B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalah di dalam penulisan skripsi adalah 1.
Bagaimana Kedudukan Lembaga Adat di Indonesia menurut peraturan per UU?
2. Bagaimana Peranan Lembaga Adat Dalian Natolu Dalam
Menyelesaiakan Terjadinya Suatu Peristiwa Pidana? 3.
Tindak Pidana Apa Saja Yang Dapat Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui kedudukan lembaga adat di indonesia 2.
Untuk mengetahui peranan lembaga adat dalian natolu dalam menyelesaiakan terjadinya suatu tindak pidana
3. Untuk mengetahui tindak pidana apa saja yang dapat di selesaikan
melalui Lembaga Adat Dalihan Natolu di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal
Disamping tujuan yang akan di capai sebagai mana di kemukan di atas maka penulis skripsi ini juga bermanfaat antara lain
1.
Manfaat teoritis penulisan ini dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya
mengenai cara penyelesaian perkara atau pristiwa pidana di selesaikan melalui hukum adat mandailing
2.
Manfaat secara praktis dapat menjadi subangsih bagi pemerintah, peradilan, dalam pelaksaan penyelesaian perkara pidana yang di selesaian
di lingkungan adat, juga sebagai kajian akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana dalam penyelesaian
perkara di lingkungan adat mandailing.
D . Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul peranan lembaga adat dalam menyelesaikan perkara pidana studi kasus di desa huraba kecematan siabu
mandailing natal adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Sepengetatahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya,
klaupun ada penulis yakin substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.
E Tinjauan Pustaka 1.
Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
6
sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan
suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian
7
yang abstrak dari peristiwa- peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa
8
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan
pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang
6
Mohammad Ekaputra,
Dasar-Dasar Hukum Pida na Edisi 2
,
Medan: USU Press ,2010
hal. 73.
7
.
Kartonegoro,
Diktat Kuliah Hukum Pidana
,
Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa
, hal. 62
8
.Moeljatno,
Asas-asas Hukum Pidana
,
Jakarta: Bina Aksara, 1987
, hal. 56
tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang
menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian
dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan
larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH,
9
berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila
tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bag
i barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan
akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.
DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari
9
Poernomo, Bambang.
Asas-asa s Hukum Pidana
, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130
perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
10
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan
sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing
stafbaar feit
namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah
sratfbaar feit
dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan
terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu
juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat
reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. Diktat Kuliah Asas-asas Hukum Pidana .
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas
dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas
Principle of legality
asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine
10
Ibid, hal 130
praevia lege tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu, ucapan ini berasal dari v
on feurbach
, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi
untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan.
Dikatakan bahwa kesengajaan
dolus
dan kealpaan
culpa
adalah bentuk- bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan s
chuld
yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak
11
pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang
11
. Kartonegoro, Opcit, hal 156
mengaturnya. Adapun yang menjadi unsur – unsur dari tindak pidana,
yaitu :
Unsur formal : Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak
berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah
ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan
dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang
hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur
kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu
dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang
disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Pertanggungjawaban yang menentukan
bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang
terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material : Dalam hal ini tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum,
yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi
rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur
tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif
berbuat sesuatu, misal membunuh Pasal 338 KUHP, menganiaya Pasal 351 KUHP. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini
terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan Pasal 338 KUHP, penganiayaan Pasal 351
KUHP, dan lain-lain. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam
perumusan. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan
hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan Pasal 160 KUHP, melanggar kesusilaan Pasal 281 KUHP, pengemisan Pasal 504
KUHP, mabuk Pasal 561 KUHP. Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana, yaitu terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya
akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang Pasal 333 KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama 8 delapan tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara
paling lama 12 dua belas tahun. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana misalnya dengan
sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang Pasal
123 KUHP. Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi : Kesengajaan dolus, dimana hal ini terdapat di dalam
pelanggaran kesusilaan Pasal 281 KUHP, perampasan kemerdekaan Pasal 333 KUHP, pembunuhan Pasal 338. Kealpaan
culpa
, dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan Pasal 334 KUHP, dan
menyebabkan kematian Pasal 359 KUHP, dan lain-lain. Niat
voornemen
, dimana
hal ini
terdapat di
dalam percobaan
atau pogingPasal 53 KUHP Maksud
oogmerk
, dimana hal ini terdapat dalam pencurian Pasal 362 KUHP, pemerasan Pasal 368 KUHP,
penipuan Pasal 378 KUHP, dan lain-lain. Dengan rencana lebih dahulu
met voorbedachte rade
, dimana hal ini terdapat dalam membuang anak
sendiri Pasal 308 KUHP, membunuh anak sendiri Pasal 341 KUHP, membunuh anak sendiri dengan rencana Pasal 342 KUHP.
2. Pengertian Lembaga Adat
Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata lembaga
12
dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian
literatur tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi
sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari
interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.
Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-
peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar.
Sedangkan menurut pengertian lainnya, lembaga adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adapt yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan
12
Saragih,
pengantar hukum adat indonesia, bandung :tarsito,1984
berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat. Kemudian yang dimaksud dengan lembaga adat menurut
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 23 Tahun 2007 tentang lembaga adat ialah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah
Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung pembangunan.
Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga
Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau
dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu
masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan
dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut.
a. Fungsi Lembaga Adat
Lembaga Adat berfungsi bersama
13
pemerintah merencanakan,mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:
1 Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
2 Penengah Hakim Perdamaian mendamaikan sengketa yang
timbul di masyarakat. Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu :
3 Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
4 Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
5 Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.
6 Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya,
Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat
13
Imam soedijat,
Hukum Adat Sketsa Adat yogyakarta : Liberty, 1981
b. Wewenang Lembaga Adat
Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi : 1
Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat tersebut.
2 Mengelola hak-hak danaau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. 3
Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat sepanjang
penyelesaiannya tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4
Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa adat.
5 Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan
pada tingkat desa 6
Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupatenkota desa adat tersebut berada.
c. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu :
1 Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang
menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. 2
Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya
daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya nasional.
3 Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah
adat tersebut. 4
Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan danatau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat hukum adat setempat. 5
Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama
pemerintah desakelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.
6 Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan
masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
7 Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan
antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah. 8
Mengayomi adat istiadat 9
Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan, kelompoklembaga maupun pemerintah tentang masalah adat
10 Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di
tetapkan 11
Membantu penyuratan awig-awig 12
Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
E. Pembinaan Lembaga Adat
Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa
adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai , melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan hubungan manusia
dengan manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah
kebudayaan masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan
bermanfaat dalampembangunan dan ketahanan nasional.
F. Pembiayaan Lembaga Adat
Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN, Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah APBD Propinsi, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD KabupatenKota, Berta sumber-sumber lainnya yang tidak
mengikat.
3. Hukum Pidana Adat
a. Persekutuan hokum adatpersekutuan yang
14
berdasarkan hubungan darah keluarga, marga, paruik dapat dimintai pertanggung jawaban pidana
yang dilakukan oleh warganya. b.
Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.
c. Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person hanya menjadi
persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya. d.
Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman.
e. Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan
atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika
dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
f. Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim
sendiri g.
Siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu.
h. Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja,
karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu.
14
Sri warjiati,
memahami Hukum Adat
i. Hakim dalam mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si
pelanggar itu merasa menyesal. Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang
tidak pernah terwujud.
15
Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum hasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik
negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti
jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal.Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian
keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk
diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan
adat. Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun
waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama
melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement
rechtsspraak“ peradilan gouvernement terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda.
15
http
www.hukumonline.com
pradilan hukum adat
Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta
kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi
mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum
adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada
tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada
kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi.
Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang
terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosiall yang mereka anut. Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang
seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai
peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat.Sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak
lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari
luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara,
16
peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem
peradilan, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik,
hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai
keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara
tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.
Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat itiadat dapat disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. lihat Ter
Haar – teori Beslissingen. Para warga masyarakat pada umumnya bersedia
melakukan sesuatu ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya, bukan hanya karena ketentuan itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas
hukum, tetapi karena kesadaran bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah sepantasnya ditaati oleh segenap warga masyarakat.
Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain yang menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang
sempurna, ialah:
16
http: kolomilmu.comsejara-penemuan-hukum-adat.html
1 Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada
masyarakat ; 2
Sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi; 3
Sesuai dengan perkembangan masyarakat ; 4
Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.
Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya harus :
1 Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. berpegangan
pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ; 2
Berdasarkan adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas hukum sebelumnya ;
3 Harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat; Berdasarkan uraian diatas hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang
dibutuhkan sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan masyarakat, karena
17
kesadaran hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang timbul
dalam masyarakat. Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada :
1 Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ;
17
Imam Sudiyat,
Asas-asas Hukum Adat
2 Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam
masyarakat ; 3
Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ; 4
Putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ; 5
Putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih dapat dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak mendapatkan putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana
putusan yang lampau itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus mencarinya dalam kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan
memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu Prof.Djojodigoeno : 1
Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama taat;
2 Keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan
ukuran dinamik, guna meng ejar “tata masyarakat yang adi; dan
3 Individualita masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis.
Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu perkara menurut hukum adat dapat berupa :
1 Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih
mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 2
Tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada, melainkan memberi penetapan baru, bilamana menurut keyakinan dan rasa keadilan hakim,
aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
3 Hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal
sebagai berikut; 4
Peristiwafaktanya tidak terang siapa yang salah 5
Hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas; 6
Kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat.
Sejak zaman Hindia Belanda sd lahirnya UU No.1drt1951 11-1-1951 belum ada unifikasi dalam kekuasaan peradilan, karena masih ada 5 macam
tatanan peradilan yang berlaku yakni
18
:
1 Tatanan Peradilan Gubernemen
Gouvernement rechtspraak
; 2
Peradilan Pribumi
Inheemsche rechtspraak
, yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri
dengan hakim-hakim pribumi. 3
Berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang Peradilan Gubernemen Ps.
130 IS. 4
Peradilan Swapradja
Zelfbestuursrechtspraak
, terdapat di daerah-daerah swapradja;
18
Bewa Ragawino,
pengatar dan Azas asas hukum a dat
Pada zaman Hindia Belanda pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta,
Mangkunegaran Surakarta mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan
terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan kaula swapradja di luar itu menjadi wewenang peradilan gubernemen.Dapat mengadili perkara pidana yang
mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara kerajaan, disamping perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja.
