TINJAUAN PUSTAKA

3. Tingkatan Pemantauan Diri

Berdasarkan teori pemantauan diri, ketika individu akan menyesuaikan diri dengan situasi tententu, secara umum akan menggunakan banyak petunjuk yang ada baik petunjuk internal yang berasal dari dalam dirinya maupun petunjuk eksternal yang berasal dari luar dirinya. Snyder (1974) dan Baron dan Byrne (2004) memberikan istilah pemantauan diri yang rendah untuk orang-orang yang menggunakan petunjuk internal dalam bertingkah laku dan istilah pemantauan diri yang tinggi untuk orang-orang yang menggunakan petunjuk eksternal dalam bertingkah laku. Kedua tingkatan pemantauan diri yaitu rendah dan tinggi, akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pemantauan diri yang rendah Individu yang memiliki pemantauan diri yang rendah cenderung mendasarkan tingkah lakunya sesuai dengan petunjuk internal. Lebih menaruh perhatian pada perasaan sendiri dan kurang menaruh perhatian pada isyarat- isyarat situasi yang dapat menunjukkan apakah tingkah lakunya sudah layak atau belum. Individu dengan tingkat pemantauan diri yang rendah menunjukkan tingkah laku yang konsisten karena mendasarkan tingkah lakunya pada kepercayaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang dianutnya serta memegang teguh pendiriannya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Ketika menampilkan dirinya cenderung hanya didasarkan a. Pemantauan diri yang rendah Individu yang memiliki pemantauan diri yang rendah cenderung mendasarkan tingkah lakunya sesuai dengan petunjuk internal. Lebih menaruh perhatian pada perasaan sendiri dan kurang menaruh perhatian pada isyarat- isyarat situasi yang dapat menunjukkan apakah tingkah lakunya sudah layak atau belum. Individu dengan tingkat pemantauan diri yang rendah menunjukkan tingkah laku yang konsisten karena mendasarkan tingkah lakunya pada kepercayaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang dianutnya serta memegang teguh pendiriannya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Ketika menampilkan dirinya cenderung hanya didasarkan

b. Pemantauan diri yang tinggi Individu yang memiliki pemantauan diri yang tinggi cenderung mendasarkan tingkah lakunya sesuai dengan petunjuk eksternal yaitu kelompok, norma dan aturan-aturan sosial lainnya. Menititkberatkan pada apa yang layak secara sosial dan menaruh perhatian pada bagaimana orang berperilaku dalam situasi sosial. Menggunakan informasi sosial sebagai pedoman untuk bertingkah laku dan menampilkan diri. Individu ini selalu ingin menampilkan citra diri yang positif di hadapan orang lain. Selain itu individu dengan pemantauan diri yang tinggi memiliki kecakapan dalam merasakan keinginan dan harapan orang lain, terampil ketika mempresentasikan diri dalam situasi sosial yang berbeda-beda serta ahli dalam memodifikasi perilaku untuk menyesuaikan dengan harapan orang lain. Selanjutnya individu dengan pemantauan diri tinggi juga sangat sensitif terhadap norma sosial dan berbagai situasi yang ada disekitarnya sehingga dapat lebih mudah untuk dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Individu dengan pemantauan diri yang tinggi akan melakukan analisis terhadap situasi sosial dengan cara membandingkan dirinya dengan standar perilaku sosial dan senantiasa berusaha untuk mengubah dirinya sesuai dengan situasi saat itu.

menerima evaluasi dari orang lain. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemantauan diri dapat dikategorikan kedalam dua tingkatan yaitu pemantauan diri yang rendah dengan menggunakan petunjuk internal dan pemantauan diri yang tinggi dengan menggunakan petunjuk eksternal seperti ciri-ciri yang telah diuraikan di atas.

