medeplictigeheid seperti tercantum dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal adanya pembedaan itu karena siapa saja
yang turut serta menentangmelanggar peraturan adat maka harus memenuhi usaha yang diputskan pemuka adat dalam memulihkan kembali
hukum adat yang ternoda. 4. Delik Percobaan
KUHP mengenal adanya suatu kejahatan yang dilakukan namun tidak selesai bukan karena kehendak si pelaku atau lebih dikenal dengan delik
percobaan. Sedangkan Hukum Adat tidak menghukum seseorang karena mencoba melakukan kejahatan. Sebagai contoh dalam hukum adat, apabila
ada seseorang ingin membunuh orang lain dengan memanah, namun ternyata orang itu hanya terluka maka si pelaku tidak dikenai hukuman
mencoba membunuh namun hukuman karena melukai orang lain. 5. Sifat pelanggaran
KUHP menganut sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu prae existence regels sedangkan hukum pidana adat tidak menganut
sistem itu karena delik yang telah ditetapkan tidak berlaku sepanjang masa. Lahirnya suatu delik adat diikuti hilangnya delik adat yang lain. Jadi
berkembang mengikuti pola peradaban masyarakat adat itu
6. Restorative Justice
Berbicara mengenai hukum, maka harus juga membicarakan tentang masyarakat, karena tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat. Ada
sebuah teori yang menjelaskan hal tersebut, yakni teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny, dimana menuru
tnya “
das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke
” atau terjemahannya bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyrakat.
71
Oleh karena itu dalam memandang hukum, maka sudah barang tentu bahwa masyarakat juga harus di perhatikan.
Berkaca dari hal tersebut, maka dalam penegakan hukum pun, kesadaran hukum masyarakat dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat sangatlah penting.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja, bahwa hukum yang dibuat
harus sesuai
atau memperhatikan
kesadaran hukum
masyarakat.
72
Penyimpangan dari hal tersebut diatas menimbulkan kondisi Penegakan hukum
law enforcement
menjadi stagnan. Mengenai penegakan hukum di Indonesia, tidak akan bisa terlepas dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana karena berdasarkan kata-kata nya saja, istilah tersebut mengacu pada pelaksanaan hukum
formil. Bisa dibilang yang dimaksud dengan penegakan hukum
law enforcement
, bentuk kongkritisasinya adalah merupakan penjatuhan pidana atau sanksi. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar
71
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 63
72
Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 28
dalam hukum pidana, yaitu sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana.
73
Selain identik dengan hukum formil, penegakan juga harus didasarkan atas peraturan
yang dibuatnya. Berkenaan dengan pembuatan peraturan tersebut, ada satu aliran dan satu
teori, yaitu Aliran Utilitarianisme dengan tokohnya Jeremy bentham, yang pada dasanya menyatakan bahwa setiap peraturan yang dibuat harus mempunyai nilai
guna untuk masyarakat. Dikatakan dalam uraian menurut Bagirmanan, bahwa penegakan hukum indonesia bisa dikatakan “
communis opinio doctorum
”, yang artinya bahwa penegakan hukum yang sekarang dianggap telah gagal dalam
mencapaui tujuan yang diisyaratkan oleh Undang-Undang.
74
Oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice
System, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan normatif.
Di banyak negara, ketidakpuasan dan frustrasi dengan sistem peradilan formal atau melahirkan kembali kepentingan dalam melestarikan dan memperkuat
hukum adat dan praktek peradilan tradisional telah menyebabkan panggilan untuk respon alternatif untuk kejahatan dan gangguan sosial. Banyak alternatif ini
memberikan pihak yang terlibat, dan sering juga masyarakat sekitar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dan mengatasi konsekuensinya.
Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang terlibat
73
Dwidja Priyatno, Pemindanaan untuk Anak dalam Konsep Rancangan KUHP dalam Kerangka Restorative Justice, Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA, Edisi VIIIVolume
III, Bandung, 2007, hlm.