Peradilan Agama
Raad Agama
yang ada di daerah-daerah HINDIA BELANDA, baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan
PA sebagai bagian dari Peradilan PribumiPeradilan Swapradja dan Peradilan Desa
Dorps rechtspraak
, yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan Peradilan Adat. Dilakukan secara majlis oleh para kepala
desakepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan.
Dari 4 macam tatanan peradilan tersebut yang melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum dat sebagai landasan mengadili perkara ialah 2,3
dan 4. Pluralisme dalam sistem peradilan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam kewenangan badan-badan peradilan dan perbedaan perlakuan
hukum terhadap WNI. Berdasarkan UU No.1drt1951 diadakan unifikasi susunan dan kekuasaan pengadilan dengan menghapuskan semua peradilan adat, sehingga
wewenang mengadili perkara pelanggaran hukum adat diserahkan kepada PN.
F METODE PENELITIAN
1. Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode
penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara
yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.
19
Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum obyektif norma hukum, yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif hak dan kewajiban
20
2. Penelitian
yang dilakukan
bersifat deskriptif
yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap
suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang
diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke
–
11
. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2009
, hal. 13 –14.
20
Hardijan Rusli, “
Metode Penelitian Hukum Normatif
: Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hal. 50
azas-azas hukum
“
rechsbeginselen
” yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis
3. Sumber data
a Data primer Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang
–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis
gunakan di dalam penulisan ini yakni Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang darurat no. 1 tahun 1951
b Data skunder Bahan hukum sekunder itu diartikan
sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari
21
suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti
akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin
–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c Data tersier Bahan hukum tersier
22
adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hal. 32.
22
Ibid.
dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum
4. Teknik pengumpulan data a
Dengan study pustakan dengan buku buku yang ada b
Dengan wawancara dengan pemungka adat yaitu dengan bapak karya adat selaku salah satu tokoh
atau salah satu ketua adat yang ada di desa Huraba, kecamatan Siabu, kabupaten Mandailing Natal
4. Analisis data
23
analisis kualitatif Tahap akhir adalah analisis data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dilakukan
dengan pendekatan.
G. SITEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat
pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang
dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
23
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2009
, hal. 93.
Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana dan pengertian lembaga adat serta hukum
pidana adat. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II Kedudukan Lembaga Adat Di Indonesia
Bab ini akan memberikan pemaparan tentang kedudukan lembaga adat dalam per undang undangan , kedudukan lembaga adat dalam perspektif undang
undang dasar 1945, hukum adat dalam undang undang no 1 tahun 1951 dan hukum adat dalam undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok
agraria serta bentuk bentuk masyarakat hukum adat
BAB III Peranan Lembaga Adat Dalain Natolu Dalam Menyelesaikan Suatau Pristiwa Pidana
Pada bab ini penulis akan membahas tentang unsur unsur lembaga adat dalain natolu , fungsi dalian natolu dalam hukum adat , faktor faktor penyebab
masyarakat memilih dalian natolu sebagai lembaga adat dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana. Mekanisme kerja lembaga adat dalian natolu dalam
menyelesaikan suatu pristiwa pidana
BAB IV Tindak Pidana Apa Saja Yang Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu
Pada bab ini macam macam tindak pidana apa saja yang di lemabag adat dalian natolu di desa huraba kec. Siabu kab. Mandailing natal , tata cara
penyelesaian pristiwa pidana pidana di lembaga adat adat dalian natolu di desa huraba kec.siabu.kab . mandailing natal
Bab V Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah
– masalah yang telah dibahas pada bab
– bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak .
BAB II KEDUDUKAN LEMABAGA ADAT DI INDONESIA
A. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan
Tidak dapat disangkal bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai tata hukumnya sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa
itu sendiri, termasuk Indonesia. jauh sebelum kemerdekaan, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mempunyai
sistem hukumnya sendiri yang digunakan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat yang disebut dengan hukum adat.
24
Hukum adat dikenal juga sebagai hukum yang hidup
the living law
karena hukum adat merupakan suatu hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat namun belum dikembangkan secara ilmiah.
25
Istilah
the living law
digunakan untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat
26
. Hukum adat sebagai
the living law
adalah pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum berproses
24
Djamanat Samosir.
Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia
.
Bandung: Nuansa Aulia,2013
h 1
25
Ibid
., halaman 33
26
Ibid
., halaman 34
dan sekaligus juga merupakan hasil dari proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar dari hukum itu seperti, kebutuhan hidup masyarakat, cara hidup
masyarakat, pandangan hidup masyarakat, dan lain sebagainya.
27
Dalam sistem hukum Indonesia, hukum adat disebut dengan hukum tidak tertulis
unstatuta law
yang berbeda dengan hukum tertulis
statuta law
.
28
Perbedaannya adalah bahwa hukum tertulis dibuat dengan kata-kata yang tidak dapat berubah tanpa diadakannya suatu perubahan sehingga hukum tertulis tidak
mencerminkan lagi apa yang hidup dalam masyarakat.
29
Sedangkan hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai
budaya sebagai cipta dan rasa manusia, yang artinya adalah bahwa hukum adat tumbuh berkembang mengikuti pola pikir dan pola hidup yang hidup dalam
masyarakat. Hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban
manusia.
