Menuntut Kejahatan yang Berkaitan dengan Jender di dalam ICTY dan ICTR

III. Menuntut Kejahatan yang Berkaitan dengan Jender di dalam ICTY dan ICTR

Kejahatan yang dilakukan khusus terhadap perempuan dan anak perempuan telah membuat perbaikan, meskipun enggan untuk dilaksanakan di dalam Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda. Bagian ini akan mengkaji yurisprudensi dari lima kasus di Pengadilan yang telah mengembangkan hukum kejahatan yang berkaitan dengan jender secara ekstensif, seperti Pengadilan Akayesu, —elebií, Furundzija, Kunarac, dan Kvoèka. Kasus-kasus lain, seperti Tadic, Musema, Karadzic & Mladic, Milosevic, Krajisnik & Plavsic, Nikolic, Cyangugu, dan Butare, juga menyertakan bukti-bukti terhadap kejahatan yang berkaitan dengan jender dan berada pada tingkatan yang berbeda-beda di dalam pengadilan yudisial. [FN143] Penuntutan terhadap kejahatan jender di Pengadilan pada umumnya mengalami kesulitan dan hambatan, dan biasanya kejahatan akan diselidiki dan didakwa setelah adanya tekanan dari organisasi hak perempuan dan pelajar feminisme untuk menuntut kejahatan tersebut. Meskipun demikian kemajuan yang telah ada bukan merupakan revolusi yang pendek.

A. Keputusan Akayesu: Mengategorikan Pemerkosaan sebagai Instrumen Genosida

Kejadian Keputusan Dewan Pengadilan Akayesu diberikan oleh Pengadilan Rwanda pada tanggal 2 September 1998. [FN144] Keputusan tersebut membawa signifikansi hukum yang monumental: Hal tersebut memasukkan pemerkosaan dan segala bentuk dari kekerasan seksual yang digunakan sebagai instrumen dari genosida, dan juga kejahatan yang membentuk bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang ditujukan kepada penduduk, termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan. Ini merupakan penghukuman pertama atas genosida maupun kejahatan kemanusiaan untuk kekerasan seksual. Dewan Pengadilan juga mengartikulasikan definisi bergerak dari pemerkosaan dan kekerasan seksual di bawah hukum internasional, dan mengetahui penelanjangan paksa sebagai bentuk dari kekerasan seksual yang dinilai sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan ke dalam kejahatan kemanusiaan.

PAPER KELLY D. ASKIN

Pada kasus ini, Jean-Paul Akayesu, bourgmestre (sama dengan mayor) dari kelompok Taba di Rwanda, dituntut di dalam dakwaan asli dengan dua belas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang atas pembunuhan, pembantaian, penyiksaan, dan perlakuan kejam yang dilakukan terhadap kelompok Taba. Tidak ada tuntutan untuk kejahatan yang berkaitan dengan jender, terlepas dari fakta bahwa organisasi hak perempuan dan hak asasi manusia telah mendokumentasikan bukti-bukti ekstensif dari pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual di Rwanda, termasuk Taba. [FN145]

Selama proses persidangan, seorang saksi memberikan pengakuan secara spontan mengenai sebuah kelompok yang terdiri dari tiga prajurit Interahamwe yang memperkosa anaknya yang berusia enam tahun. Hal tersebut diikuti dengan pengakuan saksi berikutnya, yang mengatakan bahwa ia merupakan korban dan saksi dari pemerkosaan lain yang terjadi di Taba yang dilakukan oleh anggota milisia Hutu. Sebagai akibat langsung dari bukti ini, dan juga akibat dari desakan internasional untuk memasukkan kekerasan seksual dalam tuntutan melawan Akayesu, [FN146] pengadilan diadakan agar Kantor Jaksa (Office of the Prosecutor – OTP) dapat menyelidiki tuntutan kekerasan seksual dan mempertimbangkan untuk mengamandemen dakwaan agar dapat menyertakan tuntutan yang pantas bila bukti-bukti dari kejahatan dapat ditemukan di Taba, sehingga tanggung jawab individual maupun superior dari kejahatan tersebut dapat diberikan kepada Akayesu. [FN147] Satu hal yang juga penting dalam penyertaannya adalah kehadiran dari Hakim Navanethem Pillay dari Afrika Selatan, sebuah hakim yang memiliki keahlian ekstensif mengenai hukum hak asasi manusia internasional dan kejahatan yang berkaitan dengan jender.