74
Rudi Rizky ed, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008, hlm. 4.
konflik harus secara aktif terlibat dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negatif. Mereka juga didasarkan, dalam beberapa kasus, pada
kemauan untuk kembali ke bangunan pengambilan keputusan dan masyarakat setempat. Pendekatan-pendekatan ini juga dilihat sebagai sarana untuk mendorong
ekspresi damai konflik, untuk mempromosikan toleransi dan inklusivitas, membangun penghargaan atas keragaman dan mempromosikan praktek
masyarakat yang bertanggung jawab.
75
Restorative Justice Keadilan restoratif sebagai perkembangan penting dalam pemikiran manusia didasarkan pada tradisi keadilan dari Arab kuno,
Yunani, Romawi dan peradaban yang diterima pendekatan restoratif bahkan kasus pembunuhan, pendekatan restoratif dari majelis umum Moots dari Jermanik
masyarakat yang menyapu seluruh Eropa setelah jatuhnya Roma, Hindu India sebagai kuno sebagai Weda Peradaban untuk siapa “dia yang menebus diampuni”,
dan Budha kuno, Tao, dan tradisi Konfusianisme yang dilihatnya dicampur dengan pengaruh Barat hari ini di Asia Utara.
76
Bentuk baru dan mapan dari restoratif keadilan masyarakat menawarkan beberapa cara menyambut menyelesaikan konflik. Mereka melibatkan individu
yang tidak terlepas dari insiden itu, tetapi secara langsung terlibat atau terpengaruh olehnya. Partisipasi masyarakat dalam proses tidak lagi abstrak,
melainkan sangat langsung dan konkret. Proses ini sangat disesuaikan dengan
75
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, Vienna: UN New York, 2006, hlm
76
John Braithwaite, Restorative Justice Responsive Regulation, England: Oxford University Press, 2002, hlm. 3
.
situasi di mana pihak berpartisipasi secara sukarela dan masing-masing memiliki kapasitas untuk terlibat penuh dan aman dalam proses dialog dan negosiasi. John
Braithwaite menjelaskan bahwa wacana restoratif justice berfokus pada program keadilan restoratif dalam masalah pidana, tetapi perlu dicatat bahwa proses
restoratif yang digunakan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik di berbagai konteks dan pengaturan lainnya, termasuk sekolah dan tempat kerja.
77
Restorative Justice Keadilan Restoratif atau dikenal dengan istlah “reparative justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada
kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau
semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses,
sementara pelaku
kejahatan juga
didorong untuk
mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat. Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris, Tony F. Marshall, dalam
tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan
78
“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implication for the future”
77
Ibid
78
http:www.negarahukum.comhukumkeadilan-restorasi.html
Terjemahan Bebas : restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk
menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
Menurut UNODC, bahwa yang dimaksud dengan restorative justice adalah pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan
korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku
kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal
harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang terluka, selain menyediakan yang dibutuhkan bagi korban dan pelaku berupa bantuan dan
dukungan.
79
Sedangkan menurut Clifford Dorn, seorang sarjana terkemuka dari gerakan restorative justice, telah mendefinisikan restorative justice sebagai
filosofi keadilan menekankan pentingnya dan keterkaitan pelaku, korban, masyarakat, dan pemerintah dalam kasus-kasus kejahatan dan kenakalan remaja.
Menurut Centre for Justice Reconciliation CJR bahwa restorative justice adalah teori keadilan yang menekankan memperbaiki kerugian yang
disebabkan oleh perilaku kriminal. Hal ini paling baik dilakukan ketika para pihak bersama-sama secara sadar bertemu untuk memutuskan bagaimana untuk
79
UNODC, Op.cit, hlm. 6
melakukan hal ini. Hal ini dapat menyebabkan transformasi hubungan antar masyarakat.
Pendekatan Restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan baik korban maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatanRestorative
Justice Keadilan Restoratif membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.
Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran, pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau
masyarakat dan bukan kepada negara. Restorative Justice Keadilan Restoratif menumbuhkan dialog
antara korban dan pelaku akan
menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Konsep Restorative Justice Keadilan Restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada
pelaku baik secara fisik, psikis atau hukuman; namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.