30
Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama kesepakatan dan merupakan karya bersama secara bersama
milik sosial dari suatu masyarakat hukum adat. Setelah kemerdekaan, muncul masalah mengenai eksistensi hukum adat
dalam sistem hukum Indonesia yang dikarenakan hukum adat tersebut bentuknya tidak tertulis atau tidak dikodifikasikan serta tidak ada definisi yang jelas
mengenai hukum adat. Selain itu, sudah menjadi pandangan umum bahwa suatu
27
Ibid
., halaman 6
28
Loc.Cit., halaman 1
29
Ibid., halaman 37
30
Ibid., halaman 2
hukum dirumuskan dan ditetapkan oleh pejabat atau lembaga tertentu yang berwenang
31
. Namun, hukum adat tetap memiliki kedudukan dalam sistem hukum di Indonesia dan hukum adat sebagai hukum yang hidup akan tetap menjadi
pelengkap dari hukum nasional, selain itu penyebutannya sebagai hukum tidak tertulis tidak mengurangi perannya dalam memberikan aturan-aturan yang tidak
ada di dalam hukum tertulis. Walaupun pembentukan hukum tidak tertulis berbeda dengan hukum tertulis, hukum tidak tertulis dalam hal ini hukum adat
tetap mempunyai kekuatan yang legal karena masyarakat mentaatinya. Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan perundang-
undangan adalah bahwa sistem hukum nasional Indonesia lebih mendahulukan hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis apabila terjadi masalah hukum, tetapi
jika hukum tertulis tidak mengatur perihal masalah hukum tersebut maka hukum tidak tertulislah yang mengaturnya. Jadi, peran hukum tidak tertulis bersifat
mengisi terhadap hukum tertulis dimana, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis saling melengkapi meskipun hukum tertulis lebih diutamakan. Artinya,
terdapat superioritas UU di atas hukum adat dimana bahwa pengakuan dan berlakunya hukum adat tergantung kepada hukum yang berlaku.
32
Berikut adalah kedudukan hukum adat dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia:
1. Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945
Pada sejarahnya, hukum adat telah ada sejak masa kolonial, bahkan pra kolonial. Pada masa pra-kolonial, hukum yang berlaku adalah hukum asli
31
Ibid., halaman 5
32
Ibid., halaman 45
bangsa Indonesia yang dianggap masih murni dari pengaruh-pengaruh asing, walaupun pada perkembangannya terjadi perubahan-perubahan dalam hukum
asli bangsa Indonesia tersebut akibat adanya interaksi dengan bangsa-bangsa asing dan nilai-nilai agama. Pada masa kolonial, beberapa para ahli hukum
menyadari bahwa selain hukum Eropa, di Indonesia juga berlaku hukum adat sehingga pemerintahan kolonial Belanda tetap memberlakukan hukum adat
bagi masyarakat pribumi.
33
Sistem hukum Indonesia mengenal hukum tertulis dan tidak tertulis dimana pengakuan atas keberadaan hukum tidak tertulis
secara tersurat ada dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “ berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah peraturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”. Hukum tertulis meliputi Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945,
Ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya, adapun hukum tidak tertulis meliputi kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan fungsi kenegaraan, hukum adat, dan hukum kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan masyarakat. Hukum tidak tertulis terbentuk bukan karena ditetapkan oleh pimpinan masyarakat, melainkan tumbuh dari berbagai tahapan yang
dimulai dari kebiasaan, lalu ke tata kelakuan, kemudian ke adat istiadat, dan terakhir menjadi norma hukum. Semua tahapan tersebut berlangsung secara
33
Ibid., halaman 23-26
terus-menerus dalam waktu tertentu dan diterima serta dilaksanakan secara kontinu oleh masyarakat.
34
Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman penjajahan secara tegas
dimaksudkan sebagai hukum bagi golongan Bumiputera Pasal 131 IS.
35
Pada hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, adalah tahap awal
berkembangnya konsep pemikiran dan pandangan bahwa hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia. Konsep tersebut terlihat dalam tiga dokumen negara
yaitu, Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan Penjelasan UUD 1945.
36
Setelah merdeka, selain masih menganut pluralisme hukum berdasarkan Aturan Peralihan pasal II UUD 1945, yang antara lain masih
menempatkan hukum adat sebagai hukum masayarakat pribumi. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan untuk mengangkat hukum
adat sebagai sumber hukum nasional.
37
Namun pada kenyataannya, konstitusi Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat,
tetapi apabila ditelaah secara mendalam dapat disimpulkan bahwa secara sungguh-sungguh rumusan yang ada di dalam UUD 1945 mengandung nilai
luhur dan jiwa hukum adat. Contoh, pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,
yang pada dasarnya diilhami dari hak ulayat yang secara tradisional diakui
34
Ibid., halaman 44-45
35
Ibid., halaman 45
36
Ibid., halaman 27
37
Loc.Cit., halaman 45
dalam hukum adat. Baru setelah amandemen terhadap konstitusi Indonesia hukum adat diakui sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 18B ayat 2
UUD 1945 bahwa, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Artinya, konstitusi
Indonesia memberikan jaminan pengakuan dam penghormatan terhadap hukum adat apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a realitas, bahwa hukum adat masih hidup dan sesuai dengan
pekembangan masyarakat. b
idealitas, bahwa sesuai dengan prinsip NKRI dan keberlakuan diatur dalam UU , sepeti dalam pasal 28I ayat
