Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011

(1)

Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan

Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan

Periode 2008-2011

Oleh:

M. NAWAL HASYA

080100143

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan

Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan

Periode 2008-2011

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

M. NAWAL HASYA

080100143

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan

Periode 2008-2011

Nama : M. Nawal Hasya NIM : 080100143

Pembimbing Penguji I

dr. Evo Elidar, Sp. Radiologi

NIP: 19630927 199010 2 002 NIP: 19700819 199903 2 001 dr. Nurfida Khairina Arrasyid, M. Kes

Penguji II

NIP: 19781223 200312 2 002 dr. Eka Roina Megawati, M. Kes

Medan, 30 Desember 2011

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Pendahuluan: Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen akut yang paling sering membutuhkan tindakan bedah. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Untuk mendiagnosis apendisitis akut bukanlah hal mudah, terutama dalam kasus dengan temuan yang atipikal. Salah satu pemeriksaan radiologi sebagai penunjang diagnostik apendisitis adalah appendicogram. Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen apendiks. Penelitian ini bertujuan untuk melihat reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional study. Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2008-2011 dengan besar sampel sebanyak 52 pasien yang diambil dari data rekam medis.

Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh bahwa hasil pemeriksaan appendicogram memiliki hubungan yang signifikan terhadap hasil pemeriksaan pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi (p <0,003). Selain itu, didapati sensitivitas pemeriksaan appendicogram adalah 97,8%, spesifisitas 50%, nilai prediksi positif 93,7%, dan nilai prediksi negatif 75%.

Diskusi: Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan appendicogram masih reliable dalam penegakan diagnostik apendisitis dilihat dari hasil uji diagnostik Chi-Square dan nilai sensitivitas yang didapat. Pemeriksaan radiologi appendicogram sangat berguna dalam penegakan diagnostik kasus apendisitis ini.


(5)

ABSTRACT

Introduction: Appendicitis is an inflammation of the verformis appendix and it’s the most common cause of acute abdomen which often need a surgery procedure. The peak incidence of appendicitis with average age 20-30 years and declining after it. It’s not easy to diagnose appendicitis, especially in atypical cases. Appendicogram is an imaging study as a diagnostic procedure. Appendicogram is an examination as a radiologic examination of appendix after barium swallow which can help to see the obstruction or the fecalith (skibala) in appendix lumen. This research is done to determine the reliability from appendicogram to diagnose appendicitis in RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Methods: This research used analytic observational method which is done by cross-sectional study. The populations in this research are all of the patients who have been examined with appendicogram in RSUD Dr. Pirngadi Medan during 2008-2011. There are 52 patients were examined with appendicogram. The informations required for the study were taken from their medical records.

Results: From the results of this research, it’s found that appendicogram has a significant correlation with post-opperative or pathology (p <0.003). Beside that, it’s found that the appendicogram sensitivity is 97.8%, specificity 50%, positive predictive value 93.7%, and negative predictive value 75%.

Discussion: It can be concluded that appendicogram is still reliable in appendicitis diagnostic. This can be proved from Chi-Square diagnostic test result and the sensitivity value. Appendicogram examination is very useful to diagnose appendicitis in this case.

Key words: Appendicitis, appendicogram, diagnostic test, reliability


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang dengan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh dukungan secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Evo Elidar, Sp.Radiologi selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. 3. dr. Nurfida Khairina Arrasyid, M.Kes selaku Dosen Penguji I yang telah

memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Eka Roina Megawati, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang juga telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. dr. Deske Muhadi, Sp.PD selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan motivasi kepada penulis.

6. Staf pegawai RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah banyak membantu penulis mulai dari survey awal hingga tahap pengumpulan data.


(7)

penulis sehingga dapat seperti sekarang ini. Untuk itu, Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan kepada mereka.

8. Saudara laki-laki tercinta M. Ridzki Hasya dan saudari perempuan tercinta Umi Hanifa yang telah memberikan dukungan semangat dan mendoakan penulis selama mengerjakan karya ilmiah ini.

9. Senior penulis, abangda Dedi Irwansyah, yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Khairul Husni Z. dan Felix Radivta, yang telah berjuang bersama-sama penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Ayub Basaldi, M. Ikhsan, Harry Andrean, Saddam Emir Pratama, Setia Yudha Nugraha, Okmaronab Febriza, Fairuz Syarifuddin, Don Thomson, Wawan Harimawan, Riska Yunita, Putri Andhini, Medina Muslim, Puja Nastia, T. Amira Raihan, dan Sofie Zalita yang telah membantu secara moril maupun materiil dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnya bagi pembaca karya ilmiah ini.

Medan, 11 Desember 2011

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan... ii

Abstrak... iii

Abstract...iv

Kata Pengantar...v

Daftar Isi...vii

Daftar Gambar...ix

Daftar Tabel...x

Daftar Lampiran...xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Apendisitis ... 4

2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks ... 4

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis ... 5

2.1.3. Etiologi Apendisitis ... 6

2.1.4. Morfologi Apendisitis ... 6

2.1.5. Patofisiologi Apendisitis ... 7

2.1.6. Gambaran Klinis Apendisitis ... 7

2.1.7. Diagnosis Apendisitis ... 8

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Apendisitis ... 10

2.1.9. Diagnosis Banding Apendisitis ... 11

2.1.10. Pengobatan Apendisitis ... 12

2.1.11. Komplikasi Apendisitis ... 13

2.1.12. Prognosis Apendisitis ... 13

2.2. Appendicogram ... 14

2.2.1. Definisi Appendicogram ... 14

2.2.2. Teknik Pemeriksaan Appendicogram ... 14


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 16

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 16

3.2. Definisi Operasional ... 16

3.3. Hipotesis... 17

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 18

4.1. Jenis Penelitian ... 18

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 18

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 20

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 20

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 21

5.1.Hasil Penelitian……… 21

5.1.1. Deskripsi penelitian………. 21

5.1.2. Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin……… 21

5.1.3.Deskripsi Sampel Berdasarkan Umur………... 22

5.1.4. Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Apendisitis……… 22

5.1.5.Hasil Analisis Penelitian………23

5.2. Pembahasan……… 24

5.2.1. Apendisitis………... 24

5.2.2. Appendicogram……… 25

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 26

6.1.Kesimpulan……….. 26

6.2. Saran………... 26

DAFTAR PUSTAKA... 28


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Apendiks………5

2.2. Appendicogram………..15


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 2.1. Skor Alvarado………10

5.1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Appendicogram ……….21 5.2. Distribusi Umur Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Appendicogram….22

5.3. Distribusi Jenis Apendisitis yang Dialami Pasien...22 5.4. Uji Chi-Square: Hubungan Pemeriksaan Appendicrogam dengan Hasil

Pemeriksaan Pasca-operasi atau Patologi Anatomi………23

5.5. Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Appendicogram………24


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Ethical Clearence

Lampiran 4 Data Induk Penelitian


(13)

ABSTRAK

Pendahuluan: Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen akut yang paling sering membutuhkan tindakan bedah. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Untuk mendiagnosis apendisitis akut bukanlah hal mudah, terutama dalam kasus dengan temuan yang atipikal. Salah satu pemeriksaan radiologi sebagai penunjang diagnostik apendisitis adalah appendicogram. Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen apendiks. Penelitian ini bertujuan untuk melihat reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional study. Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2008-2011 dengan besar sampel sebanyak 52 pasien yang diambil dari data rekam medis.

Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh bahwa hasil pemeriksaan appendicogram memiliki hubungan yang signifikan terhadap hasil pemeriksaan pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi (p <0,003). Selain itu, didapati sensitivitas pemeriksaan appendicogram adalah 97,8%, spesifisitas 50%, nilai prediksi positif 93,7%, dan nilai prediksi negatif 75%.

Diskusi: Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan appendicogram masih reliable dalam penegakan diagnostik apendisitis dilihat dari hasil uji diagnostik Chi-Square dan nilai sensitivitas yang didapat. Pemeriksaan radiologi appendicogram sangat berguna dalam penegakan diagnostik kasus apendisitis ini.


(14)

ABSTRACT

Introduction: Appendicitis is an inflammation of the verformis appendix and it’s the most common cause of acute abdomen which often need a surgery procedure. The peak incidence of appendicitis with average age 20-30 years and declining after it. It’s not easy to diagnose appendicitis, especially in atypical cases. Appendicogram is an imaging study as a diagnostic procedure. Appendicogram is an examination as a radiologic examination of appendix after barium swallow which can help to see the obstruction or the fecalith (skibala) in appendix lumen. This research is done to determine the reliability from appendicogram to diagnose appendicitis in RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Methods: This research used analytic observational method which is done by cross-sectional study. The populations in this research are all of the patients who have been examined with appendicogram in RSUD Dr. Pirngadi Medan during 2008-2011. There are 52 patients were examined with appendicogram. The informations required for the study were taken from their medical records.

Results: From the results of this research, it’s found that appendicogram has a significant correlation with post-opperative or pathology (p <0.003). Beside that, it’s found that the appendicogram sensitivity is 97.8%, specificity 50%, positive predictive value 93.7%, and negative predictive value 75%.

Discussion: It can be concluded that appendicogram is still reliable in appendicitis diagnostic. This can be proved from Chi-Square diagnostic test result and the sensitivity value. Appendicogram examination is very useful to diagnose appendicitis in this case.

Key words: Appendicitis, appendicogram, diagnostic test, reliability


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Menurut Old et. al. (2005) dalam Small (2008), apendisitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen akut dan paling sering membutuhkan tindakan bedah. Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Dalam kehidupan, satu dari 500 manusia akan mengalami serangan usus buntu sehingga penanganan usus buntu yang meradang perlu dilakukan dengan baik, karena bila terjadi komplikasi atau usus buntu yang meradang pecah bisa menyebabkan kematian. Rata-rata kejadian serangan usus buntu akut terjadi pada usia dewasa muda yaitu usia antara 10 sampai 30 tahun (Sanyoto, 2007). Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Insidens tahunan dari apendisitis akut adalah 25 per 10.000 (umur 10-17 tahun) dan 1-2 per 10.000 (umur di bawah 4 tahun). Dari sekitar 293.655.405 penduduk Amerika Serikat, 734.138 orang diantaranya menderita apendisitis akut. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan insidens apendisitis akut tertinggi sebanding dengan jumlah penduduknya yang paling banyak dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sekitar 238.452.952 penduduk Indonesia, 596.132 orang diantaranya menderita apendisitis akut (U.S. Census Bureau, Population Estimates and International Data Base, 2004).

Untuk mendiagnosis apendisitis akut bukanlah hal mudah, terutama dalam kasus dengan temuan yang atipikal. Salah satu pemeriksaan radiologi sebagai


(16)

penunjang diagnostik apendisitis adalah appendicogram. Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007).

Dalam penegakan diagnosis apendisitis akut sering digunakan appendicogram. Namun, dalam buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat dan De Jong (2004) mengatakan bahwa foto barium kurang dapat dipercaya. Hal tersebut bertentangan dengan hasil studi prospektif yang dilakukan di RS Tebet Jakarta untuk mengevaluasi kegunaan appendicogram dalam mengidentifikasi pasien dengan apendisitis akut. Didapatkan akurasi diagnostik sebesar 92,5 %. Hal ini menyimpulkan bahwa appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).

Melihat adanya perbedaan tentang manfaat kegunaan appendicogram, saya merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk melihat reliabilitas penggunaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode


(17)

2008-1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui seberapa besar manfaat pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis.

2. Mengetahui gambaran radiologi berupa foto barium apendiks pada penderita apendisitis.

3. Mengetahui hubungan gambaran radiologi foto barium dibandingkan dengan diagnosis pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Informasi kepada klinisi mengenai manfaat pemeriksaan appendicogram sebagai penunjang diagnosis apendisitis.

2. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada mahasiswa lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Apendisitis

3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid


(19)

demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Gambaran apendiks diperlihatkan gambar 2.1.

Gambar 2.1. Apendiks (Indonesian Children, 2009)

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).


(20)

Klasifikasi Apendisitis

Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).

Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

2.1.3. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.1.4. Morfologi Apendisitis

Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut adalah


(21)

2.1.5. Patofisiologi

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

2.1.6. Gambaran Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


(22)

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.1.7. Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:


(23)

• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

• Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

• Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

• Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

(Departemen Bedah UGM, 2010)

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).


(24)

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:

Tabel 2.1. Skor Alvarado

Skor Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1

Anoreksia 1

Mual atau Muntah 1

Nyeri di fossa iliaka kanan 2

Nyeri lepas 1

Peningkatan temperatur (>37,5 C) 1

Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2

Neutrofilia dari ≥ 75% 1

Total 10

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.

(Burkitt, Quick, Reed, 2007)

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa


(25)

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

2.1.9. Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti:

• Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

• Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

• Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

• Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

• Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.


(26)

• Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

• Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

• Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. • Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

2.1.10. Pengobatan

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).


(27)

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

2.1.11. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).

Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992).

2.1.12. Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).


(28)

Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).

3.2.Appendicogram

3.2.1. Definisi

Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007).

3.2.2. Teknik Pemeriksaan

Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis kronis atau akut. Sedangkan kontraindikasi dilakukan pemeriksaan appendicogram adalah pasien dengan kehamilan trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.

Persiapan Bahan:

− Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air. Persiapan Pasien:

− Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.

− Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa. − Pasien diminta untuk membuka pakaian.


(29)

− Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.

− Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.

− Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari berturut-turut.

(Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan, 2011)

3.2.3. Gambaran Radiologis

Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram) merupakan apendisitis akut. Appendicogram dengan partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan appendicogram dengan kontras yang mengisi apendiks secara total (positif appendicogram) merupakan apendiks yang normal (Sibuea, 1996).

Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).


(30)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini, kerangka konsep tentang reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. : Kerangka konsep relibialitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis.

3.2. Definisi Operasional

Reliabilitas pemeriksaan appendicogram adalah seberapa besar pemeriksaan appendicogram memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran relatif konsisten dari waktu ke waktu. Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010).

Alat ukur dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data rekam medis. Rekam medis penderita apendisitis telah diamati dari hasil pemeriksaan appendicogramnya, yaitu appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram) merupakan apendisitis akut, appendicogram dengan partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan appendicogram

Gambaran


(31)

appendicogram ini kemudian dibandingkan dengan diagnosis pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi yang merupakan gold standart penegakan diagnosis apendisitis. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Robbins et.al, 2007). Hasil pemeriksaan appendicogram dan diagnosis pasca-operasi atau pemeriksaan patologi anatomi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2 untuk dinilai sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan appendicogram. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal. Pemeriksaan appendicogram masih reliable jika memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

3.3. Hipotesis

Dari landasan teori diatas dapat diajukan hipotesis: “Pemeriksaan appendicogram masih reliable dalam penegakan diagnosis apendisitis”.


(32)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik untuk melihat reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis. Adapun pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross-sectional study (pengamatan dilakukan pada satu saat tertentu), dimana dilakukan pengumpulan data dari rekam medis.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Adapun pertimbangan peneliti dalam memilih lokasi tersebut adalah dikarenakan banyaknya penggunaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi.

Adapun pengumpulan data telah dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2011, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2008-2011.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2008-2011. Besar sampel diperkirakan dengan prediksi sensitivitas atau spesifisitas, penyimpangan yang masih dapat diterima, dan interval kepercayaan yang dipilih. Dengan rumus proporsi tunggal, dihitung jumlah subyek untuk sensitivitas. Jumlah subyek total yang diperlukan mengikuti hasil perhitungan tersebut, dengan memperhitungkan


(33)

Penentuan besarnya jumlah sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus dibawah ini, tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan diketahui sensitivitas appendicogram adalah 92,5% (P=0,925) dengan ketepatan absolut yang dikehendaki 10% maka diperoleh jumlah sampel yang diperlukan adalah 26 pasien apendisitis.

n = n =

Keterangan:

n = Besar sampel

zα = Tingkat kemaknaan (ditetapkan) P = Proporsi penyakit (dari pustaka) Q = (1-P)

d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki

Kemudian dengan memperkirakan proporsi penyakit apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi medan sebesar 50%, maka jumlah seluruh subyek yang diperlukan adalah 100/50 x 26 = 52 pasien.

(Madiyono, et al., 2010)

Adapun kriteria inklusi pasien:

1.Pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram 2.Pasien yang menjalani apendektomi

3.Adanya diagnosis pasca-operasi atau pemeriksaan patologi anatomi


(34)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pada tahap awal, peneliti mengajukan permohonan izin pelaksana penelitian pada institusi pendidikan Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian permohonan izin yang diperoleh dikirim ke bagian tata usaha RSUD Dr. Pirngadi Medan. Setelah mendapat izin, maka peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan observasi jumlah pasien yang menjadi sampel penelitian serta disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi data-data rekam medis pasien penderita apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2008-2011. Kemudian dilanjutkan dengan pencatatan rekam medis pasien yang menjadi target penelitian. Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan analisa terhadap data tersebut.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama, dengan memeriksa kelengkapan data dalam rekam medis. Setelah itu, dilanjutkan dengan menggunakan bantuan SPSS ver.18 (Statistical Package for the Social Science version 18) yang kemudian dianalisa untuk melihat reliabilitas pemeriksaan appendicogram.


(35)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian RSUD Dr. Pirngadi Medan

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan yang terletak di jalan Prof. H. M. Yamin S.H. No. 47 Medan Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Daerah ini milik pemerintah kota Medan yang merupakan rumah sakit pendidikan dan terakreditasi B. Rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 11 Agustus 1928 dan merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Provinsi Sumatera Utara. Data penelitian ini diambil dari bagian instalasi rekam medis yang terletak di lantai 2.

5.1.2. Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah sampel yang terlibat dalam studi ini adalah sebanyak 52 sampel. Semua data sampel diambil dari data sekunder, yaitu rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan appendicogram.

Tabel 5.1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Appendicogram

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki Perempuan

15 37

28,8 71,2

Total 52 100,0

Berdasarkan tabel 5.1. dapat diketahui bahwa dari 52 sampel, pasien berjenis kelamin perempuan yang lebih banyak menjalani pemeriksaan appendicogram yaitu sebanyak 37 orang (71,2%) dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu 15 orang (28,8%).


(36)

5.1.3. Deskripsi Sampel Bedasarkan Umur

Distribusi sampel berdasarkan umur dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.2. Distribusi Umur Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Appendicogram

Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

11-20 tahun 21-30 tahun

14 13

26,9 25,0 31-40 tahun 8 15,4 41-50 tahun 8 15,4

51-60 tahun 6 11,5

61-70 tahun 3 5,8

Total 52 100,0

Dari tabel 5.2. tersebut dapat dilihat distribusi umur pasien tertinggi terletak pada umur 11-20 tahun sebanyak 14 orang (26,9%) dan umur 21-30 tahun sebanyak 13 orang (25%) yang kemudian setelah itu menurun seiring bertambahnya usia.

5.1.4. Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Apendisitis

Distribusi sampel berdasarkan jenis apendisitis, termasuk apendiks normal dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.3. Distribusi Jenis Apendisitis yang Dialami Pasien

Jenis Apendisitis Frekuensi (n) Persentase (%)

Normal Apendiks Apendisitis

6 10

11,5 19,2 Apendisitis Akut 16 30,8 Apendisitis Kronis 19 36,5


(37)

Dari tabel 5.3. tersebut dapat dilihat jenis apendisitis pada pasien yang telah melalukan pemeriksaan appendicogram. Jenis apendisitis terbanyak yang dialami pasien adalah apendisitis kronis sebanyak 19 pasien (36,5%).

5.1.5. Hasil Analisis Penelitian

Setelah data terkumpul, maka akan dilakukan uji hipotesis untuk melihat bagaimana hubungan hasil pemeriksaan appendicogram yang dibandingkan dengan hasil pemeriksaan pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi.

Untuk mendapatkan kesimpulan ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan tersebut, maka dilakukan uji hipotesis Chi-Square. Rincian uji Chi-Square dapat dilihat dalam tabel 5.4.

Tabel 5.4. Uji Chi-Square: Hubungan Pemeriksaan Appendicrogam

dengan Hasil Pemeriksaan Pasca-operasi atau Patologi Anatomi

Hasil Pemeriksaan Appendicogram

Hasil Pemeriksaan Pasca-operasi atau Patologi Anatomi

Normal % Apendisitis %

Positif 3 50 1 2,2

Negatif 3 50 45 97,8

p < 0,003

Dari hasil uji Chi-Square didapat nilai p adalah <0,003. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pemeriksaan appendicogram dengan pemeriksaan pasca-operasi atau pemeriksaan patologi anatomi.

Sedangkan untuk melihat seberapa besar akurasi diagnostik pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnostik apendisitis, maka perlu diketahui seberapa besar sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan appendicogram. Penghitungan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tabel 2 x 2. Dapat dilihat dalam tabel 5.5.


(38)

Tabel 5.5. Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Appendicogram Hasil Pemeriksaan

Appendicogram

Hasil Pemeriksaan Pasca-operasi atau Patologi Anatomi

+ (Apendisitis)

- (Normal) Apendisitis

(Negatif Appendicogram)

45 a 3 b

Normal

(Positif Appendicogram)

1 c 3 d

Hasil Perhitungan:

• Sensitivitas = a : (a+c) = 45 : (45+1) = 0,9782 x 100% = 97,8 % • Spesifisitas = d : (b+d) = 3 : (3+3) = 0,5 x 100% = 50%

• Nilai Prediksi (+) = a : (a+b) = 45 : (45+3) = 0,9375 x 100% = 93,7% • Nilai Prediksi (-) = d : (c+d) = 3 : (1+3) = 0,75 x 100% = 75%

Dari hasil perhitungan tabel, didapati sensitivitas pemeriksaan appendicogram adalah 97,8%. Hal ini berarti diantara subyek penderita apendisitis, 97,8% dapat dideteksi dengan uji diagnostik tersebut. Selain itu, spesifisitas pemeriksaan appendicogram adalah 50%. Hal ini berarti bahwa apendisitis dapat disingkirkan pada 50% pasien yang sehat. Probabilitas seseorang menderita penyakit bila hasil uji diagnostiknya positif (Nilai Prediksi Positif) adalah 93,7%. Probabilitas seseorang tidak menderita penyakit bila hasil ujinya negatif (Nilai Prediksi Negatif) adalah 75%.

5.2. Pembahasan 5.2.1. Apendisitis


(39)

dituliskan dalam buku-ajar Ilmu Bedah bahwa insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya pasien yang berjenis kelamin perempuan datang berobat ke RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Hasil penelitian di RSUD Dr. Pirngadi Medan memperlihatkan distribusi umur pasien 11-20 tahun (26,9%), umur 21-30 tahun (25%), umur 31-40 tahun (15,4%), umur 41-50 tahun (15,4%), umur 51-60 tahun (11,5%), dan umur 61-70 tahun (5,8%). Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

5.2.2. Appendicogram

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan didapati sensitivitas pemeriksaan appendicogram sebesar 97,8%. Hal ini memperlihatkan bahwa pemeriksaan appendicogram memiliki nilai sensitivitas yang tinggi dalam penegakan diagnosis apendisitis. Namun, pemeriksaan appendicogram memiliki nilai spesifisitas yang rendah yaitu 50%. Hal ini berarti bahwa apendisitis dapat disingkirkan pada 50% pasien yang sehat. Dari hasil uji Chi-Square didapat nilai p value <0,05. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pemeriksaan appendicogram dengan pemeriksaan pasca-operasi atau pemeriksaan patologi anatomi. Sehingga dapat disimpulkan dari nilai sensitivitas dan uji diagnostik Chi-Square bahwa pemeriksaan appendicogram masih dapat dipercaya dalam penegakan diagnostik apendisitis.

Hasil penelitian di RSUD dr. Pirngadi Medan diatas sesuai dengan hasil studi prospektif yang dilakukan di RS Tebet Jakarta untuk mengevaluasi kegunaan appendicogram dalam mengidentifikasi pasien dengan apendisitis akut. Didapatkan akurasi diagnostik sebesar 92,5 %. Hal ini menyimpulkan bahwa appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).


(40)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai reliabilitas pemeriksaan appendicogram dalam penegakan diagnosis apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil pemeriksaan appendicogram memiliki hubungan yang signifikan terhadap hasil pemeriksaan pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi (p value <0,05). Sebagian besar diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan appendicogram pasien akan memperlihatkan hasil yang sama dengan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan pasca-operasi atau hasil pemeriksaan patologi anatomi.

2. Sensitivitas pemeriksaan appendicogram adalah 97,8%. Hal ini berarti diantara subyek penderita apendisitis, 97,8% dapat dideteksi dengan uji diagnostik tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan appendicogram memiliki sensitivitas yang tinggi dalam penegakan diagnosis apendisitis.

3. Hipotesis bahwa pemeriksaan appendicogram masih reliable dalam penegakan diagnostik apendisitis dapat dibuktikan melalui hasil uji diagnostik Chi-Square dan nilai sensitivitas yang didapat.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi dokter dan tenaga kesehatan lain agar dapat melakukan teknik pemeriksaan appendicogram sesuai prosedur dan menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan sehingga dapat memberikan hasil pemeriksaan yang akurat dan diagnosis yang


(41)

2. Bagi pasien yang akan melakukan pemeriksaan appendicogram agar dapat mengikuti semua prosedur yang telah dijelaskan oleh dokter sehingga hasil pemeriksaan akan akurat.

3. Bagi pihak rumah sakit agar dapat membuat rekam medis pasien dengan sangat baik dan lengkap sehingga akan lebih mudah untuk mengetahui data serta perjalanan penyakit pasien.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, H., 1992. Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441-452.

Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In: Essential Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth Edition. London: Elsevier, 389-398.

Craig, S., 2011. Appendicitis Treatment & Management. Available from: 2011].

Crawford, J dan Kumar, V., 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal. In: Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 660-661.

Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Available from:

Docstoc. 2010. Askep Apendisitis. Available from:

April 2011]

Indonesian Children. 2009. Apendisitis Akut atau Usus Buntu. Available from:


(43)

Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H., 2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro & Ismael, ed. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 302-330.

Pusponegoro, H.D., Wirya, W., Pudjiadi, A., Bisanto, J., Zulkarnain, S.Z., 2010. Uji Diagnostik. Dalam: Sastroasmoro & Ismael, ed. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 193-215.

RSUD Dr. Pirngadi Medan, 2011. Prosedur Tetap (Protap) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi. Pelayanan Radio-Diagnostik RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Sanyoto, D., 2007. Masa Remaja dan Dewasa. Dalam: Utama, Hendra, ed. Bunga Rampai Masalah Kesehatan dari dalam Kandungan sampai Lanjut Usia. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 297-300.

Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:EGC, 639-645.

Small, V., 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed. Accident & Emergency Theory into Practice. Second Edition. London: Elsevier, 477-478.


(44)

U.S. Census Bureau, Population Estimates and International Data Base. 2004. Statistics by Country for Acute Appendicitis. Available from:


(45)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Nawal Hasya Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 5 April 1991

Agama : Islam

Alamat : Jalan Alfalah II No.7, Glugur Darat, Medan Orang Tua : Ayah : drg. H. Syaukani M.J., MS.

Ibu : drg. Hj. Hadijah Balatif

Riwayat Pendidikan :

1. SD Muhammadiyah 02 Medan (1996-1997)

2. SD Perguruan Taman Siswa cabang LNG Arun Lhokseumawe (1997-2000)

3. SD Swasta Pertiwi Medan (2000-2002) 4. SLTP Negeri 7 Medan (2002-2005)

5. SMA Swasta Dharmawangsa Medan (2005-2008)

6. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2008-Sekarang)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Divisi Pengabdian Masyarakat PEMA FK USU periode 2009-2010 dan 2010-2011

2. Ketua Divisi Pengabdian Masyarakat SCOPH PEMA FK USU periode 2009-2010 dan 2010-2011

3. Anggota Divisi Pengabdian Masyarakat PHBI FK USU periode 2009-2010

Pas Photo

3x4 cm


(46)