C. Konformitas Teman Sebaya

1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya

Allan (dalam Kuppuswamy, 1990) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku seseorang karena hasil pengaruh kelompok dalam meningkatkan kesesuaian antara individu dengan kelompok. Davidoff (1991) menjelaskan konformitas sebagai perubahan perilaku dan sikap sebagai akibat dari tekanan (nyata atau tidak nyata). Konformitas mengakibatkan kecocokan atau kesesuaian antara individu dan kelompok. Menurut Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 1995) konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang nyata atau yang dibayangkan.

Konformitas teman sebaya menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001) adalah satu tuntutan yang tidak tertulis dari anggota kelompok teman sebaya terhadap anggotanya, namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu. Shaw dan Costanzo (dalam Garrison, 1975) mengemukakan pengertian konformitas teman sebaya sebagai kecenderungan Konformitas teman sebaya menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001) adalah satu tuntutan yang tidak tertulis dari anggota kelompok teman sebaya terhadap anggotanya, namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu. Shaw dan Costanzo (dalam Garrison, 1975) mengemukakan pengertian konformitas teman sebaya sebagai kecenderungan

Chaplin (2006) mengartikan konformitas menjadi dua pengertian yaitu kecenderungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku. Pengertian yang lain yaitu ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Menurut King (2008) konformitas adalah perubahan tingkah laku seseorang agar sama dengan standar kelompoknya

Myers (2009) mengemukakan konformitas sebagai perubahan perilaku dan keyakinan agar sama dengan orang lain sebagai hasil tekanan kelompok secara nyata atau hanya imajinasi. Taylor,dkk (2009) mengatakan bahwa konformitas adalah secara sukarela melakukan tindakan karena orang lain juga melakukannya. Menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Taylor, dkk, 2009) konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku agar sesuai dengan perilaku orang lain. Sarwono (2009) mendefinisikan konformitas sebagai kesesuaian antara perilaku individu dengan perilaku kelompoknya atau perilaku individu dengan harapan orang lain tentang perilakunya. Konformitas didasari oleh kesamaan antara perilaku dengan perilaku atau antara perilaku dengan norma.

Berdasarkan uraian pengertian yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konformitas teman sebaya adalah usaha yang dilakukan oleh Berdasarkan uraian pengertian yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konformitas teman sebaya adalah usaha yang dilakukan oleh

2. Aspek-aspek Konformitas Teman Sebaya

Aspek-aspek konformitas teman sebaya menurut Sears,dkk (1994) yaitu:

a. Aspek Perilaku Jika seorang individu sebagai anggota kelompok teman sebaya dihadapkan pada suatu pendapat yang telah disepakati oleh anggota kelompok teman sebaya lainnya maka perilaku individu tersebut akan cenderung lebih menyesuaikan diri terhadap kelompoknya.

b. Aspek Penampilan Individu akan berusaha mengikuti apa yang berlaku dalam kelompok teman sebayanya karena enggan disebut sebagai individu yang menyimpang atau terkucil.

c. Aspek Pandangan Individu akan mulai mempertanyakan pandangan individu lain tentang dirinya, sehingga individu tersebut harus mempunyai ciri khas sendiri baik dari pandangan maupun perilaku. Aspek-aspek konformitas menurut Baron dan Byrne (2005) yang dalam

hal ini mengacu pada konformitas terhadap teman sebaya, meliputi:

Merupakan penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk memperoleh penerimaan. Individu akan menyesuaikan diri, memilih untuk berperilaku ataupun mengikuti peran sesuai dengan keinginan kelompok dengan tujuan untuk mencapai penerimaan dan menghindari penolakan. Selanjutnya individu berusaha untuk memenuhi standar kelompok yang telah ditetapkan oleh seluruh anggota kelompok.