3 UUD 1945 yang menegaskan penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban manusia.
2. Hukum adat dalam undang undang darurat no 1 tahun 1951
Landasan berlakunya hukum tidak tertulis legalitas Materiil sebagai dasapemidanaan di Indonesia, telah dirumuskan dalam :
38
1. Undang-undang Darurat nomor 1 Tahun 1951 L.N 9 1951 Pasal 5 ayat 3 sub b yaitu Hukum
Materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang
38
https:rudini76ban.wordpress.com20090607landasan-berlakunya-hukum-pidana- adat-di-indonesia di akses pada tanggal 17 september 2015
dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula – kaula dan
orang itu, dengan pengertian:
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara danatau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan yang terhukum, dan Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman penjara dan atau denda, yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan penjara dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut pengertian hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas, dan
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan bandingnya yang mirip kepada perbuatan pidana. Rumusan pasal 5 ayat 3 b Undang Undang
Darurat No. 1 tahun 1951 memberikan pemahaman : a
Tentang tindak pidana diukur menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Tindak pidana demikian itu bila terjadi,
maka pidana adatlah sebagai sanksinya.
b Apabila terpidana adat tidak mengikuti putusan pengadilan
adat tersebut, maka pengadilan negeri setempat dapat memutus perkaranya berdasar tiga kemungkinan.
1 Tidak ada bandingnya dalam KUHP
2 Hakim beranggapan bahwa pidana adat melampui
dengan pidana penjara dan atau denda seperti tersebut dalam kemungkinan 1
3 Ada bandingnya dalam KUHP
c Bahwa berlaku tidaknya legalitas materiil ditentukan oleh
sikap atau keputusan terpidana untuk mengikuti atau tidak mengikuti
putusan pengadilan
adat. Jika
putusan pengadilan adat diikuti oleh terpidana, maka ketika itulah
legalisasi materiil berfungsi. Berfungsinya legalisasi materiil disini merupakan hal yang wajar karena tindak
pidana yang dilakukan pelaku adalah murni bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat hukum tidak
tertulis.
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 5 ayat 1 :” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”. Kata “menurut hukum” dapat diartikan secara luas mencakup legalisasi formil dan materiil. Pasal tersebut
merupakan petunjuk bagi hakim untuk senantiasa memperhatikan peraturan tertulis dan hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, apabila hendak
menegakkan keadilan. Pasal 14 ayat 1: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Jika “hukum” yang dimaksud dalam rumusan diatas adalah hanya
yang tertulis, sedangkan hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukum tertulis tidak secara nyata mengaturnya.
Dengan demikian hakim harus menggali hukum yang tidak tertulis hukum yang hidup.
Pasal 23 ayat 1:” Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan- alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Pasal 27 ayat 1 :” Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”
3. HUKUM ADAT DALAM UNDANG UNDANG NO 5 TAHUN
1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK AGRARIA
Hukum adat dalam UU Nomor 5 tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat adat.
39
Dalam Pasal 5 UU No. 5 tahun 1960 ditegaskan : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia beserta dengan peraturan yang tercantum dalam Undang – Undang ini
dan dengan peraturan undang – undang lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur – unsur yang bersumber pada hukum agama.
Dalam penjelesan Undang – Undang disebutkan : Hukum adat yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia internasional beserta sesuai dengan
39
Dr. Dewi sulastri, s.h.,M.H
pengantar hukum adat
sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari TAP MPRS II MPRS 1960 Lampiran A Paragraf 402. Hukum adat yang dimaksud adalah
bukan adat asli yang senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan hukum adat yang sudah direkonstruksi, hukum adat yang sudah : disempurnakan,
disaneer, modern, yang menurut Moch. Koesnoe menganggap hukum adat yang ada dalam UUPA telah hilang secara materiel, karena dipengaruhi oleh lembaga
– lembaga dan ciri
– ciri hukum Barat atau telah dimodifikasi oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah formulasinya bajunya saja.
Pereduksian yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Adanya Hak Menguasai Negara HMN, merupakan bentuk penarikan ke negara
dari Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang yang berada di wilayah Indonesia, yang kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk
pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemrintah di bawahnya. Dengan demikian, Hak Ulayat dalam masyarakat adat
yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dengan bergantung pada kepentingan dan ditentukan oleh negara. Akibat lebih jauh adalah, timbulnya ha
katas tanah menurut hukum adat, yaitu dengan Hak Membuka Adat
ontginningrecht
atas tanah yang digarapnya. Timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa di Jawa Tengah
pekulen, norowito
dan Jawa Barat
kasipekan, kanomeran, kacacahan
, oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan nelalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUPA :
terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Pengaturan Dalam Konsep KUHP Baru
40
RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat 1 tersebut tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan Pasal 1 3 RUU KUHP Tahun 2004. Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel. Dengan aturan itu jelaslah
bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang
menurut hukum positif Indonesia belumtidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana. Di samping
itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun 2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada
perundang-undangan
legal justice
. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa
“dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan kea
dilan di atas kepastian hukum” Untuk memberikan tempat yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan
berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 ini. Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP
40
selamat-datang-kuhp-baru-indonesia.htm
hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1Drt.1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam
Pasal 14 ayat 2 UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat
dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” disini jelas mempunyai makna yang luas
dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.Bagi sebagian orang, masuknya “hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat 3 memunculkan
beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat 3 kontradiksi dengan larangan menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat 2, kedua dapat menimbulkan masalah
karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat living law, ketiga, living law banyak yang tidak tertulis
dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam
perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum.
