Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda

A. Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda

Statuta Pengadilan dari Yugoslavia dan Rwanda memberikan wewenang kepada Pengadilan ad hoc untuk menuntut kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida. Genosida didefinisikan secara identik di dalam dua Statuta, dan merefleksikan definisi tersebut di dalam Konvensi Genosida, ketetapan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan berbeda. Perbedaan terus merefleksikan perbedaan sifat dari konflik bersenjata di dalam dua teritori, kejahatan prinsip yang telah dilakukan, dan kepentingan dari Dewan Keamanan PBB dalam membentuk dua Pengadilan. Contoh, Pasal 2 dan 3 dari Statuta ICTY memiliki ketetapan kejahatan perang, dan mewariskan yurisdiksi Pengadilan Yugoslavia atas pelanggaran dari Konvensi Jenewa 1949 dan pelanggaran hukum perang atau kebiasaan perang yang serius. [FN100] Pasal

4 dari Statuta ICTR memiliki ketetapan kejahatan perang dan *307 *307 mewariskan yurisdiksi Pengadilan *307 *307 *307 Rwanda pelanggaran dari Protokol Tambahan II 1977 dan Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1949. [FN101]

PAPER KELLY D. ASKIN

*308 *308 *308 *308 *308 Inti dari ketetapan tersebut melampaui jender maupun kejahatan seksual yang didiskusikan di bawah ini. Statuta menyediakan tanggung jawab individual bagi mereka yang berpartisipasi dengan cara merencanakan, memulai, memerintah, melakukan, atau membantu kejahatan-kejahatan yang telah disebutkan; mereka menyediakan tanggung jawab superior bagi mereka yang menjabat atau memiliki wewenang dan mengetahui atau memiliki alasan untuk tahu “bahwa bawahan akan melakukan kejahatan tersebut dan atasan gagal mengembang pengukuran yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah kejahatan tersebut atau untuk menghukum pelaku kejahatan. “ [FN102]

B. Kejahatan Perang: Pelanggaran Keji dan Serius dari Hukum Perang atau Kebiasaan Perang

Meskipun pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan di dalam Pasal 3 ICTY disusun berdasarkan hukum Den Haag, ada konsensus yang meluas mengenai “hukum perang atau kebiasaan perang” yang melampaui Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan dan hukum kebiasaan internasional. [FN103] Kejahatan perang melibatkan pelanggaran keji dan serius dari Konvensi Jenewa dan hukum-hukum lain (termasuk hukum Den Haag, Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan) dan kebiasaan perang.

1. P 1. P 1. P 1. P 1. Pelanggaran K elanggaran K elanggaran K elanggaran Keji (ICTY elanggaran K eji (ICTY eji (ICTY, P eji (ICTY eji (ICTY ,P ,P ,P , Pasal 2) asal 2) asal 2) asal 2) asal 2)

Masing-masing dari Konvensi Jenewa 1949 menyediakan daftar dari kejahatan yang dipertimbangkan sebagai “pelanggaran keji” dan pelanggaran terhadap ketetapan tersebut dilihat sebagai pelanggaran yang paling berat dari hukum humaniter internasional. Konvensi Jenewa secara khusus memberikan tanggung jawab kejahatan atas pelanggaran dari pasal-pasal Konvensi yang menjabarkan pelanggaran keji. Bahasa yang digunakan menganggap tanggung jawab kejahatan terhadap pelanggaran keji terdapat di dalam pasal yang memberikan persidangan terhadap tiap pelanggaran keji. Pasal 146 dari Konvensi Jenewa Keempat menyediakan:

Pihak dengan Kepentingan Tinggi menjalankan kebutuhan legislasi yang diperlukan untuk menyediakan sanksi tegas yang efektif bagi mereka yang melakukan, memerintah, akan melakukan bentuk-bentuk dari pelanggaran keji……

Pihak dengan Kepentingan Tinggi wajib untuk mencari orang yang diduga telah melakukan, atau memerintah atau akan melakukan pelanggaran-pelanggaran keji, dan membawa orang tersebut ke dalam pengadilan terlepas dari apapun kewarganegaraan mereka.