b. Aspek informatif (pengaruh informatif) Merupakan penyesuaian individu ataupun keinginan individu untuk memiliki pemikiran yang sama sebagai akibat dari adanya pengaruh menerima pendapat maupun pemikiran kelompok untuk mendapatkan pandangan yang akurat guna mengurangi ketidakpastian. Individu cenderung untuk menerima pendapat, ide, sesuai dengan keinginan dari kelompok dan mengikuti apa yang menjadi pemikiran kelompok. Selanjutnya individu dalam memberikan pendapat, pandangan maupun penilaian selalu meminta pendapat lain dari kelompok. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek konformitas di atas, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek konformitas teman sebaya mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2005) meliputi dua aspek yaitu aspek normatif merupakan penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk memperoleh penerimaan dan aspek informatif merupakan penyesuaian individu ataupun keinginan individu untuk memiliki pemikiran yang sama sebagai diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek konformitas teman sebaya mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2005) meliputi dua aspek yaitu aspek normatif merupakan penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk memperoleh penerimaan dan aspek informatif merupakan penyesuaian individu ataupun keinginan individu untuk memiliki pemikiran yang sama sebagai

3. Bentuk-Bentuk Konformitas Teman Sebaya

Menurut Sutisna (2001) bentuk-bentuk konformitas yaitu:

a. Kerelaan Merupakan persesuaian (konformitas) atas dasar kerelaan bahwa seseorang menerima dan melakukan perubahan perilaku semata-mata atas maksud baik pribadi terhadap kelompok dan tidak mendapat tekanan dari kelompok.

b. Penerimaan pribadi Persesuaian atas dasar penerimaan pribadi dimaksudkan sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan akibat adanya arahan dari kelompok. Myers (2009) membagi bentuk-bentuk konformitas menjadi tiga, yaitu:

a. Compliance Merupakan bentuk konformitas yang dilakukan individu dengan cara mengubah perilakunya di depan publik agar sesuai dengan tekanan kelompok, tetapi secara diam-diam tidak mengubah pendapat pribadinya. Keseragaman perilaku yang ditunjukkan pada konformitas bentuk compliance dilakukan individu untuk mendapat hadiah, pujian, rasa penerimaan, serta menghindari hukuman dari kelompok.

Merupakan bentuk konformitas yang dilakukan individu dengan cara menyamakan sikap, keyakinan pribadi, maupun perilakunya di depan publik dengan norma atau tekanan kelompok. Perubahan perilaku dan keyakinan terjadi apabila dirinya sungguh-sungguh percaya bahwa kelompok memiliki opini atau perilaku yang benar.

c. Obedience Bentuk konformitas yang dilakukan individu untuk mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power (kekuasaan). Santrock (2003) membagi individu yang resisten terhadap konformitas ke

dalam dua kelompok, yaitu:

a. Nonkonformitas, muncul ketika individu mengetahui apa yang diharapkan oleh orang-orang disekitarnya, tetapi individu tersebut tidak mengarahkan perilakunya sesuai harapan kelompok.

b. Antikonformitas, muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan dengan sengaja menjauh dari tindakan atau kepercayaan yang dianut oleh kelompok. Berdasarkan uraian tentang bentuk-bentuk konformitas yang telah

dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bentuk-bentuk konformitas yaitu menurut Myers (2009) yaitu compliance, acceptance dan obedience, sedangkan menurut Sutisna (2001) meliputi kerelaan dan penerimaan pribadi dan menurut dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bentuk-bentuk konformitas yaitu menurut Myers (2009) yaitu compliance, acceptance dan obedience, sedangkan menurut Sutisna (2001) meliputi kerelaan dan penerimaan pribadi dan menurut

D. Hubungan antara Pemantauan Diri dan Konformitas Teman Sebaya dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja Putri