*319 *319 *319 *319 Setelah penyelidikan mengungkap berbagai macam bukti kekerasan seksual yang dilakukan di Taba *319 oleh pria Hutu terhadap perempuan Tutsi, penuntutan mengubah dakwaan terhadap Akayesu dan menuntutnya dengan pemerkosaan dan “tindakan yang tidak berperikemanusiaan lainnya” sebagai kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dijumlahkan menjadi 13 – 15 Dakwaan yang diamandemen. Perhitungan genosida juga mereferensikan paragraf yang menduga kejahatan pemerkosaan, sehingga memberikan ruang untuk temuan dari pemerkosaan sebagai instrumen dari genosida apabila bukti-bukti menggiring kepada kesimpulan yang demikian.

Dewan Pengadilan Akayesu mendefinisikan pemerkosaan sebagai “invasi fisik dari sesuatu yang bersifat seksual, dilakukan terhadap seseorang di bawah keadaan yang dipaksakan.” [FN148] Kekerasan seksual, yang lebih luas daripada pemerkosaan, didefinisikan sebagai “tindakan apapun yang bersifat seksual yang dilakukan terhadap seseorang di bawah kondisi yang dipaksakan. Kekerasan seksual tidak hanya dibatasi pada invasi fisik dari tubuh manusia tetapi juga dapat menyertakan tindakan yang tidak melibatkan penetrasi atau bahkan sentuhan fisik.” [FN149] Di dalam Keputusan, penelanjangan paksa dilihat sebagai contoh dari kekerasan seksual yang tidak melibatkan kontak fisik. Terlebih lagi, Dewan Pengadilan juga menekankan bahwa jumlah dari pemaksaan yang diperlukan tidak perlu dalam bentuk pemaksaan fisik, seperti “ancaman, intimidasi, pemerasan dan bentuk lain dari paksaan yang memberikan rasa takut atau keputusasaan merupakan kondisi yang dipaksakan. Dewan juga telah menekankan bahwa kondisi yang dipaksakan bisa saja terdapat di dalam situasi konflik bersenjata atau pada saat anggota tentara, seperti milisi sedang hadir. [FN150]

Dewan Pengadilan mencatat bahwa pada saat yurisdiksi nasional telah mendefinisikan sejarah sebagai “hubungan seksual yang non-konsensus,” definisi yang lebih luas diberikan untuk memasukkan “tindakan yang melibatkan dimasukkannya objek dan/atau penggunaan dari lubang tubuh yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bersifat seksual secara intrinsik.”Dengan menyediakan contoh dari pengakuan sebelum persidangan dimulai, Dewan telah menetapkan tindakan dari “menusukkan sebatang kayu ke dalam organ seksual perempuan pada saat ia terkapar sekarat – dilihat sebagai pemerkosaan di dalam pandangan Pengadilan.” [FN151]

BUKU REFERENSI

Dewan Banding juga telah menambahkan bahwa kekerasan seksual termasuk di dalam cakupan dari “tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya” sebagai kejahatan kemanusiaan, “menginjak-injak martabat” dari ketetapan Statuta terhadap kejahatan perang, dan “kerusakan serius tubuh maupun mental” dari rumusan genosida. [FN152] Meskipun kejahatan pemerkosaan tidak dituntut sebagai penyiksaan di dalam Dakwaan yang diamandemen, Dewan Pengadilan menganalogikan aspek kejahatan pemerkosaan dan penyiksaan, mengingat bahwa pemerkosaan “merupakan bentuk dari agresi” dan elemen dari kejahatan “tidak dapat ditangkap di dalam deskripsi mekanik dari objek dan bagian tubuh.” [FN153] Dewan juga mencatat bahwa “seperti halnya dengan penyiksaan, pemerkosaan digunakan dengan maksud untuk mengintimidasi, menurunkan martabat, memalukan, mendiskriminasi, menghukum, mengendalikan atau menghancurkan seseorang. Seperti penyiksaan, *320 *320 *320 *320 *320 pemerkosaan merupakan pelanggaran dari harga diri pribadi, dan pemerkosaan pada faktanya juga terdiri dari penyiksaan” pada saat semua elemen dari penyiksaan telah terpenuhi. [FN154]

Keputusan telah mengetahui secara ambigu bahwa kekerasan seksual menghasilkan kerusakan ekstensif, dan hal tersebut sengaja digunakan selama periode kekerasan massal untuk menggoncang kelompok lawan – di dalam kasus ini adalah anggota kelompok Tutsi dan pendukung mereka. Keputusan dipaksa untuk melihat bahwa, di rezim genosida yang dilakukan oleh kelompok Hutu, kejahatan pemerkosaan dilakukan sebagai “bagian integral dari proses penghancuran.” [FN155] Hal tersebut menjelaskan bahwa “kekerasan seksual merupakan sebuah langkah di dalam proses penghancuran kelompok Tutsi – penghancuran jiwa, keinginan hidup dan kehidupan itu sendiri.” [FN156] Oleh karena itu, Pengadilan menekankan bahwa luka dan penderitaan yang dikarenakan oleh kekerasan seksual dapat berbuntut tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi kepada kelompok target secara kolektif, di dalam kasus ini, adalah kelompok Tutsi.

