Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg dan Tokyo pada saat Perang Dunia II

D. Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg dan Tokyo pada saat Perang Dunia II

Pencabutan nyawa internasional terhadap jutaan penduduk yang tidak berdosa pada saat terjadinya Perang Dunia II telah mengejutkan komunitas dunia dan memecahkan ilusi terhadap keamanan negara dan perlindungan negara. Pria, perempuan, dan anak-anak sama-sama dibantai, disiksa, kelaparan, dan dipaksa untuk kerja paksa. Untuk tambahan terhadap kejahatan-kejahatan berikut, sudah tidak terhitung berapa banyak perempuan dan anak perempuan yang diperkosa, diperbudak secara seksual dan menderita bentuk kekerasan seksual lainnya. [FN63] Pada saat perang berakhir setelah melalui tahun-tahun yang menggoncangkan, sekutu telah mengadakan persidangan bagi individu mengingat kekejaman yang telah terjadi. Dalam menjalankan Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg (International Military Tribunal – IMT) dan Pengadilan Militer Internasional di Tokyo (IMTFE) untuk menuntut pemimpin atas dakwaan kejahatan *301 *301 *301 *301 *301 terhadap kedamaian, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, [FN64] kedua sidang berfokus pada apa yang dipertimbangkan sebagai kejahatan “paling berat”: kejahatan terhadap perdamaian. [FN65] Karena sebagian besar fokus persidangan tertuju kepada mencari siapa yang bertanggung jawab atas terpecahnya perang yang sangat agresif, kekerasan seksual menjadi sangat diabaikan.

Dalam pengadilan paska perang yang diadakan di Nuremberg, Jerman melawan dua puluh dua pemimpin Nazi, Piagam IMT gagal memasukkan segala bentuk kekerasan seksual, dan pengadilan tidak menuntut bentuk kejahatan demikian, meskipun mereka telah mendokumentasikan secara ekstensif selama masa peperangan dan pendudukan. [FN66] Meskipun demikian, rekaman sidang berisi banyak materi mengenai bukti-bukti adanya kekerasan seksual. Meskipun tidak eksplisit, kejahatan yang berkaitan dengan jender disertakan sebagai bukti kekejaman atas kejahatan yang dituntut di dalam persidangan dan dapat ikut dipertimbangkan di dalam Penilaian IMT. [FN67] Contoh, Pengadilan Nuremberg yang secara implisit mengetahui kekerasan seksual sebagai penyiksaan:

Banyak perempuan dan perempuan remaja yang dipisahkan dari kaumnya … dan dikunci di dalam sel yang terpisah, di mana makhluk yang tak berdaya dan tak beruntung tersebut mengalami penyiksaan yang demikian hebatnya. Mereka diperkosa, payudara mereka dipotong … [FN68]

Perempuan berhak diperlakukan secara sama dengan pria. Untuk masalah penderitaan fisik, sadisnya penyiksaan menambahkan penderitaan moral, terutama dalam menurunkan derajat perempuan atau perempuan kecil, ketika mereka ditelanjangi oleh para penyiksanya. Kehamilan tidak menyelamatkan mereka dari siksaan. Ketika aksi brutal tersebut menyebabkan keguguran, mereka ditinggalkan tanpa diberikan perawatan, terekspos terhadap seluruh bahaya dan komplikasi dari kejahatan aborsi. [FN69]

Pengadilan Nuremberg pada akhirnya secara implisit menuntut kekejaman seksual sebagai bagian dari kekejaman Nazi yang dilakukan selama perang.

Dalam persidangan Nuremberg secara berkelanjutan yang diadakan oleh kekuatan Sekutu di bawah dukungan dari Hukum Majelis Kendali No.10 (CCL10), [FN70] yang mendaftarkan *302 *302 *302 *302 *302 pemerkosaan sebagai kejahatan kemanusiaan, [FN71] kejahatan jender hanya diberikan perlakuan yang superfisial. Di dalam persidangan yang disebut dengan kejahatan perang “yang lebih ringan”, seperti dokter medis yang menjalankan eksperimen tidak etis dan penjaga kemah yang memfasilitasi komisi kejahatan di dalam kemah, sterilisasi paksa, aborsi paksa dan pemotongan organ seksual juga telah disebutkan. [FN72]

Paska persidangan Perang Dunia II yang diadakan di Tokyo, Jepang, kejahatan pemerkosaan telah dituntut, meskipun hanya dalam tingkat yang sederhana dan sejalan dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Pengadilan

BUKU REFERENSI

PAPER KELLY D. ASKIN

Tokyo menuntut dua puluh delapan terdakwa Jepang dengan berbagai macam kejahatan yang berkaitan dengan perang. [FN73] Seperti halnya dengan Piagam Nuremberg, Piagam Tokyo tidak memasukkan kejahatan seksual secara eksplisit. Tidak seperti Dakwaan Nuremberg, Dakwaan Tokyo tidak menyertakan tuduhan dari kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan jender. Dakwaan Tokyo tidak mengkarakteristikkan pemerkosaan penduduk perempuan dan staff medis sebagai “perlakuan yang tidak berperikemanusiaan”, “perlakuan yang semena-mena”, “perlakuan orang sakit,” dan “kegagalan untuk menghormati martabat dan hak keluarga,” dan menuntut kejahatan-kejahatan tersebut berdasarkan ketetapan ‘Kejahatan Perang Konvensional’ di dalam Piagam. [FN74] Jumlah kejahatan substansial yang berkaitan dengan jender dilihat sebagai bentuk kekejaman yang terjadi di Asia selama masa peperangan. [FN75] Sebagai akibat dari tuntutan-tuntutan tersebut, IMTFE mendakwa Jenderal Iwane Matsui, Komandan Shunroku Hata, dan Menteri Luar Negri Hirota sebagai orang-orang yang bertanggung jawab untuk serangkaian kejahatan, termasuk kejahatan pemerkosaan, yang dilakukan oleh orang-orang di bawah wewenang mereka. [FN76] Perlu juga dicatat bahwa pengadilan kejahatan perang yang diadakan di Batavia (Jakarta) setelah perang, beberapa dari terdakwa Jepang diputuskan bersalah atas “prostitusi yang dipaksakan” dengan cara memaksa perempuan Belanda untuk memberikan pelayanan seksual kepada tentara Jepang. [FN77]

Di dalam persidangan kejahatan perang lainnya yang diadakan di Asia oleh komisi militer AS, Jenderal Tomoyuki Yamashita, [FN78] komandan dari area ke-14 Tentara Jepang, dituntut atas kegagalannya untuk memberikan kendali yang cukup atas pasukannya, di mana mereka melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan penculikan yang tersebar di Manila (diketahui sebagai “Pemerkosaan *303 *303 *303 *303 *303 Manila”) pada saat perang terjadi. [FN79] Yamashita bersikeras mengatakan bahwa ia tidak mengetahui terjadinya kekejaman tersebut karena patahnya hubungan komunikasi; Ia juga mengatakan bahwa pasukannya tidak terorganisir dan berada di luar kendali, dan oleh karena itu, dia tidak dapat mencegah kejahatan tersebut meskipun ia mengetahui kejahatan tersebut sedang terjadi. Ia juga mengeluh karena ia sedang aktif berperang dan merencanakan strategi militer, ia tidak dapat dijatuhkan tanggung jawab atas kegagalannya mengendalikan semua orang yang berada di bawah wewenangnya. Komisi menyimpulkan, meskipun demikian, kejahatan terjadi dilakukan di area yang luas dalam periode yang berkepanjangan, Yamashita seharusnya mengetahui kejadian kejahatan tersebut, atau dia bisa saja mencari tahu dan memang seharusnya mengetahui apa yang terjadi, kecuali ia dengan sengaja berpura-pura buta dengan apa yang terjadi, dan pengabaian yang dilakukan secara sengaja tidak menyediakan ruang bagi alasan pengabaian dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, kejahatan tidak perlu diperintahkan, dan bukanlah merupakan hal yang penting untuk membuktikan bahwa komandan memiliki pengetahuan pasti mengenai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah wewenangnya; memang, komisi kejahatan yang menyebar dalam beberapa periode waktu seharusnya sudah cukup untuk memberikan pengetahuan kepada Yamashita, si Komandan. Pengadilan memutuskan Yamashita bersalah atas kegagalannya bertanggung jawab atas pasukannya, dan pengadilan memberikan hukuman mati kepadanya. [FN80] Oleh karena itu, di bawah bagian tanggung jawab perintah maupun wewenang superior, pemimpin yang memiliki tugas untuk mencegah, memberhentikan, atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya dapat dianggap bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam tugas tersebut.