LAMPIRAN 4

Data Induk Penelitian

“Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apendisitis

di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011”

No. Nama Pasien

Jenis Kelamin

Umur

Hasil Pemeriksaan

Appendicogram Post Operasi/ Patologi Anatomi 1. F H Pr 43 Non-filling Appendix Apendistis

Perforasi

2. D F Pr 13 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 3. H A Pr 14 Appendix Pathologis Apendisitis 4. F M Pr 41 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

5. A T Lk 30 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 6. E T Pr 31 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 7. K G Pr 58 Partial Filling

Appendix

Apendisitis Kronis 8. L R Lk 60 Non-filling Appendix Apendisitis

Kronis

9. I S Pr 30 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 10. K S Pr 21 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 11. N T Pr 33 Non-filling Appendix Apendisitis

Kronis

12. M S H Lk 42 Non-visual Appendix Apendisitis Akut 13. A Pr 25 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 14. T S Pr 17 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 15. I S S Pr 15 Non-filling Appendix Apendisitis 16. D W Pr 18 Appendix Pathologis Apendisitis


(47)

18. Y N S Pr 11 Appendix Pathologis Apendisitis 19. T S Pr 55 Non-filling Appendix Apendisitis Akut 20. E Pr 18 Non-filling Appendix Apendisitis Akut 21. L M Pr 31 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 22. M M S Lk 44 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 23. N A R Pr 28 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis 24. M H Lk 38 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 25. R Lk 58 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis 26. D T Pr 48 Non-filling Appendix Apendisitis 27. R S Pr 37 Appendix Pathologis Apendisitis 28. F S Pr 62 Non-visual Appendix Apendisitis 29. M S Lk 42 Appendix Pathologis Apendisitis 30. S B M Pr 23 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 31. R P Pr 40 Non-filling Appendix Apendisitis

(Fecal Material Prominen) 32. H G Lk 30 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 33. M Lk 22 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis

34. H N Lk 19 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 35. H Pr 20 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis 36. R D P Pr 14 Non-filling Appendix Apendisitis 37. H S Pr 39 Appendix Pathologis Apendisitis 38. R U Pr 40 Full Filling Appendix Apendisitis

Kronis 39. L S Pr 64 Full Filling Appendix Normal

Appendix

40. N P Pr 27 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 41. S S Lk 44 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 42. H B Pr 55 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

43. M A Lk 20 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 44. L M Pr 27 Appendix Pathologis Apendisitis Akut


(48)

45. D D Pr 44 Full Filling Appendix Normal Appendix

46. Z Lk 17 Appendix Pathologis Apendisitis Akut 47. S Pr 21 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix 48. M C Pr 24 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix

49. N N Pr 22 Non-filling Appendix Apendisitis Akut 50. R N Pr 18 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix 51. M R Lk 66 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis 52. N Pr 52 Full Filling Appendix Normal


(49)

LAMPIRAN 5

Output Komputerisasi Penelitian

A. Distribusi Jenis Kelamin Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Appendicogram

Statistics

Jenis Kelamin Pasien

N Valid 52

Missing 0

Jenis Kelamin Pasien

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 15 28.8 28.8 28.8

perempuan 37 71.2 71.2 100.0

Total 52 100.0 100.0

B. Distribusi Umur Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Appendicogram

Kategori Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 11-20 14 26.9 26.9 26.9

21-30 13 25.0 25.0 51.9

31-40 8 15.4 15.4 67.3

41-50 8 15.4 15.4 82.7

51-60 6 11.5 11.5 94.2

61-70 3 5.8 5.8 100.0


(50)

C. Distribusi Jenis Apendisitis yang Dialami Pasien

Jenis Apendisitis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid normal appendix 6 11.5 11.5 11.5

apendisitis 10 19.2 19.2 30.8

appendisitis akut 16 30.8 30.8 61.5

appendisitis kronis 19 36.5 36.5 98.1

appendisitis perforasi 1 1.9 1.9 100.0

Total 52 100.0 100.0

D. Uji Chi-Square: Hubungan Pemeriksaan Appendicogram dengan Hasil Pemeriksaan Pasca-Operasi atau Patologi Anatomi

Hasil Pemeriksaan Appendicogram * Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi Crosstabulation

Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

Total

normal appendisitis

Hasil Pemeriksaan Appendicogram

Positif Count 3 1 4

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

50.0% 2.2% 7.7%

negatif Count 3 45 48

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

50.0% 97.8% 92.3%

Total Count 6 46 52

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi


(51)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 17.098a 1 .000

Continuity Correctionb 11.026 1 .001

Likelihood Ratio 10.251 1 .001

Fisher's Exact Test .003 .003

Linear-by-Linear Association 16.769 1 .000

N of Valid Cases 52

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .46. b. Computed only for a 2x2 table


(1)

LAMPIRAN 4

Data Induk Penelitian

“Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apendisitis

di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011”

No. Nama

Pasien

Jenis Kelamin

Umur

Hasil Pemeriksaan

Appendicogram Post Operasi/ Patologi Anatomi

1. F H Pr 43 Non-filling Appendix Apendistis

Perforasi

2. D F Pr 13 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

3. H A Pr 14 Appendix Pathologis Apendisitis

4. F M Pr 41 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

5. A T Lk 30 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

6. E T Pr 31 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

7. K G Pr 58 Partial Filling

Appendix

Apendisitis Kronis

8. L R Lk 60 Non-filling Appendix Apendisitis

Kronis

9. I S Pr 30 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

10. K S Pr 21 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

11. N T Pr 33 Non-filling Appendix Apendisitis

Kronis

12. M S H Lk 42 Non-visual Appendix Apendisitis Akut

13. A Pr 25 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

14. T S Pr 17 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

15. I S S Pr 15 Non-filling Appendix Apendisitis

16. D W Pr 18 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

17. H H Lk 14 Non-filling Appendix Apendisitis


(2)

18. Y N S Pr 11 Appendix Pathologis Apendisitis

19. T S Pr 55 Non-filling Appendix Apendisitis Akut

20. E Pr 18 Non-filling Appendix Apendisitis Akut

21. L M Pr 31 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

22. M M S Lk 44 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

23. N A R Pr 28 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis

24. M H Lk 38 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

25. R Lk 58 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis

26. D T Pr 48 Non-filling Appendix Apendisitis

27. R S Pr 37 Appendix Pathologis Apendisitis

28. F S Pr 62 Non-visual Appendix Apendisitis

29. M S Lk 42 Appendix Pathologis Apendisitis

30. S B M Pr 23 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

31. R P Pr 40 Non-filling Appendix Apendisitis

(Fecal Material Prominen)

32. H G Lk 30 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

33. M Lk 22 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis

34. H N Lk 19 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

35. H Pr 20 Non-visual Appendix Apendisitis

Kronis

36. R D P Pr 14 Non-filling Appendix Apendisitis

37. H S Pr 39 Appendix Pathologis Apendisitis

38. R U Pr 40 Full Filling Appendix Apendisitis

Kronis

39. L S Pr 64 Full Filling Appendix Normal

Appendix

40. N P Pr 27 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

41. S S Lk 44 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis


(3)

45. D D Pr 44 Full Filling Appendix Normal Appendix

46. Z Lk 17 Appendix Pathologis Apendisitis Akut

47. S Pr 21 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix

48. M C Pr 24 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix

49. N N Pr 22 Non-filling Appendix Apendisitis Akut

50. R N Pr 18 Partial Filling

Appendix

Normal Appendix

51. M R Lk 66 Appendix Pathologis Apendisitis

Kronis

52. N Pr 52 Full Filling Appendix Normal


(4)

LAMPIRAN 5

Output Komputerisasi Penelitian

A. Distribusi Jenis Kelamin Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Appendicogram

Statistics

Jenis Kelamin Pasien

N Valid 52

Missing 0

Jenis Kelamin Pasien

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 15 28.8 28.8 28.8

perempuan 37 71.2 71.2 100.0

Total 52 100.0 100.0

B. Distribusi Umur Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Appendicogram

Kategori Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 11-20 14 26.9 26.9 26.9

21-30 13 25.0 25.0 51.9

31-40 8 15.4 15.4 67.3

41-50 8 15.4 15.4 82.7


(5)

C. Distribusi Jenis Apendisitis yang Dialami Pasien

Jenis Apendisitis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid normal appendix 6 11.5 11.5 11.5

apendisitis 10 19.2 19.2 30.8

appendisitis akut 16 30.8 30.8 61.5

appendisitis kronis 19 36.5 36.5 98.1

appendisitis perforasi 1 1.9 1.9 100.0

Total 52 100.0 100.0

D. Uji Chi-Square: Hubungan Pemeriksaan Appendicogram dengan Hasil Pemeriksaan Pasca-Operasi atau Patologi Anatomi

Hasil Pemeriksaan Appendicogram * Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi Crosstabulation

Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

Total

normal appendisitis

Hasil Pemeriksaan Appendicogram

Positif Count 3 1 4

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

50.0% 2.2% 7.7%

negatif Count 3 45 48

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi

50.0% 97.8% 92.3%

Total Count 6 46 52

% within Hasil Pemeriksaan Post Operasi/Patologi Anatomi


(6)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 17.098a 1 .000

Continuity Correctionb 11.026 1 .001

Likelihood Ratio 10.251 1 .001

Fisher's Exact Test .003 .003

Linear-by-Linear Association 16.769 1 .000

N of Valid Cases 52

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .46. b. Computed only for a 2x2 table