Remaja dengan segala karakteristik yang dimiliki sering dijadikan pangsa pasar yang besar dan potensial bagi para produsen dan pemasar. Goni (dalam Djudiyah, 2002) menyatakan bahwa remaja terutama yang berada di kota-kota besar di Indonesia dan terutama perempuan sangat konsumtif. Menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001) remaja sering dijadikan target pemasaran berbagai produk antara lain karena karakteristik remaja yang labil, spesifik dan mudah dipengaruhi sehingga dapat mendorong munculnya perilaku membeli yang tidak wajar seperti melakukan pembelian produk yang tidak direncanakan sebelumnya atau disebut sebagai pembelian impulsif. Pada pembelian impulsif remaja memiliki perasaan yang kuat dan positif terhadap suatu produk yang harus dibeli hingga akhirnya konsumen memutuskan untuk membelinya (Mowen dan Minor, 2002). Proses afektif yang muncul pada konsumen langsung menuju pada perilaku membeli tanpa memikirkan dengan matang terlebih dahulu dan bahkan tanpa memperhitungkan konsekuensi yang akan diperoleh setelah pembelian dilakukan.

Kecenderungan pembelian impulsif lebih besar kemungkinan untuk terjadi pada remaja putri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djudiyah dan Hadipranata (2002) yang menunjukkan bahwa remaja putri cenderung melakukan pembelian impulsif lebih tinggi dibandingkan remaja putra.

mencapainya dan para produsen siap menawarkan beragam produk untuk membentuk dan melengkapi identitas diri remaja putri. Perhatian yang besar terhadap diri sendiri merupakan minat yang kuat pada remaja putri. Perhatian ini ditunjukkan melalui kekhawatiran dan perilaku membeli remaja putri terhadap barang-barang yang dapat merawat diri dan pakaian. Hurlock (1993) mengatakan bahwa penampilan yang menarik dan ideal merupakan idaman bagi para remaja putri. Hal ini karena remaja putri menyadari bahwasannya dalam kehidupan bermasyarakat, individu yang menarik akan diperlakukan dengan lebih baik daripada yang kurang menarik. Hal inilah yang kemudian mendorong para remaja putri untuk melakukan berbagai usaha dalam menampilkan dirinya seperti yang diharapkan orang lain. Usaha yang dilakukan oleh remaja putri untuk menyesuaikan tingkah laku dan penampilannya berdasarkan pada apa yang orang lain harapkan inilah yang berkaitan dengan pemantauan diri yang dimiliki.

Menurut Snyder (2000) pemantauan diri merupakan keterampilan individu untuk mempresentasikan diri dan menyadari tentang bagaimana menampilkan dirinya pada orang lain. Pemantauan diri dapat mempengaruhi perilaku pembelian pada remaja putri yang berhubungan dengan tingkat ketertarikan untuk terus memelihara penampilan luarnya melalui berbagai produk yang dijual. Remaja putri akan mengkonsumsi produk-produk yang dapat menunjang penampilan dalam rangka mempresentasikan diri pada orang lain seperti produk pakaian, tas, sepatu, aksesoris, kosmetik, majalah dan produk-produk lainnya. Remaja putri akan selalu membuka mata pada informasi tren yang sedang berkembang dan

iklan di televisi merupakan cara yang dilakukan oleh remaja putri untuk mengetahui tren yang sedang berkembang sehingga dapat menyesuaikan penampilannya. Djudiyah dan Hadipranata (2002) menjelaskan bahwa perhatian dan kepekaan yang cukup besar akan mendorong remaja putri untuk melakukan pembelian impulsif karena remaja putri selalu memantau produk atau merek yang sedang tren dan cenderung beubah-ubah di pasaran. Para remaja akan membeli produk dan merek yang akan mendukung kesan yang akan disampaikan pada orang lain.