Dalam ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan
pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari
penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
80
Untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak
menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan rule breaking karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan
yang diidamkan oleh masyarakat. Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah
untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu
sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka
kalimat “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah
penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan
“masyarakat yang adil dan makmur”.
81
80
81
Rudi Rizky ed, Loc.cit.
Sedikit mengambil posisi yang berbeda, Bagir Manan menjelaskan bahwa restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep
pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana formal dan materil Namun, walaupun Bagi mendefinisikan restoratif justice sebagai konsep
pemidanaan, Beliau tetap sejalan dengan pemikiran bahwa konsep pemidanaan tersebut haruslah mengedepankan keadilan, yang ditegaskan dengan istilah
keadilan terpadu, yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi masyarakat.
“Restorative justice” sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia
banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat
bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai
kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat
dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru
bagi keluarga dan sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas negara dalam
membuat undang-undang harus sungguh-sungguh memperhatikan 2 dua hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan
bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut “hukum untuk manusia”.
Menurut Suteki, Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat the living law seperti yang telah diamanatkan oleh UU Kekuasaan
Kehakiman dengan alasan terkait dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan seringkali melenceng dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan
hukum telah mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan
legalitas formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan tidak menegakan hukum.
Gerakan restorative justice awalnya dimulai sebagai upaya untuk memikirkan kembali kebutuhan dan peran implisit dalam kejahatan.
Wacana restorative justice tersebut peduli tentang kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam proses peradilan biasa. Mereka yang terlibat dalam gerakan ini juga
khawatir bahwa pemahaman yang berlaku peserta yang sah atau “
stakeholde
r” dalam keadilan itu terlalu membatasi. Keadilan restoratif memperluas lingkaran
pemangku kepentingan pihak yang memiliki kepentingan atau berdiri dalam
peristiwa atau kasus, bukan hanya sekedar Pemerintah dan Pelaku, namun juga termasuk korban dan anggota masyarakat.
82
Restorative justice adalah gerakan baru di bidang viktimologi dan kriminologi. Mengakui bahwa kejahatan menyebabkan cedera pada orang-orang
dan masyarakat, itu menegaskan bahwa perbaikan pengadilan mereka cedera dan bahwa para pihak diizinkan untuk berpartisipasi dalam proses tersebut.
Program Restorative justice, oleh karena itu, memungkinkan korban, pelaku dan anggota yang terkena dampak dari masyarakat untuk terlibat secara langsung
dalam menanggapi kejahatan. Mereka menjadi sentral dalam proses peradilan pidana, dengan profesional pemerintah dan hukum yang berfungsi sebagai
fasilitator dari sistem yang bertujuan pelaku akuntabilitas, reparasi kepada korban dan partisipasi penuh oleh korban, pelaku dan masyarakat.
83
Restorative justice didasarkan pada suatu, pemahaman yang logis terhadap kesalahan. Meskipun akan dinyatakan secara berbeda dalam budaya yang berbeda,
pendekatan ini mungkin umum bagi sebagian besar masyarakat tradisional. Menurut Prinsip-
Prinsip Dasar, sebuah “hasil restoratif” adalah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari suatu proses restoratif. Perjanjian tersebut mungkin
termasuk rujukan ke program-program seperti reparasi, restitusi, dan masyarakat jasa, “ditujukan untuk memenuhi kebutuhan individu dan kolektif dan tanggung
jawab berbagai pihak dan mencapai reintegrasi korban dan pelaku”. Hal ini juga
82
Howard Zehr Ali Gohar, The Little Book of Restorative Justice, Pennyslvania: Good Books, 2003, hlm. 17
.
83
Dvannes, Loc.cit
dapat dikombinasikan dengan langkah-langkah lain dalam kasus yang melibatkan pelanggaran serius.
