi yang mengemban tugas ini.