Pemantauan diri yang tinggi yang dimiliki oleh seorang remaja akan membuat seorang remaja lebih menyesuaikan dirinya, menampilkan konformitas yang tinggi berbeda dengan remaja dengan pemantauan diri dalam tingkatan yang rendah. Menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001), salah satu faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku membeli remaja adalah konformitas teman sebaya. Hurlock (1993) mengatakan bahwa kelompok teman sebaya memberikan sebuah dunia, tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai- nilai yang diletakkan bukan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya. Remaja mulai belajar mengekspresikan perasaan- perasaan dengan cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang remaja untuk mengidentifikasikan dirinya dan untuk mengikuti standar kelompok sejak seorang Pemantauan diri yang tinggi yang dimiliki oleh seorang remaja akan membuat seorang remaja lebih menyesuaikan dirinya, menampilkan konformitas yang tinggi berbeda dengan remaja dengan pemantauan diri dalam tingkatan yang rendah. Menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001), salah satu faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku membeli remaja adalah konformitas teman sebaya. Hurlock (1993) mengatakan bahwa kelompok teman sebaya memberikan sebuah dunia, tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai- nilai yang diletakkan bukan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya. Remaja mulai belajar mengekspresikan perasaan- perasaan dengan cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang remaja untuk mengidentifikasikan dirinya dan untuk mengikuti standar kelompok sejak seorang

Perilaku konsumen adalah soal keputusan (Sumarwan, 2003). Bagi para pemasar yang terpenting adalah bagaimana konsumen sampai pada keputusan untuk melakukan pembelian. Berkaitan dengan konformitas teman sebaya, Sears dkk (1994) menyatakan bahwa ketaatan remaja terhadap norma kelompok, kepercayaan yang besar terhadap kelompok, perasaan takut terhadap penyimpangan norma kelompok dan perasaan takut jika mendapat celaan dari lingkungan sosialnya mendukung remaja untuk melakukan konformitas yang tinggi. Anggota kelompok akan melakukan hal yang sama termasuk dalam kegiatan belanja, remaja putri akan bersama-sama membeli suatu produk. Para remaja putri ikut teman sebayanya melakukan pembelian karena tingginya konformitas terhadap teman sebaya yang dimilikinya. Remaja putri akan membeli produk-produk yang sama dengan teman lainnya agar semakin diterima sebagai anggota kelompok teman sebaya. Biasanya pembelian yang dilakukan bersama teman-teman sebaya ini tidak direncanakan sebelumnya, keputusan untuk membeli diambil pada saat melihat produk yang dianggap menarik dan hal inilah yang merupakan kecenderungan pembelian impulsif.

Berdasarkan uraian pemaparan di atas, tampak bahwa pemantauan diri dan konformitas teman sebaya secara bersama-sama mampu mempengaruhi remaja putri untuk memiliki kecenderungan pembelian impulsif. Kecenderungan untuk Berdasarkan uraian pemaparan di atas, tampak bahwa pemantauan diri dan konformitas teman sebaya secara bersama-sama mampu mempengaruhi remaja putri untuk memiliki kecenderungan pembelian impulsif. Kecenderungan untuk

E. Hubungan antara Pemantauan diri dengan Kecenderungan Pembelian

Impulsif pada Remaja Putri

Menurut Armando (2003) para remaja (terutama remaja putri Indonesia) merupakan target pasar yang sangat potensial. Ada tiga alasannnya, pertama remaja putri merupakan konsumen langsung artinya remaja putri dianggap memiliki sejumlah uang yang didapat dari orang tuanya untuk kemudian dibelanjakan. Kedua, remaja putri merupakan pembujuk yang hebat dilingkungan manapun terutama keluarga, dan alasan ketiga adalah remaja putri sebagai konsumen masa depan yang sejalan dengan waktu nantinya akan memiliki penghasilan sendiri. Hal ini membuat remaja putri menjadi terbiasa untuk melakukan pembelian baik itu pembelian yang direncanakan sebelumnya dengan matang maupun pembelian yang tidak direncanakan atau disebut pembelian impulsif. Zaman modern seperti sekarang ini berbagai macam produk ditawarkan kepada remaja putri. Produk-produk tersebut bukan hanya barang yang dapat memenuhi kebutuhan namun juga produk yang dapat memuaskan kesenangan para remaja. Informasi mengenai produk baik melalui iklan, promosi langsung maupun penjualan langsung berkembang semakin bervariasi dan menggunakan

