3. Unsur-unsur Dakwah
Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak bisa
terpisahkan, yaitu: da’i, mad’u, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan dengan baik, maka
keenam sistem tersebut harus ada seiring berjalan. Apabila salah satu diantaranya tidak ada, otomatis aktivitas dakwah tidak akan berjalan dengan baik.
Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a.
Subjek Dakwah Da’i Da’i
sebagai subjek dakwah memegang peranan peting untuk mencapai hasil dakwah yang dilakukannya.
24
Seorang da’i harus memiliki wawasan dan keilmuan yang mumpuni ia bisa menjadi sandaran umat
berkonsultasi dan bertanya tentang persoalan agama dan umum. Kewajiban seorang muslim melakukan dakwah tergantung pada
tingkat kemampuan dan kadar iman masing-masing. Selain itu, kesadaran seorang muslim juga merupakan persoalan yang harus ditanamkan dalam
jiwa masing-masing bahwa mereka memiliki kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
agar kemaksiatan tidak meraja lela. b.
Objek Dakwah mad’u Untuk mencapi hasil yang maksimal seorang da’i harus memahami
objek dakwah yang ia hadapi. Jika seorang da’i sudah mengenal mad’u yang dihadapi, maka ia bisa menyiasati penerapan strategi dakwah yang
24
Zaini Muhtaram, Dasar-dasar Manajemen Dakwah Yogyakarta : al-Amin Press dan IFKA, 1996, h. 14.
tepat untuk menghadapi mad’u-nya tersebut. Hal ini perlu diperhatikan mengingat mad’u sangat heterogen.
c. Materi Dakwah
Pada dasarnya materi dakwah hanyalah berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunah sebagai sumber utamannya. Keduanya merupakan warisan
Nabi Muhammad SAW yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia sebagai pedoman hidup way of life menuju jalan yang diridoi
oleh Allah SWT, yaitu jalan keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat. Karena segala aspek kehidupan ada di dalamnya; petunjuk,
pedoman, sejarah serta prisip-prinsip baik mengangkat masalah keyakinan, peribadatan, pergaulan, akhlak dan lain-lain.
25
Dalam al-quran dan sunnah materi dakwah jelas sangat luas karena menyangkut hal-hal yang dibutuhkan dalam seluruh bidang kehidupan
manusia. Namun, demikian ada lima materi pokok yang dapat dijadikan garis besar dakwah tersebut, yaitu: 1. masalah kehidupan, 2. masalah
kemanusiaan, 3. masalah harta bendakekayaan, 4. masalah ilmu pengetahuan, 5. masalah aqidah dan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan keluasan ajaran Islam yang terkandung dalam al- Qur’an dan hadits tersebut, maka seorang da’i dituntut untuk bisa memilah
dan menentukan topik tertentu yang relevan dengan objek dakwahnya agar apa yang disampaikan dapat dimengerti dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Penyampaian pesan dakwah ini tentunya harus
25
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Cet I Surabaya: Usaha Nasional, 1994, h.45.
dikemas dengan baik. Sebab pengemasan pesan dakwah akan membantu seorang mad’u untuk meresapi dan mengamalkannya.
d. Metode Dakwah
Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata thariq.
26
Apabila kita artikan secara bebas, metode adalah cara yang telah di atur dan
melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud. Metode ini memiliki peran penting bagi setiap umat manusia yang ingin
melaksanakan segala bentuk aktivitas keseharian untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Jika kita pahami seksama, maka dari kutipan ayat 125 surat an-Nahl di atas dapat kita perinci bahwa metode dakwah ada tiga, yaitu:
1 Bil Hikmah
Secara etimologi al-hikmah mempunyai arti : al-adl keadilan, al- hilmu
kesabaran, al-Nubuwah yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap
perkataan yang cocok dengan al-haq kebenaran, juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.
27
Secara terminologi, hikmah adalah memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah, materi yang disampaikan tidak memberatkan
mad’u, tidak membebani sesuatu yang memberatkan sebelum jiwa
menerimannya, banyak sekali cara yang di tempuh untuk mengajak mereka sesuai dengan keadaannya, tidak perlu mengebu-gebu dan
26
Hasanudin, Hukum Dakwah, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996, Cet Ke-1 h. 35.
27
Muhammad Husain Abdullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Quran, cet-I Jakarta : Lentera, 1997, h. 40.
bernafsu, karena semua itu melampaui batas hikmah.
28
Metode hikmah ini biasa memanfaatkan cara melalui; komparatif, kisah, perumpamaan,
sumpah, tasyir wisata. Dalam khazanah ilmu komunikasi, hikmah menyangkut apa yang
disebut sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience,
yakni situasi total yang mempengaruhi sikap komunikatop terhadap sikap komunikan objek dakwah.
29
Dengan kata lain, hikmah yaitu memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik
beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran- ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau
keberatan.
2 Mauidzah al-Hasanah
Ali Mustafa Yakqub menyatakan bahwa Mauidzah Hasanah ialah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang mendengarkannya, seperti pesan dakwah yang memuaskan sehingga mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan
oleh subjek dakwah.
30
Metode ini biasanya menggunakan bahasa yang relevan, nasehat, wasiat, kabar gembira dan tauladan. Metode ini
28
Ghazali Darus Salam, ”Dakwah Yang Bijak,” Jakarta: Lentera, Cet. Ke - II, h. 26.
29
Toto Tasmoro, ”Komunikasi Dakwah,” Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987, h. 37.
