karbon negara maju. Sementara negara-negara maju memperoleh keuntungan besar dari industrinya, negara berkembang seperti Indonesia hanya akan memperoleh uang
yang jumlahnya jauh lebih kecil dari keuntungan industry negara maju sebagai imbalan menjaga hutan dan tetap menjaga tingkat emisi karbonnnya rendah.
Dengan mengacu pada mekanisme pasar bebas maka seperti perdagangan- perdagangan komoditas lainnya maka REDD bisa saja akan cenderung
menguntungkan negara maju, sebab dalam hal ini negara majulah yang menentukan standard penilaian proyek REDD mana yang layak mereka danai dan tentunya jika
sudah begini maka bukan tidak mungkin mereka juga yang menentukan harga karbon yang diperdagangkan. Hal ini sama saja dengan monopoli perdagangan karbon oleh
negara maju, mereka yang menjadi konsumen dan mereka juga yang menjadi distributor dan sekaligus sebagai produsen sedangkan negara berkembang seperti
Indonesia hanya sebagai penyedia lahan atau penyedia bahan baku.
2. Mahalnya Biaya awal Pelaksanaan Proyek REDD dan Kekhawatiran Jerat Utang
Mekanisme pasar REDD ini memerlukan banyak biaya yang jumlahnya diluar kemampuan dana domestik kebanyakan negara berkembang. Biaya-biaya tersebut
meliputi ; opportunity cost biaya untuk kompensasi bagi pemilik hutan atas nilai kegiatan yang paling menguntungkan, implementation cost biaya yang digunakan
untuk memperbaiki perencanaan dan pengelolahan, administrative cost biaya operasional dan transaction cost biaya untuk penggalangan dana, negoisasi dengan
partner, monitoring, dan biaya transaksi, sebagai gambaran menurut Union of Cocerned Scientists UCS total biaya untuk biaya implemetasi, administasi dan
Universitas Sumatera Utara
biaya transaksi sekitar US 1 untuk penurunan emisi perton CO2. Sedangkan untuk biaya opportunity cost berkisar antara US1.85-18.86 perton penurunan emisi CO2.
Meskipun Bank Dunia melalui program FPFC dan FIP nya menjanjikan bantuan pendanaan dalam biaya-biaya tersebut namun jika berbentuk pinjaman ini hanya akan
menyebabkan negara-negra berkembang terjebak lebih dalam lagi dalam utang- utangnya yang sebenarnya untuk menangulangi masalah yang disebabkan oleh
negara-negara maju. Sekalipun dana yang diberikan dalam bentuk pinjaman namun hal ini dapat
menempatkan negara-yang menerima dana dalam hubungannnya dengan donor bisa jadi tidak mencerminkan kewajiban negara maju kepada negara berkembang. Dengan
posisi sebagai peminjam negara-negara berkembang seakan-akan diletakkan sebagai negara yang harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
3. Murahnya Harga Hutan Indonesia
Persoalan berikutnya adalah tentang bagaimana menetapkan harga yang layak dari karbon yang dihasilkan oleh hutan Indonesia. Penentuan tarif harga karbon ini
penting karena ini sangat berkaitan dengan keberlangsungan Proyek REDD sendiri. Sebab selama ini dasar dari segala kerusakan hutan adalah keinginan untuk
mengeksploitasi nilai ekonomi hutan, jika REDD ini tidak mampu memuaskan maka bukan tidak mungkin proyek yang telah dijalankan akan ditinggalkan.
Mengutip apa yang dikatakan Elfian Effendi, bahwa pemerintah mengunci nilai 38,7 juta hektare hutan dengan imbalan sebesar lima sampai 20 dolar Amerika
per hektare, berarti kita akan memperoleh sekitar 193,5-774 juta dolar Amerika Padahal nilai ekonomi hutan produksi Indonesia setidaknya sebesar US 7.200 per
Universitas Sumatera Utara
hektare. Angka tersebut meliputi komponen volume kayu log yang boleh ditebang per hektar, pungutan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan, Jadi setidaknya harga
hutan Indonesia senilai US278,6 miliar, setara Rp 2.508 triliun
39
Dengan nilai karbon REDD yang kecil tersebut pun tidak semuanya akan diterima langsung oleh masyarakat pemilik hutan sebab akan ada potongan biaya
operasional REDD yang besarannya berkisar antara 30-40. Dengan kata lain yang akan sampai ke masyarakat hanya berkisar 60-70 saja keuntungan yang diperoleh
dari perdagangan karbon REDD. Bahkan dalam kasus Kostarika potongan biaya operasional bisa mencapai 90
.
Kecilnya nilai ekonomi hutan dalam proyek REDD ini akibat simpanan karbon yang diperdebatkan REDD hingga hari ini ternyata masih berkutat pada
hitungan fisik tegakan pohon semata. Sementara, kandungan hidrokarbon di bawah permukaan hutan seperti minyak bumi, gas, batubara serta mineral lainnya, belum
dihitung oleh skema REDD. Padahal dibanyak tempat didunia termasuk Indonesia nilai ekonomis dari sumberdaya ini terbukti cukup-lah tinggi. Sehingga tidak
mengherankan jika perkiraan perhitungan dana adaptasi untuk reduksi emisi karbon dari sektor kehutanan saat ini menjadi sangat murah.
40
Tentu implikasinya adalah Indonesia bisa mengalami kerugian finansial jika hutan hanya dihargai sebatas Karbon oksigen saja yang di hasilkannnya. Dengan
. Hal ini bisa saja terjadi pada proyek REDD yang akan di jalan kan di Indonesia. Jika sudah seperti ini maka yang akan di untungkan
adalah broker-broker REDD.
39
http:sinarharapan.co.idarsipkesrano.5745.html
40
http:www. greenpressnetwork.blogspot.com200711skema-redd-tak-menguntungkan-bagi.html diunduh pada tanggal 15 Desember 2009.
Universitas Sumatera Utara
mengeksploitasikan hutannya saja Indonesia masih mengalami kesulitan finansial apa lagi harus menghentikannya dan hanya di beri Insentif yang kecil dari usahanya
menyelamatkan hutan. dan jika dikaitkan dengan tujuan proyek REDD yang katanya ingin memberdayakan masyarakat tentu dengan mekanisme REDD yang seperti ini
hal tersebut akan tidak tercapai melainkan hanya akan menguntungan para lembaga- lembaga broker perdagangan karbon.
C. Analisa REDD pada Bidang Lingkungan hidup Indonesia