84
Adapun restorative justice, yang diwujudkan dalam bentuk program, harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
1 Sebuah respon fleksibel untuk keadaan kejahatan, pelaku dan korban, yang
memungkinkan setiap kasus harus dipertimbangkan secara individual; 2
Tanggapan terhadap kejahatan yang menghormati martabat dan kesetaraan setiap orang, membangun pemahaman dan mempromosikan harmoni
sosial melalui penyembuhan korban, pelaku dan masyarakat; 3
Sebuah alternatif dalam banyak kasus ke sistem peradilan pidana formal dan dampaknya stigmatisasi pada pelanggar;
4 Sebuah pendekatan yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan
proses peradilan pidana tradisional dan sanksi; 5
Sebuah pendekatan yang menggabungkan memecahkan dan mengatasi penyebab yang mendasari konflik masalah;
85
6 Sebuah pendekatan yang membahas kerugian dan kebutuhan korban;
7 Sebuah pendekatan yang mendorong pelaku untuk mendapatkan wawasan
tentang penyebab dan dampak perilaku nya dan mengambil tanggung jawab dengan cara yang bermakna;
84
Howard Zehr Ali Gohar, Op.cit., hlm. 23
85
UNODC, Op.cit, hlm. 7.
8 Sebuah pendekatan yang fleksibel dan variabel yang dapat disesuaikan
dengan keadaan, tradisi hukum, prinsip-prinsip dan filosofi yang mendasar pada sistem peradilan pidana nasional yang telah ditetapkan;
9 Sebuah pendekatan yang cocok untuk berurusan dengan berbagai macam
pelanggaran dan pelaku, termasuk banyak pelanggaran yang sangat serius; 10
Tanggapan terhadap kejahatan yang sangat cocok untuk situasi di mana pelaku remaja yang terlibat dan di mana merupakan tujuan penting dari
intervensi ini adalah untuk mengajarkan para pelanggar beberapa nilai- nilai dan keterampilan baru;
Sebuah respon yang mengakui peran masyarakat sebagai tempat utama mencegah dan menanggapi kejahatan dan gangguan sosial. Di Negeri Belanda,
Hubungan antara Keadilan Restoratif
restorative justice
dan Hukum Pidana menurut pendapat para ahli hukum Belanda membedakan antara tiga model
86
Restorative Justice
Keadilan Restoratif
merupakan bagian dari proses hukum pidana normal. Dalam fase tertentu dari prosedur kasus tersebut dapat
diserahkan kepada mediator. Jika dia dia dapat menemukan solusi kasus ini dapat melambaikan tangan oleh polisi atau jaksa penuntut umum atau berakhir
dengan sanksi yang lebih rendah. Model ini telah digunakan di Belanda tanpa ketat dilembagakan. Dengan
diperkenalkannya secara nasional dari pertemuan korban-pelaku pada tahun 2007
86
Ibid
menjadi keluar dari tujuan penggunaannya, tetapi secara teoritis dapat dipraktekkan
Restorative Justice
Keadilan Restoratif
adalah sebuah alternatif untuk gugatan kriminal biasa. Pada zaman dulu
model ini dikenal sebagai “penyimpangan”. Saat ini mediasi sering digunakan di Belanda dalam kasus-kasus lingkungan. Jika
mediasi berakhir dengan sukses, tidak perlu lagi sanksi untuk badan-badan publik. Restorative Justice
Keadilan Restoratif
sebagai tambahan dalam proses pidana. Model ini terutama digunakan di Belanda dalam kasus-kasus kejahatan
serius, tapi kemudian terutama setelah pelaku dijatuhi hukuman di pengadilan, tetapi ada juga penulis yang menekankan bahwa mediasi dalam kasus-kasus
hukum pidana harus secara eksklusif kontak antara korban dan pelaku dipandu oleh mediator yang terjadi kepentingan mereka dan akibatnya mereka harus
memutuskan bersama apa yang harus terjadi dengan hasilnya. Seperti “mediasi penuh” harus menjaga jarak dari sistem peradilan pidana.
Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan tentang substansi
“
restorative justice
” berisi prinsip-prinsip, antara lain “Membangun partisipasi
bersama antara
pelaku, korban,
dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,
dan masyarakat sebagai “stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua
pihak
win-win solutions
”.
Menurut Setyo Utomo, bahwa terdapat ciri lain yang menonjol dari restorative justice, dimana kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang
menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak
hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun
sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.
B. Mekanisme Lemabaga Adat Dalihan Natolu Dalam Menyelesaikan