transaksi pembelian. Sebagian besar sasaran utama iklan adalah remaja khususnya lebih banyak remaja putri, mulai dari fashion, kosmetik, tas, aksesoris, majalah wanita dan banyak produk lainnya. Semua produk-produk yang ditawarkan produsen tersebut bertujuan untuk menunjang remaja putri dalam mempresentasikan diri agar disukai oleh orang lain. Menurut Snyder (1974) pemantauan diri berkaitan dengan bagaimana cara seseorang dalam mempresentasikan dirinya yang berkaitan dengan penampilan diri. Perbedaan dalam pemantauan diri tidak hanya membuat remaja putri berbeda dalam berperilaku sosial, namun juga dalam perilaku

pembelian. Seperti yang dikemukakan oleh O’Cass (2000) yang mengatakan bahwa pemantauan diri tidak hanya berpengaruh pada perilaku sosial seseorang, namun juga pada perilaku pembelian. Pemantauan diri dapat mempengaruhi pembelian remaja yang berhubungan dengan tingkat ketertarikan untuk terus memelihara penampilan luarnya.

Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwasannya individu dengan pemantauan diri yang tinggi akan lebih responsif terhadap berbagai petunjuk- petunjuk sosial dan selalu berusaha menampilkan diri sesuai harapan orang lain. Lain halnya dengan individu yang memiliki pemantauan diri yang rendah, terlihat tidak begitu antusias memperhatikan dan menyesuaikan penampilannya dengan orang lain apalagi harus setiap saat mengikuti mode yang sedang berkembang di kalangan remaja. Remaja putri dengan tingkat pemantauan diri tinggi mempunyai perilaku pembelian impulsif yang tinggi juga. Remaja putri mudah sekali Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwasannya individu dengan pemantauan diri yang tinggi akan lebih responsif terhadap berbagai petunjuk- petunjuk sosial dan selalu berusaha menampilkan diri sesuai harapan orang lain. Lain halnya dengan individu yang memiliki pemantauan diri yang rendah, terlihat tidak begitu antusias memperhatikan dan menyesuaikan penampilannya dengan orang lain apalagi harus setiap saat mengikuti mode yang sedang berkembang di kalangan remaja. Remaja putri dengan tingkat pemantauan diri tinggi mempunyai perilaku pembelian impulsif yang tinggi juga. Remaja putri mudah sekali

Dari uraian penjelasan di atas, terlihat bahwa keinginan remaja putri untuk selalu memantau dan menyesuaikan penampilannya di hadapan orang lain pada situasi-situasi tertentu yang berkaitan dengan pemantauan diri mendorong para remaja putri untuk melakukan pembelian tanpa sebuah perencanaan sebelumnya atau kecenderungan pembelian impulsif.

F. Hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dengan Kecenderungan

Pembelian Impulsif pada Remaja Putri

Menurut Monks, dkk (2002) dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya yang memiliki rentang usia serta tingkat kedewasaan yang sama. Teman sebaya sebagai stasiun penghubung antara lepasnya ketergantungan terhadap orang tua pada masa kanak-kanak dengan otonomi diri sendiri sebagai orang dewasa. Bagaimana remaja dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang terpenting dalam pergaulan. Remaja cenderung akan masuk ke dalam Menurut Monks, dkk (2002) dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya yang memiliki rentang usia serta tingkat kedewasaan yang sama. Teman sebaya sebagai stasiun penghubung antara lepasnya ketergantungan terhadap orang tua pada masa kanak-kanak dengan otonomi diri sendiri sebagai orang dewasa. Bagaimana remaja dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang terpenting dalam pergaulan. Remaja cenderung akan masuk ke dalam

Papalia, dkk (2009) mengatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup termasuk dalam hal berpenampilan. Keterikatan dengan teman sebaya tidak jarang membuat remaja mengembangkan pola interaksi sosial dan komunikasi yang sangat khas. Di kalangan teman sebaya, para remaja seringkali menciptakan nilai dan norma yang ditaati bersama, bahasa yang unik, cara berpakaian yang sama dan sebagainya. Menurut Indria dan Nindyati (2007) kecenderungan individu untuk melakukan perubahan perilakunya atau pandangannya dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan perilaku atau pandangan kelompoknya disebut sebagai konformitas.

Konformitas terhadap kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada fase remaja. Banyak remaja bersedia melakukan berbagai perilaku demi pengakuan kelompok bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok tersebut. Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya. Kelompok teman sebaya menjadi suatu sarana sekaligus tujuan dalam pencarian jati diri. Upaya untuk menemukan jati Konformitas terhadap kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada fase remaja. Banyak remaja bersedia melakukan berbagai perilaku demi pengakuan kelompok bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok tersebut. Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya. Kelompok teman sebaya menjadi suatu sarana sekaligus tujuan dalam pencarian jati diri. Upaya untuk menemukan jati

Konformitas terjadi karena pengaruh-pengaruh dari lingkungan sosial. pada dasarnya remaja melakukan konformitas karena dua alasan. Pertama, perilaku orang lain memberikan informasi yang bermanfaat untuk dirinya. Kedua, remaja ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan (Sears,dkk, 1994). Berkaitan dengan konformitas, Eagly (dalam Friedman, 2006) mengatakan bahwa wanita lebih mudah untuk melakukan konfomitas. Becker (dalam Friedman, 2006) juga menemukan adanya perbedaan dalam taraf kecil hingga menengah dimana wanita cenderung memperlihatkan konformitas lebih tinggi dibandingkan pria.

Remaja putri yang melakukan konformitas teman sebaya akan berusaha untuk menyesuaikan perilakunya dengan anggota sebaya lainnya termasuk dalam hal perilaku membeli. Hurlock (1993) mengatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi informasi untuk anggotanya termasuk tentang gaya hidup dan apa yang sedang berkembang di kalangan remaja. Menurut Sutisna (2001) kelompok mempengaruhi konsumen dengan lima cara meliputi norma kelompok, ekspresi nilai dan informasi, menciptakan peran dalam kelompok, mengembangkan tekanan untuk menyesuaikan, dampak perbandingan proses sosial dan pengembangan polarisasi kelompok. Moschis dan Moore (dalam Sutisna, 2001) mengemukakan bahwa ketika anak beranjak belasan tahun, mereka mendasarkan pada sumber informasi yang lebih banyak dan pengaruh kelompok juga meningkat dalam keputusan pembelian.

mempengaruhi perilaku remaja termasuk pada perilaku pembelian. Keputusan untuk membeli pada remaja turut dipengaruhi pendapat teman sebaya lainnya. Hal ini dapat mengarahkan para remaja untuk memiliki kecenderungan pembelian impulsif yaitu membeli barang-barang yang sebelumnya tidak direncanakan namun karena pengaruh teman sebaya misalnya karena ikut-kutan teman sehingga akhirnya melakukan pembelian.

G. Kerangka Berpikir

Bagan 1. Kerangka berpikir hubungan antara pemantauan diri, konformitas teman

berusaha untuk menyesuaikan diri agar

diterima dan sama dengan teman sebaya

Pemantauan Diri

Remaja Putri

perkembangan sosial: bergabung dengan kelompok

teman sebaya

menaruh perhatian yang lebih pada penampilan

melakukan pemantauan, pengaturan & pengontrolan

terhadap penampilan dan perilaku yang ditampilkan

serta berusaha membuat

orang lain terkesan

Konformitas Teman Sebaya

Kecenderungan Pembelian Impulsif

Karakteristik yang dimiliki

Target pemasaran

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

a. Ada hubungan positif antara pemantauan diri dan konformitas teman sebaya dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja putri.

b. Ada hubungan positif antara pemantauan diri dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja putri.

c. Ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja putri.