Schaffmeiste
r,
B. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu yang hidup bersama dalam suatu wilayah atau kawasan
tertentu yang terikat pada hukum tertentu, yang ditaati, dilaksanakan dan hukum tersebut dipelihara, yang didalamnya terdapat sanksi sebagai alat pemaksa.
Dengan demikian bukanlah sebuah masyarakat hukum adat apabila tidak memiliki
dan terikat pada hukum tertentu. Hukum yang demikian mempunyai sifat kumulatif yaitu : 1. mengatur, 2. memaksa, 3. dilaksanakan atau ditaati, dan 4.
dipelihara secara berkelanjutan.
41
Menurut UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31 Masyarakat Hukum Adat
adalah: Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun- temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
dan hukum.
42
Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang
fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan di masyarakat, dengan demikian hukum adat merupakan aspek
dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.
43
Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu
cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.
44
41
.https:rezzeq.wordpress.com20131201makalah-hukum-adat, diakses tanggal 11 September 2015
42
.UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31
43
. Sri Warjiyati,
Memahami Hukum Adat
, IAIN Surabaya, halaman.15
44
.Ibid, halaman 16
Soepomo mengatakan bahwa corak atau pola = pola tertentu di dalam hukumadat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir
yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah.
45
a. mempunyai sifat kebersamaan yang kuat. “artinya”, menusia menurut hukum
adat, merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat.
b. Mempunyai corak magic=religius, yang berhubungan dengan pandangan
hidup alam indonesia. c.
Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan
hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan- hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
d. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum
dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat 1atau tanda yang tampak 2.
Moch Koesnoe juga mengemukakan corak hukum adat sebagai berikut :
46
a. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan
saja. menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui
berbagaikemungkinan arti kiasan dimaksud
45
.
Soepomo,
Sistem Hukum di Indonesia
, Sebelum Perang Dunia Ke II, Pradnjapramita, Jakarta, Cet 15, 1997, halaman 140-141.
46
.Khundzalifah Dimyanti,
Teoritisa si Hukum : Studi Tentang Perkembangan Hukum Demikian di Indonesia
, 1945-1990.
b. Masyarakat
sebagai keseluruhan
selalu menjadi
pokok perhatiannya.
artinya” dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh
c. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan a:as-a:as pokok .artinya
dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok, yakni kerukunan,
kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama d.
Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugashukum adat untuk melaksanakan hukum adat
e. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat Bentuk dan susunan hukum
adat masyarakat hukum atau persekutuan hukum adat pada dasarnya secara teoritis dapat kita bedakan adanya dua faktor utama yang menjadi
dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan, yaitu : 1.
Faktor Genealogis keturunan Yaitu faktor yang mendasarkan kepada pertalian darah atau pertalian sesuatu
keturunan. Masyarakat atau persatuan hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana anggotannya terikat pada suatu garis keturunan
yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Jadi, persatuan hukum atau
masyarakat hukum genealogis menitik beratkan pada faktor keturunan atau pertalian darah.
47
47
.
Khayatudin.
Masyara katHukumAdat
.Online.Tersediadihttp:khayatudin.blogspot.com 201212masyarakat-hukum-adat_5.html Diakses pada tanggal 12 September 2015
Mengingat setiap orang selalu diturunkan melalui dua orang yakni laki-laki dan perempuan, maka persekutuan genealogis ini dibedakan menjadi :
a Masyarakat Unilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik
garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja yaitu baik dari pihak laki-laki saja ayah ataupun dari pihak wanita saja ibu. Ciri-ciri masyarakatnya,
yaitu: Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja
Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut
clan
dan
sub clan
Sistem perkawinan yang dilaksanakan adalah sistem Exogamie Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh
dibagi-bagi. b
Masyarakat hukum unilateral ini dapat dibedakan menjadi 2 macam dan 1 bentuk khusus, yaitu :
1 Masyarakat Matrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya
menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja, terus menerus ke atas vertikal hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka berasal
dari seorang ibu asal. Yang terdapat pada masyarakat Minangkabau, Kerinci, dan Samendo.
2 Masyarakat Patrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya
menarik garis keturunan dari pihak ayah saja terus ke atas vertikal sehingga berakhir pada suatu kepercayaan behwa mereka semua berasal
dari satu bapak asli. Yang terdapat pada masyarakat Batak, Bali, Nias dan Sumba.
3 Masyarakat Dubbel Unilateral, yaitu masyarakat yang menarik garis
keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu yang dilakukan bersama-sama berdasarkan hal-hal tertentu. Biasanya hal ini berhubungan dengan
pewarisan. Yang terdapat pada masyarakat di pulau Timor. c
Masyarakat Bilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggota persekutuan menarik garis keturunan baik melalui ayah maupun ibu. Jadi gari sketurunan
ditarik melalui Orang Tua Parental. Masyarakat hukum yang tersusun secara parental bentuk perkawinannya bebas, artinya tidak terikat oleh keharusan
Exogamie perkawinan percampuran suku atau diluar suku atau Endogamie perkawinan dalam lingkungan suku sendiri. Masyarakat bilateral parental
terdiri dari :
48
1 Masyarakat bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga
Gezins. Titik berat dari masyarakat itu terletak pada rumah tangga. Contoh : jawa dan madura suku sunda, jawa, juga aceh dan dayak.
