Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu upaya merealisasikan nilai­nilai ekonomi Islam dalam aktivitas nyata masyarakat adalah dengan mendirikan lembaga­lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan syariah Islam. Dari sekian jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor paling besar pengaruhnya dalam perekonomian masyarakat modern. Upaya intensif pendirian bank syariah di Indonesia itu ada sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober pakto yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. 1 Krisis mutli­dimensi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 masih meninggalkan dampak pada dunia bisnis Indonesia, terutama perbankan nasional. Perbankan nasional harus menanggung Non Performing Loan yang sangat besar akibat dari krisis yang menimpa sektor riil. Non Performing Loan dapat mengganggu likuiditas sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan, dan dalam waktu yang bersamaan muncul masalah lain yaitu negative spread. 2 Bila bank konvensional tidak juga menemukan vaksin penangkal virus negative spread, perbankan syariah relatif imun dan bahkan tak tersentuh. 1 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Pustaka Alvabet, 1999, h. 192 2 Ahmad Riawan Amin, “Bukan Alternatif Tapi Solusi”, Modal, Jakarta 1 Januari 2003, h. 12 ­ 13 2 Untuk itu, Bank Indonesia menerapkan Tight Money Policy atau kebijakan uang ketat. Otoritas moneter berharap dengan menetapkan bunga hingga setinggi itu, dana masyarakat akan tersedot ke sistem perbankan. Namun pada kenyataannya, kebijakan ini menjadi beban berat yang harus dipikul dunia perbankan konvensional. Banyak di antara bank­bank itu yang kelimpungan tercekik oleh tingginya bunga. Mereka harus membayar bunga simpanan masyarakat dengan bunga yang selangit, sementara bank tidak dapat menarik bunga kredit sebesar itu dari nasabah. Seperti diketahui bahwa fragmen itu berlanjut dengan tumbangnya satu demi satu bank konvensional karena kesulitan likuiditas. Aliran dana mereka semakin parah ketika kredit yang dikucurkan kepada para debitur banyak yang macet. Akhirnya bank pun banyak yang terlikuidasi. Likuiditas adalah tingkat di mana suatu aktiva dapat diubah ke dalam mata uang baik uang kertas maupun uang logam yang dilakukan untuk melaksanakan pembayaran. Kegiatan pembayaran merupakan salah satu tugas pokok bank yang secara terus menerus harus dilaksanakan guna mempertahankan dan mengembangkan usaha dari bank tersebut. Oleh sebab itu, sangat diperlukan manajemen untuk menangani kegiatan pembiayaan pada berbagai bank tak terkecuali bank syariah. Kegiatan dan penyaluran dana bank syariah memerlukan pengendalian untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga. Pengelolaan dilakukan dengan manajemen likuiditas yang terorganisir dan sistematis. Tanpa memiliki pengendalian yang ketat dan kokoh, kelancaran likuiditas sulit untuk dipenuhi. 3 Salah satu kebijakan manajemen likuiditas adalah mencukupi pemeliharaan cadangan. 3 Pemeliharaan cadangan adalah penyisihan terhadap sejumlah dana dalam rangka memenuhi kebutuhan kewajiban. Terdapat dua pemeliharaan utama yaitu cadangan utama dan cadangan tambahan. 4 Bank syariah akan menyisihkan dana untuk keperluan cadangan tambahan demi menjaga likuiditas jangka pendek dan menengah. Komponen cadangan tambahan ini harus memiliki tingkat likuiditas yang tinggi agar dapat dicairkan pada saat diperlukan. Oleh karena itu, terdapat beberapa faktor yang mendorong penerapan manajemen likuiditas secara intensif yang salah satu di antaranya adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari nasabah bank itu sendiri. 5 Bank senantiasa menjaga aset, likuiditas dan kecukupan modal pada posisi yang tepat karena kesalahan manajemen bank dalam mengatur aset, likuiditas dan kecukupan modal akan mengakibatkan kesulitan dalam membayar kewajiban jangka pendek dan menutup resiko kerugian jika terjadi dalam upaya menentukan tingkat kredibilitas bank yang bersangkutan. Kebutuhan dana sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia berupa minimum cash untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya deposit yang ditarik sebelum jatuh tempo, komitmen dan mencukupi kas bagi keperluan bank yang tidak terduga dengan cara melakukan pembiayaan. 