Jenis­jenis Receivable Financing

34 ditimbang karena bentuknya sama seperti buah kelapa, telur dan dapat diukur dengan sesuatu ukuran panjang seperti kain. 39 Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa boleh memberikan pinjaman pada setiap harta yang sah untuk dijual baik itu barang yang dapat ditakar atau ditimbang seperti emas, perak dan makanan atau barang­barang tersebut adalah barang qimiy, yaitu barang­ barang yang tidak mempunyai unit yang serupa di pasar seperti barang perniagaan. 40

3. Jenis­jenis Receivable Financing

Receivable financing atau piutang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis 41 yang salah satu di antaranya adalah piutang dagang atau account receivable. Piutang ini berasal dari penjualan barang dan jasa yang merupakan kegiatan utama perusahaan. Piutang dagang dapat dikelompokkan sebagai unsur lancar pada neraca. Jenis lainnya dari receivable financing atau piutang adalah wesel tagihan atau notes receivable. Pemberian kredit kepada pelanggan dapat pula didukung oleh suatu dokumen kredit yang resmi yang disebut wesel atau promes. Wesel adalah janji tertulis untuk melunasi jumlah piutang tertentu dalam waktu tertentu pula. Jenis lain dari receivable financing atau piutang yang tidak kalah pentingnya adalah adanya piutang lain­lain. Piutang lain­lain merupakan 39 Wahbah Zuhailly, Al­Fiqh Al­Islam wa Adillatuhu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995, h. 729 40 Hasan Ayyub, Fiqh Muamalat fi Al­Islam, h. 175 41 Mulyadi, Sistem Akuntansi, h. 145 ­ 146 35 kelompok rupa­rupa piutang yang meliputi pinjaman kepada karyawan dan perusahaan afiliasi, piutang bunga dan piutang pajak. Piutang lain­lain disajikan secara terpisah dari piutang dagang dan wesel tagihan neraca. Jika unsur dari piutang lain­lain tersebut diharapkan dapat dilunasi dalam satu tahun, maka piutang ini dapat dikelompokkan sebagai bagian dari aktiva lancar pada neraca. Namun jika penerimaannya diharapkan lebih dari jangka waktu satu tahun, maka piutang ini dapat dikelompokkan sebagai aktiva yang tidak lancar dan dalam neraca dilaporkan sebagai investasi jangka panjang, yaitu antara aktiva lancar dan aktiva tetap. 4. Penyelesaian Receivable Financing Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 47DSN­MUIII2005 tentang penyelesaian receivable financing atau piutang bagi nasabah yang tidak mampu membayar piutang, maka ditetapkan sebagai berikut : 42 a. Bahwa sistem pembayaran piutang pada lembaga keuangan syariah pada umumnya dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati antara lembaga keuangan syariah dengan pihak nasabah. b. Bahwa dalam hal nasabah tidak mampu membayar, maka diselesaikan dengan prinsip syariah Islam. c. Bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut syariah Islam, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman 42 Mulyadi, Sistem Akuntansi, h. 145 ­ 146 36 Ketentuan penyelesaian lembaga keuangan syariah boleh melakukan penyelesaian piutang bagi nasabah yang tidak mampu melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati dengan ketentuan jaminan dijual oleh nasabah kepada lembaga keuangan syariah dengan harga pasar yang disepakati. Nasabah melunasi sisa piutangnya kepada lembaga keuangan syariah dari hasil penjualan jaminan tersebut. Jika hasil penjualan jaminan lebih kecil dari sisa piutang, maka sisa piutang tetap menjadi piutang nasabah. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara pihak­pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 5. Rukun dan Syarat Receivable Financing Ajaran Islam telah menerapkan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi receivable financing atau piutang yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah Al­Qardhul Hasan. Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka akad Al­Qardhul Hasan ini tidak menjadi sah. Adapun rukun Al­Qardhul Hasan adalah peminjam muqtaridh, pemberi pinjaman muqtaridh, dana Al­Qardh, ijab dan qabul. 43 Menurut Imam Syafi’i, rukun Al­Qardh sama dengan jual beli. 44 Rukun Al­Qardh terdiri atas muqridh pihak yang menghutangi, muqtaridh pihak yang berhutang, ijab dan qabul serta barang yang dapat 43 Wahbah Zuhailly, Al­Fiqh Al­Islam wa Adillatuhu, h. 730 44 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 279 37 dipinjamkan. Adapun syarat pinjaman terdiri atas besarnya pinjaman harus diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya. Sifat pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan dan pinjaman berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Sedangkan syarat­syarat piutang terdiri atas muqridh kreditur dan muqtaridh debitur. Syarat­syarat bagi kreditur dan debitur adalah berakal, atas kehendak sendiri dan tidak mubazir sehingga pinjaman tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan, dan syarat yang terakhir bagi kedua belah pihak adalah balig dewasa atau sudah cukup umur. 45 Menurut Imam Hanafi, memberikan piutang kepada anak kecil atau orang yang berada dalam perwalian tidak dibolehkan. 46 Syarat Al­Qardhul Hasan yang kedua adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul merupakan syarat yang harus dilakukan oleh pihak­pihak yang melakukan akad qardh. Kontrak ini tidak sah dilakukan kecuali dengan ijab dan qabul, sebab Al­Qardh merupakan kontrak pemberian milik kepada seseorang. Lafadz yang sah digunakan ialah lafadz Al­Qardh dan Al­Salaf, sebab syara’ menyebutkan keduanya. Syarat Al­Qardhul Hasan yang ketiga adalah adanya barang yang dipinjamkan. Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali sama­sama berpendapat bahwa barang yang dipinjamkan adalah sesuatu yang dihutangkan 45 Chatibul Umam, et.al., Fiqh Empat Mazhab, Jakarta: Daar Al­Ulum Press, 2001, Cet. k e­1, h. 291 46 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 279 38 merupakan sesuatu yang sah dalam akad qardh seperti barang yang ditakar, ditimbang, diukur, dihitung, dan lain sebagainya. 47 Meskipun Al­Qardh bersifat tolong menolong, tetapi ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam melalukan akad qardh. Hal­hal yang perlu diperhatikan dalam akad qardh di antaranya adalah sebagai berikut : a. Jika pihak debitur menghadiahkan sesuatu kepada pihak kreditur, maka hal itu boleh diterima dan disukai oleh pihak debitur agar membayar dengan yang lebih baik. b. Menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahad, pihak kreditur tidak boleh mengambil manfaat sesuatu dari pihak debitur, 48 karena akad qardh bertujuan untuk berlemah lembut antar sesama manusia, menolong urusan kehidupan dan memudahkan sarana hidup mereka, bukan bermaksud memperoleh keuntungan. Demikian pula menurut Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali, bahwa pihak kreditur tidak boleh mengharapkan tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. Misalnya pihak kreditur meminjamkan uang kepada pihak debitur dengan syarat pihak debitur harus mengembalikan pinjamannya dalam jumlah yang lebih banyak. Begitu juga dengan hadiah yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur jika disyaratkan oleh kedua belah pihak pada saat melakukan akad, maka hal itu tidak dibolehkan. 49 Akad tersebut akan batal bila pihak kreditur mengambil manfaat tambahan 47 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 280 48 M. Hasbi Al­Shiddiqi, Hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. ke­1, h. 364 49 Syed Ahmad Husein, et.al., Fiqh dan Perundang­undangan Islam, h. 731 39 yaitu dengan cara meminta ganti yang lebih banyak atau yang lebih bagus seperti gandum yang tadinya tidak bersih dengan syarat diganti dengan gandum yang lebih bagus dan bersih. 50 Manfaatnya hanya untuk pihak debitur dan hadiah yang diberikan kepada kreditur bukan karena ia berhutang kepada debitur tersebut. 51 c. Pihak kreditur tidak boleh memaksa pihak debitur untuk mempercepat pembayaran sebelum jatuh tempo. Terlebih lagi pihak debitur dalam kondisi kesusahan, maka sebaiknya tagihan tersebut ditangguhkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut : bÎur šcx. rèŒ ;ouŽô£ãã îot•ÏàoYsù 4’nÎ ;ouŽy£÷•tB 4 brur q裉|Ás? ׎ö•yz óOà6©9 bÎ óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ : 280 . Artinya : “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah kesempatan sampai ia memiliki kelapangan rizki dan mensadaqahkan sebagian atau semua utang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. QS. Al­Baqarah : 280. Namun sebaliknya, bagi pihak debitur tidak boleh menunda­ nunda pembayaran jika ia sudah mampu untuk membayarnya, karena hal ini merupaka suatu kezaliman, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut : َﻋ ْﻦ َﺃ ِﺑ ﻰ ُﻫ َﺮ ْﻳ َﺮ َﺓ َﺭ ِﺿ َﻲ ُﷲﺍ َﻋ ْﻨ ُﻪ َﻗ َﻝﺎ ٬ َﻗ َﻝﺎ َﺭ ُﺳ ْﻮ ُﻝ ِﷲﺍ َﺻ َﻠ ﻰ ُﷲﺍ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳ ﱠﻠ َﻢ : َﻣ ْﻄ ُﻞ ْﻟﺍ َﻐ ﱢﻨ ِﻰ ُﻇ ْﻠ ٌﻢ َﻭ ِﺍ َﺫ ﺍ َﺃ ْﺗ َﺒ َﻊ َﺍ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َﻋ َﻠ ﻰ ُﻣ ِﻠ ٍءﻰ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﺘ َﺒ ْﻊ ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ . 52 Artinya : “Dari Abi Hurairah ra berkata, bersabda Rasulullah SAW : Penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya adalah 50 Syed Ahmad Husein, et.al., Fiqh dan Perundang­undangan Islam, h. 732 51 Syed Ahmad Husein, et.al., Fiqh dan Perundang­undangan Islam, h. 733 52 Imam Muslim, Shahih Muslim bi al­Syarhi al­Nawawi, Kairo: Daar Al­Hadits, 1994, Juz V, h. 493 40 pebuatan zalim. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang kaya, maka ia hendaklah menerima hiwalah tersebut”. HR. Muslim. Dengan demikian, adanya piutang ini sangat bermanfaat terutama bagi para pengusaha kecil, di samping dapat meningkatkan semangat wirausaha dan tumbuhnya ekonomi yang berbasis syariah. Adapun manfaat dari pembiayaan Al­Qardhul Hasan antara lain adalah bersifat mendidik. Peminjam wajib mengembalikan dana, sehingga dana tersebut terus bergulir untuk nasabah lainnya yang makin hari makin bertambah. Setelah usahanya berhasil, peminjam diharapkan dapat mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah atas hasil usahanya itu. Dana zakat, infaq dan shadaqah ini merupakan dana sosial yang terus dimanfaatkan bagi peminjam berikutnya. Oleh sebab itu, peminjam diwajibkan untuk mengembalikan dana pinjamannya dan membayar biaya administrasi. Jika kesepakatan ini dapat diwujudkan, maka hal ini baru dinamakan Al­Qardh atau piutang. 41

BAB III GAMBARAN UMUM BANK DKI SYARIAH JAKARTA

A. Sejarah Singkat Bank DKI Syariah Jakarta

Bank DKI Syariah adalah Unit Usaha Syariah dari PT. Bank DKI Jakarta. Bank DKI pada mulanya merupakan Bank Pembangunan Daerah BPD DKI Jakarta yang beroperasi berdasarkan Akta Notaris No. 30 tanggal 11 April 1961 yang dibuat di hadapan Notaris Eliza Pondang SH, di Jakarta dengan nama PT. Bank Pembangunan DKI Jakarta Raya yang disingkat BPD JAYA. Landasan hukum pendirian Bank Pembangunan DKI Jakarta adalah Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan Lembaga Perkreditan dan Izin Usaha dari Menteri Keuangan No. BUN9224 tanggal 11 April 1961. Modal dasar saat didirikan adalah sebesar Rp. 2.500.000,­ yang terdiri atas 250 lembar saham. Pemegang saham pada waktu itu adalah Pemerintah DKI Jakarta sebanyak 200 lembar saham dan 50 lembar saham dimiliki oleh Asuransi Bumiputra 1912. Jumlah modal disetor adalah sebesar Rp. 2.500.000,­ Dalam rangka penyesuaian dengan Undang­Undang No. 13 Tahun 1962 tentang ketentuan­ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah dan sebagai pelaksana Undang­Undang tersebut, maka diterbitkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1978 tentang Bank Pembangunan DKI Jakarta. Dalam Peraturan Daerah tersebut modal dasar ditingkatkan menjadi Rp. 1 milyar