Pasal 147 dari Konvensi Jenewa Keempat, yang melindungi populasi penduduk sipil, menjabarkan pelanggaran keji sebagai: “pembunuhan terencana, penyiksaan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, termasuk eksperimen biologis, yang secara terencana mengakibatkan penderitaan atau luka serius pada tubuh atau kesehatan, deportasi yang tidak sesuai hukum atau penahanan yang tidak sesuai dengan hukum dari orang yang dilindungi.” [FN104] Peringatan di setiap Konvensi adalah bahwa pelanggaran keji harus dilakukan terhadap “orang atau properti yang dilindungi oleh” Konvensi tertentu. Pasal 50 dari Konvensi Jenewa Pertama, Pasal 51 dari Konvensi Jenewa Kedua, dan Pasal 130 dari Konvensi Jenewa Ketiga mendaftarkan pelanggaran keji serupa pada pelanggaran-pelanggaran yang terdapat di dalam Pasal 147 dari Konvensi Jenewa Keempat. Protokol II tidak menyebutkan pelanggaran keji, meskipun Protokol Tambahan I di dalam Pasal 11 (4) dan di dalam Pasal 85 sudah termasuk dan dikembangkan di dalamnya.

BUKU REFERENSI

Ada perbedaan pandangan mengenai apakah ketetapan untuk kejahatan pelanggaran keji dapat diterapkan untuk konflik non-internasional. [FN105] Seperti yang telah diobservasi oleh Profesor Meron: *310 *310 *310 *310 *310 “Tidak ada pembenaran moral, dan tidak ada alasan legal persuasif, untuk memperlakukan para pelaku kekejaman di dalam konflik internal dengan lebih ringan daripada pelaku kejahatan di dalam perang internasional.” [FN106] Negara memiliki hak untuk memberi hukuman terhadap pelanggaran keji melalui basis yurisdiksi universal. [FN107] Bahkan, meskipun terdapat perbedaan pendapat sebelum dibentuknya Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda mengenai apakah pelanggaran dari Konvensi Jenewa di luar dari ketetapan pelanggaran keji memberikan sanksi kriminal, Pengadilan telah berhasil membebaskan asumsi bahwa tanggung jawab kejahatan untuk pelanggaran khusus yang menyertakan unsur pelanggaran keji. [FN108]

Konvensi Jenewa tidak mendaftarkan kekerasan seksual sebagai pelanggaran keji secara khusus, meskipun kasus hukum telah mengkonfirmasikan bahwa kejahatan seksual telah ditanggulangi melalui ketetapan pelanggaran keji, terutama larangan akan “penyiksaan”, “perlakuan yang tidak berperikemanusiaan”, “perbuatan yang menyebabkan penderitaan secara sengaja”, dan “luka khusus terhadap tubuh atau kesehatan”. [FN109] Bahasa pelanggaran keji meluas dengan niatan untuk menyediakan perlindungan sebesar-besarnya untuk orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi, dan sudah terdapat konsensus umum bahwa ketetapan ini harus diinterpretasikan secara liberal.

Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa dalam rangka untuk menuntut pelanggaran keji dari Konvensi Jenewa, penuntutan harus membuktikan bahwa pelanggaran keji dilakukan terhadap orang atau properti yang dilindungi oleh Konvensi yang relevan. “Orang yang dilindungi” di bawah Konvensi Jenewa Keempat adalah “mereka yang berada di tangan Pihak konflik atau Kekuatan Pendudukan di mana mereka bukan warga negara.” [FN110] Pengadilan ICTY dan Dewan Banding telah menginterpretasikan ketetapan ini secara dermawan untuk memenuhi status “orang yang dilindungi” kepada sebanyak mungkin orang, termasuk korban yang dapat dipertimbangkan memiliki kewarganegaraan yang sama dengan mereka yang menimbulkan korban (contoh Pasukan Serbia Bosnia yang membuat Bosnia Muslim menjadi korban). [FN111]

*311 *311 *311 Pada prakteknya, ICTY telah membatasi dakwaan tuntutan “pelanggaran keji” Pasal 2. Bahkan, *311 *311 banyak tuntutan terhadap kejahatan perang dilakukan berdasarkan Pasal 3 dari Statuta tersebut, yang berarti bahwa tuntutan tidak perlu membuktikan bahwa konflik yang sedang terjadi merupakan konflik yang bersifat internasional pada waktu dan tempat kejadian sesuai dengan dakwaan, berhubung bukti- bukti demikian dapat memperpanjang proses pembuktian. Prasyarat untuk kejahatan Pasal 3 memerlukan bukti yang menyatakan bahwa kejahatan tersebut dilakukan di konflik bersenjata internal maupun internasional dan “berhubungan dekat” dengan konflik bersenjata. [FN112] Pelanggaran keji tidak termasuk di dalam terminologi Statuta ICTR karena konflik di Rwanda pada tahun 1994 dilihat sebagai karakter non-internasional.

2. Pelanggaran Hukum P 2. P 2. P 2. P 2. P elanggaran Hukum P elanggaran Hukum P elanggaran Hukum P elanggaran Hukum Perang atau K erang atau K erang atau K erang atau Kebiasaan P erang atau K ebiasaan P ebiasaan Perang (ICTY ebiasaan P ebiasaan P erang (ICTY erang (ICTY erang (ICTY erang (ICTY, P ,P ,P , Pasal 3) ,P asal 3) asal 3) asal 3) asal 3)

Pelanggaran serius dari hukum perang dan kebiasaan perang dapat dituntut sebagai kejahatan perang. Pasal 3 dari Statuta ICTY telah menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang memiliki fungsi residual “keseluruhan”. [FN113] Sesungguhnya, terdapat diskusi mengenai seberapa serius pelanggaran dari Konvensi Jenewa selain dari ketetapan pelanggaran keji yang dapat mendapatkan hukuman pidana. Pasal 146 dari Konvensi Jenewa Keempat mensyaratkan setiap negara untuk “mengambil tindakan yang diperlukan terhadap penekanan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketetapan dari … konvensi selain dari pelanggaran keji.” Memang, Meron telah menekankan dengan akurat bahwa “hanya karena Konvensi

PAPER KELLY D. ASKIN

Jenewa telah menciptakan kewajiban dari aut dedere aut judiciare hanya dengan mempertimbangkan pelanggaran keji bukan berarti bentuk pelanggaran lain terhadap Konvensi Jenewa tidak akan mendapatkan hukuman oleh pihak negara untuk Konvensi tersebut. “ [FN114] Oleh karena itu, hanya karena pelanggaran keji telah diatribusikan secara khusus kepada status “kejahatan perang”, bukan berarti tanggung jawab kriminal tidak dapat diikutsertakan ke dalam ketetapan lain. Dewan Banding ICTY telah mengartikulasikan persyaratan di mana sebuah tindakan sebaiknya dinilai sebagai pelanggaran serius dari hukum perang atau kebiasaan perang:

(i) pelanggaran terdiri dari pelanggaran dari peraturan hukum humaniter internasional; (ii) Peraturan bersifat sejalan dengan hukum kebiasaan atau, peraturan terdapat di dalam hukum perjanjian,

dan harus sesuai dengan kondisi yang disyaratkan...; (iii) pelanggaran harus bersifat ‘serius’, dengan kata lain, pelanggaran harus terdiri dari pelanggaran dari sebuah peraturan yang melindungi nilai penting, dan pelanggaran harus memiliki konsekuensi yang bersifat keji bagi para korbannya...;

(iv) pelanggaran dari peraturan harus berada di bawah hukum kebiasaan atau hukum konvensional, tanggung jawab kriminal individual dari orang tersebut melanggar peraturan. [FN115]

Saat ini sedang diperdebatkan pelanggaran serius dari hukum Den Haag dan Jenewa, Protokol Tambahan, dan hukum kebiasaan internasional, dalam memberikan tanggung jawab kriminal *312 *312 *312 *312 *312 atas pelanggaran ketetapan dari Konvensi Jenewa Keempat dan Protokol Tambahan yang melarang pemerkosaan, prostitusi paksa, dan bentuk pelecehan lainnya, yang mungkin saja dituntut. [FN116] Meskipun demikian, dalam prakteknya, kebanyakan dari kejahatan seksual maupun jender telah dituntut berdasarkan Pasal 3 dari Statuta ICTY dan Pasal 4 dari Statuta ICTR, melalui ketetapan Pasal Umum 3.

3. Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa (ICTR, Pasal 4) 3. Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa (ICTR, Pasal 4) 3. Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa (ICTR, Pasal 4) 3. Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa (ICTR, Pasal 4) 3. Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa (ICTR, Pasal 4)

Terminologi “Pasal Umum 3” merujuk kepada bahasa identik yang ditemukan di dalam Pasal 3 dari setiap Konvensi Jenewa 1949. Pasal Umum 3 dinilai sebagai “konvensi mini” di dalam Konvensi Jenewa, mengingat sesungguhnya pasal ini akan dijadikan pasal di dalam Konvensi yang akan ditujukan untuk menjabarkan perlakuan terhadap orang-orang di dalam konflik internal. Meskipun demikian, Pasal Umum

3 saat ini dikenal sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, yang dapat diaplikasikan di saat konflik bersenjata, baik itu konflik bersenjata internal maupun internasional. [FN117] Protokol Tambahan

II yang mengatur konflik internal, juga disertakan di dalam yurisdiksi dari Pengadilan Rwanda, dengan menggunakan pemakaian bahasa yang serupa. [FN118] Pasal Umum 3 mensyaratkan perlakuan yang manusiawi untuk diberikan kepada “orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif di dalam penahanan, termasuk anggota dari pasukan tentara yang menurunkan senjatanya dan mereka yang sakit, terluka, ditahan atau sebab lainnya.” Pasal ini secara eksplisit melarang tindakan-tindakan berikut ini: “(a) kekerasan terhadap kehidupan maupun terhadap seseorang, terutama pembunuhan, pemotongan, perlakuan kejam dan penyiksaan terhadap siapapun; … (c) Penghancuran martabat seseorang, terutama perlakuan yang bersifat memalukan atau menjatuhkan martabat seseorang.” [FN119]

*313 *313 *313 *313 *313 Meskipun Pasal Umum 3 tidak terdaftar secara eksplisit di dalam Statuta ICTY (di mana Pasal Umum 3 secara resmi dimasukkan di dalam Statuta ICTR), Dewan Banding ICTY telah menekankan secara konsisten bahwa Pasal Umum 3 telah dimasukkan di bawah bagian “hukum perang atau kebiasaan perang” dari Statuta ICTY. [FN120] Yurisprudensi Pengadilan, seperti yang telah didiskusikan pada dasarnya, mengkonfirmasikan bahwa Pasal Umum 3 telah mencakup berbagai macam bentuk kekerasan seksual. [FN121]

BUKU REFERENSI

ICTR telah memberikan sedikit kontribusi dalam mengembangkan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran serius dari Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang pernah didakwa sebagai penjahat perang oleh ICTR, sebagian besar disebabkan karena ICTR telah mengartikulasi, menginterpretasi dan mengaplikasikan rumusan kejahatan perang secara keliru. Meskipun demikian, pada tahun 2001, Dewan Banding ICTR menolak formulasi dan interpretasi Dewan Pengadilan dari ketetapan kejahatan perang berdasarkan Statuta, yang membiarkan beberapa keputusan Dewan Banding untuk membalik pembebasan kejahatan perang atau Dewan Pengadilan untuk menyediakan penghukuman sejak awal. [FN122] Oleh karena itu, akan ada paling tidak sedikit pengembangan marjinal dari ketetapan kejahatan perang mengenai konflik bersenjata internal untuk keputusan ICTR di masa depan. Perkembangan ini akan berguna karena kebanyakan dari konflik bersenjata kontemporer merupakan konflik internal, bukan internasional.

4. Kejahatan K 4. K 4. K 4. K 4. K ejahatan K ejahatan K ejahatan Kemanusiaan (ICTY ejahatan K emanusiaan (ICTY emanusiaan (ICTY emanusiaan (ICTY emanusiaan (ICTY, P , Pasal 5; ICTR, P ,P ,P ,P asal 5; ICTR, P asal 5; ICTR, Pasal 3) asal 5; ICTR, P asal 5; ICTR, P asal 3) asal 3) asal 3) asal 3)

Terminologi “kejahatan kemanusiaan” pertama kali muncul di dalam instrumen internasional di dalam Piagam Nuremberg, pada saat terminologi tersebut dimasukkan untuk menuntut pemimpin Nazi Jerman atas kekejaman yang mereka lakukan terhadap beberapa anggota dari kelompok populasi tertentu, termasuk penduduk Jerman, pada saat Perang Dunia Kedua. Meskipun IMT, IMTFE, CCL10, ICTY, ICTR dan Statuta ICC maupun Piagam ICC telah mendefinisikan cakupan dari kejahatan secara berbeda-beda, tetapi pada dasarnya, kejahatan kemanusiaan merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan (seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan) yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang dilakukan secara sistematis dan meluas yang ditujukan kepada populasi penduduk. [FN123] Kejahatan kemanusiaan dapat terdiri dari *314 *314 *314 *314 kejahatan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap penduduknya sendiri dan biasanya *314 memiliki tujuan yang mendiskriminasikan satu pihak. Pada prakteknya, penuntutan dan pemusnahan sering terlihat menjadi manifestasi kejahatan umum terhadap masalah kemanusiaan, dan penanganan ini seringkali berakhir pada penuntutan genosida. Pemerkosaan dapat dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan saat kejahatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang bersifat sistematis dan meluas; kekerasan seksual juga seringkali membentuk bagian dari tindakan yang tidak berperikemanusiaan terhadap kelompok lawan. Kejahatan pemerkosaan juga dapat dituntut sebagai kejahatan kemanusiaan di bawah ketetapan penganiayaan, penyiksaan, perbudakan, atau tindakan tidak berperikemanusiaan. [FN124]

Meskipun Statuta ICTY mensyaratkan adanya hubungan terhadap konflik bersenjata, Statuta mengeluarkan elemen tersebut sebagai persyaratan yuridis, sehingga bukti akan konflik bersenjata merupakan elemen pilihan terhadap kejahatan di pengadilan lain. [FN125] Dan meskipun Statuta ICTR menetapkan bahwa serangan dilakukan pada basis nasional, politik, etnis, ras, atau agama, Dewan Banding telah menginterpretasikan persyaratan tersebut sebagai hal penting yang perlu untuk dibuktikan hanya untuk tuntutan penganiayaan. [FN126] Bahkan, Statuta ICC telah melihat “jender” sebagai salah satu dasar diskriminasi untuk kejahatan penganiayaan. [FN127]

Hukum kasus telah mengkonfirmasi bahwa tindakan tertentu yang belum dapat dibuktikan (seperti pemer- kosaan) tidak perlu dilakukan secara sistematis maupun meluas – perbuatan tersebut hanya perlu membentuk serangan yang bersifat sistematis dan meluas. Oleh karena itu, serangannyalah yang harus bersifat sistematis dan meluas, bukan tindakan penganiayaannya yang membentuk bagian dari serangan. [FN128]

Dewan Banding ICTY telah mengkonfirmasi di bawah hukum kebiasaan internasional, dan seperti yang telah diaplikasikan oleh Pengadilan, persyaratan umum untuk kejahatan kemanusiaan adalah: “(i) harus ada serangan; (ii) tindakan pelaku harus menjadi bagian dari serangan; (iii) serangan harus ditujukan kepada

PAPER KELLY D. ASKIN PAPER KELLY D. ASKIN

*315 *315 *315 *315 *315 Pengadilan telah menginterpretasikan persyaratan hukum inti dari kejahatan kemanusiaan dan mengaplikasikannya ke fakta-fakta dari setiap kasus, mengembangkan yurisprudensi dari kejahatan ini. Mungkin, isu yang paling diperdebatkan adalah apakah “sistematis” berarti memerlukan adanya sebuah rencana atau kebijakan. Dewan Banding ICTY baru-baru ini telah menjawabnya dengan negatif, dengan menyatakan bahwa sebuah rencana ataupun kebijakan mungkin bersifat indikatif dari sifat sistematis kejahatan sehingga akan menjadi “bukti yang relevan”, tetapi hal tersebut bukan merupakan elemen legal dari kejahatan tersebut. [FN130]

5. Genosida (ICTY 5. Genosida (ICTY 5. Genosida (ICTY 5. Genosida (ICTY 5. Genosida (ICTY, P ,P ,P ,P , Pasal 4; ICTR, P asal 4; ICTR, P asal 4; ICTR, P asal 4; ICTR, Pasal 2) asal 4; ICTR, P asal 2) asal 2) asal 2) asal 2)

Statuta ICTY, ICTR dan ICC telah memproduksi kembali definisi dari genosida yang terdapat di dalam Konvensi Jenewa. [FN131] Pasal II dari Konvensi Genosida mendefinisikan genosida sebagai:

Salah satu dari tindakan-tindakan berikut, saat dilakukan dengan niatan untuk menghancurkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebuah kelompok kewarganegaraan, etnis, ras maupun kelompok agama: (a) pembunuhan terhadap anggota kelompok; (b) menyebabkan kerusakan mental atau fisik dari kelompok tersebut; (c)secara sengaja mengubah kondisi kehidupan kelompok yang telah dihitung dapat membawa kerusakan fisik secara keseluruhan maupun sebagian; (d) menjalankan tindakan dengan niatan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; (e) memaksa memindahkan anak dari satu kelompok ke kelompok lain. [FN132]

Genosida merupakan kejahatan internasional yang memberikan tanggung jawab kejahatan individual terhadap mereka yang melakukan atau memfasilitasi terjadinya kejahatan. [FN133] Hal tersebut didefinisikan secara menonjol dengan memiliki maksud. Maksud di sini adalah keinginan untuk menghancurkan, sebagian atau keseluruhan, sebuah kelompok kewarganegaraan, etnis, ras, maupun kelompok agama, melalui tindakan yang cocok dengan yang telah disebutkan di dalam daftar. [FN134] Meskipun genosida juga dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, [FN135] tren yang ada saat ini adalah untuk memisahkan kejahatan tersebut.

Proses penghancuran terhadap kelompok sasaran yang diinginkan tidak dibatasi oleh pemusnahan fisik. [FN136] Niatan untuk menghancurkan – sebagian atau keseluruhan, mental maupun fisik – kelompok manapun yang dilindungi dapat menjadi bukti dari genosida. Kemungkinan dari *316 *316 *316 *316 *316 sub-elemen kejahatan genosida tidak ekslusif secara mutual, dan terdapat lebih dari satu sub-elemen yang dilakukan semasa aplikasi dari proses penghancuran yang dapat atau biasanya terjadi. Kekerasan seksual dapat dimasukkan di setiap sub-elemen, [FN137] meskipun hal paling umum dalam menggunakan kejahatan seksual sebagai instrumen dari genosida adalah: (b) menyebabkan kerusakan mental maupun tubuh terhadap kelompok (seperti melalui pemerkosaan atau melanggar perempuan); [FN138] (c), mengubah kondisi kehidupan anggota kelompok untuk memberikan kematian secara perlahan (seperti melalui pemerkosaan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang yang terinfeksi dengan virus HIV/AIDS); dan (d) menjalankan tindakan dengan maksud untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok (seperti aborsi paksa atau keguguran paksa, sterilisasi paksa, pemotongan seksual, atau pemerkosaan oleh kelompok etnis yang berbeda di mana kebiasaan menerapkan bahwa sang ayah yang akan menentukan kelompok etnis dari anak tersebut). [FN139]

BUKU REFERENSI

Berbagai bentuk kekerasan seksual mungkin saja memiliki elemen genosida, bahkan pada saat hanya ada satu dari anggota kelompok yang dilindungi disakiti. [FN140] Apabila niatannya adalah untuk menyakiti (yaitu menghancurkan, sebagian atau keseluruhan) anggota dari kelompok yang dilindungi secara serius melalui metode-metode yang telah disebutkan, ditargetkan karena keanggotaannya di dalam kelompok, hal tersebut harus digolongkan ke dalam genosida. Seringkali tindakan destruktif akan menjadi salah satu dari banyak yang dihubungkan ke dalam pola yang lebih luas dari penghancuran yang bersifat random maupun sistematis. [FN141]

ICTR telah mengembangkan hukum genosida secara ekstensif. Setiap dakwaan di Pengadilan Rwanda telah menuntut genosida dan sebagian penuntutan telah berhasil. Sebaliknya, hanya ada sedikit persentase dari kasus genosida ICTY, dan sejauh ini, hanya ada satu tuntutan genosida yang telah berhasil di dalam Pengadilan Yugoslavia. Kasus Akayesu ICTR dan *317 *317 *317 *317 *317 kasus Krstic ICTY telah mengkontribusikan mayoritas dari yurisprudensi Pengadilan terhadap elemen dan cakupan dari genosida. [FN142]

Bagian berikut mengkaji kasus-kasus ICTY dan ICTR yang telah mengembangkan yurisprudensi paling signifikan yang berhubungan dengan kejahatan seksual dan jender.