2 Masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun Trible.
Titik berat dari masyarakat pada rumpun. Contoh : orang dayak kalimantan dimana dianjurkan untuk melakukan perkawinan Endogamie.
3 Masyarakat Alternerend berganti-ganti, adalah masyarakat dimana garis
keturunan seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilaksanakan oleh orang tuanya. Berarti bila perkawinan
48
. Soekanto, Soekanto, Soleman B. Taneko.
Hukum Adat Indonesia,
Jakarta,2012, PT Raja Grafindo Persada, halaman 19
yang dilakukan oleh orang tuanya dilakukan menurut
hukum keibuan
atau disebut
kawin semendo
, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari ibu. Bila perkawinan dilakukan oleh salah
seorang anak menurut
hukum kebapaan
atau juga disebut
kawin jujur
, maka anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis
keturunan dari pihak ayah. Kalau perkawinan yang dilakukan dengan maksud supaya anak-anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis
keturunan dari kedua belah pihak, perkawinan tersebut dinamakan kawin Semendo Rajo-Rajo, maka anak-anak yang lahir menarik garis keturunan
baik dari ayah maupun ibu. Bentuk kawin Semendo Rajo-Rajo terdapat di Sumatra Selatan daerah Rejang. Jadi,Alternerend adalah bentuk yang
tergantung dari apa dan cara perkawinan yang dilaksanakan. Di Indonesia dahulu ada beberapa yang susunan masyarakatnya
berdasarkan pertalian Genealogis belaka yaitu orang Gayo di Aceh dan orang Pubian di Lampung. Tetapi lama kelamaan pada umumnya masyarakat atau
persekutuan hukum dipengaruhi oleh ikatan territorial. Jadi, sekarang pada umumnya masyarakat atau persekutuan hukum Genealogis murni sudah tidak ada
lagi. b.
Faktor Territorial wilayah Yaitu faktor yang mendasarkan keterkaitannya pada suatu daerah tertentu.
Persekutuan-persekutuan hukum territorial adalah di mana para warganya merasa terikat satu sama lainnya karena merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan di
tempat atau wilayah Grond Gebied yang sama. Faktor wilayah territorialle
factors sangatlah penting. Persekutuan-persekutuan hukum territorial dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
49
2. Persekutuan Desa Dorps Gemeenschap
Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan
yang sama, yang menetap pada suatu kesatuan suatu tata- susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula
kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratah atau dukuh, tetapi yang juga tunduk pada pejabat
kekuasaan desa dan, oleh sebab itu, baginya juga merupakan pusat kediaman. Jadi, persekutuan desa adalah segolongan orang terikat pada suatu tempat
kediaman, yang di dalamnya terdiri dari tempat kediaman kecil yang meliputi perkampuangan dukuh-dukuh dan di mana pemimpin atau pejabat pemerintahan
desa boleh dikatakan semua bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Contohnya : Desa di Jawa dan di Bali.
b. Persekutuan Daerah atau Wilayah Strek Gemeenschap
Apabila dalam suatu daerah tertentu merupakan kesatuan beberapa tempat kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sejenis, sendiri-sendiri dan
sederajat Desa tetapi semuanya merupakan bagian dari daerah tersebut. Daerah- daerah tersebut mempunyai harta benda dan tanah ulayat dan menguasai hutan
49
. Setiady, Tolib,
Intisari Hukum Adat Indonesia,
Bandung, 2009, halaman, 24.
dan rimba diantara atau dikelilingi tanah-tanah yang ditanami dan tanah yang ditinggalkan penduduk desa tertentu.
50
Contoh : 1
Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan –hutan di daerahnya.
2 Marga di Sumatra Selatan dengan dusun-dusuncdi dalam daerahnya.
3 Desa di Jawa, yang terdiri dari lembur-lembur yang mempunyai
pimpinannya sendiri-sendiri. Kalau di Banten, desa itu terdiri dari kampung-kampung atau ampian yang dikepalai oleh Kokolot. Di Jawa
Barat, kepala desa disebut Lurah, di Jawa Tengah dan di Jawa Timur disebut Kuwu atau bikil atau lurah.
c. Perserikata Desa-Desa Dorpenbond atau beberapa kampung
Adalah gabungan dari beberapa persekutuan desa dimana mereka mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama. Dimana untuk memelihara
keperluan bersama itu diadakan suatu Badan Pengurus yang terdiri dari pengurus-pengurus desa tersebut.Contohnya : Subak di Bali dan Perserikatan
Huta-Huta pada suku Batak. Berdasarkan ketiga jenis persekutuan hukum territorial maka persekutuan
desa-lah yang menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari. Desa yang sebagai badan hukum berdiri sendiri secara bulat atau sebagian badan persekutuan
bawahan masuk dilingkungan suatu badan persekutuan daerah atasan atau yang
50
.
Wekaindriani.2013.
MasyarakatHukumadat.