3 Masyhud Ali, Asset Liability Management; Menyiasati Resiko Pasar Operasional Dalam Perbankan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002, h. 272 4 Masyhudi Ali, Asset Liability Management; Menyiasati Resiko Pasar Operasional Dalam Perbankan, h. 328 5 Zainul Arifin, Dasar­Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, h. 101 4 Pembiayaan cash financing pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian antara cash flow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas yang biasa disebut rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini, bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata­rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut. 6 Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas dasar pinjaman itu, bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya, tetapi bila bank merasa perlu dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama digunakan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikutnya dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Jika ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank. Tingginya tingkat persaingan antar bank saat ini, memaksa bank untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada para nasabahnya yang salah satunya dengan cara mempermudah syarat pembayaran produk. Oleh karena itu, pembayaran yang ditunda atau pembayaran secara kredit menjadi suatu kebutuhan bagi bank dalam rangka meningkatkan volume penjualannya atas 6 Zainul Arifin, Dasar­Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvavet, 2006, Cet. ke­4, h. 202 5 penjualan secara kredit tersebut, maka bank memiliki piutang kepada pelanggan. 7 Piutang bagi perusahaan akan memperlambat arus kas karena dana tunai atau kas akan masuk setelah piutang tersebut jatuh tempo, padahal di sisi lain perusahaan membutuhkan uang tunai atau kas untuk kegiatan operasionalnya. 8 Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang dengan imbalan bunga. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya, tetapi bila bank merasa perlu dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama­tama digunakan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank. 9 Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan dana yang bersumber dari berbagai pihak. Pihak pertama adalah pemilik perusahaan itu sendiri. Sementara pihak kedua adalah pelaku pasar keuangan yaitu berupa bank lainnya dan lembaga keuangan. Sedangkan pihak ketiga adalah masyarakat umum. Pihak pertama memberikan dana kepada bank sebagai modal untuk menjalankan kegiatan dan berinvestasi, pihak kedua menempatkan kepada 7 Lina Ismawati, “Anjak Piutang Alternatif Pembiayaan Untuk Memperlancar Arus Perusahaan”, artikel pada Majalah Ilmiah Unikom, Vol. V, h. 133 8 Lina Ismawati, artikel pada Majalah Ilmiah Unikom, h. 134 9 Zainul Arifin, Dasar­Dasar Manajemen Bank Syariah, h. 203 6 bank syariah sebagai investasi dan penyediaan cadangan. Pihak ketiga menitipkan dananya kepada bank syariah untuk mengamankan dana dari resiko kehilangan dan sebagai sarana investasi agar mendapat imbalan bagi hasil. 10 Salah satu bank yang memberikan bagi hasil dalam menyalurkan pembiayaan adalah Bank DKI Syariah Jakarta. Bank ini merupakan salah satu bank yang menetapkan pembagian pendapatan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Konsep dari sistem bagi hasil adalah membagi perolehan pendapatan antara bank dan nasabah dengan nisbah tertentu atas dasar kesepakatan. Pembagian pendapatan tersebut dilaksanakan dalam kontrak kegiatan pembiayaan dengan cara profit and loss sharing. 11 Penerapan sistem bagi hasil ini membuat para investor dan pengusaha tertarik sehingga dana­ dana yang dihimpun oleh Bank DKI Syariah Jakarta lebih banyak disalurkan pada sektor riil untuk memperoleh pendapatan bagi hasil. Bertitik tolak pada pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mencoba menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul : “STRATEGI MANAJEMEN PEMBIAYAAN CASH DAN RECEIVABLE FINANCING PADA BANK DKI SYARIAH JAKARTA”. Tema ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas sehingga manajemen pembiayaan Bank DKI Syariah Jakarta dapat dikontrol melalui pembiayaan cash dan receivable financing. 10 Zainul Arifin, Dasar­Dasar Manajemen Bank Syariah, h. 46 11 Tim Pengembangan Produk Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah; Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 61 7

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah