Perlakuan terhadap Perempuan dan anak perempuan pada masa Konflik Bersenjata dan Kekerasan Massal

B. Perlakuan terhadap Perempuan dan anak perempuan pada masa Konflik Bersenjata dan Kekerasan Massal

Kemajuan dalam mengenali, melarang, dan pada akhirnya menegakkan hukum untuk kejahatan yang berkaitan dengan jender telah bergerak dengan sangat lamban. Berdasarkan sejarah dahulu, perempuan dilihat sebagai “properti” yang dimiliki atau dikendalikan oleh pria (seperti ayah, lalu suami). Pemerkosaan perempuan tidak dilihat sebagai kejahatan terhadapnya, tetapi lebih dilihat sebagai bentuk kejahatan terhadap properti pria. [FN41] Selama masa perang, perempuan diihat sebagai barang rampasan perang yang sah, beserta dengan ternak dan barang bergerak lainnya. Pada saat abad pertengahan, pemerkosaan dan perbudakan perempuan merupakan perangsang dari perang, bentuk antisipasi akses seksual yang tidak dibatasi untuk menaklukkan perempuan sering digunakan sebagai insentif untuk menundukkan sebuah kota. Saat hukum kebiasaan mulai melarang kejahatan pemerkosaan, seperti yang didiskusikan di bawah ini, kekerasan seksual tidak lagi didorong, tetapi adanya kejahatan tersebut seringkali diabaikan atau ditolerir oleh komandan mereka, karena banyak yang percaya bahwa kekerasan seksual sebelum pertarungan dapat meningkatkan agresi prajurit dan pemerkosaan setelah pertarungan merupakan penghargaan yang layak untuk diberikan, suatu momen untuk melepaskan ketegangan dan merasakan suasana santai. Setelah pemerkosaan sudah dilarang secara eksplisit, kejahatan tersebut masih dilihat sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan dari konflik bersenjata dan jarang sekali kejahatan tersebut mendapatkan hukuman sebagai bentuk dari tindak lanjutnya. Upaya untuk menegakkan pelarangan pemerkosaan mendapatkan perhatian yang minor, karena kebanyakan dari mereka menilai kekerasan seksual sebagai *297 *297 *297 *297 *297 produk sampingan tak terduga dari konflik. [FN42] Pada abad keduapuluh, laki- laki dan perempuan masih terkena dampak dari peperangan, tetapi para prajurit pada umumnya menargetkan pihak yang paling tidak berdaya: perempuan, anak-anak, orang sakit dan orang lanjut usia.

Pada perang modern, dampak terbesar daripada konflik adalah para penduduk sipil. [FN43] Selama proses penyerangan berlangsung, penduduk sipil perempuan menjadi subjek perang terhadap kekerasan sama dengan penduduk sipil laki-laki. Keduanya dibunuh, disiksa, diasingkan, dipenjara, kelaparan dan menjadi buruh paksa. Bahkan sebagai tambahan lagi, perempuan dan anak perempuan menderita satu lagi bentuk kekerasan – kekerasan jender – yang sering terjadi dalam bentuk kekerasan seksual. Di luar dari konteks penjara domestik, sasaran dari kejahatan seksual pada umumnya adalah perempuan. Kejahatan-kejahatan tertentu, seperti kehamilan yang dipaksakan, aborsi yang dipaksakan, hanya terjadi kepada perempuan dan anak perempuan.

PAPER KELLY D. ASKIN

Sejarah dipenuhi dengan laporan pemerkosaan terhadap perempuan, perempuan yang diperbudak, dihamili, disiksa secara seksual dan bentuk kekerasan seksual lainnya selama periode konflik bersenjata, kekerasan massal, pendudukan, resistensi dan transisi. [FN44] Selama beribu-ribu tahun, di setiap konflik di bagian dunia manapun, perempuan telah menjadi objek kejahatan jender dan kejahatan seksual. [FN45] Terlepas dari meningkatnya perlindungan yang diupayakan bagi para penduduk sipil semasa peperangan dan kemajuan dalam menciptakan masyarakat yang lebih terpelajar, situasi tetap belum membaik selama abad keduapuluh, di mana di dalam masa tersebut merupakan masa yang paling penuh dengan darah sepanjang sejarah. [FN46] Memang, terlepas dari terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa dan proliferasi dari berbagai hukum humaniter dan instrumen hak asasi manusia setelah Perang Dunia II, terlihat bahwa situasi bagi perempuan semasa konflik bersenjata di abad keduapuluh semakin memburuk.