Online.Tersediadihttp:wekaindriani.w ordpress.comhukum-pidanamasyarakat-hukum-adat Diakses pada tanggal 13 September 2015
mengadakan kerjasama dengan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara kepentingan bersama yang tertentu.
d. Persekutuan hukum Genealogis-Territorial
Yaitu kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga
terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan. Persekutuan yang bersifat genealogis territorial dapat dibedakan
dalam 5 jenis, yaitu :
51
1 Suatu daerah atau kampung didiami hanya oleh satu bagian Clan golongan,
tidak ada clan lain yang tinggal di daerah ini. Kampung yang berdekatan juga didiami hanya satu clan bagian saja. Contohnya, di pedalaman pulau-pulau
Enggano, Buru, Seram, dan Flores. 2
Di Tapanuli terdapat susunan masyarakat. Dalam suatu daerah tertentu HUTA semula didirikan oleh satu clan atau Marga tertentu saja. Kemudian
kedalam huta tersebut ada marga lain yang yang datang kewilayah itu dan masuk menjadi warga badan persekutuan Huta di daerah itu.
3 Marga yang semula mendiami daerah itu serta yang mendirikan Huta-Huta di
daerah itu disebut marga asal, marga raja dan marga tanah, sedangkan marga yang kemudian masuk ke daerah itu disebut marga rakyat yang kedudukan
nya tidak sama dengan marga asal. Antara marga ini ada hubungan perkawinan yang erat.
51
. http:hairinarina.blogspot.co.id201502masyarakat-hukum-adat-mata-kuliah-
hukum.html, diakses tanggal 14 September 2015
a. Di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Terdapat satu clan yang mula-mula
mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain yang masuk kedaerah
tersebut dan berhasil merebut kekuasaan pemerintah dari clan yang asli. Kedua clan kemudian berdamai dan bersama-sama merupakan kesatuan
badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintahan dipegang clan yang daaing kemudian, sedangkan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di
daerah itu sebagai wali tanah. b.
Di beberapa Nagari di Minang kabau dan beberapa Marga di Bengkulu. Di dalam suatu daerah Nagari golongan yang berkuasa dan golongan yang
menumpang tidak ada perbedaan dan berkedudukan sama, merupakan suatu badan persekutuan.
c. Seperti yang terdapat dalam Nagari-Nagari lain di Minang kabau dan
Dusun-dusun di daerah Rejang Bengkelu. Disini dalam suatu Nagari atau Dusunberdiam beberapa
clan
yang satu dengan yang lain tidak bertalian familie. Seluruh daerah Ngari atau Dusun menjadi daerah bersama dari
semua bagian clan padabadan Nagari atau Dusun yang bersangkutan. Selain ketiga macam bentuk-bentuk persekutuan hukum tersebut Genealogis,
Territorial, Genealogis-Territorial dalam perekembangan peri kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dikenal pula adanya persekutuan hukum
yang berbentuk :
52
1 Masyarakat Adat Keagamaan
52
. http:igapurwanti-fh10.web.unair.ac.idartikel_detail-71459-hukum20adat-
Persekutuan20Hukum20Adat.html, diakses tanggal 14 September 2015
Merupakan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Dengan demikian terdapat kesatuan masyarakat adat keagamaan
menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen atau Katholik, dan ada yang sifatnya campuran dari
agama-agama yang bersangkutan. Contohnya : a.
Di Aceh, terdapat masyarakat adat keagamaan yang Islami. b.
Di Batak, terdapat masyarakat adat keagamaan yang didominasi Kristen Protestan.
c. Di Bali, sebagian besar adalah masyarakat adat keagamaan Hindu.
2 Masyarakat Adat di Perantauan
Masyarakat adat keagamaan Sadwirama merupakan suatu bentuk dari upaya bagi orang Bali di perantauan dalam upaya untuk mempertahankan
eksistensi adat dan agama hindunya sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kehidupan kemasyarakatan keagamaan di daerah asalnya yaitu pulau bali.
Dikalangan masyarakat Jawa di daerah-daerah transmigrasi atau didaerah perantauan tidak pernah terjadi kegiatan atau upaya seperti halnya masyarakat bali
yaitu membentuk masyarakat adat tersendiri disamping desa yang resmi. Karena masyarakat adat jawa bersifat ketetanggaan sehingga mudah membaur dengan
penduduk setempat. Lain halnya dengan masyarakat melayu seperti orsng Aceh, Batak,
Minangkabau, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain sebagainya yang berada di daerah perentauan cenderung untuk membentuk
suatu kumpulan kekerabatan dengan tujuan untuk membentuk suatu kekeluargaan
seperti Rukun Kematian atau bahkan memebentuk suatu Kesatuan Masyarakat Adat yang berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.
3 Masyarakat Adat lainnya
Selain danya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan yang anggotanya terikat satu sama lain karena berasal dari satu daerah yang sama di
dalam kehidupan masyarakat kita dijumpai pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang ikatan anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang
tidak berdasarkan hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan
berbeda agamanya. Bentuk masyarakat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah maupun swasta diberbagai lapangan kehidupan sosial-ekonomi yang
lain. kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru atau katakanlah Hukum
Adat Indonesia atau Hukum Adat Nasional
BAB III
PERANAN LEMBAGA ADAT DALIAN NATOLU DALAM MENYELESAIKAN SUATU PRISTIWA PIDANA
A. Unsur-Unsur Lembaga Adat Dalihan Natolu