30
Ali Mustafa Yakqub, Sejarah Metode Dakwah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997, h. 16.
diaplikasikan dalam bentuk tabsyir mengajak dengan kabar gembira dan tanzir
mengajak dengan peringatan dan ancaman. Sebagai subjek dakwah, seorang da’i harus mampu menyesuaikan
dan mengarahkan pesan dakwahnya berdasarkan mad’u yang sedang dihadapi, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk membumikan ajaran
Islam ke dalam kehidupan pribadi dapat terwujud. 3
Mujadalah Bentuk aktivitas dakwah sangat variatif. Karena itu dakwah bisa
dilakukan: melalui lisan bil lisan, tulisan bil qalam, maupun perbuatan bil hal.
31
Masing-masing cara ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri sebagai pendekatan dalam aktivitas berdakwah. Dan
menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dakwah pun bisa dilakukan cukup dengan hati. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dijelaskan sebagai berikut:
ی ﻝ ﻥ+ ی ﻝ , -.
0+123 ﻝ +4ی5
-
Artinya:
“Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tanganmu, maka jika kamu tidak mampu, maka dengan perkataan, dan jika tidak mampu, maka
dengan hatimu. Dan yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.” HR.
Muslim
Metode mujadalah ini bisa kita masukkan ke dalam metode bil lisan. Implementasi bentuk dakwah al-mujadalah bisa berupa seminar,
31
J. Suyuti Pulungan, “Universalisme Islam,” Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002, Cet. Ke-1, hal. 65.
diskusi interaktif, forum tanya jawab, saresehan, dan semacamnya. Metode ini biasanya sering digunakan oleh para intelektual Islam dalam
membahas sebuah permasalahan. Karena metode ini bisa menghasilkan sebuah sitesis yang matang dan memiliki sifat mengakomodir dan
mengklarifikasi. Metode ini biasanya diaplikasikan dalam bentuk al-asilah dan ajwibah.
Selain ketiga metode di atas, ada juga metode dakwah bil harakah, yaitu, dakwah pergerakan.
32
Artinya metode dakwah ini lebih menekankan pada aspek tindakan aksi daripada wacana teoritisasi. Orientasi metode
dakwah ini menurut al-Qaththani sebagaimana dikutip oleh Dr. A. Ilyas Ismail, M. A adalah pengembangan terhadap masyarakat Islam dengan
melakukan reformasi dan perbaikan islah dalam segi-segi kehidupan manusia mulai dari perbaikan individu, keluarga, pemerintah dan negara.
e. Media Dakwah
Kalau kita melihat kamus komunikasi, maka kita akan menemukan kata media. Dalam istilah komunikasi, “media berarti sarana yang
digunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampikan pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak jumlahnya
atau keduanya. Media juga mempunyai bentuk dan jenis yang beranekaragam.
33
32
Ilyas Ismail, “Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,” Jakarta: Penamadani, 2006, Cet. Ke-1, h. 12.
33
Ghazali BC.TT, ”Kamus Istilah Komunikasi,” Bandung:Djambatan, 1992H, 1992, h. .227.
Media merupan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang da’i saat berdakwah. Karena pemilihan media memiliki peran
penting dalam menentukan bagaimana hasil aktivitas dakwah yang dilakukan seorang da’i. Media dakwah dapat memudahkan para juru
dakwah untuk menyampaikan pesan pada khalayak atau komunikannya dengan cepat dan pesan yang disampaikan dapat tersebar dengan luas.
34
Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima, yaitu: media lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Sedangkan DR.
Moh. Ali aziz membagi media menjadi dua, yaitu: media tradisional dan modern elektronik.
35
Media tradisonal ini cukup banyak, salah satu diantarnya adalah wayang. Media wayang ini dahulu digunakan oleh para
Walisongo saat berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Di era tradisional dakwah biasa dilakukan di tempat ritual keagamaan mesjid atau surau atau majlis ta’lim dengan media seadanya.
Seiring dengan perkembangan zaman, media dakwah lebih variatif dan bisa dilakukan dimana saja fleksibel. Tentunya dengan bantuan media
yang canggih, yang dapat meminimalisir hambatan-hambatan efektivitas dakwah.
Sementara media modern elektronik ramai digunakan di millenium ke tiga, yaitu di zaman sekarang ini. Media modern ini berupa
radio, film, televisi, internet, dan semacamnya. Dakwah sebagai
34
M. Bahri Ghazali, ”Dakwah Komunikasi,” Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. Ke - I h. 12.
35
Moh. Ali Aziz,”Ilmu Dakwah”, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1, h. 120.
komunikasi keagamaan dihadapkan kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, memerlukan adaptasi
terhadap kemajuan tersebut.
36
Kalau di era tradisional dakwah hanya dilakukan di tempat tertentu, maka saat ini dakwah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun.
Karena media massa sudah mampu mengatasi salah satu faktor penghambat aktivitas dakwah jarak, ruang, dan waktu. Media massa
yang dimaksud adalah televisi. Kemampuannya melipat jarak, ruang, dan waktu ditambah dengan kekuatan audio-visual membuat aktivitas dakwah
menjadi lebih masif dan komprehensif. Pendekatan yang digunakan oleh para da’i merupakan kunci sukses
diterimanya Islam di masyarakat Indonesia, yaitu melebur pada kebiasaan masyarakat sekitar kebudayaan. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Dalam bukunya yang berjudul “Mengantar Da’i
Sebagai Pendamping Masyarakat ,”
Khamami Zada mengatakan:
“Dakwah Islam yang dilakukan para da’i masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu
menganut agama Kepercayaan, Hindu dan Budha. Keberhasilan para da’i di abad 16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang
menunjukkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah
diteterima oleh masyarakat Indonesia.”
37
36
M. Bahri Ghazali, “Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah,
” Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. Ke-1, h. 33.
37
Mujtaba Hamdi, “Dakwah Transpormatif,” Jakarta: PP LAKPESDAM NU, 2006, Cet. Ke-1, h. 2.
4. Strategi Dakwah