Perbedaan Referensi Terhadap Perempuan di dalam Dokumen Hukum Humaniter Internasional

A. Perbedaan Referensi Terhadap Perempuan di dalam Dokumen Hukum Humaniter Internasional

Instrumen hukum humaniter internasional menyediakan panduan umum dan khusus mengenai perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi semasa periode konflik bersenjata; meskipun demikian, perlindungan bagi perempuan masih dirasa minim dan lemah. Hukum perang mengatur segalanya dari mulai jumlah kartu minimal atau jumlah surat minimal yang dapat diterima oleh tahanan perang setiap bulannya, sampai pada ketetapan yang mensyaratkan kesempatan bagi para tahanan untuk berpartisipasi di dalam kegiatan olah raga luar, sampai jumlah kapan perang maksimal yang boleh dimiliki oleh negara yang sedang berperang pada satu waktu di pelabuhan dari kekuatan netral. [FN35] Meskipun sudah terdapat fakta adanya peraturan yang melindungi warga sipil dan prajurit yang telah dijabarkan secara rinci, sedikit sekali terdapat penjabaran mengenai prajurit perempuan maupun warga sipil perempuan. Hal yang sama juga terjadi pada koleksi dokumentasi sidang kejahatan perang. Contoh:

*295 *295 *295 – dari seluruh Peraturan dan Konvensi Den Haag, satu pasal (IV, pasal 46) secara samar dan tidak *295 *295 langsung melarang kekerasan seksual sebagai pelanggaran dari “kehormatan keluarga.”

- Volume empat puluh dua set dari transkrip Pengadilan Nuremberg terdiri dari 732 halaman indeks. Tidak ada judul “pemerkosaan” maupun “perempuan” yang terdapat di dalam indeks ini, meskipun dokumen mengenai kekerasan terhadap perempuan banyak terdapat di dalam transkrip ini. [FN36]

- Di dalam lima indeks tambahan untuk volume dua puluh dua yang mendokumentasikan Pengadilan Tokyo, “pemerkosaan hanya ditulis di bawah sub-judul “kekejaman.” Bahkan pada saat itu, empat referensi telah didapatkan, yang merepresentasikan porsi kecil dari jumlah terjadinya pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual yang disertakan di dalam transkrip Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh. [FN37]

- Empat Konvensi Jenewa 1949 hadir setelah Perang Dunia Kedua dan setelah Pengadilan Kejahatan Perang Nuremberg dan Tokyo. Di dalam 429 pasal yang mempengaruhi empat Konvensi Jenewa 1949, hanya ada satu kalimat dari satu pasal (IV, pasal 27) yang melindungi perempuan dari “pemerkosaan” dan “prostitusi yang dipaksakan” secara eksplisit dan hanya ada beberapa ketetapan lainnya yang dapat diinterpretasikan sebagai pelarangan kekerasan seksual.

- Deklarasi mengenai Perlindungan Bagi Perempuan dan Anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata 1974 mengabaikan referensi terhadap kekerasan seksual [FN38]

- Di dalam dua Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1977, hanya terdapat satu kalimat yang melarang kekerasan seksual secara eksplisit (Protokol I, pasal 76; Protokol II, pasal 4).

BUKU REFERENSI

Perempuan dan anak perempuan telah secara habitual dianiaya secara seksual selama masa perang, bahkan di abad keduapuluhsatu ini, dokumen yang mengatur konflik bersenjata masih dirumuskan secara minim, memiliki karakteristik yang kurang layak, dan gagal mengungkapkan adanya kejahatan-kejahatan tersebut. Sampai pada tahun 1990-an, pria menyusun naskah dan menegakkan ketetapan hukum humaniter; sehingga pada dasarnya, prialah yang telah lalai dalam menjumlahkan, menghukum dan menuntut kejahatan-kejahatan tersebut. [FN39]

Meskipun pria selama ini telah menjadi aktor utama di dalam fora internasional (dan domestik), perempuan telah berhasil *296 *296 *296 memecahkan tradisi tersebut dengan mengamankan posisi tingkat tinggi di dalam *296 *296 institusi hukum internasional dan di dalam badan adjudikatif internasional. [FN40] Sangatlah tidak mungkin untuk mengulang kembali betapa pentingnya isu-isu terhadap perempuan, kejahatan jender dan permasalahan hukum secara umum untuk melibatkan perempuan di dalam posisi pengambil keputusan di dalam fora internasional, terutama di dalam struktur Persatuan Bangsa-Bangsa, sebagai hakim, jaksa dan pencipta damai.