Tidak ada tuduhan yang menyatakan bahwa Akayesu sendirilah yang melakukan tindakan kejahatan tersebut. Dewan Pengadilan menyatakan bahwa ia dapat dinilai bertanggung jawab atas kekerasan seksual karena perannya dalam memerintah, menghasut atau membantu dan bersekongkol melaksanakan pemerkosaan, memaksa penelanjangan publik, dan pemotongan seksual, sehingga dilihat telah memfasilitasi kejahatan tersebut. [FN157] Ia melakukannya melalui kehadirannya, kelalaiannya, atau perkataannya yang mendorong anak buahnya selama atau sebelum mereka melakukan kekerasan seksual. Pada akhirnya, Pengadilan telah menemukan bahwa Akayesu memiliki tanggung jawab kejahatan untuk beberapa kejahatan, termasuk berbagai macam bentuk kekerasan seksual, yang dilakukan oleh pria Hutu terhadap perempuan Tutsi dan Perempuan Tutsi di dalam dan di sekitar kelompok Taba. Dewan Pengadilan menentukan bahwa “melalui wewenangnya,” yaitu kehadiran Akayesu dan dorongannya “telah memberikan tanda yang jelas akan toleransi yang akan ia berikan secara resmi” untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. [FN158] Hasilnya, Pengadilan mendakwa Akayesu untuk bertanggung jawab secara individual terhadap kejahatan seksual tersebut.

Dalam mencari tahu apakah Akayesu bersalah atas kasus pemerkosaan sebagai kejahatan kemanusiaan, Dewan menemukan bahwa: “serangan sistematis dan meluas terhadap populasi penduduk etnis Tutsi terjadi di Taba, dan di Rwanda, antara 7 April sampai akhir Juni 1994. Pengadilan juga menemukan bahwa tindakan pemerkosaan dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan lainnya terjadi dekat kantor komunal Taba dilakukan sebagai bagian dari serangan ini.” [FN159]

Seperti yang telah tercatat di atas, Dewan Pengadilan juga menyatakan bahwa Akayesu bertanggung jawab atas kejahatan pemerkosaan yang dilakukan di dalam konteks genosida. Dengan menemukan bahwa kejahatan pemerkosaan “termasuk genosida sama dengan tindakan lainnya selama tindakan tersebut

PAPER KELLY D. ASKIN PAPER KELLY D. ASKIN

Banyak perempuan Tutsi yang dipaksa untuk memikul penderitaan atas tindakan kekerasan seksual, pemotongan dan pemerkosaan, seringkali dilakukan secara berulang-ulang, seringkali dilakukan di depan umum dan dilakukan oleh lebih dari satu pelaku. Perempuan Tutsi diperkosa secara sistematis, di mana satu korban perempuan bersaksi dengan mengatakan “setiap kali Anda bertemu dengan pemerkosa, mereka akan memperkosa Anda.” Banyak insiden dari pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan Tutsi terjadi di dalam atau di dekat Kantor komunal. Telah terbukti bahwa beberapa dari polisi komunal yang dipersenjatai dengan pistol dan mereka ada di sana pada saat pemerkosaan dan kekerasan seksual ini sedang terjadi. [FN161]

Keputusan menilai bahwa pemerkosaan seringkali diikuti dengan kematian, tetapi beberapa kali, perempuan tetap ditinggal dalam keadaan hidup karena mereka berpikir bahwa kondisi setelah diperkosa merupakan kondisi yang bahkan lebih buruk dibandingkan kematian.

Secara keseluruhan, Dewan Pengadilan menghukum Akayesu dengan sembilan tuntutan dari tiga belas tuntutan yang diberikan terhadapnya sesuai dengan dakwaan yang telah diamandemen. Ia terbukti bersalah atas genosida dan kejahatan kemanusiaan akan pembantaian, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan. Untuk kejahatan-kejahatan tersebut, Dewan Pengadilan menghukumnya dengan hukuman penjaran seumur hidup. [FN162] Keputusan Dewan Banding ICTR diberikan pada tanggal 1 juni 2001, setelah Keputusan Dewan Pengadilan. [FN163]