Bukti mengindikasikan bahwa kejahatan pemerkosaan yang dilakukan secara sistematis dan strategis semakin meningkat, sepertinya kekerasan seksual membentuk bagian pusat dan fundamental untuk melawan kelompok oposisi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang. Dalam beberapa kasus, seperti perbudakan seksual terhadap 200,000 yang disebut dengan “perempuan nyaman” selama Perang Dunia II *298 *298 *298 *298 yang dilakukan oleh *298 tentara Jepang, [FN47] kekerasan seksual membentuk bagian inti dari mesin peperangan, seperti kenyataan di mana tentara militer menaruh sasaran mereka terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memberikan pelayanan yang nyaman dan efisien bagi prajurit pria dan untuk meningkatkan moral mereka. [FN48] Sehingga, senjata tersebut bukan digunakan untuk menyerang pihak oposisi, tetapi kekerasan seksual digunakan sebagai bagian dari mesin militer untuk mengisi bensin dari prajurit yang akan berperang.

Pemerkosaan merupakan senjata ampuh untuk beberapa alasan. Stereotip terhadap sikap budaya maupun agama mengenai kesucian perempuan yang sangat diagungkan membuat kejahatan seksual sebagai alat yang ampuh untuk menghancurkan kehidupan. Sikap dan kepercayaan yang dianut saat ini sering menciptakan kesan yang salah bahwa perempuan merupakan “barang yang ternoda” apabila mereka melakukan seks, baik secara rela maupun dipaksakan, di luar dari konteks perkawinan, stereotip jarang diterapkan kepada korban-korban dari kejahatan non-seksual. Orang-orang yang selamat dari kejahatan pemerkosaan (dan mereka yang tidak selamat) bukan merupakan satu-satunya korban dari kekerasan seksual. Dampak dari kekerasan seksual dapat berbuntut sampai ke keluarga mereka, masyarakat lokal dan masyarakat luas.

Terlebih lagi, bukti-bukti juga memperlihatkan bahwa perempuan seringkali dibunuh di dalam kejahatan yang berkaitan dengan jender:

Pembunuhan terhadap perempuan tidak terjadi berdasarkan niatan yang didasarkan pada jender – maksud dan metode pembunuhan pada umumnya melalui cara yang bersifat seksual, seperti dengan cara memotong bagian tubuh atau dengan mengambil organ tubuh seksual atau meledakkannya, dengan cara mengambil fetus dari rahim perempuan, atau dengan memerkosa perempuan dengan pecahan kaca atau senjata tajam. Jadi, bahkan kematian mereka seringkali masih berhubungan dengan komponen jender, terutama bagian reproduksi mereka. [FN49]

Baru-baru ini saja masyarakat internasional mulai meresapi sisi moral, sosial, ekonomi dan hukum mengenai pentingnya mengambil langkah-langkah kongkret untuk mencegah dan memberi hukuman terhadap kejahatan jender. Masyarakat internasional bahkan bergerak semakin lambat dalam menyediakan akuntabilitas kepada korban dari kejahatan seksual. [FN50]

BUKU REFERENSI

C. Perkembangan Kejahatan Jender di Bawah Hukum Internasional

Sebelum pertengahan tahun 1800-an, hukum perang terdapat di dalam kebiasaan, aturan militer domestik, dan petunjuk keagamaan. [FN51] Jauh sebelum hukum humaniter internasional dibentuk, kebiasaan perang telah melarang kejahatan pemerkosaan. Sebagai contoh, pada tahun 1300-an, pengacara Italia, Lucas de Penna mendesak pelaku pemerkosaan semasa perang agar dihukum seperti pelaku pemerkosa pada masa tidak perang; [FN52] di dalam 1474 persidangan dari Sir Peter Hagenbach, pengadilan militer internasional memberikan hukuman mati bagi Hagenbach atas kejahatan perang, antara lain pemerkosaan yang dilakukan oleh pasukannya. [FN53] Pada tahun 1500-an, juri Alberico Gentili melakukan survei terhadap literatur dari pemerkosaan semasa peperangan dan menyatakan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan di masa perang merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, meskipun perempuan yang diperkosa adalah prajurit yang juga berperang; [FN54] Pada tahun 1600-an, pemuka hukum internasional Hugo Grotius menyatakan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan baik di masa peperangan atau tidak di masa peperangan sama-sama harus dihukum. [FN55]

Pada tahun 1863, Amerika Serikat menyusun hukum kebiasaan internasional yang dimasukkan ke dalam peraturan Tentara A.S di dalam hukum tanah perang. Peraturan ini dikenal dengan sebutan Lieber Code, [FN56] di mana peraturan ini menjadi patokan dari banyak peraturan perang. [FN57] Lieber Code menyatakan bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh negara yang berperang merupakan salah satu bentuk kejahatan perang yang paling serius. Pasal 44 dari Peraturan tersebut menyatakan bahwa “seluruh pemerkosaan ……… dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukuman mati,” dan Pasal 47 menyatakan bahwa “kejahatan-kejahatan dapat dihukum berdasarkan semua peraturan yang tegas, seperti pemerkosaan … … tidak hanya dapat dihukum di negara rumah, tetapi di dalam semua kasus di mana tidak terjadi kematian, hukuman yang lebih berat sebaiknya diutamakan.” Pemerkosaan selama masa peperangan mulai saat itu dilihat sebagai suatu kejahatan yang serius karena dapat dikenakan sanksi hukuman mati.

Hukum kebiasaan internasional kembali melihat ke seribu tahun belakang dan melihat bahwa sesungguhnya hukum humaniter internasional telah ada selama lebih dari satu abad. Pada saat Perang Dunia I terjadi pada tahun 1914, Konvensi Den Haag 1907 mengatur *300 *300 *300 metode peperangan. [FN58] Konvensi *300 *300 Jenewa sebenarnya juga ikut menegakkan hukum tersebut, tetapi Konvensi tersebut tidak menyediakan perlindungan bagi penduduk sipil. [FN59] Peraturan dan Konvensi Den Haag tahun 1907 memiliki ketetapan yang secara implisit melarang kekerasan seksual dengan melalui pernyataan “kehormatan dan hak keluarga … harus dihormati.” [FN60] Pada perputaran abad keduapuluhsatu, pelanggaran terhadap “kehormatan” keluarga dapat dimengerti dengan mudah sebagai pelanggaran pelecehan seksual. [FN61] Oleh karena itu, baik hukum kebiasaan maupun hukum Den Haag melarang pemerkosaan pada masa peperangan.

Sebagai akibat dari kekejaman perang yang terjadi saat Perang Dunia I, kekuatan sekutu utama mengeluarkan Komisi Kejahatan Perang pada tahun 1919 untuk menyelidiki kejahatan dan memberikan rekomendasi menyangkut metode pemberian hukuman terhadap tersangka poros kejahatan perang. Di dalam laporannya, Komisi Kejahatan Perang mendaftar tiga puluh dua pelanggaran hukum dan kebiasaan perang yang bersifat tidak penuh yang telah dilakukan oleh kekuatan poros. “Pemerkosaan” dan “penculikan” perempuan dan anak perempuan untuk tujuan prostitusi yang dipaksakan “ merupakan dua dari bentuk pelanggaran yang harus dihukum, dan masih menguatkan statusnya sebagai kejahatan perang di abad keduapuluhsatu. [FN62] Meskipun demikian, perhatian untuk kejahatan seksual dalam penegakannya masih minimal.

PAPER KELLY D. ASKIN