Hukum Pidana Adat Pembiayaan Lembaga Adat

E. Pembinaan Lembaga Adat

Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai , melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat dalampembangunan dan ketahanan nasional.

F. Pembiayaan Lembaga Adat

Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD Propinsi, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD KabupatenKota, Berta sumber-sumber lainnya yang tidak mengikat.

3. Hukum Pidana Adat

a. Persekutuan hokum adatpersekutuan yang 14 berdasarkan hubungan darah keluarga, marga, paruik dapat dimintai pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh warganya. b. Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau tanpa adanya kelalaianya. c. Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person hanya menjadi persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya. d. Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman. e. Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah derajatnya. f. Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim sendiri g. Siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu. h. Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja, karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu. 14 Sri warjiati, memahami Hukum Adat i. Hakim dalam mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si pelanggar itu merasa menyesal. Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud. 15 Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum hasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal.Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat. Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ peradilan gouvernement terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda. 15 http www.hukumonline.com pradilan hukum adat Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi. Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosiall yang mereka anut. Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat.Sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, 16 peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat itiadat dapat disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. lihat Ter Haar – teori Beslissingen. Para warga masyarakat pada umumnya bersedia melakukan sesuatu ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya, bukan hanya karena ketentuan itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas hukum, tetapi karena kesadaran bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah sepantasnya ditaati oleh segenap warga masyarakat. Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain yang menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang sempurna, ialah: 16 http: kolomilmu.comsejara-penemuan-hukum-adat.html 1 Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ; 2 Sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi; 3 Sesuai dengan perkembangan masyarakat ; 4 Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya harus : 1 Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. berpegangan pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ; 2 Berdasarkan adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas hukum sebelumnya ; 3 Harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat; Berdasarkan uraian diatas hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan masyarakat, karena 17 kesadaran hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang timbul dalam masyarakat. Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada : 1 Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ; 17 Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat 2 Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam masyarakat ; 3 Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ; 4 Putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ; 5 Putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih dapat dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak mendapatkan putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana putusan yang lampau itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus mencarinya dalam kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu Prof.Djojodigoeno : 1 Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama taat; 2 Keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan ukuran dinamik, guna meng ejar “tata masyarakat yang adi; dan 3 Individualita masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis. Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu perkara menurut hukum adat dapat berupa : 1 Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 2 Tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada, melainkan memberi penetapan baru, bilamana menurut keyakinan dan rasa keadilan hakim, aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat 3 Hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal sebagai berikut; 4 Peristiwafaktanya tidak terang siapa yang salah 5 Hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas; 6 Kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat. Sejak zaman Hindia Belanda sd lahirnya UU No.1drt1951 11-1-1951 belum ada unifikasi dalam kekuasaan peradilan, karena masih ada 5 macam tatanan peradilan yang berlaku yakni 18 : 1 Tatanan Peradilan Gubernemen Gouvernement rechtspraak ; 2 Peradilan Pribumi Inheemsche rechtspraak , yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri dengan hakim-hakim pribumi. 3 Berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang Peradilan Gubernemen Ps. 130 IS. 4 Peradilan Swapradja Zelfbestuursrechtspraak , terdapat di daerah-daerah swapradja; 18 Bewa Ragawino, pengatar dan Azas asas hukum a dat Pada zaman Hindia Belanda pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan kaula swapradja di luar itu menjadi wewenang peradilan gubernemen.Dapat mengadili perkara pidana yang mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara kerajaan, disamping perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja. Peradilan Agama Raad Agama yang ada di daerah-daerah HINDIA BELANDA, baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan PA sebagai bagian dari Peradilan PribumiPeradilan Swapradja dan Peradilan Desa Dorps rechtspraak , yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan Peradilan Adat. Dilakukan secara majlis oleh para kepala desakepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan. Dari 4 macam tatanan peradilan tersebut yang melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum dat sebagai landasan mengadili perkara ialah 2,3 dan 4. Pluralisme dalam sistem peradilan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam kewenangan badan-badan peradilan dan perbedaan perlakuan hukum terhadap WNI. Berdasarkan UU No.1drt1951 diadakan unifikasi susunan dan kekuasaan pengadilan dengan menghapuskan semua peradilan adat, sehingga wewenang mengadili perkara pelanggaran hukum adat diserahkan kepada PN. F METODE PENELITIAN 1. Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. 19 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif norma hukum, yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif hak dan kewajiban 20 2. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11 . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009 , hal. 13 –14. 20 Hardijan Rusli, “ Metode Penelitian Hukum Normatif : Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hal. 50 azas-azas hukum “ rechsbeginselen ” yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis 3. Sumber data a Data primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang –undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang darurat no. 1 tahun 1951 b Data skunder Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari 21 suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin –doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet. c Data tersier Bahan hukum tersier 22 adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hal. 32. 22 Ibid. dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum 4. Teknik pengumpulan data a Dengan study pustakan dengan buku buku yang ada b Dengan wawancara dengan pemungka adat yaitu dengan bapak karya adat selaku salah satu tokoh atau salah satu ketua adat yang ada di desa Huraba, kecamatan Siabu, kabupaten Mandailing Natal 4. Analisis data 23 analisis kualitatif Tahap akhir adalah analisis data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan. G. SITEMATIKA PENULISAN Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

23 Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009 , hal. 93. Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana dan pengertian lembaga adat serta hukum pidana adat. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II Kedudukan Lembaga Adat Di Indonesia

Bab ini akan memberikan pemaparan tentang kedudukan lembaga adat dalam per undang undangan , kedudukan lembaga adat dalam perspektif undang undang dasar 1945, hukum adat dalam undang undang no 1 tahun 1951 dan hukum adat dalam undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria serta bentuk bentuk masyarakat hukum adat

BAB III Peranan Lembaga Adat Dalain Natolu Dalam Menyelesaikan Suatau Pristiwa Pidana

Pada bab ini penulis akan membahas tentang unsur unsur lembaga adat dalain natolu , fungsi dalian natolu dalam hukum adat , faktor faktor penyebab masyarakat memilih dalian natolu sebagai lembaga adat dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana. Mekanisme kerja lembaga adat dalian natolu dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana

BAB IV Tindak Pidana Apa Saja Yang Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu

Pada bab ini macam macam tindak pidana apa saja yang di lemabag adat dalian natolu di desa huraba kec. Siabu kab. Mandailing natal , tata cara penyelesaian pristiwa pidana pidana di lembaga adat adat dalian natolu di desa huraba kec.siabu.kab . mandailing natal Bab V Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah – masalah yang telah dibahas pada bab – bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak . BAB II KEDUDUKAN LEMABAGA ADAT DI INDONESIA

A. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan